Beban Psikologis Anak Mondok Usia Dini
Dia berdiam seorang diri menatap gelapnya malam diluar bangunan asrama tepatnya di selasar menuju masjid sambil termenung. Sementara santri santri lainnya asyik bercengkrama di kamar asrama dan sebagian bersiap siap untuk tidur, karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB.
Aku lihat dia melihat ku keliling di depan
2 asrama besar, karena kebetulan malam itu aku punya kesempatan untuk
nengok keadaan santri di malam hari. Kemudian aku hampiri santri
tersebut.
"Assalamualaikum kaifa hal
Hanif ?" Tanyaku. "Bekher ustadz", jawab santri tersebut sambil
malas menanggapi sapaanku, kemudiaan aku lanjutkan, berbincang dengannya,
" Eich udah kabir (besar) kok nangis ?", tanyaku lagi, "Iya
ustadz kemaren katanya mama, mau kesini jenguk aku, tapi g jadi jadi.
Padahal janjinya hari ini ke sini," katanya dengan wajah murung.
Oh... mau telepon mama nanya jam berapa
berangkat ke sininya ?" Tanyaku...
Ia mengangguk dan wajahnya jadi sumringah.
Kupinjamkan HP, dan dia bercakap di
depanku...
Mama jadi kesini jam berapa? Tanyanya....
Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya
berkaca-kaca.
Oh .... iya.... iya udah gak apa-apa...
tapi nanti mama jenguk aku yaa?? Kapan ma??
Wajahnya terlihat semakin kecewa dan air
matanya mulai jatuh, di serahkan hp yang masih tersambung.
Halo.. assalamualaikum... afwan um,
gimana? Tanyaku...
Iya ustadz.. tolong kasih pengertian anak
saya yaa... saya gak bisa jenguk. Sebenernya sih kita emang gak mau sering
jenguk, karena kita gak mau dia terlalu manja. Dia bulak-balik minta ijin
pulang, cuma takutnya kalau dibawa pulang dia gak mau balik lagi ke pondok.
Biarin aja lah mau nangis terus sekarang ini, ana insya Allah percaya
sama pondok, nanti juga lama-lama biasa, kata sang bunda di ujung telepon sana.
Keningku mengernyit mendengar ucapan sang
bunda, gak dijengukin aja um, barang sesekali, soalnya tidak hanya sekali ini
saya dapatin putranya nangis terus, mohon kasih pengertian putranya? Kasihan um
putranya sedih. Ku coba melobby hatinya...
Enggak lah ustadz, biarin aja. Nanti juga
lama-lama biasa, suaranya terdengar yakin diujung telepon...
Baiklah... bukankah setiap orang tua
memiliki hak memilih cara mendidik anak-anaknya.
Ku tutup telepon, ku tarik nafas panjang
dan menghembuskanya pelan-pelan. Kutatap mata berurai air mata tanpa isak,
hanya ditemani tatapan kosong entah memandang apa.
Mama belum bisa kesini Nif... nanti kalau
mama gak repot mama mu nanti ke sini. Sementara ini biarkan ustadz yang
jadi orang tua buat mu yaa... boleh? Tanyaku...
Dia mengangguk lemah, air matanya semakin
banjir, kali ini pundaknya hingga terguncang-guncang menahan isak. Sesak
rasanya dada ini melihatnya, tapi kucoba untuk berusaha menenangkannya.
Yaa sudah... keluarin aja sedihnya sampai
puas.. boleh kok nangis..boleh kataku...kubiarkan dia menangis.
Aku kayak dibuang ustadz, santri lain di
telepon, ditengok, diajak jalan ke Salatiga, Solo, Yogya, sedangkan aku enggak.
Ana sedih tadz, gak ada tempat ngadu, gak ada tempat cerita, ana sendirian
ucapnya ditengah isak.
Iyaa... sekarang kan yang nengok ustadz,
kamu kan g sendirian, ada musyrif ada wali kelas. ada teman teman kamu yang
juga dari jauh mondok disini.., sudahlah nanti kamu boleh cerita ke
ustadz, boleh ngadu, "g usah takut dibilang "lemes"
(*_sering ngadu*_) "istilah santri di pondok". Sembari menenangkan.
Dia menganggukk.. perlahan tangis dan
isaknya mereda.
Dia bercerita bagaimana dia merasa
tertekan atas sikap teman-teman sekelasnya, merasa terintimidasi dengan sikap
teman sekamarnya. Ia sedang merasa sedih karena merasa diperlakukan tidak adil.
Aku hanya mendengarkan hingga ia selesai bercerita lalu memberi sedikit
nasehat. Ia semakin terlihat tenang.
Makanan kesenanganmu apa? Tanyaku
Sop Iga.. jawabnya..
Ya udah nanti minggu depan In sya Allah
kita jalan ke Salatiga, tahu Joglo Bu Rini kan... disana sop iganya enak
lho...
Beneran ustadz soalnya ana sering denger
santri lain klo diajak makan sama ortunya kesitu, katanya "Ajib
stadz" tpi ana g tahu tempatnya ? Tanyanya...
Insya Allah nanti ustadz ajak kamu. cuma
enak apa enggaknya enggak tau, kan ustadz g tahu kayak apa seleramu, yang
penting nanti kita jalan....kataku
Dia tersenyum....
Ustadz g pulang... ini sudah malam ?
Iya bentar lagi ? Tapi kamu jangan nangis
lagi yaaa...
ustadz sdh biasa kok sampai malam kayak
gini, kan g sering sering.
Wajahnya jadi sumringah....
Udah sana segera tidur sudah hampir jam
23.00, jangan lupa lapor musyrif nanti dighoib lho.. semangat yaa nak...
Dia tersenyum dan kembali bersemangat.
Melihatnya berlari-lari kecil membuatku
terharu...sesederhana itu saja sebenarnya menyenangkan hatimu...
Bagiku intensitas kita berkomunikasi dan
menjenguk anak-anak bukan soal percaya tidak percaya pada pihak pondok. Tapi
soal kewajiban orang tua memenuhi hak psikologis anak yang masih jadi kewajiban
orang tua.
Anak laki-laki usia 12-13 tahun belum usia
baligh dimana dalam islam dianjurkan untuk dekat dengan orang tuanya.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada
yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai
baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa
hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut sebenarnya membicarakan
tentang pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang
berhak mengasuh anak tersebut.
Namun hadits itu juga mengandung faedah
lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari
ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh
kasih sayang orang tua, terutama ibunya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan
berbagai media yang mengancam aqidah dan akhlak, maka kebanyakan orang
tua yang sadar akan dampak negatif tersebut, banyak memilih
memasukkan anaknya kedalam pesantren agar tertanam erat aqidah dan akhlaknya,
tapi bukan berarti boleh melepaskan begitu saja hak anaknya untuk dekat dengan
orang tua.
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu
Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan
memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi
no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Maka untuk mengakomodir kewajiban orang
tua menanamkan aqidah dan akhlak mulia anak dan melindungi dari lingkungan yang
berpotensi merusak akhlak, sebelum usianya baligh beberapa orang tua yang
memiliki dasar pemahaman sesuai hadits ini akan menjaga kualitas komunikasi dan
kedekatan dengan anak.
Banyak orang tua berpikir..aah lama-lama
juga terbiasa...lama-lama juga betah tanpa mempertimbangkan hak psikologis dan
batin anak. Menjadi betah di pondok karena sekedar terbiasa akan berbeda
hasilnya dengan menjadi betah karena merasa pondok tak ubahnya rumah yang tetap
terisi aroma kasih sayang orang tua karena proses adaptasi bertahap dengan
pendampingan orang tua.
Pondok yang paling cocok dengan anak-anak
diusia dini bukanlah pondok yang walaupun jauh dengan memiliki asatidzah yang
hebat dan fasilitas yang mantap, tapi pondok yang dekat dan tidak menjauhkan
anak anak baik dari segi jarak maupun mental, agar chemistry kedekatan anak dan
orang tua tetap terjaga. Dan ingatt usia 12-14 tahun adalah masa pubertas anak
yang sarat dengan gejolak jiwa yang perlu kedekatan komunikasi.
Berapa banyak anak yang lulus pondok
kualitas akhlak dan aqidahnya lebih buruk daripada yang tidak mondok?
Berapa banyak orang yang hafidz Alquran
namun gagal mengimplementasikan makna alquran sesungguhnya.
Berapa banyak anak yang lulus dari pondok
kehilangan kelembutan cinta karena merasa kurang dicintai.
Berapa banyak anak yang justru hambar
hubungannya dengan orang tua dan menjalankan kewajibannya pada orang tua hanya
sekedar kewajiban tanpa cinta.
Walau bagaimanapun semua tergantung
anaknya dan orang tuanya. Karena ustadz / ustadzah hanyalah fasilitator dan
fasilitas hanyalah pendukung. Sedang dasar akhlak dan aqidah anak anak tetaplah
kewajiban kita sebagai orang tua karena kita yang akan dihisab soal itu, bukan
ustad/ustadzahnya.
Banyak orang tua mampu menjadikan
anak-anak yang shalih, tapi tidak semua anak shalih ingat untuk selalu ingat
mendoakan orang tuanya saat ada, apalagi setelah tiada. Karena antara ada dan
tiada orang tua, mereka biasa merasa orang tuanya tidak ada di masa-masa
ia membutuhkannya.
Semoga kita bisa jadi orang tua yang
dirindukan surga karena doa anak-anak shalih kita. In syaa Allah.
Barokallahu fiikum,
Renungan untuk kita semua yang anaknya di
pondok....
Pesan untuk para orangtua yang melepas
putra-putrinya di Didik di pesantren
"Kalau mau punya anak bermental kuat,
orangtua-nya harus lebih kuat, punya anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi
juga bermanfaat untuk umat, orangtua harus berjuang lebih ikhlas.. ikhlas..
ikhlas".
Anak-anak mu di pondok pesantren gak akan
mati karena kelaparan, gak akan bodoh karena gak ikut les ini dan itu, gak akan
terbelakang karena gak pegang "gadget". Insya Allah Anakmu akan
dijaga langsung oleh Allah karena sebagaimana janji Allah yang akan menjaga
Alqur'an..yakin.. yakin..dan harus yakin.
Lebih baik kamu menangis karena berpisah
SEMENTARA dengan anakmu untuk menuntut ilmu agama, dari pada kamu nanti
"yen wes tuwo nangis karena anak-anak mu lalai urusan akhirat.. kakean
mikir ndunyo, rebutan bondo, pamer rupo..lali surgo.." (kalau sudah tua
menangis karean anak2 kamu lalai thdp urusan akhirat....kebanyakan memikirkan
urusan dunia, berebut harta, pamer rupa wajah...lupa surga)
“Jadi wali santri itu harus punya 5 sifat
dan sikap, yaitu T.I.T.I.P."
Tega, Ikhlas,
Tawakkal, Ikhtiar, Percaya
1.Tega
Harus tega… harus tega… harus tega… harus
percaya kalau di pesantren anakmu itu dididik bukan dibuang. Harus tega, karena
pesantren adalah medan pendidikan dan perjuangan.
2.Ikhlas
Harus ikhlas…harus sadar kalau anakmu itu
tidak akan dibiarkan terlantar… harus ikhlas anakmu dididik, dilatih, ditempa,
diurus, ditugaskan, disuruh hafalan, dan sebagainya… kalau merasa anakmu dibuat
nda senyaman hidup dirumah… ambil anakmu serkarang juga.!
3.Tawakkal
Setelah itu serahkan sama Allah.
Berdoalah! Karena pesantren bukan tukang sulap, yang bisa merubah begitu saja
santri-santrinya… maka berdoalah…
4.Ikhtiar
Dana dan do'a. Ini adalah kewajiban.
Amanat.
5.Percaya
Percayalah bahwa anak kalian ini dibina,
betul-betul DIBINA. Apa yang mereka dapatkan disini adalah bentuk pembinaan.
Jadi kalau melihat anak-anakmu diperlakukan bagaimanapun, percayalah itu adalah
bentuk pembinaan. Itu adalah pendidikan.
Jadi, jangan SALAH PAHAM !
Jangan SALAH SIKAP !
Jangan SALAH PERSEPSI !
Mereka itu beribadah dengan menuntut ilmu
Mereka selalu diajarkan untuk mendoakan
ibu-bapaknya.
Mereka pergi untuk kembali.
Bertemulah dan telponlah sang buah hati
agar CINTA makin berkembang.
(Cerita dari salah satu ustadz di pesantren di Al Irsyad Salatiga)
Oleh : Hijaab Inas kamila
Sumber : Grup wali santri MTW 7C Pesantren
Islam Al-Irsyad Tengaran 2 Majalengka
Sumber versi awal (20 Sept 2016): Fb
Ernydar Irfan
Dan Tambahan dari berbagai Sumber artikel lainnya.
Posting Komentar untuk "Beban Psikologis Anak Mondok Usia Dini"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.