Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Air Mani Najis atau Suci ?

Banyak yang bertanya-tanya “Apakah Air Mani termasuk Najis atau Tidak?”.

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hanafiyyah, Malikiyyah, Al-Laitsi, Al-Hasan Al-Bashri, dan salah satu pendapat dari Ahmad mengatakan akan najisnya air mani. Adapun Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa air mani itu suci bukan najis. Pendapat terakhir ini dikuatkan oleh Al-Haafidh dalam Al-Fath (1/265) dan Asy-Syaukani dalam As-Sailul-Jaraar (1/67).

Banyak saling silang pendapat dan bantahan dari masing-masing pihak. Namun di sini saya hanya ingin menulis pendapat yang terkuat saja bahwasannya air mani itu suci, bukan najis. Berikut dalil yang melandasinya:

1.    Asal dari segala sesuatu adalah suci. Tidaklah sesuatu disebut sebagai najis hingga datang dalil yang shahih dan sharih (jelas) yang memalingkannya dari sifat asalnya (yaitu suci). Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menunjukkan akan najisnya air mani.

2.    Seandainya air mani itu najis, niscaya akan datang perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mencucinya. Secara khusus, air mani itu seringkali mengenai badan, pakaian, tempat tidur, dan yang lainnya. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci apa yang mengenai hal-hal tersebut, maka dapat diketahui bahwasannya air mani itu suci. Mengakhirkan penjelasan pada waktu yang dibutuhkan itu tidak diperbolehkan (تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan wanita yang haidl untuk mencuci darah haidl yang mengenai pakaiannya, namun bersamaan itu beliau tidak memerintahkan mencuci yang terkena air mani – padahal apa yang dikenai air mani itu lebih banyak dan lebih sering. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk mencuci madzi dan apa-apa yang mengenainya, namun beliau tidak memerintahkan mencuci air mani – padahal ia keluar dengan sebab yang hampir serupa (yaitu syahwat). Dari sini dapat diketahui bahwa mencuci air mani itu tidaklah wajib, karena ia bukan termasuk najis.

3.    Hadits ‘Abdullah bin Syihaab Al-Khaulani:

عن عبدالله بن شهاب الخولاني؛ قال: كنت نازلا على عائشة. فاحتملت في ثوبي. فغمستهما في الماء. فرأتني جارية لعائشة. فأخبرتها. فبعثت إلي عائشة فقالت: ما حملك على ما صنعت بثوبيك؟ قال قلت: رأيت ما يري النائم في منامه. قالت: هل رأيت فيهما شيئا؟ قلت: لا. قالت: فلو رأيت شيئا غسلته. لقد رأيتني وإني لأحكه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، يابسا بظفري

Dari ‘Abdullah bin Syihaab Al-Khaulaniy, ia berkata: Aku pernah singgah di tempat ‘Aisyah. Lalu aku bermimpi sehingga dua pakaianku terkena air mani. Maka aku celupkan ke dalam air. Aku dilihat oleh budak ‘Aisyah, dan kemudian ia memberitahukan kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah menghampiriku dan bertanya: “Mengapa dua pakaianmu engkau celup seperti itu ?”. Aku menjawab: “Aku telah bermimpi dan mengeluarkan air mani”. ‘Aisyah bertanya: “Apakah engkau melihat sesuatu (air mani) di kedua pakaianmu ?”. Aku menjawab: “Tidak”. ‘Aisyah berkata: “Apabila engkau melihat sesuatu (air mani), maka basuhlah ia. Sesungguhnya aku pernah menggerik bekas air mani kering dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kuku-ku” (HR. Muslim no. 290).

Sisi pendalilannya adalah bahwa ‘Aisyah hanya menggosok air mani (kering) dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apabila air mani itu najis, niscaya wajib untuk mencucinya seperti halnya najis.

Jika ada yang menyanggah: “Sesungguhnya menggosok air mani kering itu tidaklah selalu menunjukkan kesuciannya. Sebab, terdapat hadits yang menunjukkan sucinya sandal (yang tertempel najis di bawahnya) dengan tergosok tanah saat memakainya, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berikut:

عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر، فإِن رأى في نعليه قذراً أو أذى فليمسحه وليصل فيهما

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, hendaklah ia lihat (kedua sandalnya). Apabila ia melihat di kedua sandalnya ada kotoran, maka gosoklah ia dan kemudian shalatlah dengannya” (HR. Abu Dawud no. 650; shahih).

Kita jawab dengan keterangan berikut:

4.    Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa:

عن عائشة أنها كانت تحت المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يصلي

Dari ‘Aisyah, bahwasannya ia pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu beliau sedang shalat” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 290; rijal hadits ini tsiqaat).

Jika air mani itu memang najis, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan membersihkannya sebelum shalat. Namun beliau tetap memakai pakaian tersebut yang kemudian noda air mani itu dibersihkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Mungkin ada yang menyanggah: Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa pakaiannya terkena air mani, sehingga waktu itu ‘Aisyah lah yang membersihkannya. Shalat orang yang tidak mengetahui bahwa pakaiannya terkena najis adalah sah, tidak perlu mengulang.

Kita jawab: Sekiranya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam waktu itu tidak mengetahui bahwa ada najis yang menempel di bajunya, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan diperingatkan ketika shalat melalui wahyu. Sebagaimana beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah diperingatkan oleh Jibril terhadap kotoran yang ada pada sandalnya - sedangkan beliau dalam keadaan shalat - lalu beliau membukanya dan meneruskan shalatnya.

Apalagi hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat:

عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلت المنى من ثوبه بعرق الأذخر ثم يصلي فيه ويحته من ثوبه يابسا ثم يصلي فيه

Dari ‘Aisyah ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menghilangkan (menggosok) air mani dari bajunya dengan daun idzkhir, kemudian shalat dengannya. Dan beliau pun pernah mengerik bekas air mani kering dari bajunya, kemudian shalat dengannya” (HR. Ahmad 6/243 dan Ibnu Khuzaimah no. 294; hasan).

Hadits di atas menunjukkan bahwa beliau pernah menghilangkan air mani yang masih basah dengan daun idzkhir. Tentu saja, jika air mani dibersihkan dengan daun idzkhir akan meninggalkan sisa noda basah pada pakaian beliau. Namun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap shalat dengan menggunakan pakaian tersebut. Tidak ada alasan bahwa beliau tidak mengetahui ada noda air mani pada pakaiannya. Jika air mani itu najis, tentu saja tidak cukup membersihkan air mani basah dengan daun idzkhir yang sudah pasti masih meninggalkan bekas/sisa.

Dalil-dalil yang menunjukkan kesucian air mani – bukan najis – sangatlah kuat. Akan tetapi, ketika kita mengatakan bahwa air mani itu suci, bukan berarti ia tidak perlu dibersihkan. Sebab, kedudukannya adalah seperti air liur atau ingus. Walaupun keduanya suci, tetap saja harus dihilangkan jika mengenai pakaian atau yang semisalnya.

عن ابن عباس أنه قال في المني يصيب الثوب: أمطه عنك بعود أو إذخر، وإنما هو بمنزلة البصاق أو المخاط

Dari Ibnu ‘Abbas bahwasannya ia pernah berkata tentang air mani yang mengenai pakaian: “Hilangkan ia darimu, dengan kayu atau idzkhir. Air mani itu hanyalah seperti kedudukan ludah atau ingus” (HR. Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/56 dan Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 2/159; sanadnya shahih).

Wallaahu a’lam.

Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga bermanfaat.

Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo

Posting Komentar untuk "Air Mani Najis atau Suci ?"