Penjelasan Lengkap Daarul Islam Daarul Muhaajirin Daarul Hijrah
Istilah Daarul-Islaam terdapat dalam
beberapa riwayat yang ternukil dari salaf, antara lain:
حَدَّثَنَا
دُحَيْمٌ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ، عَنِ
الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ سَلَمَةَ
بْنِ نُفَيْلٍ، عَنِ النَّبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" عُقْرُ دَارِ الإِسْلامِ بِالشَّامِ
"
Telah menceritakan kepada kami Duhaim: Telah
menceritakan kepada kami Al-Waliid (bin Muslim): Telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Muhaajir, dari Al-Waliid bin ‘Abdirrahmaan, dari Jubair bin
Nufair, dari Salamah bin Nufail, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Bagian tengah (pusat) Daarul-Islaam ada di Syaam” (Diriwayatkan
oleh Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 3/991; shahih).
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ الآيَةَ، قَالَ: " مَنْ شَهَرَ السِّلاحَ
وَأَخَافَ السَّبِيلَ ثُمَّ ظُفِرَ بِهِ وَقُدِرَ عَلَيْهِ، فَإِمَامُ
الْمُسْلِمِينَ فِيهِ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ قَتَلَهُ، وَإِنْ شَاءَ صَلَبَهُ،
وَإِنْ شَاءَ قَطَعَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ قَالَ: ثُمَّ قَالَ: أَوْ يُنْفَوْا مِنَ
الأَرْضِ، قَالَ: أَنْ يُغَرَّبُوا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْ دَارِ الإِسْلامِ إِلَى
دَارِ الْحَرْبِ أَوْ قَالَ: إِلَى دَارِ الشِّرْكِ
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya: ‘Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Maaidah: 33), ia berkata: “Barangsiapa menghunus pedang dan membuat takut di jalan, yang kemudian ia dapat ditangkap dan dikalahkan; maka imam kaum muslimin mempunyai pilihan. Jika berkehendak, maka ia boleh membunuhnya; jika berkehendak, ia boleh menyalibnya; dan jika berkehendak, ia boleh memotong tangan dan kakinya”. Lalu Ibnu ‘Abbaas membaca kelanjutan ayat: ‘atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)’ (QS. Al-Maaidah: 33), ia berkata: “Agar ia diusir/diasingkan hingga mereka keluar dari Daarul-Islaam menuju Daarul-Harb” – atau ia berkata: “menuju Daarusy-Syirk” (Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam An-Naasikh wal-Mansuukh no. 258; hasan).
Daarul-Islaam di era Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang ada di Madiinah juga
disebut dengan Daarul-Muhaajiriin.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنْ
سُفْيَانَ. ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ
آدَمَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: أَمْلَاهُ عَلَيْنَا إِمْلَاءً. ح
وحَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ
مَرْثَدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى
جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا، وَلَا تَغُلُّوا وَلَا
تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَإِذَا لَقِيتَ
عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ
فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ
عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ
الْمُهَاجِرِينَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ، فَلَهُمْ مَا
لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ
يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ
الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا
أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ
الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ،
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا، فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ، وَإِذَا حَاصَرْتَ
أَهْلَ حِصْنٍ، فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ
نَبِيِّهِ، فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ
وَلَكِنْ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ، فَإِنَّكُمْ أَنْ
تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا
ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ، وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ
فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ، فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى
حُكْمِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي
أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا؟
"
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi
Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Wakii’ bin Al-Jarraah, dari Sufyaan (ح). Dan telah menceritakan kepada kami
Ishaaq bin Ibraahiim: Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Aadam: Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan, ia berkata: Ia telah mendiktekan kepada kami
satu tulisan (ح). Dan telah
menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Haasyim – dan lafadh hadits ini miliknya -:
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy: Telah menceritakan kepada
kami Sufyaan, dari ‘Alqamah bin Martsad, dari Sulaimaan bin Buraidah, dari
ayahnya, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
mengangkat seorang amir untuk memimpin tentara atau sariyyah, beliau berwasiat
kepadanya secara khusus untuk bertaqwa kepada Allah dan kepada kaum muslimin
yang menyertainya untuk senantiasa berbuat kebaikan. Kemudian beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berperanglah atas nama Allah ! di
jalan Allah ! Perangilah orang yang kufur kepada Allah ! Berperanglah dan
jangan curang, jangan berkhianat, jangan berlaku kejam (dengan memotong hidung
dan telinga), dan jangan membunuh anak-anak !. Apabila kamu bertemu dengan kaum
musyrikin yang menjadi musuhmu, maka tawarkanlah kepada mereka tiga pilihan,
yang mana salah satu diantara tiga tersebut yang mereka pilih, maka terimalah
dan janganlah mereka diserang, lalu ajaklah mereka masuk Islam. Apabila mereka
menerima ajakanmu, maka terimalah dan janganlah mereka diserang. Kemudian
ajaklah mereka untuk berpindah dari perkampungan mereka menuju perkampungan orang
Muhajirin (Daarul-Muhaajiriin). Jika mereka mau pindah, beritahukan kepada
mereka bahwa mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang
Muhajirin. Jika mereka tidak mau pindah dari rumah mereka, maka beritahukanlah
kepada mereka bahwa mereka diperlakukan seperti kaum muslimin yang ada di
pedalaman dengan diberlakukan hukum Allah atas mereka seperti yang berlaku atas
orang-orang mukmin lain tanpa mendapat bagian dari ghanimah dan fa’i, kecuali
jika mereka turut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka tidak mau masuk
Islam, maka suruhlah mereka membayar jizyah. Jika mereka bersedia, maka
terimalah dan janganlah mereka diperangi. Apabila mereka menolak, maka mintalah
pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka ! Apabila kamu mengepung benteng
musuh lalu mereka menginginkan agar engkau berikan kepada mereka perlindungan
dan jaminan Allah serta Nabi-Nya, maka janganlah engkau berikan kepadanya
perlindungan Allah serta Nabi-Nya. Tetapi, berilah mereka perlindungan dan
jaminan dari kamu sendiri dan pasukanmu. Karena jika kamu berikan perlindungan
dan jaminanmu beserta pasukanmu, maka itu lebih ringan resikonya daripada
engkau berikan perlindungan danjaminan Allah serta Nabi-Nya. Apabila kamu
mengepung benteng musuh lalu mereka ingin agar engkau memberlakukan kepada
mereka hukum Allah, maka janganlah engkau berlakukan hukum Allah kepada mereka.
Tetapi, berlakukanlah kepada mereka hukum dari kamu sendiri; karena kamu tidak
tahu apakah kamu benar-benar telah memberlakukan hukum Allah kepada mereka atau
belum” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1731).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أَنَّهُمْ إِذَا
أَسْلَمُوا اُسْتُحِبَّ لَهُمْ أَنْ يُهَاجِرُوا إِلَى الْمَدِينَة ، فَإِنْ
فَعَلُوا ذَلِكَ كَانُوا كَالْمُهَاجِرِينَ قَبْلهمْ فِي اِسْتِحْقَاق الْفَيْء
وَالْغَنِيمَة وَغَيْر ذَلِكَ
“Sesungguhnya jika mereka
masuk ke dalam agama Islam, dianjurkan bagi mereka untuk berhijrah ke Madiinah.
Jika mereka melakukannya, kedudukan mereka seperti orang-orang Muhaajiriin
sebelum mereka dalam perolehan hak atas fai’, ghaniimah, dan yang lainnya...” (Syarh
Shahiih Muslim, 6/169).
Oleh karena itu,
Daarul-Islaam disebut juga Daarul-Hijrah:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ،
وَأَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ وَهُوَ بِمِنًى فِي آخِرِ
حَجَّةٍ حَجَّهَا عُمَرُ فَوَجَدَنِي، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: فَقُلْتُ: يَا
أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ الْمَوْسِمَ يَجْمَعُ رَعَاعَ النَّاسِ، وَإِنِّي
أَرَى أَنْ تُمْهِلَ حَتَّى تَقْدَمَ الْمَدِينَةَ فَإِنَّهَا دَارُ الْهِجْرَةِ
وَالسُّنَّةِ وَالسَّلَامَةِ وَتَخْلُصَ لِأَهْلِ الْفِقْهِ، وَأَشْرَافِ النَّاسِ
وَذَوِي رَأْيِهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sulaimaan: Telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb: Telah menceritakan kepada
kami Maalik, dan telah menceritakan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, bahwasannya
‘Abdullah bin ‘Abbaas telah mengkhabarkan kepadanya: Bahwasannya ‘Abdurrahmaan
bin ‘Auf kembali ke keluarganya di Mina pada akhir waktu haji yang dilakukan
oleh 'Umar (bin Al-Khaththaab), lalu ia menemuiku. ‘Abdurrahmaan berkata: Aku
berkata: "Wahai Amiirul-Mukminiin, sesungguhnya musim haji akan
mempertemukan orang-orang rendahan, dan aku berpendapat agar engkau menundanya
hingga engkau tiba di Madiinah, karena ia adalah Daarul-Hijrah was-Sunnah
was-Salamaah, dan engkau dapat menyelesaikannya pada para ahli fiqih,
orang-orang mulia, dan para pemikir mereka...." (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3928).
Kembali pada istilah Daarul-Islaam di awal. Para ulama berbeda
perkataan dalam mendefinisikan Daarul-Islaam dan menetapkan batasan-batasannya.
Beberapa perkataan mereka yang dapat dibawakan antara lain:
1. Abu Yuusuf
rahimahullah berkata:
افْتَتَحَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلادَ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
وَظَهَرَ عَلَيْهِمْ، فَصَارَتْ بِلادُهُمْ دَارَ الإِسْلامِ،
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menguasai negeri Bani Mushthaliq dan mengalahkan mereka, sehingga negeri mereka
menjadi Daarul-Islaam” (As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy, 9/53).
2. Al-Kaasaaniy rahimahullah berkata:
لا خلاف بين
أصحابنا في ان دار الكفر تصير دار اسلام بظهور أحكام الاسلام فيها واختلفوا في دار
الاسلام انما بماذا تصير دار الكفر قال أبو حنيفة انها لا تصير دار الكفر الا
بثلاث شرائط أحدها ظهور أحكام الكفر فيها والثانى ان تكون متاخمة لدار الكفر
والثالث ان لا يبقى فيها مسلم ولا ذمى آمنا بالامان الاول وهو أمان المسلمين وقال
أبو يوسف ومحمد رحمهما الله انها تصير دار الكفر بظهور أحكام الكفر فيها
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para
shahabat kami (yaitu: kalangan Ahnaaf/madzhab Hanafy) bahwasannya Daarul-Kufr
berubah menjadi Daarul-Islaam dengan nampaknya hukum-hukum Islam padanya, dan
mereka berselisih dengan apa Daarul-Islaam berubah menjadi Daarul-Kufr. Abu
Haniifah berkata: ‘Sesungguhnya Daarul-Islam tidak berubah menjadi Daarul-Kufr
kecuali dengan tiga persyaratan: Pertama, nampak/dominannya hukum-hukum
kekufuran padanya; kedua, bersambungnya dengan Daarul-Kufur; dan ketiga, tidak
tersisa di dalamnya seorang muslim dan seorang dzimmy yang merasa aman dengan
jaminan keamanan kaum muslimin’. Abu Yuusuf dan Muhammad rahimahumallah berkata:
’Daarul-Islaam berubah menjadi Daarul-Kufr dengan nampak/dominannya hukum-hukum
kekufuran padanya” (Badaa’iush-Shanai’, 7/130).
3. As-Sarkhaasiy rahimahullah berkata:
المعتبر في حكم
الدار هو السلطان والمنعة في ظهور الحكم
“Yang dianggap dalam
penetapan hukum (status) satu negeri adalah keberadaan sulthaan/penguasa dan
kekuatan dalam menampakkan hukum” (Syarhus-Siyar, 5/1073).
4. Maalik bin Anas
rahimahullah berkata:
وَكَانَتْ
الدَّارُ يَوْمئِذٍ دَارَ الْحَرْبِ لِأَنَّ أَحْكَامَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانَتْ
ظَاهِرَةً يَوْمئِذٍ
“Dan negeri tersebut pada waktu itu (yaitu
Makkah) adalah Daarul-Harb, karena hukum-hukum Jahiliyyah nampak pada waktu
itu” (Al-Mudawwanah, 3/413).
5. Abu Bakr Al-Jashshaash rahimahullah berkata:
إن حكم الدار
انما يتعلق بالظهور والغلبة واجراء حكم الدين . والدليل على صحة ذلك إنا متى غلبنا
على دار الحرب وأجرينا فيها أحكامنا صارت دار اسلام
“Sesungguhnya hukum satu
negeri (ad-daar) hanyalah bergantung pada penampakan, dominannya, dan
pelaksanaan dari hukum agama. Dan dalil atas kebenaran pendapat tersebut, yaitu
ketika kita menguasai Daarul-Harb dan kita laksanakan padanya hukum-hukum kita
(hukum Islam), maka ia akan berubah menjadi Daarul-Islaam” (Syarh Mukhtashar
Ath-Thahawiy).
6. Ad-Dasuuqiy rahimahullah berkata:
لِأَنَّ بِلَادَ
الْإِسْلَامِ لَا تَصِيرُ دَارَ حَرْبٍ بِأَخْذِ الْكُفَّارِ لَهَا بِالْقَهْرِ
مَا دَامَتْ شَعَائِرُ الْإِسْلَامِ قَائِمَةً فِيهَا..... بِلَادَ الْإِسْلَامِ
لَا تَصِيرُ دَارَ حَرْبٍ بِمُجَرَّدِ اسْتِيلَائِهِمْ عَلَيْهَا بَلْ حَتَّى
تَنْقَطِعَ إقَامَةُ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ عَنْهَا ، وَأَمَّا مَا دَامَتْ
شَعَائِرُ الْإِسْلَامِ أَوْ غَالِبُهَا قَائِمَةً فِيهَا فَلَا تَصِيرُ دَارَ
حَرْبٍ
“Hal itu dikarenakan negeri Islam tidak
berubah menjadi Daarul-Harb dengan sebab pengambilalihan orang kafir padanya
melalui kekuatan selama syi’ar-syi’ar Islaam tetap tegak di dalamnya” (Hasyiyyah
Ad-Dasuuqiy ‘alaa Syarh Al-Kabiir, 2/188).
7. Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
كل دار كانت
الغلبة فيها لأحكام الكفر دون أحكام الإسلام فهي دار الكفر
”Setiap negeri yang didominasi padanya
hukum-hukum kekufuran, bukan hukum-hukum Islam, disebut Daarul-Kufr” (Al-Mu’taqad
fii Ushuulid-Diin, hal. 276).
8. Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
فَصْلٌ: وَمَتَى
ارْتَدَّ أَهْلُ بَلَدٍ ، وَجَرَتْ فِيهِ أَحْكَامُهُمْ ، صَارُوا دَارَ حَرْبٍ
فِي اغْتِنَامِ أَمْوَالِهِمْ ، وَسَبْيِ ذَرَارِيِّهِمْ الْحَادِثِينَ بَعْدَ
الرِّدَّةِ ، وَعَلَى الْإِمَامِ قِتَالُهُمْ ، فَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَاتَلَ أَهْلَ الرِّدَّةِ بِجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ ،
وَلِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَ بِقِتَالِ الْكُفَّارِ فِي مَوَاضِعَ مِنْ
كِتَابِهِ ، وَهَؤُلَاءِ أَحَقُّهُمْ بِالْقِتَالِ ؛ لِأَنَّ تَرْكَهُمْ رُبَّمَا
أَغْرَى أَمْثَالَهُمْ بِالتَّشَبُّهِ بِهِمْ وَالِارْتِدَادِ مَعَهُمْ ،
فَيَكْثُرُ الضَّرَرُ بِهِمْ .
وَإِذَا
قَاتَلَهُمْ ، قَتَلَ مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ ، وَيَتْبَعُ مُدْبِرَهُمْ ،
وَيُجْهِزُ عَلَى جَرِيحِهِمْ ، وَتُغْنَمُ أَمْوَالُهُمْ .
وَبِهَذَا قَالَ
الشَّافِعِيُّ .
وَقَالَ أَبُو
حَنِيفَةَ: لَا تَصِيرُ دَارَ حَرْبٍ حَتَّى تُجْمَعَ فِيهَا ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ
؛ أَنْ تَكُونَ مُتَاخِمَةً لِدَارِ الْحَرْبِ ، لَا شَيْءَ بَيْنَهُمَا مِنْ
دَارِ الْإِسْلَامِ . الثَّانِي: أَنْ لَا يَبْقَى فِيهَا مُسْلِمٌ وَلَا ذِمِّيٌّ
آمِنٌ . الثَّالِثُ: أَنْ تَجْرِيَ فِيهَا أَحْكَامُهُمْ
.
وَلَنَا ،
أَنَّهَا دَارُ كُفَّارٍ ، فِيهَا أَحْكَامُهُمْ ، فَكَانَتْ دَارَ حَرْبٍ - كَمَا
لَوْ اجْتَمَعَ فِيهَا هَذِهِ الْخِصَالُ - ، أَوْ دَارَ الْكَفَرَةِ
الْأَصْلِيِّينَ .
“Pasal: Dan apabila penduduk suatu negeri
murtad dan berlaku padanya hukum-hukum mereka (kekafiran), maka negeri itu
menjadi Daarul-Harb dalam hal menjadikan harta-harta mereka sebagai ghanimah
dan anak-anak mereka (jika berhasil ditaklukkan) setelah kekafiran mereka. Dan
wajib bagi imam untuk memerangi mereka, karena Abu Bakr Ash-Shiddiiq
radliyallaahu ‘anhu memerangi orang-orang murtad bersama dengan para shahabat. Dan juga dikarenakan
Allah ta’ala telah memerintahkan memerangi orang-orang kafir dalam beberapa
tempat dalam Al-Qur’an. Mereka itu semua lebih berhak untuk diperangi, karena
upaya membiarkan mereka (di atas kekafirannya) kadang membangkitkan orang-orang
yang semisal mereka untuk meniru mereka dan murtad bersama mereka, sehingga
menjadi banyaklah bahaya bersama mereka. Dan apabila imam memerangi mereka,
orang yang berhasil dikuasai (tangkap) dibunuh, orang-orang yang melarikan diri
dikejar, orang-orang yang terluka dibunuh, dan harta mereka dijadikan ghanimah.
Inilah yang dikatakan Asy-Syaafi’iy.
Abu Haniifah berkata:
‘Daarul-Islaam menjadi Daarul-Harb hingga berkumpul padanya tiga perkara:
pertama, berbatasan langsung/bersambung dengan Daarul-Harb, tanpa ada
Daarul-Islaam yang memisahkan keduanya; kedua, tidak tersisa lagi orang muslim
dan ahludz-dzimmah yang merasa aman (hidup di dalamnya); dan ketiga, berlaku
padanya hukum-hukum mereka (kekafiran)’.
Adapun kami (Ibnu
Qudaamah) bahwasannya negeri tersebut merupakan Daarul-Kufr, yang padanya
berlaku hukum-hukum mereka (kekafiran). Ia adalah Daarul-Harb – sebagaimana
jika berkumpul di dalamnya tabiat ini – atau Daarul-Kufr secara asal” (Al-Mughniy,
19/475 – Syamilah).
9. Ibnu Muflih rahimahullah berkata:
فكل دار غلب
عليها أحكام المسلمين فدار الإسلام، وإن غلب عليها أحكام الكفار فدار الكفر، ولا
دار لغيرهما
“Setiap negeri yang
dominan padanya hukum-hukum kaum muslimin, maka disebut Daarul-Islaam. Namun
apabila dominan padanya hukum-hukum orang kafir, maka disebut Daarul-Kufr.
Tidak ada negeri selain kedua jenis tersebut” (Al-Aadaabusy-Syar’iyyah,
1/211-212).
10. Al-Mardawiy rahimahullah berkata:
وَدَارُ
الْحَرْبِ: مَا يَغْلِبُ فِيهَا حُكْمُ الْكُفْرِ
“Dan Daarul-Harb adalah
negeri yang dominan padanya hukum kekufuran” (Al-Inshaaf, 4/121).
11. Al-Bahuutiy rahimahullah berkata:
وتجب الهجرة على
من يعجز عن إظهار دينه بدار الحرب وهى ما يغلب فيها حكم الكفر
“Dan wajib untuk berhijrah bagi orang yang
merasa lemah untuk menampakkan agamanya di Daarul-Harb, yaitu negeri yang
didominasi hukum kekufuran di dalamnya” (Kasysyaaful-Qinaa’, 3/43).
12. Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
ودارهم دار
اسلام لا دار شرك ، لان الدار انما تنسب للغالب عليها والحاكم فيها والمالك لها
“Dan negeri mereka (yaitu ahludz-dzimmah)
adalah Daar Islaam dan bukan Daar Syirk. Hal itu dikarenakan bahwa sebauh negeri hanyalah
dinisbatkan pada yang mendominasi padanya, orang yang berkuasa, dan yang
memilikinya” (Al-Muhallaa, 11/200).
13. Ibnul-Qayyiim rahimahullah berkata:
قال الجمهور:
دار الإسلام هي التي نزلها المسلمون وجرت عليها أحكام الإسلام وما لم تجر عليه
أحكام الإسلام لم يكن دار إسلام وإن لاصقها
“Jumhur ulama berkata:
Daarul-Islaam adalah negeri yang dikuasai kaum muslimin dan berlaku padanya
hukum-hukum Islam. Dan negeri yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam,
maka ia bukan termasuk Daarul-Islaam meskipun ia berbatasan langsung (dengan
Daarul-Islaam)” (Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, 1/268).
Dari beberapa perkataan
ulama di atas, maka benang merah tarjih yang coba ditarik dalam mendefiniskan
Daarul-Islaaam adalah: negeri yang didominasi oleh kaum muslimin dimana negeri
tersebut dalam penguasaan mereka. Ada dua keadaan dalam hal ini, yaitu:
a. Penduduk negeri bukan
berstatus muslim, akan (negeri tersebut) berada di bawah hukum Islaam, serta
kekuasaan/pengaruh dan dominasi yang ada di dalamnya ada pada pemimpin kaum
muslimin; maka negeri tersebut merupakan Daarul-Islaam. Hal itu dikarenakan
seorang muslim yang memasuki negeri tersebut punya kedudukan yang kuat, aman,
dan dapat menampakkan agamanya tanpa ada rasa khawatir terhadap dirinya dari
tekanan orang kafir yang tinggal di negeri tersebut.
Dalilnya adalah ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan negeri Khaibar dan
membiarkan orang-orang Yahudi tinggal di dalamnya untuk sementara waktu, negeri
Khaibar tersebut merupakan cakupan wilayah Daarul-Islaam yang ada di Madiinah.
b. Dominasi dan kekuatan
yang ada di dalam negeri tersebut dipegang oleh kaum muslimin dengan sebab
dominasi penduduknya dari kaum muslimin (mayoritas), atau keberadaan mereka
(kaum muslimin) sebagai pemegang persenjataan dan kekuatan; sehingga
hukum-hukum Islam yang tampak (dhaahir) dapat eksis/tegak, maka negeri tersebut
juga merupakan Daarul-Islaam. Yang dimaksudkan dengan hukum-hukum Islam yang
tampak (dhahir) adalah syi’ar-syi’ar Islam yang besar
(asy-sya’aairul-Islaamiyyah al-kubraa) seperti shalat Jum’at, ‘Iedain, puasa
Ramdlaan, haji, panggilan shalat (adzan), dan bangunan masjid-masjid tanpa ada
larangan dan tekanan.
Dalilnya adalah bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyerang suatu negeri (dalam
satu jihad yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lakukan) ketika di
dalamnya terdengar seruan adzan.
وحَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ، عَنْ حَمَّادِ
بْنِ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: "
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ
الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا، أَمْسَكَ،
وَإِلَّا أَغَارَ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى
الْفِطْرَةِ.....
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin
Harb: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Hammaad bin
salamah: Telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari Anas bin Maalik, ia
berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah hendak menyerang
satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara
adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau
menyerang. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar seorang
laki-laki berkata (mengumandangkan adzan): Allaahu akbar Allaahu akbar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di atas fithrah....” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 382).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَفِي الْحَدِيث
دَلِيل عَلَى أَنَّ الْأَذَان يَمْنَع الْإِغَارَة عَلَى أَهْل ذَلِكَ الْمَوْضِع
، فَإِنَّهُ دَلِيل عَلَى إِسْلَامهمْ
“Dalam hadits ini terdapat dalil yang
menujukkan bahwa adzan menahan serangan terhadap penduduk daerah tersebut,
karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman mereka” (Syarh Shahiih
Muslim, 4/84).
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
لأن الأذان هو
العلامة الدالة المفرقة بين دار الإسلام ودار الكفر؛ وكان رسول الله صلى الله عليه
وسلم إذا بعت سرية قال لهم: (إذ سمعتم الأذان فأمسكوا وكفوا وإن لم تسمعوا الأذان
فأغيروا - أو قال - فشنوا الغارة). وفي صحيح مسلم قال: كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم يغير إذا طلع الفجر، فإن سمع الأذان أمسك وإلا أغار
“Hal itu dikarenakan
adzan merupakan tanda yang menunjukkan perbedaan antara Daarul-Islaam dan
Daarul-Kufr. Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus
sariyyah (pasukan perang), maka beliau berkata kepada mereka: ‘Apabila kalian
mendengar dari mereka adzan, maka tahanlah dan cegahlah (untuk tidak
menyerang). Namun bila kalian tidak mendengar adzan, maka seranglah mereka –
atau beliau berkata: ‘Seranglah dari segala arah’. Dalam Shahih Muslim
disebutkan: Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah hendak
menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika
beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak
mendengar, maka beliau menyerang” (Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 6/225-226).
Sebagian ulama Hanafiyyah berkata:
وَدَارُ
الْحَرْبِ تَصِيرُ دَارَ الْإِسْلَامِ بِإِجْرَاءِ أَحْكَامِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ
فِيهَا كَجُمُعَةٍ وَعِيدٍ وَإِنْ بَقِيَ فِيهَا كَافِرٌ أَصْلِيٌّ وَإِنْ لَمْ
تَتَّصِلْ بِدَارِ الْإِسْلَامِ
“Dan Daarul-Harb berubah menjadi Daarul-Islaam
dengan berlakunya hukum-hukum orang Islam padanya seperti shalat Jum’at dan
‘Ied, meskipun terdapat orang kafir asli padanya, dan meskipun tidak bersambung
dengan Daarul-Islaam (induk)” (Raddul-Mukhtaar, 16/99 – via Syamilah).
Ibnu Yahyaa Al-Murtadlaa Az-Zaidiy rahimahullah
berkata:
دار الإسلام ما
ظهرت فيها الشهادتان، والصلاة ولم تظهر فيها خصلة كفرية ولو تأويلا إلا بجوار أو
بالذمة والأمان من المسلمين. ودار الحرب هي الدار التي شوكتها لأهل الكفر، ولا ذمة
من المسلمين عليها
“Daarul-Islaam adalah semua negeri yang nampak
padanya (syi’ar) dua kalimat syahadat dan shalat, serta tidak nampak padanya
perkara-perkara kekufuran meskipun dilakukan secara ta’wiil, kecuali dengan
ijin atau perlindungan atau keamanan dari kaum muslimin. Dan Daarul-Harb adalah
negeri yang ditinggali oleh orang kafir tanpa adanya perlindungan dari kaum
muslimin padanya” (‘Uyuunul-Az-haar, hal. 228).
Ibnu ‘Abdil-Barr
rahimahullah berkata:
ولا أعلم خلافا
في وجوب الأذان جملة على أهل الأمصار لأنه من العلامة الدالة المفرقة بين دار
الإسلام ودار الكفر
“Dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan
tentang wajibnya adzan atas penduduk negeri, karena ia termasuk tanda yang
menunjukkan perbedaan antara Daarul-Islaam dan Daarul-Kufr” (Al-Istidzkaar,
4/17-18).
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
ما كانت تقام
فيها شعائر الإسلام فهي بلد إسلام، حتى لو فرض أن نفس الحكومة كافرة، وهذه البلاد
تقام فيها شعائر الإسلام فهي بلد إسلام
“Selama negeri tersebut tegak syi’ar-syi’ar
Islaam (seperti adzan, shalat, haji, dan yang lainnya), maka ia adalah negeri
Islaam – meski seandainya ditetapkan pemerintahan yang ada adalah pemerintahan
kafir. Negeri-negeri yang tegak padanya syi’ar-syi’ar Islaam, maka ia adalah
negeri Islaam” (Pertemuan terbuka no. 166).
Tidaklah dipersyaratkan
bahwa satu negeri disebut Daarul-Islaam apabila di dalamnya diterapkan hukum
Islam secara menyeluruh. Tidaklah diterapkan hukum Islam secara menyeluruh
kecuali di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para
Al-Khulafaaur-Raasyidiin. Kemudian, seiring berjalannya waktu sebagian hukum tersebut
gugur (dalam penerapannya).
أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ:
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
الْمُهَاجِرِ، قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَتُنْتَقَضَنَّ عُرَى الإِسْلامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ
عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا:
الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ: الصَّلاةُ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin
‘Aliy bin Al-Mutsannaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Ibraahiim Al-Marwaziy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin
Muslim, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin Ismaa’iil bin
‘Ubaidillah bin Abil-Muhaajir, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku
Sulaimaan bin Habiib, dari Abu Umaamah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi
seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang
pertama kali terlepas adalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibbaan no. 6715; shahih).
Selain itu, terdapat banyak nash agar tetap
taat kepada pemimpin kaum muslimin yang dhalim lagi tidak menegakkan sebagian
sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dilarang untuk
memberontak selama ia masih berstatus muslim dan/atau masih menegakkan shalat. Padahal, status
Daarul-Kufr itu pada asalnya mengkonsekuensikan kaum muslimin untuk hijrah(1)
dan boleh memeranginya.
وحَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
حَسَّانَ. ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ،
أَخْبَرَنَا يَحْيَي وَهُوَ ابْنُ حَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ
سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ
حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: " قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا
بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟،
قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟، قَالَ: نَعَمْ،
قُلْتُ: كَيْفَ؟، قَالَ: يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ،
وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ
الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ
ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
"
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Sahl bin ‘Askariy At-Tamiimiy: Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Hassaan.
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daarimiy:
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Hassaan: Telah menceritakan kepada
kami Mu’aawiyyah bin Sallaam: Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Sallaam,
dari Abu Sallaam, ia berkata: Telah berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan: Aku
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejelekan,
lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah
kebaikan ini ada kejelekan?”. Beliau menjawab: “Ya”. Aku berkata: “Apakah
setelah kejelekan itu ada kebaikan?”. Beliau menjawab: “Ya”. Aku berkata: “Apakah setelah
kebaikan itu ada kejelekan?”. Beliau menjawab: “Ya”. Aku berkata: “Bagaimana
itu?”. Beliau bersabda: “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak
mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul
pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan
dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya: “Apa yang harus aku lakukan
jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab: “(Hendaknya) kalian mendengar dan
taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah
mendengar dan taat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847 (52)).
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ: " أَعَاذَكَ
اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ "، قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ
السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: " أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ،
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُمْ،
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَلَمْ
يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ حَوْضِي، يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ، وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ، أَوْ قَالَ: بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ
بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ،
النَّارُ أَوْلَى بِهِ، يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، النَّاسُ غَادِيَانِ
فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا، وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq:
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan
bin Saabith, dari Jaabir bin ‘Abdillah: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda kepada Ka’b bin ‘Ujrah: “Aku mohon perlindungan
kepada Allah untukmu dari imaaratus-sufahaa’ (para pemimpin yang bodoh)”. Ka’b
bin ‘Ujrah berkata: “Apakah yang dimaksud imaaratus-sufahaa’?”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Para pemimpin yang datang setelahku dimana
mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula mengambil sunnahku. Barangsiapa yang
membenarkan kedustaan mereka dan menolong kedhaliman mereka, maka ia bukan
merupakan golonganku dan aku pun bukan dari golongannya. Tidak pula mereka
mendatangiku kelak di Haudl-ku. Namun barangsiapa yang tidak membenarkan
kedustaan mereka dan tidak menolong kedhaliman mereka, maka ia termasuk
golonganku dan akupun termasuk golongannya. Dan kelak ia akan mendatangi
Haudl-ku.....” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/321. Al-Arna’uth dkk. mengatakan
sanad hadits ini qawiy dalam takhrij-nya atas Musnad Al-Imaam Ahmad, 22/332).
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ إِسْحَاق الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
الْوَهَّابِ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ أَبِي حَصِينٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَاصِمٍ
الْعَدَوِيِّ، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ تِسْعَةٌ: خَمْسَةٌ،
وَأَرْبَعَةٌ، أَحَدُ الْعَدَدَيْنِ مِنَ الْعَرَبِ، وَالْآخَرُ مِنَ الْعَجَمِ،
فَقَالَ: اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ
دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ، وَمَنْ
لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ
يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ
الْحَوْضَ "
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin
Ishaaq Al-Hamdaaniy: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab,
dari Mis’ar, dari Abu Hushain, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Aashim Al-‘Adawiy, dari
Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
keluar menuju kami. Kami waktu itu berjumlah sembilan orang yang terdiri dari lima orang dan
empat orang. Salah satu kelompok tersebut adalah
orang ‘Arab dan yang lain orang ‘Ajam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dengarkanlah !. Apakah kalian mendengarnya?. Akan ada setelahku nanti para
pemimpin. Barangsiapa masuk menemui mereka, lalu ia membenarkan kedustaan
mereka dan menolong kedhaliman mereka, maka ia bukan termasuk golonganku, dan
akupun bukan termasuk golongannya. Dan ia bukan pula termasuk orang yang datang
menemuiku kelak di Haudl. Barangsiapa yang tidak datang menemui mereka, tidak
menolong kedhaliman mereka, serta tidak membenarkan kedustaan mereka; maka
mereka itu termasuk bagian dariku, dan aku pun termasuk golongannya. Dan ia termasuk pula orang yang datang
menemuiku kelak di Haudl” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2259; shahih).
حَدَّثَنَا هَدَّابُ
بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَي، حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ،
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " سَتَكُونُ
أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ
سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ "، وَتَابَعَ، قَالُوا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ،
قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا "
Telah menceritakan kepada kami Haddaab bin
Khaalid Al-Azdiy: Telah menceritakan kepada kami Hammaam bin Yahyaa: Telah
menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Dlabbah bin Mihshan,
dari Ummu Salamah: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda: “Akan datang para penguasa, lalu kalian mengenal mereka namun kalian
mengingkari (perbuatan mereka). Barangsiapa yang mengetahui (kemunkarannya), hendaklah ia
berlepas diri; dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia telah selamat. Akan
tetapi, barangsiapa yang ridla (dengan perbuatannya) dan mengikutinya, (maka ia
berdosa/celaka)”. Para shahabat berkata: “Tidakkah kita perangi saja mereka?”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, selama mereka masih
shalat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1855).
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ
يُحَدِّثُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ " أَنَّ
رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ خَلَا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا؟،
فَقَالَ: إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي
عَلَى الْحَوْضِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al-Mutsannaa dan Muhammad bin Basysyaar, mereka berdua berkata: Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far: Telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, ia berkata: Aku mendengar Qataadah menceritakan dari Anas bin Maalik,
dari Usaid bin Hudlair: Bahwasannya ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar
berduaan dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: “Tidakkah
engkau mengangkatku sebagai pegawai sebagaimana engkau mengangkat Fulaan?”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian nanti akan
menemui atsarah (yaitu: pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – Abu
Al-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1845).
Adapun menjadikan tolok
ukur sebuah negeri sebagai Daarul-Kufr hanya karena tersebar dan nampaknya
dosa-dosa besar, kemaksiatan, kedhaliman, dan kelemahan dalam hukum dan
peradilan di dalamnya; maka itu merupakan madzhab Khawaarij dan Mu’tazilah.
Abu Bakr Al-Ismaa’iliy
rahimahullah berkata:
ويرون الدار دار
الإسلام لا دار الكفر كما رأته المعتزلة ، ما دام النداء بالصلاة والإقامة ظاهرين
وأهلها ممكنين منها آمنين
”Dan mereka (ulama ahli-hadits) berpendapat
bahwa negeri (bagi kaum muslimin) adalah Daarul-Islaam, bukan Daarul-Kufr
sebagaimana pendapat Mu’tazilah; selama nampak padanya seruan shalat (adzan)
dan iqamat, serta kaum muslimin dapat mengerjakannya dengan aman” (I’tiqaad
Ahlis-Sunnah, hal. 56).
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
وما زالت
الخوارج تخرج عَلَى الأمراء ولهم مذاهب مختلفة، وكان أصحاب نافع بْن الأزرق
يقولون: نحن مشركون مَا دمنا فِي دار الشرك، فَإِذَا خرجنا فنحن مسلمون قالوا:
ومخالفونا فِي المذهب مشركون، ومرتكبوا الكبائر مشركون، والقاعدون عَنْ موافقتنا
فِي القتال كفرة، وأباح هؤلاء قتل النساء والصبيان من المسلمين، وحكموا عليهم
بالشرك
“Khawaarij senantiasa keluar ketaatan terhadap
umaraa’, dan mereka mempunyai beberapa madzhab yang bermacam-macam. Para pengikut Naafi’ bin
Azraq berkata: ‘Kami berstatus musyrik selama kami tinggal di negeri syirik
(Daarusy-Syirk). Apabila kami keluar darinya, maka status kami adalah muslim’.
Mereka juga berkata: ‘Dan orang-orang yang menyelisihi kami dalam madzhab
adalah orang-orang musyrik. Para pelaku dosa besar adalah musyrik. Orang-orang yang
duduk berdiam diri untuk mendukung kami dalam peperangan, berstatus kafir’.
Mereka (Khawaarij) membolehkan membunuh wanita dan anak-anak kaum muslimin, dan
menghukumi mereka sebagai orang musyrik” (Talbiis Ibliis, 130-131).
Asy-Syarbiiniy rahimahullah berkata:
اعتقاد الخوارج:
أن دار الإمام (يعني إمام المسلمين) صارت بظهور الكبائر فيها دار كفر وإباحة.
فلذلك طعنوا في الأئمة، ولم يصلوا خلفهم، وتجنبوا الجمعة والجماعة
“I’tiqad Khawaarij adalah bahwa negeri imam
kaum muslimin menjadi daarul-Kufr dengan nampaknya dosa-dosa besar di dalamnya
dan diperbolehkan (untuk memeranginya). Oleh karena itu, mereka mencela para
pemimpin (kaum muslimin), tidak shalat di belakang mereka, dan menjauhkan diri
dari pelaksanaan Jum’at dan jama’ah (kaum muslimin)” (Mughnil-Muhtaaj, 4/124).
Ini saja yang dapat
dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
Bahan bacaan: Al-Ghulluw
fid-Diin oleh ‘Abdurrahmaan Al-Luwaihiq, Daarul-Islaam wa Daarul-Harb oleh
‘Aabid As-Sufyaaniy, Masaail min Ahkaam Daaril-Islaam wa Daaril-Kufr oleh
‘Abdul-Haqq At-Turkumaaniy, dan yang lainnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat
Muslim no. 1731 di bagian awal artikel. Juga riwayat:
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ أَبِي خَالِدٍ،
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً إِلَى خَثْعَمٍ،
فَاعْتَصَمَ نَاسٌ بِالسُّجُودِ، فَأَسْرَعَ فِيهِمُ الْقَتْلَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ لَهُمْ بِنِصْفِ الْعَقْلِ
وَقَالَ: " أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ
الْمُشْرِكِينَ "، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: " لَا
تَرَايَا نَارَاهُمَا "
Telah menceritakan kepada kami Hannaad: Telah
menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari
Qais bin Abi Haazim, dari Jariir bin ‘Abdillah: Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus sariyyah (pasukan) menuju
Khats’am. Lalu ada beberapa orang yang mencari perlindungan dengan melakukan sujud
(shalat), namun pasukan segera membunuh orang-orang tersebut. Sampailah khabar
itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian beliau
memerintahkan kepada mereka (orang yang membunuh) untuk membayar setengah
diyat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku berlepas diri dari
setiap muslim yang tinggal di tengah orang-orang musyrik”. Para shahabat
bertanya: “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Agar tidak saling melihat kedua api mereka” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 1696; sanadnya shahih).
Riwayat ini di-ta’lil
oleh Al-Bukhaariy dan yang lainnya bahwa yang shahih adalah mursal. Ada ta’qiib
yang sangat bagus dari Al-Arna’uth dalam Takhriij Sunan Abi Daawud, 4/281-283.
Posting Komentar untuk "Penjelasan Lengkap Daarul Islam Daarul Muhaajirin Daarul Hijrah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.