Dalil Sholat 5 Waktu dalam Sehari Semalam
Daftar Isi Dalil Sholat
5 Waktu dalam Sehari Semalam
Allah ta’ala telah berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisaa’: 103)
Berkata Asy-Syinqithiy rahimahullah:
ذكر في هذه
الآية الكريمة أن الصلاة كانت ولم تزل على المؤمنين كتابا، أي: شيئا مكتوبا عليهم
واجبا حتما موقوتا
“Dalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala menyebutkan bahwa shalat telah dan akan senantiasa menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin, yaitu: sesuatu yang ditetapkan atas mereka dengan wajib dan sesuai dengan ketentuan waktunya” (Adlwaaul-Bayan, 1/279).
Allah ta’ala berfirman:
أَقِمِ
الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ
قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)” (QS.
Al-Israa’: 78).
Ayat di atas telah
menjelaskan waktu-waktu shalat secara global. Firman Allah ta’ala { لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ} “dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam” mengandung empat macam waktu shalat,
yaitu Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Dan kemudian ditambah satu lagi
dengan kelanjutannya: {وَقُرْآنَ الْفَجْرِ} “dan
Qur’aanal-Fajr” – yaitu waktu Fajar/Shubuh.
Melalui hadits ‘Abdullah
bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan lebih lanjut tentang waktu-waktu shalat dengan sabdanya:
وقت الظهر إذا زالت
الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت
صلاة المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة
الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس. فإذا طلعت الشمس فأمسك عن الصلاة. فإنها
تطلع بين قرني شيطان
“Waktu Dhuhur jika
matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama dengan tingginya
selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu ‘Ashar tetap ada selama matahari belum
berwarna kuning. Waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq) belum hilang.
Waktu shalat ‘Isya’ hingga tengah malam. (Waktu) shalat Shubuh mulai terbitnya
fajar hingga terbit matahari. Apabila matahari telah terbit, maka berhentilah
dari shalat, karena matahari itu terbit di antara dua tanduk syaithan” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 612, Ahmad 2/210, Ath-Thayalisiy no. 2249, Ath-Thahawiy 1/150,
Ibnu Hibban no. 1473, Al-Baihaqiy 1/365, Ibnu Khuzaimah no. 326, dan yang
lainnya).
Adapun perinciannya
adalah sebagai berikut:
Shalat Dhuhur
Makna Dhuhur adalah waktu
zawal (tergelincirnya matahari). Dan yang dimaksud dengan zawal adalah:
ميل الشمس عن
كبد السماء إلى المغرب.
“Tergelincirnya matahari dari pusat/tengah
langit ke arah barat” (Mishbaahul-Muniir, Majmuu’ 3/24, dan Al-Mughniy 1/372 –
melalui Shahih Fiqhis-Sunnah 1/237).
Waktu mulai tergelincirnya matahari adalah
waktu dimulainya shalat Dhuhur. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
hal ini. Dinamakan ‘Dhuhur’ karena ia merupakan shalat pertama yang dilakukan
oleh malaikat Jibril bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.(1)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai berakhirnya waktu Dhuhur. Yang rajih adalah ketika bayangan
benda sama dengan tingginya, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radliyallaahu ‘anhuma di atas.
Mengenai hadits Jaabir
bin ‘Abdillah Al-Anshariy radlyallaahu ‘anhuma:
خرج رسول الله
صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس وكان الفيء قدر الشراك ثم صلى العصر
حين كان الفيء قدر الشراك وظل الرجل
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
keluar untuk melaksanakan shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir dimana
panjang bayangan sama dengan tali sandal, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Ashar
saat panjang bayangan sama dengan tali sandal dan tinggi orang” (Diriwayatkan
oleh An-Nasa’iy no. 524; shahih).
Maka maksud hadits tersebut adalah beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuhur di akhir waktu dan selesai pada
panjang bayangan sama dengan tingginya. Saat itulah waktu ‘Ashar masuk.
Mengakhirkan pelaksanaan shalat Dhuhur – asal
tidak sampai keluar dari waktunya – adalah disunnahkan saat cuaca panas,
sebagaimana hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
كنا مع النبي
صلى الله عليه وسلم في سفر، فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه
وسلم: (أبرد). ثم أراد أن يؤذن، فقال له: (أبرد). حتى رأينا فيء التلول، فقال
النبي صلى الله عليه وسلم: (إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا
بالصلاة).
“Kami pernah bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu
ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin
ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda: “Tunggulah hingga
(suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di waktu
siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas,
maka tundalah shalat hingga dingin” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 539,
Muslim no. 616, Ibnu Khuzaimah no. 328, At-Tirmidzi no. 158, dan yang lainnya).
Shalat ‘Ashar
‘Ashar: Dimutlakkan untuk
waktu sore hingga matahari berwarna kemerah-merahan, yang saat itu merupakan
akhir waktu siang. Shalat ini juga disebut sebagai shalat Wusthaa(2).
Awal waktu ‘Ashar adalah
dimulainya panjang bayangan sama dengan tinggi benda. Ini adalah madzhab jumhur
‘ulama, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah mempunyai pendapat lain ketika
ia menyatakan bahwa waktu ‘Ashar dimulai ketika panjang bayangan dua kali
tinggi benda.(3)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai batas akhir waktu ‘Ashar. Yang rajih adalah sampai matahari
menguning atau memerah – sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu
‘anhuma yang disebutkan di awal. Dan
juga hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhu:
أن النبي صلى
الله عليه وسلم صلى في اليوم الأول العصر والشمس مرتفعة، وفي اليوم الثاني أخر
العصر فانصرف منها والقائل يقول: احمرَّت الشمس....
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah melaksanakan shalat ‘Ashar pada hari pertama yang saat itu
matahari masih tinggi. Dan pada hari kedua, beliau mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga ada yang
berkata: ‘Matahari telah berwarna kemerah-merahan….” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 614, Abu Dawud
no. 395, dan An-Nasa’iy no. 523).
Inilah pendapat Ahmad,
Abu Tsaur, dan satu riwayat dari Malik.(4)
Adapun waktu daruratnya
sampai matahari terbenam. Hal ini didasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من أدرك من
الصبح ركعة قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب
الشمس فقد أدرك العصر.
“Barangsiapa yang
mendapatkan satu raka’at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah
mendapatkan shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat
‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 579, Muslim no. 608, At-Tirmidzi no. 186, Ibnu Majah no.
699, Ibnu Khuzaimah no. 985, Ad-Daarimiy no. 1258, Ibnu Hibban no. 699, dan
yang lainnya).(5)
Catatan:
§ Disunnahkan untuk
mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat matahari masih tinggi.
عن أنس بن مالك
قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي العصر والشمس مرتفعة، فيذهب الذاهب
إلى العوالي فيأتيهم والشمس مرتفعة، وبعض العوالي من المدينة على أربعة أميال أو
نحوه.
Dari Anas bin Maalik ia berkata: “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar pada waktu matahari
masih tinggi. Kemudian ada seseorang yang pergi ke Al-‘Awaaliy (setelah shalat
‘Ashar), dan ia tiba di sana saat matahari masih agak tinggi – dimana jarak
antara Al-‘Awaaliy dan Madinah kira-kira 4 mil” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 550, Muslim 621, Ibnu Hibban no. 1518-1519, dan yang lainnya).
§ Disunnahkan untuk
mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat cuaca gelap/mendung.
عن أبي المليح
قال: كنا مع بريدة في غزوة في يوم ذي غيم. فقال: بكِّروا بصلاة العصر، فإن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله.
Dari Abu Al-Maliih ia
berkata: “Kami pernah bersama Buraidah pada satu peperangan yang waktu itu
cuaca berawan/gelap. Ia berkata: ‘Kerjakanlah shalat ‘Ashar di awal waktu,
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang
meninggalkan shalat ‘Ashar, sungguh telah hilang semua amalnya” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 553, An-Nasa’iy no. 474, Ath-Thayalisiy no. 810, Ibnu Abi
Syaibah 1/343 dan 2/237, Al-Marwaziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 903,
Ibnu Khuzaimah no. 336, Al-Baihaqiy 1/444, Al-Baghawiy no. 369, dan yang
lainnya).
Shalat Maghrib
Maghrib secara asal
bermakna: terbenamnya matahari, atau ketika matahari akan tenggelam.
Dimutlakkan menurut bahasa pada makna waktu dan tempat terbenamnya matahari.
Pada waktu itulah shalat Maghrib dilaksanakan.(6)
Pada masyarakat ‘Arab
dahulu, orang-orang sering menyebut Maghrib dengan ‘Isya’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya melalui sabdanya:
لا تغلبنكم
الأعراب على اسم صلاتكم المغرب! قال: وتقول الأعراب: هي العشاء.
“Janganlah kalian
dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam menyebut nama shalat kalian,
yaitu Maghrib. Orang-orang Arab Baduwi menyebutnya: ‘Isya’” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 563).
Awal waktu Maghrib adalah
ketika matahari terbenam dan hilang secara sempurna. Para ulama telah bersekapat mengenai hal ini.
عن سلمة بن
الأكوع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي المغرب إذا غربت الشمس وتوارت
بالحجاب.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Maghrib
saat matahari telah terbenam dan tidak nampak” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 561, Muslim no. 636, Ibnu Majah no. 688, Ahmad 4/54, dan yang lainnya).
Tanda lain yang juga bisa
diketahui adalah: Hilangnya mega dari atas gunung dan datangnya gelap malam
dari arah timur, serta munculnya bintang-bintang.(7)
Adapun akhir waktu
Maghrib, para ulama berselisih pendapat. Yang raajih adalah pendapat yang
mengatakan bahwa akhir waktu Maghrib adalah ketika mega merah telah hilang di
sebelah barat, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma yang
disebutkan di awal.
Disunnahkan untuk
mensegerakan pelaksanaan shalat Maghrib, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لا تزال أمتي
بخير أو قال على الفطرة ما لم يؤخروا المغرب إلى أن تشتبك النجوم
“Senantiasa umatku berada di atas kebaikan
–atau beliau bersabda: ‘di atas fithrah’ – selama mereka tidak mengakhirkan
shalat Maghrib hingga bermunculan bintang-bintang” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 418, Ibnu Khuzaimah no. 339, Ibnu Majah no. 689, Ahmad 5/421, dan yang
lainnya; hasan).
Shalat ‘Isya’
‘Isya’ adalah nama dari
awal kondisi gelap dari terbenamnya matahari hingga benar-benar gelap di waktu
malam. Dinamakan shalat ‘Isya’ karena ia dilakukan pada waktu tersebut.
Shalat ‘Isya’ disebut
juga Shalaatul-Aakhirah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أيما امرأة
أصابت بخورا، فلا تشهد معنا العشاء الآخرة
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka
janganlah ia menghadiri Shalatul-Aakhirah (shalat ‘Isya’) bersama kami “ (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 444, Abu Dawud no. 4175, An-Nasa’iy no. 5128 dan 5263, Abu
‘Awaanah 2/17, Al-Baihaqiy 3/333, serta Al-Baghawiy no. 861).
Selain itu, shalat ‘Isya’ juga dinamakan
dengan shalat ‘atamah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لو يعلم الناس
ما في النداء والصف الأول، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا لاستهموا عليه. ولو يعلمون
ما في التهجير لاستبقوا إليه، ولو يعلمون ما في العتمة والصبح لأتوهما ولو حبوا
“Sekiranya orang-orang mengetahui keutamaan
menyambut seruan adzan dan berada di shaff pertama kemudian hal tersebut hanya
dapat diraih dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundi demi mendapatkannya.
Sekiranya mereka mengetahui keutamaan at-tahjiir (shalat di awal waktunya),
niscaya mereka akan berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui
keutamaan shalat ‘atamah (‘Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya
meskipun harus merangkak” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 615, 653, 720,
2689; Muslim no. 437; At-Tirmidziy no. 225-226, An-Nasa’iy no. 540, 671; Ibnu
Khuzaimah no. 391, 1475, 1554; Abu ‘Awaanah 1/333, 2/37; Ibnu Hibban no. 1659,
2153; dan yang lainnya).
Namun penyebutan shalat ‘atamah tersebut adalah
makruh, karena telah ada larangan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لا تغلبنكم
الأعراب على اسم صلاتكم. ألا إنها العشاء. وهم يعتمون بالإبل
“Janganlah kalian
dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam penyebutan shalat kalian.
Ketahuilah bahwa sebutannya adalah ‘Isya’ (bukan ‘atamah). Karena mereka
mengisi waktu ‘atamah untuk memerah” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 644,
An-Nasa’iy no. 542, ‘Abdurrazzaq no. 2151-2152, Abu Dawud no. 4984, Al-Baghawiy
no. 377, Ibnu Hibban no. 1532, Ahmad 2/144, dan yang lainnya).
Awal waktu ‘Isya’ adalah
saat syafaq (mega merah) telah benar-benar hilang. Para ulama tidak berbeda
pendapat mengenai hal ini.
Adapun akhir waktu
‘Isya’, para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama
mengatakan akhir waktu ‘Isya’ adalah akhir sepertiga malam pertama. Ini
merupakan pendapat Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadid-nya, Abu Hanifah, serta
yang masyhur dari madzhab Malikiyyah.(8) Dalil mereka adalah hadits imamah
malikat Jibril terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah
lalu, dimana di dalamnya disebutkan:
أنه صلاها
بالنبي صلى الله عليه وسلم في اليوم الثاني ثلث الليل.
“Bahwa sesungguhnya ia melaksanakan shalat
bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari kedua saat sepertiga
malam pertama”.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga pertengahan malam. Ini merupakan
pendapat Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaq (bin Rahawaih), Abu Tsaur, dan
ashhaabur-ra’yi. Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-qadiim-nya mengatakan boleh mengerjakan
shalat ‘Isya’ setelah waktu tersebut, namun hal itu makruh. Ia berpendapat
bahwa waktu tersebut adalah waktu pilihan (waqtul-ikhtiyaar) dimana seseorang
masih boleh mengerjakannya hingga waktu fajar. Demikian pula pendapat Ibnu
Hazm. Dalil mereka adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma
sebagaimana disebutkan di awal, dan juga hadits Anas radliyallaahu ‘anhu secara
marfu’:
أخر النبي صلى
الله عليه وسلم صلاة العشاء إلى نصف الليل،
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 572).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu
‘Isya’ adalah hingga munclnya fajar shaadiq – walaupun seseorang tidak dalam
kondisi darurat. Ini merupakan pendapat ‘Atha’, Thaawus, ‘Ikrimah, Dawud
Adh-Dhaahiriy, dan teriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah. Pendapat ini
merupakan pilihan Ibnul-Mundzir.(9) Dalil mereka di antaranya adalah hadits Abu
Qatadah, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنما التفريط
على من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت صلاة أخرى
“Sikap peremehan itu hanya ada pada orang yang
tidak melaksanakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 311, Abu Dawud no. 441, Ibnul-Jaarud no. 681, Ibnu Khuzaimah
no. 681, Ibnu Hibban no. 1460, An-Nasa’iy no. 615-616, Ad-Daaruquthniy 1/386,
Al-Baihaqiy 1/404, dan yang lainnya).
Juga hadits:
عن عائشة؛ قالت:
أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة الليل. وحتى نام أهل
المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق على أمتي"
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Suatu malam Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga (hampir) habis
waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di masjid tertidur.
Kemudian beliau keluar untuk shalat dan bersabda: ‘Sesungguhnya inilah waktunya
(yang paling utama) jika saja tidak memberatkan bagi umatku” (Diriwayatkan oleh
Muslim no. 638, Ahmad 6/150, ‘Abdurrazzaq no. 2114, Al-Baihaqiy 1/450, Ibnu
Khuzaimah no. 348, Ishaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 1037, dan yang
lainnya).
Yang raajih dari tiga
pendapat tersebut adalah pendapat kedua (hingga pertengahan malam) – karena
penunjukan dalilnya sangat jelas. Hadits Abu Qatadah menunjukkan perbuatan
maksiat dari seorang hamba yang menunda-nunda shalat. Selain itu, jika hadits
tersebut dipahami sebagaimana pemahaman pendapat ketiga, konsekuensinya adalah
semua waktu shalat adalah saling bersambung. Tentu saja ini tidak bisa
diterima, karena pemahaman ini tidak berlaku untuk waktu shalat Shubuh. Begitu
pula yang seharusnya dipahami untuk waktu shalat ‘Isya’. Adapun waktu dari
tengah malam hingga fajar adalah waktu ikhtiyaar dimana seseorang masih bisa
mengerjakan shalat ‘Isya’ di waktu ini pada saat mendesak/darurat.
Sedangkan hadits ‘Aisyah
yang terdapat perkataan: ‘hingga (hampir) habis waktu malam’ ; maknanya adalah
sebagian besar waktu malam. Dan perkataan: ‘sesungguhnya inilah waktunya (yang
paling utama)’ ; harus dita’wil – bahwa waktu tersebut tetap tidak boleh keluar
setelah waktu pertengahan malam. Hal itu dikarenakan tidak ada satu pun ulama yang
memahami bahwa mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga setelah
pertengahan malam – atau bahkan mendekati fajar – lebih utama. Hal ini selaras dengan riwayat lain yang
berbunyi:
لولا أن أشق على
أمتي لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه
“Jika saja tidak memberatkan umatku, sungguh
akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga
sepertiga malam atau pertengahan malam” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 167,
Ibnu Majah no. 691, dan Ahmad 2/245; shahih).
Catatan:
§ Disunnahkan untuk
mengakhirkan perlaksanaan shalat ‘Isya’ sebagaimana disebutkan dalam hadits di
atas.
§ Dimakruhkan tidur
sebelum shalat ‘Isya’, sebagaimana terdapat dalam hadits:
كان رسول الله
صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam, dan
membenci tidur sebelumnya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 568 dan Muslim no.
647).
Al-Haafidh berkata:
ومن نقلت عنه
الرخصة قيدت عنه في أكثر الروايات بما إذا كان له من يوقظه أو عرف من عادته أنه لا
يستغرق وقت الاختيار بالنوم، وهذا جيد حيث قلنا إن علة النهي خشية خروج الوقت
“Di antara para ulama melihat ada keringanan
mengecualikannya jika ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau
diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak akan sampai melewatkan waktu
shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan pelarangan
tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat” (Fathul-Baariy, 2/49).
§ Dimakruhkan ngobrol
tanpa faedah setelah shalat ‘Isya’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لا سمر إلا لأحد
رجلين: لمصل ولمسافر
“Tidak boleh ngobrol (pada malam hari setelah
shalat ‘Isya’) kecuali dua orang: Orang yang akan shalat dan musafir” (Diriwayatkan
oleh Ahmad 1/379, 412, 444, 463; ‘Abdurrazzaq no. 2130; Al-Baihaqiy 1/452; Abu
Ya’la no. 5368; dan yang lainnya – shahih lighairihi).
عن عبد الله بن
مسعود؛ - قال: جدب لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم السمر بعد العشاء. يعني زجرنا.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan celaan kepada kami
mengobrol setelah ‘Isya’ – yaitu melarang kami (untuk melakukannya)” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah no. 703, Ahmad 1/389, Ibnu Abi Syaibah 2/279, Ibnu Khuzaimah
no. 1240, Ibnu Hibban no. 2031, dan Al-Baihaqiy 1/452; hasan lighairihi).
An-Nawawi berkata:
والمراد به
الحديث الذي يكون مباحاً في غير هذا الوقت, وفعله وتركه سواء, فأما الحديث المحرم
أو المكروه في غير هذا الوقت, فهو في هذا الوقت أشد تحريماً وكراهة. وأما الحديث
في الخير كمذاكرة العلم وحكايات الصالحين, ومكارم الأخلاق, والحديث مع الضيف, ومع
طالب حاجة, ونحو ذلك, فلا كراهة فيه, بل هو مستحب, وكذا الحديث لعذر وعارض لا
كراهة فيه, وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على كل ما ذكرته.
“Yang dimaksudkan adalah perbincangan yang
hukum asalnya mubah (boleh) jika dilakukan di selain waktu tadi (yaitu waktu
‘Isya’), dimana antara melakukan dan meninggalkannya adalah sama. Adapun obrolan yang haram
atau makruh jika dilakukan di selain waktu tadi, maka melakukannya pada waktu
larangan ini lebih terlarang lagi. Adapun obrolan dalam kebaikan seperti
mengulang-ulang pelajaran, menceritakan orang-orang shalih, atau tentang akhlak
mulia, atau berbicara dengan tamu, atau orang yang membutuhkan sesuatu, dan
yang lainnya; maka tidak apa-apa walaupun dilakukan dalam waktu yang dilarang
tadi. Bahkan bisa jadi dianjurkan/disunnahkan. Demikian juga obrolan karena
adanya udzur atau keperluan mendadak, maka tidak terlarang. Dan telah jelas hadits-hadits
shahih yang menerangka apa yang telah aku sebutkan” (Riyaadlush-Shaalihiin,
hal. 485)
Shalat Fajar/Shubuh
Fajar secara asal
maknanya adalah: asy-syafaq (cahaya/mega yang berwarna kemerahan). Asy-syafaq
yang muncul di akhir malam seperti asy-syafaq yang muncul di awal malam.
Fajar itu ada 2 (dua):
§ Fajar Kadzib: adalah
warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
§ Fajar Shadiq: adalah
warna merah yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar
Kadzib), sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الفجر فجران
فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل
الصلاة
“Fajar itu ada dua macam: Adapun fajar yang
pertama, tidak diharamkan makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat
(shubuh); sedangkan fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan
shalat shubuh” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; shahih).
Para ulama bersepakat bahwa awal waktu fajar
adalah munculnya fajar shaadiq dan akhir waktunya adalah terbitnya matahari.
Jumhur ulama – seperti Malik, Asy-Syafi’iy,
Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur(10) - berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Shubuh
yang paling utama adalah pada saat kegelapan akhir malam yang bersamaan telah
munculnya cahaya terang waktu Shubuh. Adapun dalil yang menjadi dasar pijakan
adalah:
عن عائشة قالت
كنا نساء المؤمنات، يشهدن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، متلفعات
بمروطهن، ثم ينقلبن إلى بيوتهن حين يقضين الصلاة، لا يعرفهن أحد من الغلس.
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Kami para wanita
mukminin ikut menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan berbalut kain bulu. Kemudian mereka (para wanita)
kembali ke rumah mereka seusai melaksanakan shalat dalam keadaan mereka tidak
mengenali seorang pun karena keadaan masih gelap” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 578, Muslim no. 230, Ath-Thahawiy 1/76, Abu Ya’la no. 4415, Ahmad 6/248,
dan yang lainnya).
عن أنس، عن زيد
بن ثابت رضي الله عنه قال: تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى
الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان والسحور؟. قال: قدر خمسين آية.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit bahwa dia
pernah berkata: “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata:
“Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab: خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh
ayat dari Al-Qur’an)” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no.
1097).
Sebagian ulama lain –
seperti Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan yang sepakat dengan keduanya – berpendapat
waktu yang paling utama melaksanakan shalat Shubuh ketika cahaya telah terang.
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
أسفروا بالفجر،
فإنه أعظم للأجر
“Laksanakan shalat Shubuh
hingga waktu isfar, karena pada waktu itu lebih besar pahalanya” (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 424, At-Tirmidzi no. 154, An-Nasa’iy no. 548, dan Ibnu Majah
no. 672; shahih lighairihi).
Namun pendalilan ini
disanggah, sebagaimana dikatakan oleh Ibni Hibban:
أراد النبي صلى
الله عليه وسلم بقوله أسفروا في الليالي المقمرة التي لا يتبين فيها وضوح طلوع
الفجر لئلا يؤدي المرء صلاة الصبح إلا بعد التيقن بالإسفار بطلوع الفجر فإن الصلاة
إذا أديت كما وصفنا كان أعظم للأجر من أن تصلى على غير يقين من طلوع الفجر
“Bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan sabdanya ‘asfiruu’ adalah pada saat cahaya bulan
bersinar terang, sebab tidak diragukan lagi bahwa saat itu dalam cuaca terang
karena sinarnya. Seseorang hendaknya tidak melaksanakan shalat Shubuh hingga merasa yakin
bahwa fajar benar-benar telah bercahaya. Sebab, jika seseorang melaksanakan
shalat sesuai dengan apa yang kita jelaskan, maka ia akan mendapat pahala yang
besar daripada ia shalat dalam keadaan yang tidak yakin atas kemunculan Fajar
(yaitu apakah fajar telah nampak atau belum)” (Shahih Ibni Hibban – di bawah
no. 1491).
Dan itulah (pendapat
jumhur) yang raajih, karena berkesesuaian dengan keumuman ayat:
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali ‘Imraan: 133).
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
(Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo, semoga
Allah mengampuni dosa-dosanya, dosa kedua orang tuanya, istrinya, dan
saudara-saudaranya. Ditulis bersumber dari Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik
Kamal, Mawaaqitush-Shalaah oleh Ibnu ‘Utsaimin, Adlwaaul-Bayaan oleh Asy-Syinqithiy,
dan yang lainnya)
Footnote:
(1) Sebagaimana hadits Jaabir bin ‘Abdillah
radliyallaahu ‘anhu:
أن جبريل أتى
النبي صلى الله عليه وسلم يعلمه مواقيت الصلاة فتقدم جبريل ورسول الله صلى الله
عليه وسلم خلفه والناس خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت
الشمس
“Bahwasannya Jibril pernah mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada beliau tentang
waktu-waktu shalat. Lalu Jibril maju ke depan (mengimami) dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di belakang beliau (untuk melaksanakan
shalat berjama’ah), dan para shahabat berdiri di belakang Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat Dhuhur saat matahari telah
tergelincir” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 513; shahih).
(2) Allah ta’ala berfirman:
حَافِظُواْ
عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah)
shalat wustha. Berdirilah karean Allah (dalan shalatmu) dengan khusyu” (QS. Al-Baqarah:
238).
Dari Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
saat perang Khandaq:
ملأ الله عليهم
بيوتهم وقبورهم نارا كما شغلونا عن صلاة الوسطى حتى غابت الشمس
“Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah
mereka dengan api neraka, sebagaimana mereka membuat kita ketinggalan
mengerjakan shalat wusthaa hingga matahari terbenam” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 4111).
Dalam lafadh Muslim disebutkan:
شغلونا عن
الصلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله بيوتهم وقبورهم نارا ثم صلاها بين المغرب
والعشاء
“Mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan
shalat wusthaa; (yaitu) shalat ‘Ashar. Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api
neraka. Kemudian beliau mengerjakannya antara Maghrib dan ‘Isya”. (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 627).
(3) Asy-Syinqithiy menukil:
وشذ أبو حنيفة
رحمه الله من بين عامة العلماء فقال: يبقى وقت الظهر حتى يصير الظل مثلين، فإذا
زاد على ذلك يسيرا كان أول وقت العصر..... قال ابن عبد البر: خالف أبو حنيفة في
قوله هذا الآثار والناس، وخالفه أصحابه، فإذا تحققت أن الحق كون أول وقت العصر
عندما يكون ظل كل شيء مثله، من غير اعتبار ظل الزوال.
“Abu Hanifah rahimahullah mempunyai pandangan
tersendiri yang berbeda dengan para ulama secara umum, dimana ia berkata:
‘Waktu Dhuhur berlaku hingga panjang bayangan dua kali tinggi benda. Apabila panjang bayangan
itu bertambah sedikit saja, maka telah masuk waktu ‘Ashar”……. Berkata Ibnu
‘Abdil-Barr: ‘Abu Hanifah telah menyelisihi dalam perkataannya terhadap
atsar-atsar dan ulama-ulama, dimana para shahabatnya tidak sejalan dengannya.
Telah jelas bahwa yang benar mengenai awal waktu ‘Ashar adalah saat panjang
bayangan sesuatu seukuran tingginya, tanpa memperhatikan bayangan zawal” (Adlwaaul-Bayan,
1/283-284, dengan peringkasan).
(4) Bidaayatul-Mujtahid 1/126, Al-Mughniy
1/376, dan Al-Ausath 2/331 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/240.
(5) Oleh karena itu,
seorang muslim – pada asalnya – dilarang menyengaja untuk mengakhirkan
pelaksanaan shalat ‘Ashar hingga menjelang matahari tenggelam. Hal ini didasarkan oleh hadits:
تلك صلاة
المنافقين يجلس يرقب الشمس حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقرها أربعا لا
يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itu adalah cara shalat
orang-orang munafiq yang duduk dan memperhatikan matahari sampai saat matahari
berada di antara dua tanduk syaithan. Maka ia berdiri dan mengerjakanya empat
raka’at. Tidaklah ia mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 622, At-Tirmidzi no. 160, An-Nasa’iy no. 511, Al-Baihaqiy 1/443-444,
Ibnu Khuzaimah no. 333, Ibnu Hibban no. 262).
Dalam hadits ini terdapat
dalil yang melarang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berwarna
kekuning-kuningan/kemerah-merahan atau lebih dari itu.
(6) Mishbaahul-Muniir dan
Kaysful-Qanaa’ 1/253.
(7) Al-Badaai’ 1/123,
Al-Mughniy 1/381, dan Nailul-Authaar 2/5,8.
(8) Al-Ausath 2/343,
Al-Umm 1/74, Bidaayatul-Mujtahid 1/128, dan Al-Majmu’ 3/42 – melalui
perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/245.
(9) Al-Ausath 2/346 dan Bidaayatul-Mujtahid
1/128 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/245.
(10) Al-Mudawwanah 1/56, Al-Ausath 2/377,
Mughnil-Muhtaj 1/125, Al-Mughni 1/394, dan Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy
1/197 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/249.
Posting Komentar untuk "Dalil Sholat 5 Waktu dalam Sehari Semalam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.