Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 1)
Berikut ini adalah penjelasan terkait hukum syair, musik dan nyanyian. telah kita ketahui bersama bahwa permasalahan tersebut sudah menjadi pembahasan fenomenal dikalangan ulama terdahulu. Simak artikel berikut ini dengan baik:
HUKUM SYAIR (SYI’IR)
Banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir:
عن بن عمر رضى
الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير
له من أن يمتلئ شعرا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: “Lebih baik salah seorang
dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir"
(HR. Al-Bukhari no. 5802).
عن أبي هريرة
رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا
يريه خير من أن يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Lebih baik
salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya
daripada ia penuhi dengan sya’ir" (HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no.
2257).
Ibnu Hajar berkata:
هذه المبالغة في
ذم الشعر أن الذين خوطبوا بذلك كانوا في غاية الإقبال عليه والاشتغال به فزجرهم
عنه ليقبلوا على القرآن وعلى ذكر الله تعالى وعبادته فمن أخذ من ذلك ما أمر به لم
يضره ما بقي عنده مما سوى ذلك والله أعلم
“Faktor munculnya celaan yang cukup keras
tersebut karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan
diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk sya’ir, sehingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an,
berdzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan
kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallaahu a’lam. (Fathul-Bari – 10/550)
عن عمرو بن
الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر
أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا
فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya
(Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata: "Suatu hari aku dibonceng
oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya: ‘Apakah
engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab: ‘Ya’.
Beliau berkata: ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair.
(Setelah selesai), beliau pun berkata: ‘Teruskanlah !’. Maka aku pun
melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal
yang sama: ‘Teruskanlah !’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair"
(HR. Muslim no. 2255).
An-Nawawi berkata ketika
menjelaskan hadits di atas:
وَمَقْصُود
الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر
أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار
بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا
فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ
الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار
مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس
بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه
"Maksud hadits ini bahwa Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan meminta
tambahan syair terhadap apa yang ada di dalamnya dari pengakuan terhadap
keesaan (Allah) dan hari akhir. Dan di dalamnya terdapat pembolehan terhadap pelantunan
syair yang tidak mengandung kekejian, sekaligus mendengarkannya. Sama saja,
apakah syair tersebut merupakan syair Jahiliyyah atau selainnya. Dan yang harus
dijauhi dari perkara syair yang tidak mengandung kekejian adalah tidak
berlebihan padanya. Dan itulah yang biasanya terjadi pada diri manusia. Adapun
sedikit syair dengan cara melantunkan, mendengarkannya, atau menghafalnya maka
tidak mengapa" (Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 1572 – Maktabah
Al-Misykah).
Bersyair pada asalnya
adalah boleh sebagaimana telah tsabit dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam
kondisi-kondisi tertentu sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad.
Namun jika dilakukan secara berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar
dan An-Nawawi), maka hal itu adalah tercela.
HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK
Perlu dicatat bahwa
lantunan syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam
sangatlah berbeda dengan nyanyian (al-ghina’ atau as-simaa’). Imam Ahmad
Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’ halaman 47: Al-Ghina’ secara bahasa
adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti
rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187), al-ghinaa’ dikatakan
sebagai suara yang diperindah. Yang lebih jelas adalah apa yang dikatakan oleh
Asy-Syathibi:
لكن العرب لم
يكن لها من تحسين النغمات ما يجرى مجرى ما الناس عليه اليوم بل كانوا ينشدون الشعر
مطلقا من غير ان يتعلموا هذه الترجيعات التي حدثت بعدهم بل كانوا يرققون الصوت
ويمططونه على وجه يليق بأمية العرب الذين لم يعرفوا صنائع الموسيقى فلم يكن فيه
إلذاذ ولا إطراب لهى وإنما كان لهم شىء من النشاط كما كان الحبشة وعبد الله بن
رواحة يحدوان بين يدى رسول الله صلى الله عليه وسلم
وكما كان
الأنصار يقولون عند حفر الخندق
نحن الذين
بايعوا محمداًَ
على الجهاد ما
حيينا أبداًَ
فيجيبهم صلى
الله عليه وسلم
اللهم لا خير
إلا خير الأخرة
فاغفر للأنصار
والمهاجرة
“Akan tetapi orang Arab
tidaklah mengenal cara memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan oleh
manusia pada hari ini. Akan tetapi mereka melantunkan syair secara mutlak tanpa
mempelajari notasi-notasi yang muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan
memanjangkannya sebagaimana kebiasaan kaum Arab yang ummi yang mereka tidak
mengetahui alunan musik. Maka tidak akan menimbulkan keterlenaan dan membuat
bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan semangat
sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan syairnya di hadapan Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam. Juga sebagaimana kaum Anshar yang melantunkannya
ketika menggali parit (ketika menjelang perang Khandaq):
Kamilah yang membaiat
Muhammad
Untuk berjihad selamanya
selama kami masih hidup
Maka Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam menjawab mereka dengan:
Ya Allah, tidak ada
kebaikan selain kebaikan akhirat
Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
(selesai perkataan
Asy-Syathibi dalam Kitabul-I’tisham juz 1 hal. 207-208 – Maktabah Al-Misykah).
Para ulama telah membagi
al-ghina’ menjadi dua:
1. Nyanyian yang seperti
kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan,
mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur
dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan
kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang pertama ini di antaranya adalah al-hida’,
lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis
atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam
sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam (Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan
Kasyful-Qina’ halaman 47-49). Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama
ini selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang
diharamkan. Ringkasnya, nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih
mirip kepada syair) – seperti ini adalah diperbolehkan.
2. Nyanyian yang
dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya
yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di
jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka
mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan
menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis
kedua inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat
menjadi tiga kelompok: mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.
Khilaf yang terjadi dalam
nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih adalah pendapat yang
mengharamkannya atau minimal membencinya (makruh) – untuk ditinggalkan. Apalagi
jika diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas dan kuat lagi keharamannya.
Dalil-dalil yang dijadikan dasar keharaman adalah sebagai berikut:
Dalil Al-Qur’an
1. Firman Allah ta’ala:
وَمِنَ النّاسِ
مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلّ عَن سَبِيلِ اللّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مّهِينٌ
Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (QS. Luqman: 6).
Ibnu Katsir menukil
perkataan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya:
حدثني يونس بن
عبد الأعلى قال: أخبرنا ابن وهب, أخبرني يزيد بن يونس عن أبي صخر عن أبي معاوية
البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء البكري أنه سمع عبد الله بن مسعود وهو يسأل
عن هذه الاَية {ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل على سبيل الله} فقال عبد الله
بن مسعود: الغناء والله الذي لا إله إلا هو, يرددها ثلاث مرات
Telah menceritakan kepadaku Yunus bin
‘Abdil-A’laa ia berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Wahb: Telah
mengkhabarkan kepadaku Yazid bin Yunus, dari Shakhr, dari Abu Mu’awiyyah
Al-Bajaly, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakry bahwasanya ia
mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ketika ia bertanya kepada
beliau tentang ayat “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah";
maka beliau menjawab: “Al-Ghinaa’ (nyanyian)". Demi Allah yang tidak ada
tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, beliau mengulanginya tiga kali (Tafsir
Ibnu Katsir QS. Luqman: 6 – Free Program from Islamspirit).
Ibnu Katsir membawakan perkataan Ibnu Mas’ud
dari jalan lain ‘Ammar, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakri, dari
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim no. 3542, ia
berkata: Hadits ini sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari
dan Muslim. Tashhih ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan memang seperti itulah
keadaannya (atas keshahihannya).
Al-Hasan Al-Bashri
mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian (ghinaa’) dan
seruling (mazaamir).
Ibnu Mas’ud merupakan
salah satu pembesar shahabat yang perkataan lebih diunggulkan daripada
selainnya. Tentang Ibnu Mas’ud, As-Sunnah
Ash-Shahiihah menjadi saksi:
عن أبي الأحوص
قال كنا في دار أبي موسى مع نفر من أصحاب عبد الله وهم ينظرون في مصحف فقام عبد
الله فقال أبو مسعود ما اعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم ترك بعده اعلم بما انزل
الله من هذا القائم فقال أبو موسى أما لئن قلت ذاك لقد كان يشهد إذا غبنا ويؤذن
إذا حجبنا
Dari Abul-Ahwash ia
berkata,"Kami pernah berada di rumah Abu Musa beserta beberapa orang
shahabat Abdullah bin Mas’ud. Mereka sedang menelaah mushhaf Al-Qur’an, lalu
Abdullah bin Mas’ud berdiri. Lalu kata Abu Mas’ud,"Sepengetahuanku,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah meninggalkan orang yang lebih
mengerti tentang Al-Qur’an daripada orang yang berdiri tadi setelah beliau
wafat". Kata Abu Musa,"Kalau engkau mengatakan demikian, Abdullah bin
Mas’ud memang selalu menyertai Rasulullah ketika kita tidak turut serta, dan
dia diijinkan masuk ke rumah beliau ketika kita tidak diijinkan masuk" (HR.
Muslim no. 2461).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika
menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.
حدثنا حفص بن
عمر قال أخبرنا خالد بن عبد الله قال أخبرنا عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن بن
عباس ومن الناس من يشتري لهو الحديث قال الغناء وأشباهه
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin
‘UMar, ia berkata: Telah mengkhabarakan kepada kami Khalid bin ‘Abdillah, ia
berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’id bin
Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma: “Dan di antara manusia (ada)
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah"; beliau berkata: “Al-Ghinaa’ (nyanyian) dan
yang menyerupainya" (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 786 dan
1265; shahih).
Lihat pula atsar ini dalam Tafsir Ath-Thabari.
Tentang Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah berdoa
untuknya: {اللهم فقهه في الدين} “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam masalah
agama" (HR. Muslim no. 2477). Atas doa ini, para shahabat dan ulama lainnya memberikan
gelar kepadanya: Turjumanul-Qur’an.
Mujahid juga menafsirkan
sebagaimana perkataan dua imamnya terdahulu, dimana beliau berkata tentang ayat
ini:
الـمغنـي
والـمغنـية بـالـمال الكثـير, أو استـماع إلـيه, أو إلـى مثله من البـاطل.
"Membayar penyanyi laki-laki dan
perempuan dengan biaya yang mahal dan mendengarkannya atau yang sepertinya,
termasuk perkara-perkara yang bathil" (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam
Tafsir-nya no. 21360; dengan sanad shahih).
Syu’aib bin Yasar berkata:
سألت عكرمة عن (
لهو الحديث ) ؟ قال: هو الغناء.
"Aku pernah bertanya kepada ’Ikrimah
tentang Lahwul-Hadiits; maka ia menjawab: "Ia adalah nyanyian" (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir no. 2556, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya
no. 21361-21362, Ibnu Abid-Dun-ya dalam Dzammul-Malaahi – dan ini adalah
lafadhnya - , dan yang lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Tahrim berkata: "Hasanul-isnad,
insyaAllah").
Penafsiran lahwul-hadiits
dengan al-ghinaa’ (nyanyian) ditegaskan oleh Ibnu Katsir – selain dari yang
telah disebutkan di atas – juga merupakan penafsiran dari Jabir, Sa’id bin
Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.
Asy-Syaukani menjelaskan:
ولهو الحديث كل
ما يلهى عن الخير من الغناء والملاهي والأحاديث المكذوبة وكل ما هو منكر..... قال
القرطبي: إن أولى ما
قيل في هذا الباب هو تفسير لهو الحديث بالغناء، قال: وهو قول الصحابة والتابعين،
"Dan lahwal-hadiits maknanya adalah: Segala
sesuatu yang melalaikan seseorang dari kebaikan, contohnya adalah nyanyian,
permainan, perkataan-perkataan (dongeng) yang dusta, dan setiap perkara yang
munkar.................... Dan berkata Al-Qurthubi: Sesungguhnya yang
didahulukan (tepat) adalah apa yang telah dikatakan dalam bab ini bahwa tafsir
dari lahwul-hadiits adalah nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu merupakan perkataan
dari para shahabat dan tabi’in" (Fathul-Qadiir – Free Program from
Islamspirit).
2. Firman Allah ta’ala:
أَفَمِنْ هَـَذَا
الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ * وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ * وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa
heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?.
Sedang kamu melengahkan(nya)?" (QS. An-Najm: 59-61).
Ketika menafsirkan ayat {
وَأَنتُمْ سَامِدُونَ} “Sedang kamu
melengahkan(nya)?", Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dalam salah satu
riwayat berkata: { هو الغناء} “Maksudnya
adalah nyanyian" (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 25273).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma ketika menafsirkan وَأَنتُمْ سَامِدُونَ; maka ia berkata: “Yaitu
Al-Ghinaa’ (nyanyian)" (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no.
25282-25283, Al-Bazzar no. 4724, Al-dan Baihaqi 10/223. Berkata Al-Haitsami
dalam Majma’uz-Zawaaid juz 7 no. 11381: “Rijaaluhu rijaalush-shahiih").
Al-Qurthubi menjelaskan:
سمد لنا أي غن
لنا، فكانوا إذا سمعوا القرآن يتلى تغنوا ولعبوا حتى لا يسمعوا.
“Samada lanaa; artinya
adalah: ghanna lanaa (bernyanyilah untuk kami). Yaitu, jika mereka mendengarkan
Al-Qur’an yang dibacakan, maka mereka bernyanyi-nyanyi dan bermain-main hingga
mereka tidak mendengarkannya (Al-Qur’an)" (Tafsir Al-Qurthubi – Free
Program from Islamspirit).
3. Firman Allah ta’ala:
وَالّذِينَ لاَ
يَشْهَدُونَ الزّورَ وَإِذَا مَرّواْ بِاللّغْوِ مَرّوا كِراماً
“Dan orang-orang yang
tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan: 72).
Ketika menafsirkan { وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ } “Dan orang-orang yang
tidak memberikan persaksian palsu" , Mujahid berkata: { لا يسمعون الغِناء} “(yaitu)
orang-orang yang tidak mendengarkan nyanyian" (Lihat Tafsir Ath-Thabari QS.
Al-Furqaan: 72).
4. Firman Allah ta’ala:
وَاسْتَفْزِزْ
مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ
وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأمْوَالِ وَالأولادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda
dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka
melainkan tipuan belaka." (QS.
Al-Israa’: 64).
Ibnu Katsir berkata:
وقوله تعالى:
{واستفزز من استطعت منهم بصوتك} قيل هو الغناء قال مجاهد باللهو والغناء أي
استخفهم بذلك
"Dan firman-Nya: Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu; dikatakan,
yaitu dengan nyanyian. Mujahid berkata: "Dengan permainan dan nyanyian,
yaitu meremehkannya dengan hal tersebut" (Tafsir Ibnu Katsir – Free
Prgoram from Islamspirit).
Adapun Al-Qurthubi juga
menyebutkan hal yang hampir serupa dengan perkataannya:
"بصوتك"
وصوته كل داع يدعو إلى معصية الله تعالى؛ عن ابن عباس. مجاهد: الغناء والمزامير
واللهو. الضحاك: صوت المزمار.
"Dengan
suaramu/ajakanmu; dan suaranya yaitu setiap hal yang mengajak kepada
kemaksiatan terhadap Allah, hal itu berasal dari perkataan Ibnu ’Abbas. Adapun
Mujahid, ia berkata: Nyanyian, seruling, dan permainan. Berkata Adl-Dlahhak:
Suara seruling" (Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit).
Ibnu Taimiyyah menjelaskan:
وقد فسر ذلك
طائفة من السلف بصوت الغناء. وهو شامل له ولغيره من الأصوات المستفزة لأصحابها
عن سبيل الله.
"Dan sungguh
sebagian ulama salaf telah menafsirkan bi-shautika dengan: "Nyanyian
(al-ghinaa’). Hal itu mencakup seluruh hal selainnya dari jenis-jenis suara
yang menghalangi pelakunya dari jalan Allah" (Majmu’ Fataawaa 10/180 –
Maktabah Al-Misykah).
Beberapa penafsiran ayat dari para ulama terdahulu di atas menunjukkan bahwa nyanyian di jaman mereka (jaman para shahabat dan tabi’in) merupakan sesuatu yang sangat dibenci dan termasuk perbuatan yang sia-sia.
Oleh: Abul Jauzaa' Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 1)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.