Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 36 – Bertaqwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu

Allah berfirman:

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghabun: 16)

Ini merupakan salah satu kaidah syariat yang dijadikan para ulama sebagai acuan dalam fatwa-fatwa mereka.

Kaidah Qur`āniy yang baku ini disebutkan dalam surah At-Tagābun. Ada yang bagus disampaikan di sini untuk merenungkan konteksnya, terlebih lagi karena kaidah ini dimulai dengan huruf fā` (maka) yang dinamakan oleh sebagian ulama sebagai fā`u at-tafrī` (perincian), maksudnya bahwa apa yang disebutkan setelah huruf tersebut merupakan cabang/bagian dari apa yang disebutkan sebelumnya. Karena sebelum menyebutkan kaidah ini, Allah Ta’ālā berfirman yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS. At-Tagābun: 14-15, Lihat: https://tafsirweb.com/10958-surat-at-taghabun-ayat-14.html)

Kemudian datang pelengkapnya setelah itu, yaitu firman Allah:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah (kepada Rasulullah); dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Tagābun: 16, Lihat: https://tafsirweb.com/10960-surat-at-taghabun-ayat-16.html)

Maksudnya, “Jika kalian sudah mengetahui ini, maka bertakwalah kepada Allah terkait hal-hal yang wajib kamu bertakwa di dalamnya, seperti berinteraksi dengan anak-anak, pasangan, dan penggunaan harta. Maka jangan sampai kecintaan kepada semua itu dan kesibukan kalian dengannya menghalangi kalian untuk melaksanakan berbagai kewajiban. Jangan sampai kemarahan dan sikap semisalnya mengeluarkan kalian dari sikap adil yang diperintahkan; jangan sampai kecintaan kalian kepada harta menghalangi kalian untuk menunaikan kewajiban terkait harta tersebut dan mencarinya dengan cara-cara yang halal. Maka, perintah bertakwa mencakup semua larangan di atas dan juga menjadi motivasi untuk memaafkan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dan juga karena hal lainnya… Dan karena kadang-kadang seseorang ditimpa kelalaian dalam merealisasikan takwa itu lantaran lebih berharap ingin memenuhi syahwat diri dalam berbagai kesempatan, maka perintah takwa di sini dipertegas dengan firman-Nya: “Menurut kesanggupanmu.” Dan itu berlaku untuk semua zaman dan keumuman kesanggupan itu sendiri. Jadi, dalam firman Allah: “Menurut kesanggupanmu” bukan berarti sebagai pemberian keringanan dan juga bukan penambahan beban, tetapi itu merupakan keadilan dan keobjektifan. Di dalamnya terdapat apa yang menjadi tanggung jawab mereka sebagaimana di sana juga terdapat hal-hal yang menguntungkan mereka.” (At-Taḥrīr wa at-Tanwīr, 28/258, dengan sedikit perubahan)

Kaidah Qur`āniy yang baku ini menunjukkan dengan jelas bahwa setiap kewajiban yang tidak sanggup dilakukan oleh seorang mukalaf maka kawajiban itu jadi gugur darinya. Jika dia sanggup untuk melakukan sebagian yang diperintahkan dan tidak bisa melakukan sebagian lainnya, maka dia hanya melakukan apa yang sanggup dilakukannnya, sementara yang tidak sanggup dilakukannya menjadi gugur. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim dari hadis Abu Hurairah, “Jika aku memerintahkan kalian dengan sebuah perintah maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.”

Jadi, banyak sekali cabang-cabang persoalan yang tidak bisa dihitung yang masuk ke dalam kaidah syariat ini.

Kita akan menyebutkan beberapa contoh yang akan memperjelas kaidah ini:

1. Contoh pertama adalah kejadian yang membuat Nabi ṣallallāhu ‹alaihi wa sallam menyampaikan ucapannya yang sangat ringkas dan padat tadi, yaitu: «Jika aku memerintahkan kalian dengan sebuah perintah maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian.» Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Sahihnya dari hadis Abu Hurairah, dia berkata, «Rasulullah ṣallallāhu ‹alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami dengan mengatakan, ‹Wahai manusia! Sungguh, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka laksanakanlah haji itu.› Seorang laki-laki berkata, ‹Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?› Maka beliau diam, sehingga laki-laki itu mengulanginya sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah ṣallallāhu ‹alaihi wa sallam bersabda, ‹Kalau aku katakan, ‹Ya›, maka (haji setiap tahun) itu akan wajib, dan kalian pasti tidak akan sanggup (melakukannya).› Kemudian beliau melanjutkan, ‹Biarkan aku dengan apa yang aku tinggalkan! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian celaka karena kebanyakan pertanyaan mereka, dan penyimpangan yang mereka lakukan terhadap para nabi mereka. Jika aku memerintahkan kalian dengan sebuah perintah maka lakukanlah menurut kesanggupan kalian, dan jika aku melarang kalian melakukan sesuatu maka tinggalkanlah›.»

          2. Di antara penerapan kaidah ini adalah jika berkumpul antara kemaslahatan dan kerusakan, apabila saat itu memungkinkan untuk mendapatkan kemaslahatan serta menghilangkan kerusakan, maka kita harus melaksanakannya sebagai bentuk pengejawantahan perintah Allah terhadap keduanya, berdasarkan firman Allah Subḥānahu wa Ta›ālā: «Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.» Namun jika kerusakan tidak bisa dihilangkan dan kemaslahatan tidak bisa diraih, sementara kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatannya maka kita hendaknya menghilangkan kerusakan dan tidak mempedulikan kehilangan kemaslahatan. Allah Ta›ālā berfirman:

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya’.” (QS. Al-Baqarah: 219, Lihat: https://tafsirweb.com/851-surat-al-baqarah-ayat-219.html)

Allah mengharamkan keduanya karena kerusakannya lebih besar daripada manfaatnya.

          3. Yang wajib dilakukan ketika hendak salat adalah bersuci dengan air. Jika tidak ada air, atau tidak bisa dipakai, maka orang boleh berpindah ke tayamum sebagaimana sudah diketahui.

          4. Salat fardu pada asalnya dilakukan orang dalam keadaan berdiri. Jika dia tidak sanggup maka dia salat sambil duduk, dan jika tidak sanggup maka dia salat sambil berbaring, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis ‹Imrān bin Ḥuṣain. Termasuk di dalamnya melakukan semua syarat, rukun, dan wajib-wajib salat.

          5. Pada waktu berpuasa, seorang muslim wajib menahan diri dari semua yang membatalkannya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Jika puasa memberatkannya maka dia boleh berbuka dan menggantinya dengan memberikan makanan (kepada fakir miskin).

          6. Di manasik haji, orang yang tidak mendapatkan tempat di Mina atau Muzdalifah maka dia boleh tinggal di tempat mana saja yang bisa didapatkannya. Demikian juga dengan orang yang tidak sanggup untuk melempar (Jamrah) karena sebab yang legal secara syariat. Barangkali pelaksanan ibadah haji merupakan rukun Islam yang paling banyak cabangnya untuk penerapan kaidah yang agung ini.

          7. Di antara bentuk penerapan kaidah agung ini dalam bab amar makruf nahi mungkar adalah seorang mukalaf berkewajiban untuk mengingkari kemungkaran dengan tangannya jika dia sanggup. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup juga maka dengan hatinya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Abu Sa’īd Al-Khudriy yang disebutkan di dalam Kitab Sahih Muslim.

          8. Dalam bab nafkah, orang yang wajib memberikan nafkah wajib namun tidak sanggup melaksanakan semuanya, maka dia memulainya dengan nafkah istrinya, kemudian budaknya, kemudian anaknya, kemudian kedua orang tuanya, kemudian keluarga terdekat, kemudian keluarga dekat. Demikian juga dengan pembayaran zakat fitrah.

Dari contoh-contoh tersebut menjadi jelas bagi kita keagungan kaidah ini dalam syariat suci ini, yang dibangun atas dasar kemudahan dan keluwesan. Kita berdoa pada Allah semoga memberikan hidayah kepada kita dalam menjalankan agama yang lurus ini, dan mengukuhkan kita di dalam agama tersebut sampai berjumpa dengan-Nya. Dan semoga Dia memberikan kita pemahaman dan kejernihan berfikir dalam agama ini.

(Qawaid Qur’aniyyah 50 Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah Al Muqbil)

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 36 – Bertaqwalah Kepada Allah Menurut Kesanggupanmu"