Menepis Syubhat Tulisan "Berbagi Kisah Melepas Hijab" - Ustadz Abdullah Zaen Purwokerto
Tulisan “Berbagi Kisah Melepas Hijab” karya Azizah Alfadillah sarat dengan syubhat berbahaya yang perlu diluruskan secara ilmiah dan bijak, bukan dengan cacian, tapi dengan kasih sayang dan kebenaran syar’i. Berikut adalah pembahasan dan bantahan sistematis terhadap beberapa syubhat utama dalam tulisan tersebut.
🧠 1. Syubhat: Berhijab
karena oktrin dan tekanan, bukan karena kesadaran
“Saya mulai berjilbab
karena peraturan sekolah...”
✅ Bantahan:
Alasan awal seseorang
berhijab mungkin karena lingkungan atau aturan. Tapi itu bukan cela, melainkan
jalan awal hidayah. Banyak kebaikan yang dimulai dari kebiasaan, lalu berujung
pada keimanan.
🔹 Dalil:
“Sesungguhnya amal itu
tergantung pada niatnya...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya: Niat bisa tumbuh
seiring amal. Jadi bukan berarti amal itu batal hanya karena niat awal belum
sempurna.
🚫 2. Syubhat: Trauma
dengan ajaran Islam karena ustadz sering bicara neraka, azab, dan dosa
“Dakwah ustadz-ustadz
Salafi rutin berkutat soal neraka, kematian, azab, dan surga hingga saya
trauma…”
✅ Bantahan:
Allah dan Rasul-Nya
memang menyampaikan peringatan (takhwif) tentang neraka, tapi juga kabar
gembira (tabsyir) tentang surga. Keseimbangan ini penting untuk membentuk iman
yang hidup, bukan trauma.
🔹 Dalil:
مبشرين ومنذرين...”
“Sebagai pemberi
peringatan dan kabar gembira...” (QS. Al-Kahfi: 56)
Jika seseorang trauma
karena mendengar peringatan, itu bukan salah ajarannya, melainkan cara menerima
atau cara menyampaikan yang perlu dibenahi. Jangan karena dokter menjelaskan
bahaya rokok, lalu kita trauma dengan dunia medis.
❌ 3. Syubhat: Melepas
jilbab demi ketenangan batin dan berpikir rasional
“Saya merasa ini bukan
saya. Saya harus berpikir dengan akal dan nalar saya sendiri…”
✅ Bantahan:
Akal dan nalar bukan alat
satu-satunya dalam beragama. Islam menempatkan akal sebagai pelayan wahyu,
bukan pengganti wahyu. Jika semua dikembalikan pada nalar masing-masing, maka
tak ada lagi yang bisa disebut kebenaran mutlak.
🔹
Dalil:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ...
“Tidaklah patut bagi
mukmin, laki-laki dan perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
🧕 4. Syubhat: Hijab adalah
pilihan individual yang bisa disesuaikan dengan kenyamanan
“Akhirnya... saya memilih
untuk melepas jilbab…”
✅ Bantahan:
Jilbab adalah kewajiban
syar’i, bukan preferensi pribadi.
🔹
Dalil-dalil kewajiban hijab:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al-Ahzab: 59)
“Katakanlah kepada wanita
yang beriman agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, dan
jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak…” (QS. An-Nur:
31)
Para mufassir menyepakati
bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya menutup aurat, termasuk menutup rambut dan
dada dengan khimar atau jilbab.
🔍 5. Syubhat: Islam tidak
boleh diikuti secara buta (taqlid), harus berpikir terbuka
“Jangan mengikuti tafsir
tunggal, kita harus mempertanyakan doktrin...”
✅ Bantahan:
Benar bahwa Islam tidak
mengajarkan taqlid buta, tapi Islam tidak menyerahkan agama kepada logika liar
tanpa batas. Harus ada batas-batas yang diatur wahyu. Ulama bukan untuk
dituhankan, tapi juga bukan untuk dicampakkan.
🔹
Dalil
فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tanyalah kepada ahli
ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Kalimat “doktrin tafsir
tunggal” sering digunakan untuk menolak kewajiban agama yang sudah disepakati
ulama, lalu diganti dengan relativisme tafsir, yang akhirnya menjatuhkan
seluruh bangunan syariat.
🧩 6. Syubhat: Masalah
mental saya berasal dari ajaran agama
“Saya didiagnosis
bipolar… karena doktrin tafsir tunggal…”
✅ Bantahan:
Gangguan mental bukanlah
hasil langsung dari ajaran agama, tapi bisa jadi berasal dari beban hidup,
kelelahan psikis, luka masa lalu, atau cara yang salah dalam menyikapi agama.
Islam tidak menyebabkan
gangguan jiwa, bahkan justru menjadi obat jiwa bagi yang mendekat dengan benar.
🔹
Dalil:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Kalau seseorang menyikapi
Islam dengan pendekatan yang keras, kaku, dan tidak seimbang, maka yang perlu
dibenahi adalah pendekatan dan pemahaman, bukan ajaran Islamnya.
🧭 7. Syubhat: Mengikuti
Quraish Shihab sebagai pembebas dari tekanan agama
“Saya merasa sangat
dimanusiakan setelah membaca buku Pak Quraish Shihab...”
✅ Bantahan:
Kita menghormati setiap
ilmuwan Muslim, termasuk Prof. Quraish Shihab. Tapi tidak semua pendapat beliau
diterima ulama karena beberapa tafsirnya longgar dan menyelisihi ijmak,
termasuk dalam hal jilbab.
Mayoritas ulama tafsir
dari kalangan sahabat dan tabi’in seperti Ibn Abbas, Qatadah, Mujahid, dan
lainnya telah sepakat bahwa menutup rambut adalah kewajiban, bukan pilihan
opsional. Maka tidak adil menjadikan tafsir longgar sebagai justifikasi
melepaskan kewajiban.
🔚 Kesimpulan dan Penutup
Jilbab adalah perintah
Allah, bukan tekanan budaya atau tafsir tunggal.
Mengalami tekanan hidup
bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban syariat.
Ajaran Islam tidak
membuat gila, justru menenangkan hati bagi yang mau belajar dengan benar.
Mengalami gangguan psikis
adalah ujian, bukan bukti ajaran Islam salah.
“Relativisme tafsir
adalah pintu kerancuan dan pelonggaran hukum Allah”.
Hidayah tidak selalu
datang dari rasa nyaman, tapi dari keberanian menundukkan hawa nafsu dan sabar
atas perintah Allah.
Ditulis oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA. حفظه اللّٰه

Posting Komentar untuk "Menepis Syubhat Tulisan "Berbagi Kisah Melepas Hijab" - Ustadz Abdullah Zaen Purwokerto"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.