Ijmaa’ Shahabat atas Kufurnya Orang yang Meninggalkan Shalat (Atsar ‘Abdullah bin Syaqiiq)
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ
كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah: Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari
‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata: "Para shahabat Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan
yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat" (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy, no. 2622).
‘Abdullah bin Syaqiiq rahimahullah menisbatkan
pendapat ini pada golongan shahabat tanpa membuat perkecualian, sehingga beberapa
ulama menggunakan atsar ini sebagai nash ijma’ dari kalangan shahabat
radliyallaahu ‘anhum.
Atsar dengan lafadh penisbatan pada para
shahabat ini diriwayatkan juga oleh Al-Marwadziy(1) dalam Ta’dhiimu
Qadrish-Shalaah no. 948: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid bin
Hisaab dan Humaid bin Mas’adah, mereka berdua berkata: Telah menceritakan
kepada kami Bisyar bin Al-Mufadldlal, yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim(2) dalam
Al-Mustadrak 1/7: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl Al-Faqiih di
negeri Bukhaaraa: Telah menceritakan kepada kami Qais bin Unaif: Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid: Telah menceritakan kepada kami
Bisy bin Al-Mufadldlal, dan selanjutnya seperti riwayat di atas dengan
penambahan Abu Hurairah (setelah Syaqiiq).
Yang benar adalah riwayat yang disebutkan oleh At-Tirmidziy dan Al-Marwadziy. Kekeliruan ini berasal dari Qais bin Unaif, seorang yang majhuul.
Jalan sanad Bisyr bin
Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari Syaqiiq ini lemah dengan penjelasan:
Al-Jurairiy – nama
lengkapnya adalah: Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, Abu Mas’uud Al-Bashriy –
adalah seorang yang tsiqah, namun mengalami ikhtilaath tiga tahun sebelum
wafatnya. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun
144 H (Taqriibut-Tahdziib, hal. 374 no. 2286).
Beberapa ulama mutaqaddimiin yang menegaskan
ikhtilaath-nya tersebut diantaranya adalah: Ibnu Ma’iin, Abu Daawud, Ibnu Sa’d,
Abu Haatim, Muhammad bin ‘Adiy, Yaziid bin Haaruun, Ibnu Hibbaan, dan Al-‘Ijliy
rahimahumullah.
Para perawi yang mendengar riwayatnya sebelum
masa ikhtilaath-nya antara lain adalah para perawi yang pernah bertemu dengan
Ayyuub As-Sukhtiyaaniy. Abu Daawud berkata: "Semua orang yang bertemu
dengan Ayyuub, maka penyimakan riwayatnya dari Al-Jurairiy adalah jayyid".
Di antara mereka adalah: Syu’bah, Sufyaan Ats-Tsauriy, Hammaad bin Zaid,
Hammaad bin Salamah, Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, Ma’mar, ‘Abdul-Waarits bin Sa’iid,
Yaziid bin Zurai’, Wuhaib bin Khaalid, dan ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid
Ats-Tsaqafiy.
Para ulama lain
menambahkan: ‘Abbaad bin ‘Awwaam rahimahumullah.
Para perawi yang
mendengar setelah masa ikhtilaath-nya antara lain adalah yang dikatakan
Al-‘Ijliy: Yaziid bin Haaruun, Ibnul-Mubaarak, dan Ibnu Abi ‘Adiy. Para ulama lain
menambahkan: Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Ishaaq bin Azraq, dan ‘Iisaa bin
Yuunus rahimahumullah.
Al-‘Ijliy setelah
menyebutkan beberapa perawi yang mendengar riwayat setelah masa ikhtilaath
Al-Jurairiy, berkata: "Semua orang yang meriwayatkan darinya semisal
perawi shighaar tersebut, maka ia dalam keadaan ikhtilaath" (selesai).
(Baca selengkapnya
keterangannya dalam kitab: Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 37-38 no. 16
beserta komentar muhaqqiq-nya, dan Al-Ightibaath oleh ‘Alaauddiin ‘Aliy Ridlaa,
hal. 126-131 no. 39 beserta komentar muhaqqiq-nya).
Adapun Bisyr bin
Al-Mufadldlal bin Laahiq Ar-Raqaasyiy, Abu Ismaa’iil Al-Bashriy; adalah seorang
yang tsiqah, tsabat, lagi ahli ibadah. Termasuk
thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H (Taqriibut-Tahdziib, hal. 171 no.
710).
Ia setingkat dengan Ibnul-Mubaarak (thabaqah
ke-8, 118 H-181 H) dimana keduanya tidak bertemu dengan Ayyuub As-Sukhtiyaaniy.
Oleh karena itu,
kemungkinan besar ia mendengar riwayat dari Al-Jurairiy setelah masa
ikhtilaath-nya. Adapun perkataan Ibnu Hajar rahimahullah yang menyatakan bahwa
Bisyr bin Al-Mufadldlal mendengar riwayat dari Al-Jurairiy sebelum masa
ikhtilaath-nya (Hadyus-Saariy, hal. 405), tidak mempunyai sandaran. Wallaahu
a’lam.
Benar, bahwasannya
Al-Bukhaariy berhujjah dengan riwayat Bisyr bin Al-Mufadldlal dari Al-Jurairiy
dalam kitab Ash-Shahiih. Namun ia (Al-Bukhaariy) berhujjah dengan riwayat Bisyr
tersebut hanya satu hadits saja dalam tiga tempat (no. 2654 & 5976 &
6273 & 6919), dimana riwayat Bisyr tersebut diikuti oleh Ibnu ‘Ulayyah dan
Khaalid Al-Waasithiy.
Begitu juga dengan
Muslim, dimana ia hanya meriwayatkan satu hadits Bisyr yang berasal dari
Al-Jurairiy dengan mutaba’ah dari ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa dan Saalim bin
Nuuh Al-Bashriy (no. 913).
Apakah Bisyr dalam
periwayatannya dari Al-Jurairiy pada atsar ‘Abdullah bin Syaqiiq di atas tidak
mempunyai mutaba’ah?.
Jawab: Ya, ia (Bisyr)
mempunyai mutaba’ah dari:
1. ‘Abdul-A’laa bin
‘Abdil-A’laa.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf(3) no. 30964 dan dalam Al-Iimaan(4) no. 137
dengan lafadh:
مَا كَانُوا
يَقُولُونَ لِعَمَلٍ تَرَكَهُ رَجُلٌ كُفْرٌ، غَيْرِ الصَّلَاةِ، قَالَ: كَانُوا
يَقُولُونَ: تَرْكُهَا كُفْرٌ
"Tidaklah mereka
mengatakan terhadap satu amalan yang ditinggalkan seseorang menyebabkan
kekufuran selain shalat". Syaqiiq berkata: "Dulu mereka berkata:
Meninggalkannya (shalat) adalah kekufuran" (selesai).
Sanad riwayat ini shahih.
‘Abdul-A’laa bin
‘Abdil-A’laa bin bin Muhammad Al-Qurasyiy Al-Bashriy As-Saamiy, Abu Muhammad; adalah
seorang perawi yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-8, wafat tahun 189 H (Taqriibut-Tahdziib, hal. 562 no. 3758).
‘Abdul-A’laa mendengar riwayat dari
Al-Jurairiy sebelum masa ikhtilaath-nya.
2. Ismaa’iil bin ‘Ulayyah.
Diriwayatkan oleh Al-Khallaal(5) dalam
As-Sunnah no. 1396, dengan lafadh:
مَا عَلِمْنَا
شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ قِيلَ: تَرْكُهُ كُفْرٌ، إِلا الصَّلاةَ
"Kami tidak
mengetahui sesuatu dari amal-amal yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran
selain dari shalat" (selesai).
Sanad riwayat ini shahih.
Ismaa’il bin Ibraahiim
bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy, yang terkenal dengan nama Ibnu ‘Ulayyah;
adalah seorang perawi yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-8, lahir
tahun 110 H, dan wafat tahun 193 H (Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no. 420).
Ibnu ‘Ulayyah mendengar
riwayat dari Al-Jurairiy sebelum masa ikhtilaath-nya.
Jika kita perhatikan,
riwayat ‘Abdul-A’laa dan Ibnu ‘Ulayyah tidak menegaskan lafadh penisbatan pada
para shahabat sebagaimana riwayat Bisyr bin Al-Mufadldlal. Inilah yang shahih.
Dan jika kita melakukan jalan tarjih lanjutan, maka riwayat yang paling kuat
adalah riwayat Ibnu ‘Ulayyah. Ia lebih tsiqah dibandingkan ‘Abdul-A’laa, dimana
keduanya adalah ulama penduduk Bashrah.
Yaziid bin Haaruun
berkata: "Aku memasuki kota Bashrah, dan tidak ada seorang pun yang
melebihi/menandingi Ibnu ‘Ulayyah dalam hadits". Ahmad bin Hanbal berkata:
"Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, padanya akhir/puncak sifat tsabt di kota Bashrah".
Ibnu Syahiin menghikayatkan dalam Ats-Tsiqaat dari ‘Utsmaan bin Abi Syaibah: "Ibnu
‘Ulayyah lebih tsabt dari dua Hammad (Hammaad bin Zaid dan Hammaad bin
Salamah), dan aku tidak mengedepankan seorang pun dari penduduk Bashrah
atasnya. Tidak Yahyaa, tidak Ibnu Mahdiy, dan tidak pula Bisyr bin
Al-Mufadldlal" (Lihat selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 3/23-33 no. 417
dan Tahdziibut-Tahdziib, 1/275-279 no. 513).
Oleh karena itu,
menggunakan riwayat ‘Abdullah bin Syaqiiq sebagai dalil keberadaan ijmaa’ para
shahabat atas kekafiran orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja secara
mutlak adalah ma’luul dari beberapa sisi:
a. Tidak sahnya jalur
riwayat yang menyebutkan lafadh penisbatan kepada para shahabat radliyallaahu
‘anhum.
b. Jalur riwayat paling
kuat dari Ismaa’iil bin ‘Ulayyah hanyalah menyebutkan penafikkan pengetahuan
‘Abdullah bin Syaqiiq atas amal-amal yang jika ditinggalkan menyebabkan
kekafiran selain dari shalat. Hal seperti ini tidaklah serta merta
mengkonsekuensikan adanya ijmaa’ sebagaimana maklum diketahui.
‘Abdullah bin Syaqiiq
Al-‘Uqailiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-3, generasi taabi’iin pertengahan, dan wafat tahun 108 H (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 515 no. 3406).
Artinya, ia (‘Abdullah
bin Syaqiiq) tidak mengetahui adanya ulama yang semasa dengannya (dari kalangan
taabi’iin dan shahabat) yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat.
Kenyataannya, ada
beberapa ulama yang sejaman dengannya dari generasi taabi’iin yang tidak
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat.
فَإِنَّ
إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ، عَنِ الأَشْعَثَ، عَنِ
الْحَسَنِ، قَالَ: " إِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ صَلاةً وَاحِدَةً مُتَعَمِّدًا،
فَإِنَّهُ لا يَقْضِيَهَا "
Sesungguhnya Ishaaq (bin Rahawaih) telah
menceritakan kepada kami, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr,
dari Al-Asy’ats, dari Al-Hasan, ia berkata: "Jika seseorang meninggalkan
satu shalat dengan sengaja, maka ia tidak perlu mengqadlanya" (Diriwayatkan
oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1078; shahih).
Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy
Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy;
seorang ulama yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah
ke-3, generasi tabi’iin pertengahan, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89
tahun (Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237).
Al-Marwadziy rahimahullah mengatakan atsar
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah ini kemungkinan mempunyai dua makna. Pertama, orang tersebut
kafir sehingga tidak perlu mengqadlanya, karena orang kafir tidak diperintahkan
untuk mengqadla shalat. Kedua, orang tersebut tidak kafir, karena Allah ta’ala
mewajibkan seseorang shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Jika ia
mengqadlanya setelah itu, maka ia telah mengerjakan shalat pada waktu yang
tidak diperintahkan. Perintah mengqadla shalat hanyalah bagi orang yang lupa
atau mempunyai ‘udzur yang diakui syari’at.(6) Saya (Abul-Jauzaa’) berkata:
Kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat. Inilah
yang dhahir ada dalam riwayat. Wallaahu a’lam.
وَقَدْ
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الأُوَيْسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمَ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَتْرُكُ الصَّلاةَ؟ قَالَ: "
إِنْ كَانَ إِنَّمَا تَرَكَهَا أَنَّهُ ابْتَدَعَ دِينًا غَيْرَ دِينِ الإِسْلامِ
قُتِلَ، وَإِنْ كَانَ إِنَّمَا هُوَ فَاسِقٌ، ضُرِبَ ضَرْبًا مُبَرِّحًا وَسُجِنَ "
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
Yahyaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah
Al-Uwaisiy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari
Ibnu Syihaab (Az-Zuhriy), bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang
meninggalkan shalat. Maka ia menjawab: "Apabila ia meninggalkannya membuat-buat agama
selain agama Islam, maka dibunuh. Namun jika ia meninggalkannya hanyalah karena
kefasiqan, maka ia dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, dan dipenjara"
(Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1035;
shahih).
Muhammad bin Muslim bin
‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu
Bakr Al-Madaniy; seorang ulama yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin.
Termasuk thabaqah ke-4, generasi tabi’iin pertengahan, dan wafat tahun 125 H,
atau dikatakan sebelumnya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336). Ibnu Syihaab
Az-Zuhriy rahimahullah tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan
shalat dari kalangan muslimin yang fasiq.
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ الْكَلاعِيِّ،
قَالَ: أَخَذَ بِيَدِي مَكْحُولٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، كَيْفَ تَقُولُ فِي
رَجُلٍ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ؟ فَقُلْتُ: مُؤْمِنٌ عَاصٍ،
فَشَدَّ بِقَبْضَتِهِ عَلَى يَدَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، "
لِيَعْظُمَ شَأْنُ الإِيمَانِ فِي نَفْسِكَ، مَنْ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً
مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ، وَمَنْ بَرِئَتْ مِنْهُ
ذِمَّةُ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
‘Ayyaasy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Ubaid Al-Kalaa’iy, ia berkata: Mak-huul pernah
memegang tanganku dan berkata: "Wahai Abul-Wahb, bagaimana pendapatmu
tentang orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja?". Aku berkata:
"Ia mukmin yang bermaksiat (kepada Allah ta’ala)". Maka Mak-huul
mengeraskan genggamannya pada tanganku lalu berkata: "Wahai Abu Wahb,
semoga Allah memperbesar keimanan pada dirimu. Barangsiapa yang
meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, maka ia telah berlepas diri dari
jaminan Allah. Dan barangsiapa yang berlepas diri dari jaminan Allah, maka ia
kafir" (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah no. 129; hasan).
Riwayat ini menunjukkan
adanya perbedaan pendapat di kalangan salaf, khususnya antara ‘Ubaidullah bin
‘Ubaid Al-Kalaa’iy (w. 132 H) dengan Mak-huul Asy-Syaamiy (w. 113 H/114 H) –
yang keduanya merupakan generasi shighaarut-taabi’iin.
Ketidaktahuan ‘Abdullah
bin Syaqiiq tentang keberadaan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang
meninggalkan shalat bukanlah hujjah untuk menetapkan ijmaa’. Fakta di atas
menunjukkan hal sebaliknya. Yang menetapkan menjadi hujjah bagi yang
menafikkan.
c. ‘Abdullah bin Syaqiiq
bukanlah perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari kalangan shahabat.
Menurut data yang
dikemukakan oleh Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (15/89-90 no. 3333), syaikh
(guru) Ibnu Syaqiiq dari kalangan shahabat adalah: (1) ‘Abdullah bin Abi
Jud’aa’; (2) ‘Abdullah bin Abi Hamsaa’; (3) ‘Abdullah bin ‘Abbaas; (4) ‘Abdullah
bin ‘Umar bin Al-Khaththaab; (5) ‘Utsmaan bin ‘Affaan; (6) ‘Aliy bin Abi
Thaalib; (7) ‘Umar bin Al-Khaththaab; (8) Mihjan bin Al-Arda’; (9) Ka’b bin
Murrah; (10) Abu Dzarr Al-Ghifaariy; (11) Abu Hurairah; dan (12) ‘Aaisyah
Ummul-Mukminiin radliyallaahu ‘anhum.
Dari 12 orang shahabat
tersebut, kebersambungan sebagian guru ‘Abdullah bin Syaqiiq tersebut ada
pembicaraan.
Mihjan bin Al-Arda’,
dikatakan antaranya dan ‘Abdullah bin Syaqiiq terdapat Rajaa’ bin Abi Rajaa’.
Al-Fasawiy rahimahullah berkata:
حدثني محمد بن
عبد الرحيم، قَالَ: سَأَلْتُ عَلِيًّا، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ رَأَى
ابْنَ عُمَرَ؟ قَالَ: لَا، وَلَكِنْ قَدْ رَأَى أَبَا ذَرٍّ، وَأَبَا هُرَيْرَةَ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
‘Abdirrahiim, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aliy (bin Al-Madiiniy),
apakah ‘Abdullah bin Syaqiiq pernah melihat Ibnu ‘Umar?". Ia menjawab: "Tidak.
Akan tetapi ia pernah melihat Abu Dzarr dan Abu Hurairah" (Al-Ma’rifah
wat-Taariikh, 2/78; shahih).
Jika demikian, bagaimana bisa disimpulkan dalam
penafikkan atau ketidaktahuan ‘Abdullah bin Syaqiiq terkandung ijmaa’ dari
kalangan shahabat? – sementara tidak banyak gurunya dari kalangan shahabat?.(7)
d. Terdapat beberapa
atsar dari sebagian shahabat yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
shalat.
حَدَّثَنَا
أَبُو مَالِكٍ الأَشْجَعِيُّ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ،
قَالَ: " يَدْرُسُ الإِسْلامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، فَيُصْبِحُ
النَّاسُ وَهُمْ لا يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ غَيْرَ أَنَّ
الرَّجُلَ وَالْعَجُوزَ يَقُولُونَ: قَدْ أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَهُمْ يَقُولُونَ:
لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ".
فَقَالَ صِلَةُ: وَمَا تُغْنِي عَنْهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَهُمْ لا
يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ، وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: " مَا
تُغْنِي عَنْهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَا صِلَةُ؟ ! يَنْجُونَ بِلا لا إِلَهَ
إِلا اللَّهُ مِنَ النَّارِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Maalik
Al-Asyja’iy, dari Rib’iy bin Khiraasy, dari Hudzaifah, ia berkata: "Islam
akan usang sebagaimana usangnya pakaian. Di waktu pagi orang-orang bangun dalam keadaan tidak
mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah. Kecuali seorang laki-laki tua
yang berkata: ‘Sungguh kami pernah mendapati orang-orang berkata: Laa ilaha illallaah.
Maka kami pun ikut mengatakan: Laa ilaha illallaah". Shilah berkata: "Apakah
mencukupkan mereka kalimat Laa ilaha illallaah, sementara mereka tidak
mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah?". Maka Hudzaifah berkata: "Apakah
mencukupi darinya kalimat Laa ilaha illallaah wahai Shilah?. Bahkan mereka
selamat karena kalimat Laa ilaha illallaah" (Diriwayatkan oleh Adl-Dlabbiy
dalam Ad-Du’aa no. 15; shahih).
Ini adalah jawaban
Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu atas pertanyaan Shillah bin Zufar
seputar pemahamannya bahwa kalimat tauhid tidak akan bermanfaat jika tidak
diiringi dengan shalat puasa, dan ibadah lainnya. Hudzaifah menjawab dengan
jawaban yang umum bahwa dzat kalimat tauhid memang dapat menyelamatkan mereka
dari kekekalan neraka. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan
manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan ibadah yang lain
– sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya
Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata: "Benar wahai
Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan
mereka akan hukum-hukum tersebut" – atau yang semakna. Diperkuat lagi
dengan riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ صِلَةَ بْنَ زُفَرَ يُحَدِّثُ،
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " الإِسْلامُ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ: الإِسْلامُ
سَهْمٌ، وَالصَّلاةُ سَهْمٌ، وَالزَّكَاةُ سَهْمٌ، وَالْحَجُّ سَهْمٌ، وَصَوْمُ
رَمَضَانَ سَهْمٌ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ سَهْمٌ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
سَهْمٌ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَهْمٌ، وَقَدْ خَابَ مَنْ لا سَهْمَ
لَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari
Abu Ishaaq, ia berkata: Aku mendengar Shilah bin Zufar menceritakan dari
Hudzaifah, ia berkata: "Islam terdiri dari delapan bagian. Islam adalah
satu bagian, shalat adalah satu bagian, zakat adalah satu bagian, haji adalah
satu bagian, puasa Ramadlan adalah satu bagian, memerintahkan yang baik adalah
satu bagian, melarang dari yang munkar adalah satu bagian, dan jihad di jalan
Allah adalah satu bagian. Sungguh merugilah orang yang tidak mempunyai satu
bagian pun darinya" (Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 413; shahih).
Orang yang masih mempunyai satu bagian atau
lebih meskipun tidak mempunyai bagian yang lain – menurut Hudzaifah – masih
dikatakan beruntung, yaitu masuk dalam wilayah Islam. Adapun orang yang tidak
mempunyai bagian dalam Islam sama sekali, maka ia lah orang yang merugi, yaitu
termasuk orang-orang kafir.
Atsar ini menunjukkan
ketiadaan ijmaa’ di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhu sebagaimana yang
diklaim.
Lantas bagaimana dengan
pernyataan ijmaa’ Ayyuub As-Sukhtiyaaniy?.
Jawab: Atsar tersebut
adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، قَالَ: "تَرْكُ الصَّلاةِ كُفْرٌ، لا
يُخْتَلَفُ فِيهِ"
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Yahyaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, ia berkata: "Barangsiapa
yang meninggalkan shalat, maka ia kafir. Tidak ada perselisihan padanya" (Diriwayatkan
oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 978; shahih).
Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sukhtiyaaniy, Abu Bakr
Al-Bashriy; seorang ulama yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah. Termasuk thabaqah
ke-5, generasi shighaarut-taabi’iin, lahir tahun 66, dan wafat tahun 131 H (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 158 no. 610).
Pernyataan ‘tidak ada perselisihan’ tidaklah
bernilai, karena telah shahih adanya penyelisihan sebagaimana telah disebutkan
riwayatnya di atas. Selain itu, seandainya dakwaan ijmaa’ ‘Abdullah bin Syaqiiq
telah gugur, maka dakwaan ijmaa’ oleh ulama pada tingkatan setelahnya lebih
layak untuk digugurkan.
Baca Juga: Kafirnya
Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Meremehkan dan Malas (Validitas Ijma'
Salaf)
Itu saja yang dapat
dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
(Banyak mengambil
beberapa faedah dari tulisan Asy-Syaikh Rabii’ bin Hadiy Al-Madkhaliy
hafidhahullah)
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ حِسَابٍ، وَحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، قَالا:
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " لَمْ يَكُنْ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ
الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاةِ "
(2) Riwayatnya adalah:
أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ سَهْلٍ الْفَقِيهُ بِبُخَارَى، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ أُنَيْفٍ،
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، عَنِ
الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لا
يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاةِ "
(3) Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ،
قَالَ: " مَا كَانُوا يَقُولُونَ لِعَمَلٍ تَرَكَهُ رَجُلٌ كُفْرٌ، غَيْرِ
الصَّلَاةِ "، قَالَ: كَانُوا يَقُولُونَ: " تَرْكُهَا كُفْرٌ "
(4) Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الأَعْلَى، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ:
" مَا كَانُوا يَقُولُونَ لِعَمَلٍ تَرَكَهُ رَجُلٌ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاةِ،
فَقَدْ كَانُوا يَقُولُونَ: تَرْكُهَا كُفْرٌ "
(5) Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو
عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: ثنا
الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: " مَا عَلِمْنَا
شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ قِيلَ: تَرْكُهُ كُفْرٌ، إِلا الصَّلاةَ "
(6) Dasarnya adalah hadits:
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا
ذَلِكَ، وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim dan
Muusaa bin Ismaa’iil, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami
Hammaam, dari Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: "Barangsiapa
yang lupa mengerjakan shalat, hendaklah ia segera shalat ketika ia
mengingatnya. Tidak ada kafarat baginya kecuali hal itu. Allah ta’ala berfirman: ‘Dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku’ (QS. Thaha: 14)" (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 597).
(7) Semakin sedikit guru dari kalangan shahabat, semakin sedikit pula pengetahuannya akan fiqh yang beredar di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Posting Komentar untuk "Ijmaa’ Shahabat atas Kufurnya Orang yang Meninggalkan Shalat (Atsar ‘Abdullah bin Syaqiiq)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.