Analisis Historis dan Teologis Sarasehan Wali Songo di Giri Kedaton: Telaah atas Dinamika Pemikiran Makrifat dan Tauhid di Jawa Abad ke-15 - Faidah Ke 2
![]() |
| Kabeldakwah.com |
Faidah Dari Ceramah Ust. Dr. Zaenal Abidin, Lc., M.M.
Judul: Jejak Sejarah Penyebaran Islam Di Nusantara
Analisis Historis dan
Teologis Sarasehan Wali Songo di Giri Kedaton: Telaah atas Dinamika Pemikiran
Makrifat dan Tauhid di Jawa Abad ke-15
Abstrak
Kajian ini membahas
secara mendalam naskah yang menggambarkan pertemuan atau ”sarasehan” para Wali
Songo di Giri Kedaton, yang menunjukkan kedalaman intelektual, sistematika
berpikir, dan keteraturan manajemen dakwah Islam di Nusantara pada masa awal
penyebaran Islam. Diskusi para wali, khususnya dalam konteks makrifat dan
tauhid, menggambarkan dinamika teologis yang tidak hanya bersifat mistik,
tetapi juga rasional dan sosial. Artikel ini menelaah bagaimana perdebatan
mengenai konsep ketuhanan dan makrifat mencapai puncaknya dalam kasus Syekh
Lemah Abang (Siti Jenar), serta bagaimana pertemuan tersebut menunjukkan
keterpaduan antara spiritualitas, struktur sosial, dan strategi dakwah para
wali.
Pendahuluan
Naskah yang mengisahkan
sarasehan para wali di Gunung Giri Kedaton merefleksikan tingkat kematangan
intelektual Islam Nusantara abad ke-15. Bahasa yang digunakan menunjukkan
lapisan Kawi Pertengahan, bukan lagi Kawi Modern, yang menandakan keaslian dan
konteks zaman awal Islamisasi Jawa. Dalam sarasehan tersebut hadir delapan
tokoh besar, antara lain Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan
Kalijaga, Syekh Mojagung, Syekh Bentong, Maulana Magribi, dan Syekh Lemah
Abang. Para tokoh ini berdiskusi secara mendalam mengenai hakikat tauhid dan
makrifat, serta batas antara ajaran yang lurus dan penyimpangan mistik yang
berpotensi menyesatkan masyarakat awam.
Struktur dan Etika Musyawarah Para Wali
Pertemuan di Giri Kedaton
menunjukkan adanya sistem organisasi dakwah yang mapan dan teratur. Sunan Giri
berperan sebagai pemimpin sidang, menyampaikan pembukaan yang berisi pesan
persatuan, musyawarah, dan kesepakatan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Prinsip utama yang dijaga adalah kesatuan hati, kesatuan keputusan, dan
kesatuan barisan dakwah. Etika musyawarah para wali menekankan agar setiap
perbedaan pendapat diselesaikan secara terbuka di majelis, tanpa menimbulkan
permusuhan atau prasangka di luar forum. Nilai ini mencerminkan adab syura
sebagaimana diajarkan dalam Islam klasik, serta menjadi model etika diskusi
keilmuan di masa-masa berikutnya.
Dialog Teologis: Iman, Tauhid, dan Makrifat
Dialog pertama dibuka
oleh Sunan Bonang yang menjelaskan bahwa persoalan iman dan tauhid bukanlah
masalah bagi mereka yang telah mencapai tingkat makrifat. Menurutnya, persoalan
ketuhanan baru menjadi perdebatan bagi kalangan awam yang belum memahami hakikat
kedekatan dengan Allah. Pandangan ini menunjukkan pengaruh sufistik yang kuat,
di mana iman dan tauhid dipahami sebagai pengalaman ruhani, bukan sekadar
pernyataan rasional.
Pangeran Mojagung
kemudian menambahkan bahwa di akhirat, iman dan tauhid tidak lagi menjadi
masalah karena manusia telah keluar dari wilayah taklif (kewajiban hukum).
Artinya, tauhid hanya relevan selama kehidupan dunia sebagai bentuk kesadaran
manusia terhadap keberadaan dan keesaan Tuhan.
Sunan Gunung Jati tampil
dengan pandangan tegas dalam mempertahankan kemurnian ajaran tauhid. Ia menolak
pemahaman makrifat yang berpotensi meniadakan perbedaan antara Khaliq dan
makhluk. Dari dialah muncul desakan untuk menjatuhkan hukuman terhadap Syekh
Lemah Abang yang dianggap menyimpang dari prinsip tauhid murni.
Berbeda dengan itu, Sunan
Kalijaga justru tampil sebagai penengah. Ia menyadari bahwa perdebatan tersebut
berakar pada kerancuan dalam memahami istilah “manunggaling kawula Gusti.”
Dalam pandangannya, kesatuan antara manusia dan Tuhan tidak dimaknai secara
ontologis (penyatuan zat), melainkan secara moral dan spiritual, yakni kesatuan
kehendak dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Dari
perenungan inilah kemudian lahir karya sufistiknya ”Suluk Linglung”, yang
menggambarkan kebingungan eksistensial seorang pencari Tuhan dalam memahami
hakikat penyatuan spiritual.
Kasus Syekh Lemah Abang (Siti Jenar)
Puncak perdebatan terjadi
ketika Syekh Lemah Abang mengemukakan pandangan bahwa “Ingsun iki Allah,”
sebuah pernyataan yang menandakan pemahaman ekstrem terhadap konsep *wahdatul
wujud*. Bagi para wali lainnya, pernyataan tersebut melampaui batas karena menyamakan
diri manusia dengan Tuhan secara hakiki. Meskipun sebagian tokoh seperti
Maulana Magribi mencoba menasihatinya dengan pendekatan dialogis, Syekh Lemah
Abang tetap berpegang teguh pada pandangan tersebut.
Maulana Magribi
menegaskan bahwa kebenaran pribadi tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat
luas. Pandangan mistik yang terlalu dalam, jika diungkap tanpa kebijaksanaan,
justru dapat menyesatkan umat. Peringatan ini menggambarkan perbedaan antara ”kebenaran
esoterik” (batin) dan ”kebenaran eksoterik” (lahir), yang harus dijaga
keseimbangannya dalam dakwah.
Akhirnya, karena Syekh
Lemah Abang tidak dapat lagi dikendalikan dan menolak bimbingan, para wali
memutuskan bahwa pandangannya menyesatkan dan berbahaya bagi masyarakat.
Keputusan ini bukan semata-mata tindakan politik atau kekuasaan, tetapi upaya
menjaga kemurnian ajaran tauhid dari distorsi panteistik.
Aspek Sosiologis dan Strategi Dakwah
Selain dimensi teologis,
sarasehan ini juga memperlihatkan aspek strategis dakwah para wali. Pemilihan
lokasi Giri Kedaton yang berada di atas bukit dekat lautan menunjukkan
kesadaran Geopolitik yang tinggi. Dari posisi tersebut, para wali dapat
mengawasi jalur perdagangan laut dan potensi ancaman dari luar. Hal ini
menunjukkan bahwa para wali bukan hanya ahli spiritual, tetapi juga pemimpin
dengan kemampuan manajerial dan pertahanan strategis.
Giri Kedaton sendiri
berfungsi tidak hanya sebagai pusat spiritual, tetapi juga sebagai pusat
pemerintahan Islam. Struktur dakwah mereka mencerminkan tata kelola yang
sistematis, dengan pembagian peran antara Guru spiritual, pengajar masyarakat,
dan penjaga hukum syariah. Dengan demikian, Islamisasi di Jawa tidak terjadi
secara acak, tetapi melalui perencanaan dan koordinasi antarulama.
Kesimpulan
Sarasehan Wali Songo di
Giri Kedaton merupakan peristiwa intelektual dan spiritual yang mencerminkan
kematangan pemikiran Islam Nusantara. Dialog antara para wali menunjukkan
keseimbangan antara rasionalitas teologis dan kedalaman sufistik. Perselisihan seputar
konsep makrifat tidak semata-mata konflik pemikiran, melainkan proses
dialektika menuju kematangan Spiritual dan keilmuan.
Kasus Syekh Lemah Abang
memperlihatkan batas antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab dakwah.
Sementara itu, pandangan moderat Sunan Kalijaga menunjukkan sintesis antara
keislaman dan kejawaan yang menjadi ciri khas Islam Nusantara. Keseluruhan
narasi ini menggambarkan bahwa para wali adalah ulama dan pemimpin yang
berpikir sistematik, berorganisasi secara profesional, dan berperan penting
dalam membangun peradaban Islam yang berakar kuat di tanah Jawa.
Disadur Oleh: Tim Kabeldakwah.com
-------------------------------------------------
Judul Utama: Jejak Sejarah Penyebaran Islam Di Nusantara
Chapter 1 - Ajaran Wali Songo dan Sinergi Ulama dengan Umara dalam Perspektif Sejarah Islam Nusantara
Chapter 2 - Analisis Historis dan Teologis Sarasehan Wali Songo di Giri Kedaton
Chapter 5 - Nilai dan Kompetensi Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam Klasik
Chapter 6 - Makna Moral dan Spiritual dalam Ajaran Etika Guru dan Mukmin Sejati Menurut Ulama Klasik
Chapter 7 - Distorsi Sejarah Wali Songo dan Tantangan Pemurnian Narasi Dakwah Islam di Nusantara

Posting Komentar untuk "Analisis Historis dan Teologis Sarasehan Wali Songo di Giri Kedaton: Telaah atas Dinamika Pemikiran Makrifat dan Tauhid di Jawa Abad ke-15 - Faidah Ke 2"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.