Kebolehan Doa Makan Allahumma Barik Lana Fima Razaqtana - Ustadz Aris Munandar
![]() |
Kabeldakwah.com |
Ada sebuah kaidah penting
terkait berdoa atau berdzikir dengan teks yang terdapat dalam hadis dhaif,
dhaif jiddan, hadis palsu atau pun sama sekali tidak terdapat dalam hadis Nabi
SAW.
Kaidah ini disampaikan oleh salah seorang ulama salafy kontemporer dari kota Nabi, al-Madinah an-Nabawiyyah, Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili.
وهذه قاعدة عند أهل
العلم، الأذكار والأدعية المناسبة للمقام إذا لم تنسب إلى النبي صلى الله عليه
وسلم ولم يلتزمها الإنسان فلا بأس بقولها ولو لم ترد في حديث صحيح.
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili mengatakan, “Sebuah
kaidah yang dipegangi oleh para ulama mengatakan bahwa dzikir atau doa yang
sesuai dengan konteks jika tidak dinisbatkan dan diyakini berasal dari Nabi SAW
dan tidak diucapkan secara terus menerusnya hukumnya tidak mengapa meskipun
tidak terdapat dalam hadis yang shahih.
وهذا أمر من الفقه
العظيم الذي ينبغي أن يعرف.
Kaidah ini bagian dari
kedalaman ilmu (dalam bab dzikir dan doa) yang sangat agung. Kaidah ini sepatutnya diketahui.
ولهذا أمثلة: عندما
يقول الإنسان بعد القراءة صدق الله العظيم نقول: إذا قال على أنه سنة نقول: لا،
إذا التزمها في كل قراءة نقول: لا، إذا قرأها أحياًنا وقال صدق الله العظيم حينا
فإّنا لا ننكر عليه.
Kaidah ini memiliki beberapa contoh, ada
seorang yang setelah membaca al-Qur’an mengucapkan shadaqallahul ‘azhim kami. Kami katakan jika orang
tersebut berkeyakinan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah/tuntunan dari Nabi
SAW, tidak boleh.
Jika orang tersebut
membacanya setiap kali selesai membaca al-Qur’an, kami katakan itu tidak boleh.
Jika tersebut kadang
mengucapkan shadaqallahul ‘azhim maka kita tidak boleh menyalahkannya.
أعطيت أحدا ماء فقال:
أسقاك الله من الكوثر أو من حوض النبي صلى الله عليه وسلم، إذا لم يعتقد أنها سنة
ولم يلتزمها كّلما أعطاه إنسان ماء قلنا: لا بأس؛ لأنه دعاء مناسب للمقام.
Anda memberi air minum
kepada seseorang lantas orang tersebut mendoakan anda dengan mengatakan “semoga
Allah memberikan kepadamu minuman dari sungai al-Kautsar atau dari telaga Sang
Nabi SAW”.
Jika orang tersebut tidak
menyakini bahwa kalimat doa tersebut berasal dari tuntunan Nabi SAW/ sunnah
Nabi SAW dan tidak terus menerus mengucapkannya setiap kali diberi air minum,
kami katakan hukumnya tidak mengapa. Alasannya karena kalimat tersebut adalah
teks doa tersebut sesuai konteks”.
Syarh Adab al-Masy’I ila
ash-Shalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab oleh Syaikh Sulaiman
ar-Ruhaili hlm 13.
Berdasarkan uraian di
atas sebuah teks doa atau dzikir semisal bacaan tashdiq (shadaqallahul ‘azhim)
yang terdapat dalam hadis dhaif, dhaif jiddan, hadis palsu atau sama sekali
tidak terdapat dalam al-Qur’an atau pun hadis alias karangan manusia itu boleh
dibaca dalam kondisi tertentu dengan tiga syarat.
Pertama, teks doa atau
dzikir itu sesuai dengan konteks dari kondisi tertentu tersebut. Bacaan tashdiq
setelah baca al-Qur’an itu selaras dengan konteks. Doa karangan sendiri ‘semoga
Allah berikan kepadamu minuman dari sungai al-Kautsar’ saat ada yang memberi
minuman pelepas dahaga adalah doa yang sesuai konteks.
Kedua, orang yang
mengucapkannya tidak menyakini bahwa bacaan tersebut berasal dari Nabi SAW.
Artinya tidak menyakini bahwa kalimat tersebut adalah sunnah Nabi SAW.
Kedua, tidak diucapkan
secara terus menerus setiap kali berada dalam kondisi atau konteks tersebut.
Misal bacaan tashdiq tidak dibaca setiap kali selesai membaca al-Qur’an hanya
dibaca saat ikut kegiatan lomba al-Qur’an.
Jika tiga syarat tersebut
dipenuhi, bagi Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili doa atau bacaan dzikir yang tidak
berdalil sekali pun boleh dibaca.
Kaidah ini dilabeli oleh
Syaikh Sulaiman sebagai al-fiqh al-azhim, kedalaman ilmu yang agung karena
dengan kaidah ini seorang muslim tidak bermudah-mudah menyalahkan orang lain
yang membaca dzikir atau doa yang berasal dari hadis yang tidak shahih.
Realita di lapangan
dakwah menunjukkan apa yang beliau katakan. Banyak aktivis pengajian yang
mengingkari dan menyalahkan teks doa atau bacaan dzikir orang lain karena tidak
tahu atau tidak mengamalkan kaidah di atas.
Andai para aktivis
pengajian salafy mempraktikkan kaidah ulama salafy ini tentu kegaduhan dan
keributan di medsos dan di dunia nyata akan berkurang secara signifikan.
Pengetahuan dan penerapan
kaidah ini akan mengurangi atau menghilangkan kegaduhan soal doa mau makan yang
sangat popular di Tengah-tengah umat Islam Indonesia.
«عمل
اليوم والليلة لابن السني» (ص406):
457 - حَدَّثَنِي
فَضْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى
بْنِ سُمَيْعٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، رضي الله عنه،
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الطَّعَامِ إِذَا
قُرِّبَ إِلَيْهِ: «اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ، بِسْمِ اللَّهِ»
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Nabi SAW
itu jika disuguhkan kepada beliau makanan beliau berdoa “allahumma barik lana
fima razaqtana waqina adzabannar, bismillah” HR Ibnu Sunni dalam kitabnya Amal
Yaumi wal Lailah no 457 hlm 406 dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 7/428.
Kualitas hadis ini adalah dhaif jiddan karena
keberadaan salah seorang perawi bernama Muhammad bin Abi az-Zu’aizi’ah.
Meskipun demikian teks
doa yang ada dalam hadis ini selaras dengan konteks hendak makan karena isinya
adalah permintaan agar makanan yang disajikan itu mendapatkan keberkahan dari
Allah.
Oleh karena itu
berdasarkan kaidah dari Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili di atas doa mau makan dengan
allahumma barik lana itu hukumnya boleh, tidak mengapa asalkan:
1) orang yang
mengucapkannya tidak menyakini bacaan allahumma barik lana sebagai teks doa mau
makan dari Nabi SAW.
2) doa ini tidak terus
menerus dibaca setiap kali mau makan namun kadang dengan allahumma barik lana,
kadang bismillah saja, kadang dengan teks doa yang lain.
Sebenarnya syarat kedua
tersebut tidak terlalu penting. Jika seorang itu membiasakan membaca doa
allahumma barik lana asalkan tanpa keyakinan bahwa itu sunnah Nabi SAW atau itu
adalah teks doa yang yang Nabi SAW ajarkan sudah cukup.
Banyak anak pengajian
masa kini jika kawannya pamitan mau pergi atau mengetahui kawannya sedang dalam
perjalanan merespon dengan teks doa “fi amanillah”, semoga dalam perlindungan
Allah dan ini dijadikan sebagai kebiasaan. Mereka, anak-anak pengajian tersebut
tidak mempermasalahkan hal ini dan tidak menilainya sebagai bid’ah dalam doa.
Betul, hal itu tidak
masalah dan bukan termasuk bid’ah dalam doa meski teks doa tersebut tidak
berasal dari Nabi SAW. Yang penting adalah tidak ada keyakinan bahwa teks doa
“fi amanillah” adalah teks doa yang secara khusus Nabi SAW ajarkan dan Nabi SAW
anjurkan untuk merespon orang yang hendak pergi atau sedang dalam perjalanan.
Demikian pula di
masyarakat kita berkembang kebiasaan jika ada ada orang yang menikah atau baru
menikah didoakan dengan redaksi “semoga menjadi keluarga samawa, sakinah
mawaddah wa rahmah”.
Teks doa semisal ini
tidaklah berasal dari Nabi SAW. Membiasakan membaca doa dengan redaksi semisal
ini setiap kali ada orang yang menikah atau baru menikah adalah satu hal yang
tidak mengapa. Yang penting tidak keyakinan dan anggapan bahwa teks doa semisal
itu dianjurkan oleh Nabi SAW.
Alhasil teks doa atau
dzikir yang terdapat dalam hadis dhaif, dhaif jiddan, hadis palsu bahkan
karangan manusia itu boleh dibaca dalam kondisi tertentu cukup dengan dua
syarat:
Pertama, sesuai dengan
konteks dari kondisi tertentu
Kedua, tidak berkeyakinan
teks doa atau dzikir tersebut dianjurkan oleh Nabi SAW (‘adam i’tiqad
sunniyyah). Wallahu a’lam
Ditulis oleh: Ustadz. Dr. Aris Munandar
Posting Komentar untuk "Kebolehan Doa Makan Allahumma Barik Lana Fima Razaqtana - Ustadz Aris Munandar"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.