Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Meremehkan dan Malas (Validitas Ijma' Salaf)

Dalam bahasan hukum meninggalkan shalat, seringkali dinukil nash ijma’ di kalangan salaf tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Jika kita ingin menelaah lebih lanjut, perlu kita perhatikan pada siapa ijma’ dinisbatkan dan seperti apa gambaran ijma’-nya. Oleh karena itu, saya ingin mengajak rekan-rekan untuk mempelajari bersama dua hal ini dan sekaligus mengecek validitas ijma’. Di antara nash-nash ijma’ yang sering disebutkan, antara lain sebagai berikut:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal, dari Al-Jurairiy, dari ‘Abdullah bin Syaqiiq Al-‘Uqailiy, ia berkata: “Para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat satu amalan dari amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran selain dari shalat” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy, no. 2622; shahih).

‘Abdullah bin Syaqiiq rahimahullah menisbatkan pendapat ini pada golongan shahabat tanpa membuat perkecualian, sehingga beberapa ulama menggunakan atsar ini sebagai nash ijma’ dari kalangan shahabat.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، قَالَ: "تَرْكُ الصَّلاةِ كُفْرٌ، لا يُخْتَلَفُ فِيهِ"

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, ia berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia kafir. Tidak ada perselisihan padanya” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 978; shahih).

Atsar Ayyuub As-Sukhtiyaaniy rahimahullah di atas minimal dinisbatkan pada thabaqah taabi’iin, sebab Ayyuub (w. 131 H) termasuk shighaarut-taabi’iin.

سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، ......وَلا نُكَفِّرُ أَحَدًا بِذَنْبٍ إِلا تَرْكَ الصَّلاةِ، وَإِنْ عَمِلَ بِالْكَبَائِرِ....

Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy berkata: Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata: “Inilah perkataan para imam yang diambil perkataannya dalam Islam dan Sunnah: Ridlaa dengan qadla’ Allah,..... dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab dosa kecuali meninggalkan shalat, meskipun ia berbuat dosa besar....” (Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 2; shahih).

Atsar Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah ini disandarkan pada pendapat ulama Ahlus-Sunnah secara umum tanpa membuat ruang perkecualian (adanya perbedaan pendapat) akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat.

Lalu, bagaimanakah penggambaran (tashawwur) klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat di kalangan salaf ini?. Berikut penjelasannya:

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

وقد جاء عن عمر ، وعبد الرحمن بن عوف ، ومعاذ بن جبل ، وأبي هريرة ، وغيرهم من الصحابة رضي الله عنهم أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد

“Dan telah ada riwayat dari ‘Umar, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, Mu’aadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan yang lainnya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum, bahwasannya siapa saja yang meninggalkan satu shalat fardlu secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka ia kafir lagi murtad” (Al-Muhallaa, 2/15).

Perkataan Ibnu Hazm rahimahullah ini memberikan penjelasan bahwa yang dikatakan ijma’ di kalangan shahabat di atas adalah orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya, meskipun hanya satu shalat. Gambaran Ibnu Hazm rahimahullah tentang ijma’ ini diperkuat oleh atsar berikut:

Ishaaq bin Rahawaih rahimahullah berkata:

وقد أجمع العلماء أن من سب الله عز وجل أو سب رسول الله صلى الله عليه وسلم أو دفع شيئا أنزله الله، أو قتل نبيا من أنبياء الله، وهو مع ذلك مقر بما أنزل الله أنه كافر، فكذلك تارك الصلاة حتى يخرج وقتها عامدا

“Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang memaki Allah ‘azza wa jalla atau memaki Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu (syari’at) yang diturunkan Allah, atau membunuh salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah – meskipun ia mengakui segala sesuatu yang diturunkan Allah - , maka ia kafir. Begitu pula meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya dengan sengaja” (At-Tamhiid, 4/226).

سَمِعْتُ إِسْحَاقَ، يَقُولُ: قَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ كَافِرٌ، وَكَذَلِكَ كَانَ رَأْيُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ لَدُنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا: أَنَّ تَارِكَ الصَّلاةِ عَمْدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا كَافِرٌ

“Aku mendengar Ishaaq (bin Rahawaih) berkata: Telah shahih riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Begitu juga pendapat dari kalangan ulama semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga era kita sekarang: Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ‘udzur hingga keluar dari waktunya adalah kafir” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu-Qadrish-Shalaah, hal. 609; shahih).

Gambaran ijma’ dari Ishaaq bin Rahawaih (w. 238 H) sama seperti Ibnu Hazm rahimahumallah, yaitu orang yang sengaja tidak mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Apa yang dikatakan Ishaaq ini selaras dengan perkataan Ibnul-Mubaarak (w. 181 H), Sulaimaan bin Daawud Al-Haasyimiy (w. 219 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), dan Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb (w. 264 H) rahimahumullah.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ يَعْمَرَ بْنَ بِشْرٍ أَبَا عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " مَنْ أَخَّرَ صَلاةً حَتَّى يَفُوتَ وَقْتُهَا مُتَعَمِّدًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، كَفَرَ "

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah, ia berkata: Aku mendengar Ya’mar bin Bisyr Abu ‘Amru, ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubaarak radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Barangsiapa yang mengakhirkan shalat hingga lewat waktunya dengan sengaja tanpa ‘udzur, maka ia kafir” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 979; shahih).

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمَ الْجَوْزَجَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، عَنْ مَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ مُتَعَمِّدًا؟ قَالَ: " لا يُكَفَّرُ أَحَدٌ بِذَنْبٍ إِلا تَارِكُ الصَّلاةِ عَمْدًا، فَإِنْ تَرَكَ صَلاةً إِلَى أَنْ يَدْخُلَ وَقْتُ صَلاةٍ أُخْرَى يُسْتَتَابُ ثَلاثًا "، وَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ: يُسْتَتَابُ إِذَا تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا قُتِلَ، وَبِهِ قَالَ أَبُو خَيْثَمَةَ

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim Al-Juuzajaaniy, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Sa’iid, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Ia menjawab: “Tidak boleh seseorang dikafirkan dengan sebab dosa, kecuali orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Jika ia meninggalkan shalat hingga masuk waktu shalat yang lain, maka ia diminta bertaubat dalam tiga kali”. Abu Ayyuub Sulaimaan bin Daawud Al-Haasyimiy berkata: “Diminta bertaubat apabila ia meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya. Jika ia bertaubat, maka diterima. Dan jika tidak, maka dibunuh. Pendapat itulah yang dipegang oleh Abu Khaitsamah” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, no. 982; shahih).

Oleh karena itu, dari sini kita memperoleh gambaran klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat di kalangan mutaqaddimiin, yaitu: meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya.(1) Sependek penelusuran saya dari beberapa kitab para ulama, tidak ada yang menyebutkan klaim ijma’ ini mempersyaratkan meninggalkan shalat secara keseluruhan – sebagaimana banyak ternukil dari kalangan muta’akhkhiriin.

Sekarang,... benarkah klaim ijma’ tersebut?.

Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ الأَشْجَعِيُّ، عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " يَدْرُسُ الإِسْلامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ وَهُمْ لا يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ غَيْرَ أَنَّ الرَّجُلَ وَالْعَجُوزَ يَقُولُونَ: قَدْ أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَهُمْ يَقُولُونَ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ". فَقَالَ صِلَةُ: وَمَا تُغْنِي عَنْهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَهُمْ لا يَدْرُونَ مَا صَلاةٌ، وَلا صِيَامٌ، وَلا نُسُكٌ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: " مَا تُغْنِي عَنْهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَا صِلَةُ؟ ! يَنْجُونَ بِلا لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مِنَ النَّارِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Maalik Al-Asyja’iy, dari Rib’iy bin Khiraasy, dari Hudzaifah, ia berkata: “Islam akan usang sebagaimana usangnya pakaian. Di waktu pagi orang-orang bangun dalam keadaan tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah. Kecuali seorang laki-laki tua yang berkata: ‘Sungguh kami pernah mendapati orang-orang berkata: Laa ilaha illallaah. Maka kami pun ikut mengatakan: Laa ilaha illallaah”. Shilah berkata: “Apakah mencukupkan mereka kalimat Laa ilaha illallaah, sementara mereka tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, dan ibadah?”. Maka Hudzaifah berkata: “Apakah mencukupi darinya kalimat Laa ilaha illallaah wahai Shilah?. Bahkan mereka selamat karena kalimat Laa ilaha illallaah” (Diriwayatkan oleh Adl-Dlabbiy dalam Ad-Du’aa no. 15; shahih).

Ini adalah jawaban Hudzaifah bin Al-Yamaan radliyallaahu ‘anhu atas pertanyaan Shillah bin Zufar seputar pemahamannya bahwa kalimat tauhid tidak akan bermanfaat jika tidak diiringi dengan shalat puasa, dan ibadah lainnya. Hudzaifah menjawab dengan jawaban yang umum bahwa dzat kalimat tauhid memang dapat menyelamatkan mereka dari kekekalan neraka. Seandainya kalimat tauhid secara asal tidak memberikan manfaat bagi orang yang meninggalkan shalat, puasa, zakat, dan ibadah yang lain – sebagaimana pemahaman Shilah bin Zufar, orang yang bertanya – niscaya Hudzaifah akan membenarkan pernyataan Shilah dengan berkata: “Benar wahai Shilah, akan tetapi ia adalah satu kaum yang diberi udzur karena ketidaktahuan mereka akan hukum-hukum tersebut” – atau yang semakna. Diperkuat lagi dengan riwayat berikut:

حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ صِلَةَ بْنَ زُفَرَ يُحَدِّثُ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: " الإِسْلامُ ثَمَانِيَةُ أَسْهُمٍ: الإِسْلامُ سَهْمٌ، وَالصَّلاةُ سَهْمٌ، وَالزَّكَاةُ سَهْمٌ، وَالْحَجُّ سَهْمٌ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ سَهْمٌ، وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ سَهْمٌ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ سَهْمٌ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ سَهْمٌ، وَقَدْ خَابَ مَنْ لا سَهْمَ لَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia berkata: Aku mendengar Shilah bin Zufar menceritakan dari Hudzaifah, ia berkata: “Islam terdiri dari delapan bagian. Islam adalah satu bagian, shalat adalah satu bagian, zakat adalah satu bagian, haji adalah satu bagian, puasa Ramadlan adalah satu bagian, memerintahkan yang baik adalah satu bagian, melarang dari yang munkar adalah satu bagian, dan jihad di jalan Allah adalah satu bagian. Sungguh merugilah orang yang tidak mempunyai satu bagian pun darinya” (Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 413; shahih).

Orang yang masih mempunyai satu bagian atau lebih meskipun tidak mempunyai bagian yang lain – menurut Hudzaifah – masih dikatakan beruntung, yaitu masuk dalam wilayah Islam. Adapun orang yang tidak mempunyai bagian dalam Islam sama sekali, maka ia lah orang yang merugi, yaitu termasuk orang-orang kafir. Riwayat ini semisal dengan riwayat di bawah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، نا الأَعْمَشُ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مَيْسَرَةَ، وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شِبْلٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ الأَحْمَسِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: " إِنَّ مثل الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ سِهَامِ الْغَنِيمَةِ، فَمَنْ يَضْرِبُ بِأَرْبَعٍ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ بِثَلاثَةٍ، وَمَنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِثَلاثَةٍ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِسَهْمَيْنِ، وَمَنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِسَهْمَيْنِ خَيْرٌ مِمَّنْ يَضْرِبُ فِيهَا بِوَاحِدٍ، وَمَا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy, dari Sulaimaan bin Maisarah dan Al-Mughiirah bin Syibl, dari Thaariq bin Syihaab Al-Ahmasiy, dari Salmaan (Al-Faarisiy), ia berkata: “Sesungguhnya shalat lima waktu itu seperti bagian-bagian harta ghaniimah. Barangsiapa mengerjakan empat shalat, lebih baik daripada yang mengerjakan tiga shalat. Barangsiapa yang mengerjakan tiga shalat, lebih baik dari yang mengerjakan dua shalat. Barangsiapa yang mengerjakan dua shalat, lebih baik daripada yang hanya mengerjakan satu shalat saja. Dan Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian dari Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali(2)” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 109; sanadnya shahih).

Perkataan Salmaan radliyallaahu ‘anhu ini jelas bahwasannya ia tidak berpendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hingga keluar dari waktunya. Baik yang ditinggalkannya satu shalat, dua shalat, atau lebih. Seandainya Salmaan radliyallaahu ‘anhu berpendapat meninggalkan shalat itu kafir, niscaya ia akan menyamakan kedudukan orang yang meninggalkan satu shalat atau lebih dalam satu kedudukan, yaitu kafir.

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوَفِي، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: " أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلا قِيلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَأُكْمِلَتِ الْفَرِيضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، فَإِنْ لَمْ تَكْمُلِ الْفَرِيضَةُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَوُّعٌ أُخِذَ بِطَرَفَيْهِ فَقُذِفَ بِهِ فِي النَّارِ "

Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun: Telah mengkhabarkan kepada kami Daawud bin Abi Hind, dari Zuraarah bin Aufaa, dari Tamiim Ad-Daariy, ia berkata: “Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat wajib. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka ia beruntung. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka dikatakan (kepada malaikat): ‘Lihatlah apakah ia mempunyai amalan shalat sunnah?. Maka disempurnakankan shalat wajib tersebut dengan shalat sunnahnya. Barangsiapa yang shalat wajibnya tidak sempurna pelaksanaannya dan ia tidak mempunyai amalan shalat sunnah, maka diambillah ujung kakinya lalu dilemparkan ke dalam neraka” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 116; shahih).

Selain menyampaikan riwayat secara marfuu’, Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu juga menyampaikan secara mauquuf sebagaimana di atas yang menunjukkan pemahamannya dalam permasalahan ini. Seandainya orang yang meninggalkan shalat wajib itu kafir, niscaya tidak akan dilihat shalat-shalat sunnah yang pernah dilakukannya, namun langsung dicampakkan ke dalam kekekalan neraka.

Adapun di kalangan taabi’iin:

وَقَدْ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأُوَيْسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمَ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَتْرُكُ الصَّلاةَ؟ قَالَ: " إِنْ كَانَ إِنَّمَا تَرَكَهَا أَنَّهُ ابْتَدَعَ دِينًا غَيْرَ دِينِ الإِسْلامِ قُتِلَ، وَإِنْ كَانَ إِنَّمَا هُوَ فَاسِقٌ، ضُرِبَ ضَرْبًا مُبَرِّحًا وَسُجِنَ "

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahyaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Uwaisiy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Ibnu Syihaab (Az-Zuhriy), bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan shalat. Maka ia menjawab: “Apabila ia meninggalkannya membuat-buat agama selain agama Islam, maka dibunuh. Namun jika ia meninggalkannya hanyalah karena kefasiqan, maka ia dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, dan dipenjara” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1035; shahih).

Ibnu Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah (w. 125 H) tidak berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dari kalangan muslimin yang fasiq.

فَإِنَّ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا، قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ، عَنِ الأَشْعَثَ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: " إِذَا تَرَكَ الرَّجُلُ صَلاةً وَاحِدَةً مُتَعَمِّدًا، فَإِنَّهُ لا يَقْضِيَهَا "

Sesungguhnya Ishaaq (bin Rahawaih) telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr, dari Al-Asy’ats, dari Al-Hasan, ia berkata: “Jika seseorang meninggalkan satu shalat dengan sengaja, maka ia tidak perlu mengqadlanya” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 1078; shahih).

Al-Marwadziy rahimahullah mengatakan atsar Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah (w. 110 H) ini kemungkinan mempunyai dua makna. Pertama, orang tersebut kafir sehingga tidak perlu mengqadlanya, karena orang kafir tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat. Kedua, orang tersebut tidak kafir, karena Allah ta’ala mewajibkan seseorang shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Jika ia mengqadlanya setelah itu, maka ia telah mengerjakan shalat pada waktu yang tidak diperintahkan. Perintah mengqadla shalat hanyalah bagi orang yang lupa atau mempunyai ‘udzur yang diakui syari’at.(3) Saya (penulis artikel ini) berkata: Kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat. Wallaahu a’lam.

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ الْكَلاعِيِّ، قَالَ: أَخَذَ بِيَدِي مَكْحُولٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ؟ فَقُلْتُ: مُؤْمِنٌ عَاصٍ، فَشَدَّ بِقَبْضَتِهِ عَلَى يَدَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا وَهْبٍ، " لِيَعْظُمَ شَأْنُ الإِيمَانِ فِي نَفْسِكَ، مَنْ تَرَكَ صَلاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ، وَمَنْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ "

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Ubaid Al-Kalaa’iy, ia berkata: Mak-huul pernah memegang tanganku dan berkata: “Wahai Abul-Wahb, bagaimana pendapatmu tentang orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja?”. Aku berkata: “Ia mukmin yang bermaksiat (kepada Allah ta’ala)”. Maka Mak-huul mengeraskan genggamannya pada tanganku lalu berkata: “Wahai Abu Wahb, semoga Allah memperbesar keimanan pada dirimu. Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, maka ia telah berlepas diri dari jaminan Allah. Dan barangsiapa yang berlepas diri dari jaminan Allah, maka ia kafir” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah no. 129; hasan).

Riwayat ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan salaf, khususnya antara ‘Ubaidullah bin ‘Ubaid Al-Kalaa’iy (w. 132 H) dengan Mak-huul Asy-Syaamiy (w. 113 H/114 H) – yang keduanya merupakan generasi shighaarut-taabi’iin.

Generasi ulama setelahnya:

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

حُضُورُ الْجُمُعَةِ فَرْضٌ، فَمَنْ تَرَكَ الْفَرْضَ تَهَاوُنًا كَانَ قَدْ تَعَرَّضَ شَرًّا، إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ، كَمَا لَوْ أَنَّ رَجُلًا تَرَكَ صَلَاةً حَتَّى يَمْضِيَ وَقْتَهَا، كَانَ قَدْ تَعَرَّضَ شَرًّا، إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ.

“Menghadiri shalat Jum’at adalah wajib. Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban karena meremehkannya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk, kecuali Allah memaafkannya. Sebagaimana jika seseorang meninggalkan shalat hingga lewat dari waktunya, maka ia pun akan mendapatkan akibat yang buruk, kecuali jika Allah memaafkannya” (Al-Umm, 1/228. Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 2/528).

Setelah meriwayat perkataan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak sebagaimana di awal artikel, Ya’mar bin Bisyr berkata tentang Sufyaan Ats-Tsauriy (w. 161 H) dan yang sependapat dengannya rahimahumullah:

خالفني سفيان وغيره من أصحاب عبد الله وأنكروه ، فدخلوا على عبد الله بالزبد انقان قال فأخبروه أن يعمر روى عليك كذا وكذا ، ولم ينكره ، وقال: فما قلت أنت . فقال سفيان لعبد الله: إنه روى عليك كذا وكذا . فقال له عبد الله: فما قلت أنت ؟ قال: إذا تركها ردا لها . فقال: ليس هذا قولي ، قست علي يا أبا عبد الله

“Sufyaan (Ats-Tsauriy) dan yang lainnya dari kalangan shahabat ‘Abdullah (bin Al-Mubaarak) telah menyelisihiku dan mereka mengingkarinya. Mereka lalu menemui ‘Abdullah, lalu mengkhabarkan kepadanya bahwa Ya’mar telah meriwayatkan bagimu begini dan begitu. Namun ‘Abdullah tidak mengingkarinya, dan kemudian berkata: “Lalu apa yang engkau katakan?”. Sufyaan berkata kepada ‘Abdullah: “Sesungguhnya ia (Ya’mar) meriwayatnya bagimu begini dan begitu”. ‘Abdullah berkata kepadanya (Sufyaan): “Engkau sendiri mengatakan apa?”. Ia berkata: “Apabila meninggalkan shalat dengan menolak (kewajiban)-nya (maka itu baru kafir)”. ‘Abdullah berkata: “Itu bukan perkataanku. Engkau telah memfitnahku wahai Abu ‘Abdillah” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 926; shahih).

Ini menunjukkan pemahaman Ats-Tsauriy dan yang lainnya yang berbeda dengan Ibnul-Mubaarak rahimahumallah dalam masalah kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Orang yang meninggalkan shalat itu dikafirkan ia menolak kewajibannya. Hal ini semisal dengan satu riwayat dari Ahmad yang ternukil dari Musaddad bin Musarhad (w. 228 H). Ketika ia mengalami berbagai fitnah di jamannya, ia menulis surat kepada Ahmad bin Hanbal rahimahumallah, yang kemudian dibalas di antaranya dengan perkataan:

ولا يخرجه من الإسلام شيء، إلا الشرك بالله العظيم، أو برد فريضة اللَّه عز وجل جاحدًا بها، فإن تركها كسلا، أو تهاونا كان فِي مشيئة اللَّه، إن شاء عذبه، وإن شاء عفا عنه

“Dan tidak dikeluarkan dari Islam sedikitpun kecuali berbuat syirik kepada Allah, atau menolak kewajiban-kewajiban Allah ‘azza wa jalla dengan pengingkaran kepadanya. Namun apabila ia meninggalkannya (kewajiban-kewajiban tersebut) karena malas atau meremehkannya, maka ia berada dalam kehendak Allah. Apabila Allah kehendaki, Ia akan mengadzabnya, dan apabila Allah kehendaki, Ia akan mengampuninya” (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 1/316).

Walhasil, klaim ijma’ kafirnya orang yang meninggalkan shalat itu dengan sengaja itu tidak valid dalam beberapa thabaqah, mulai thabaqah shahabat, tabi’iin, dan ulama setelahnya mereka rahimahumullah. Tidak dinamakan ijma’ jika ada penyelisihan. Klaim-klaim ijma’ dari sebagian ulama adalah ijma’ dhanniy.

Akhirnya, Abu Bakr Al-ismaa’iiliy rahimahullah (w. 371 H) memetakan perbedaan pendapat masalah ini di kalangan mutaqaddimiin dengan perkataannya:

واختلفوا في متعمدي ترك الصلاة المفروضة حتى يذهب وقتها من غير عذر, فكفّره جماعة .... وتأوّل جماعة منهم بذلك تركها جاحدًا لها

“Dan para ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur. Sekelompok ulama mengkafirkannya...... dan sekelompok ulama lain menta’wilkan kekafiran tersebut jika orang bersangkutan meninggalkan shalat dalam keadaan mengingkarinya....” (I’tiqaad Aimmatil-Hadiits, hal. 341).

Mereka (salaf) pada hakekatnya tidak menghitung jumlah shalat yang ditinggalkan, baik dari kalangan yang mengkafirkan atau tidak mengkafirkan. Jika meninggalkan shalat merupakan kekafiran, maka satu shalat, dua shalat, sepuluh shalat atau lebih tidak ada bedanya dalam hukum kekafirannya.(4) Sebaliknya, jika meninggalkan shalat bukan merupakan kekafiran, maka meninggalkan satu shalat, dua shalat, sepuluh shalat, atau lebih tidak ada bedanya dalam hukum ketidakkafirannya.

Wallaahu a’lam.

Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo

Footnote:

(1) Di kalangan kontemporer yang masih memegang pendapat ini adalah Asy-Syaikh Dr. Taqiyyuddiin Al-Hilaaliy, serta Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan ulama Lajnah Daaimah semasa diketuai oleh beliau rahimahumullah.

(2) Merujuk pada hadits:

حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ شَيْبَةَ الْخُضَرِيِّ، أَنَّهُ شَهِدَ عُرْوَةَ، يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاثٌ أَحْلِفُ عَلَيْهِنَّ، لا يَجْعَلُ اللَّهُ مَنْ لَهُ سَهْمٌ فِي الإِسْلامِ كَمَنْ لا سَهْمَ لَهُ، وَسِهَامُ الإِسْلامِ ثَلاثَةٌ: الصَّوْمُ، وَالصَّلاةُ، وَالصَّدَقَةُ، لا يَتَوَلَّى اللَّهُ عَبْدًا فَيُوَلِّيَهُ غَيْرَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلا جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَالرَّابِعَةُ لَوْ حَلَفْتُ عَلَيْهَا لَمْ أَخَفْ أَنْ آثَمَ، لا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدِهِ فِي الدُّنْيَا إِلا سَتَرَ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ "، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: إِذَا سَمِعْتُمْ مِثْلَ هَذَا مِنْ مِثْلِ عُرْوَةَ، فَاحْفَظُوهُ، قَالَ إِسْحَاقُ: وَحَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khaalid: Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Syaibah Al-Hudlriy: Bahwasannya ia menyaksikan ‘Urwah menceritakan riwayat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya: (1) Allah tidak akan menjadikan orang yang mempunyai bagian (sahm) dalam Islam seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Bagian-bagian dalam Islam ada tiga, yaitu: puasa, shalat, dan zakat; (2) Allah tidak akan membela seorang hamba (di dunia), lalu Ia menyerahkan kepada selain-Nya pada hari kiamat; dan (3) tidaklah seseorang mencintai satu kaum kecuali ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat. Dan yang keempat, seandainya aku bersumpah atasnya, aku tidak khawatir berdosa: Tidaklah Allah menutupi aib hamba-Nya di dunia kecuali Allah juga akan menutupi aibnya di akhirat”. Lalu ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata: “Apabila kalian mendengar hadits semisal ini, seperti hadits yang dibawakan ‘Urwah, hapalkanlah”.

Ishaaq berkata: Dan telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari Ibnu Mas’uud, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits yang semisalnya” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 4566; shahih. Ada beberapa jalan pendukung riwayat ini).

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa Allah tidak akan menjadikan orang yang masih mempunyai bagian dalam Islam sama seperti orang yang tidak mempunyai bagian. Seandainya meninggalkan shalat hukumnya kafir, niscaya kedudukan orang yang tidak mempunyai salah satu bagian dari Islam berupa shalat, niscaya sama dengan orang yang tidak mempunyai bagian sama sekali dari Islam.

(3) Dasarnya adalah hadits:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ، وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim dan Muusaa bin Ismaa’iil, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Anas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat, hendaklah ia segera shalat ketika ia mengingatnya. Tidak ada kafarat baginya kecuali hal itu. Allah ta’ala berfirman: ‘Dan dirikanlah shalat untuk menngingat-Ku’ (QS. Thaha: 14)” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 597).

(4) Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘hingga keluar dari waktunya’. Ada yang mengatakan bentuknya adalah mengakhirkan shalat Dhuhur hingga terbenam matahari, atau mengakhirkan shalat Maghrib hingga terbitnya fajar (Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, hal. 929-930). Ada pula yang mengatakan sebagaimana dhahirnya, seperti mengakhirkan shalat Dhuhur hingga masuk waktu ‘Ashar.

Posting Komentar untuk "Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat Karena Meremehkan dan Malas (Validitas Ijma' Salaf)"