Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 2)
Dalil As-Sunnah
1. Imam Bukhari telah menyebut dalam kitab
Shahih-nya dalam Bab { باب ما جاء فيمن يستحل الخمر ويسميه بغير اسمه }
Bab Apa-Apa yang Datang Seputar Orang yang Menghalalkan Khamr dan Menamainya
dengan Nama Lain. Kemudian beliau membawakan hadits sebagai berikut:
وقال هشام بن
عمار حدثنا صدقة بن خالد حدثنا عبد الرحمن بن يزيد بن جابر حدثنا عطية بن قيس
الكلابي حدثنا عبد الرحمن بن غنم الأشعري قال حدثني أبو عامر أو أبو مالك الأشعري
والله ما كذبني سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن من أمتي أقوام يستحلون
الحر والحرير والخمر والمعازف ولينزلن أقوام إلى جنب علم يروح عليه بسارحة لهم
يأتيهم يعني الفقير لحاجة فيقولوا ارجع إلينا غدا فيبيتهم الله ويضع العلم ويمسخ
آخرين قردة وخنازير إلى يوم القيامة
Telah berkata Hisyam bin ‘Ammar: Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jaabir: Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais Al-Kilaaby: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary – demi Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa ia telah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif). Dan sungguh beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata: “Kembalilah besok". Pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat" (HR. Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat).
Agar lebih jelas, sanad
hadits ini diuraikan sebagai berikut:
- Hisyam bin ‘Ammar
- Shadaqah bin Khalid
- ‘Abdurrahman bin Yazid
bin Jabir
- ‘Athiyyah bin Qais
Al-Kilaby
- ‘Abdurrahman bin Ghunm
Al-Asy’ary
- Abu ‘Aamir atau Abu
Malik Al-Asy’ary
- Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam
Sebagian orang
mendla’ifkannya karena menganggap hadits tersebut adalah hadits mu’allaq karena
ada keterputusan antara Imam Al-Bukhari dan Hisyam bin ‘Ammar. Perkataan ini
adalah perkataan yang jauh dari kebenaran dan tidak bisa diterima. Hal itu
telah disanggah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Ighaatsatul-Lahfan
(1/259-260) dan Tahdzibus-Sunan (5/271-275) sebagai berikut (dengan peringkasan
– melalui perantaraan Tahrim Aalatit-Tharb):
أحدها: أن
البخاري قد لقي هشام بن عمار وسمع منه ، فإذا قال "قال هشام" فهو بمنزلة
قوله: " عن هشام " اتفاقا
الثاني: أنه لو
لم يسمع منه فهو لم يستجز الجزم به عنه إلا وقد صح عنه أنه حدث به ، وهذا كثيراً
ما يكون لكثرة من رواه عنه عن ذلك الشيخ وشهرته ، فالبخاري أبعد خلق الله عن
التدليس
الثالث: أنه
أدخله في كتابه المسمى ب ( الصحيح ) محتجا به ، فلولا صحته عنده لما فعل ذلك ،
فالحديث صحيح بلا ريب
الرابع: أنه
علقه بصيغة الجزم دون صيغة التمريض ، فإنه إذا توقف في الحديث أو لم يكن على شرطه
يقول: " ويروى عن رسول الله صلى الله عليه وسلم " ، و: " يذكر عنه
" ، ونحو ذلك ، فإذا قال: " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " ،
و: " قال فلان " فقد جزم وقطع بإضافته إليه ، وهنا قد جزم بإضافة الحديث
إلى هشام ، فهو صحيح عنده
الخامس: أنا لو
أضربنا عن هذا كله صفحا ، فالحديث صحيح متصل عند غيره"
Pertama, Bahwasannya Imam
Al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan mendengar darinya. Maka
apabila ia berkata: “Telah berkata Hisyam", itu sama artinya dengan
perkataannya: “Dari Hisyam" menurut kesepakatan. (dan ini artinya bahwa
hadits tersebut bersambung/maushul – Abu Al-Jauzaa’).
Kedua, Jikapun Imam
Al-Bukhari tidak mendengar dari Hisyam bin ‘Ammar, maka ia tentu tidak
menggunakan lafadh jazm (tegas) dari Hisyam kecuali beliau yakin bahwa benar
Hisyam menyampaikan hadits tersebut. Yang demikian itu sering terjadi karena
begitu banyak dan masyhurnya riwayat dari Syaikh tersebut. Lagi pula,
Al-Bukhari adalah makhluk Allah yang paling jauh dari tadlis.
Ketiga, Imam Al-Bukhari
telah memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang dinamakan “Ash-Shahih"
sekaligus berhujjah dengannya. Apabla hadits tersebut tidak shahih, tentu ia
tidak akan memasukkannya dalam kitab Ash-Shahih. Walhasil, hadits tersebut
adalah shahih tanpa diragukan lagi (menurut Imam Al-Bukhari).
Keempat, Imam Bukhari
telah menggunakan lafadh ‘mu’allaq, namun ia menggnakan shighah jazm (tegas)
dan bukan menggunakan shighah tamridl (tidak tegas). Apabila Imam Al-Bukhari
tawaquf dalam sebuah hadits atau hadits tersebut tidak memenuhi persyaratan
(penshahihan)-nya, niscaya ia akan berkata: “Telah diriwayatkan dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam"; “Telah disebutkan dari Fulan"; atau
yang semisal dengannya. Namun apabila ia Imam Al-Bukhari berkata: “Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam" atau “Telah berkata
Fulan"; maka beliau menegaskan tentang penisbatan riwayat tersebut
kepadanya. Dan di sini, Imam Al-Bukhari telah menegaskan penisbatan hadits
kepada Hisyam. Maka hadits itu adalah shahih menurutnya.
Kelima, Apabila kita
permisalkan bahwa kita menolek hadits ini dari Imam Al-Bukhari, maka (tetap
aja) hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) selain dari riwayat Imam
Al-Bukhari.
(selesai perkataan
Ibnul-Qayyim)
Penjelasan perkataan
Ibnul-Qayyim tentang kebersambungan sanad dan banyaknya jalan adalah sebagai
berikut:
Kebersambungan Sanad
Imam Ibnu Hibban telah
membawakan riwayat secara bersambung dalam Shahih-nya (no. 6754) sebagai
berikut:
أخبرنا الحسين
بن عبد الله القطان قال حدثنا هشام بن عمار قال حدثنا صدقة بن خالد قال حدثنا بن
جابر قال حدثنا عطية بن قيس قال حدثنا عبد الرحمن بن غنم قال حدثنا أبو عامر وأبو
مالك الأشعريان سمعا رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن في أمتي أقوام
يستحلون الحرير والخمر والمعازف
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin
‘Abdillah Al-Qaththaan ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin
‘Ammar ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdirrahman bin Ghunm ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Abu ‘Aamir atau Abu Maalik Al-Asy’ary bahwasannya mereka berdua telah mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan ada di kalangan umatku
suatu kaum yang akan menghalalkan sutera, khamr, dan alat musik (al-ma’aazif)".
Susunan sanad hadits tersebut adalah:
- Al-Husain bin ‘Abdillah Al-Qaththaan
- Hisyam bin ‘Ammar
- Shadaqah bin Khalid
- Ibnu Jabir (yaitu
‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir)
- ‘Athiyyah bin Qais
- ‘Abdurrahman bin Ghunm
- Abu ‘Aamir atau Abu
Malik Al-Asy’ary
- Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam
Sanad ini sama dengan
sanad Imam Bukhari dan disebutkan secara bersambung kepada Hisyaam bin ‘Ammar
oleh Imam Ibnu Hibban dari Al-Husain bin ‘Abdillah Al-Qaththaan (yaitu dengan
memakai shighah: Haddatsanaa Hisyaam bin ‘Ammar). Al-Husain bin ‘Abdilah
Al-Qaththaan ini adalah perawi tsiqah lagi haafidh (Siyaru A’lamin-Nubalaa’
14/287).
Selain Ibnu Hibban,
hadits Hisyam bin ‘Ammar bin ‘Ammar tersebut juga muttashil (memakai lafadh
haddatsanaa, akhbaranaa, atau yang semisal) dari:
a) Imam Ath-Thabarani
dalam Mu’jamul-Kabir-nya no. 3417 dari Musa bin Sahl Al-Jauni Al-Bashri (موسى
بن سهل الجوني البصري) dari Hisyam bin ‘Ammar. Musa bin Sahl adalah perawi tsiqah
lagi haafidh sebagaimana dijelaskan dalam Siyaru A’lamin-Nubalaa’ (14/261).
b) Imam Ath-Thabarani
dalam Musnad Syaamiyyin no. 588 dari Muhammad bin Yaziid bin ‘Abdish-Shamad
Ad-Dimasyqi (محمد بن يزيد بن عبد
الصمد الدمشقي) dari Hisyam bin ‘Ammar. Muhammad bin Yazid ini disebutkan
biografinya oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (16/124) dimana sejumlah
perawi meriwayatkan darinya.
c) Isma’ily dalam
Al-Mustakhraj ‘alash-Shahiih dan juga dari jalan Imam Al-Baihaqi dalam
Sunan-nya (10/221) dari Al-Hasan bin Sufyan (الحسن
بن سفيان) dari Hisyam bin ‘Ammar. Al-Hasan bin Sufyan Al-Khurasany
An-Naisabury termasuk salah seorang syaikh (guru) dari Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan yang lainnya. Ia termasuk seorang hafidh. Biografinya terdapat
dalam Siyaru A’lamin-Nubalaa’ (14/157-162) dan Tadzkiratul-Huffadh (2/no. 724).
d) dan yang lain-lain (silakan
lihat Taghliqut-Ta’liq 5/17-19 oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani).
Mutaba’ah Hisyam bin
‘Ammar dan Shadaqah bin Khalid
Hadits Hisyam bin ‘Ammar
(dan syaikhnya: Shadaqah bin Khaalid) yang muttashil shahih tersebut juga
mempunyai mutaba’ah dari Abdul-Wahhab bin Najdah dari Bisyr bin Bakr. Riwayat tersebut terdapat dalam Sunan Abi
Dawud no. 4039 secara muttashil sebagai berikut:
حدثنا عبد
الوهاب بن نجده ثنا بشر بن بكر عن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر ثنا عطية بن قيس قال
سمعت عبد الرحمن بن غنم الأشعري قال حدثني أبو عامر أو أبو مالك والله يمين أخرى
ما كذبني أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ليكونن من أمتي أقوام يستحلون
الخز والحرير وذكر كلاما قال يمسخ منهم آخرون قردة وخنازير إلى يوم القيامة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdil-Wahhab
bin Najdah: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr, dari ‘Abdirrahman
bin Yazid bin Jabir: Telah menceritakan kepada kami ‘Athiyyah bin Qais, ia
berkata: Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku: Abu ‘Aamir atau Abu Malik – demi Allah dia tidak
mendustaiku – bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Akan ada di kalangan umatku satu kaum yang akan
menghalalkan zina, sutera, - (perawi berkata) “dan beliau menyebutkan satu
perkataan". Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melanjutkan:
“Sebagian dari mereka yang lain diubah menjadi kera dan babi hingga hari kiamat".
Susunan sanad hadits
tersebut adalah:
- ‘Abdul-Wahhab bin
Najdah
- Bisyr bin Bakr
- ‘Abdurrahman bin Yazid
bin Jabir
- ‘Athiyyah bin Qais
- ‘Abdurrahman bin Ghunm
- Abu ‘Aamir atau Abu
Malik Al-Asy’ary
- Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam
Hadits di atas tidak
menyebutkan “al-ma’aazif" (alat musik). Namun disebutkan oleh perawi
dengan: “dan beliau menyebutkan satu perkataan" { وذكر كلاما}. Makna
kalimat ini dijelaskan pada riwayat lain oleh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq
dan Isma’ily dalam Al-Mustakhraj dari Abdurrahman bin Ibrahim yang ia digelari
Ad-Duhaim. Ad-Duhaim berkata: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir, dari ‘Athiyyah,…..dst. { ثنا
بشر هو ابن بكر ثنا ابن جابر عن عطية بن قيس .....}. Kemudian
menyebutkan hadits:
......يستحلون الحر
والحرير والخمر والمعازف
“……Yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif)".
Mutaba’ah yang lain
adalah ‘Isa bin Ahmad Al-‘Asqalani yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam
Tarikh Dimasyqi (19/196) dari Al-Hafidh Abi Sa’iid Al-Haitsam bin Kulaib
Asy-Syaasyii darinya (‘Isa).
Mutaba’ah ‘Athiyyah bin
Qais
‘Athiyyah bin Qais dalam
sanad Al-Bukhari juga mempunyai mutaba’ah, yaitu riwayat dari:
a) Malik bin Abi Maryam
حدثنا عبد الله
بن سعيد ثنا معن بن عيسى عن معاوية بن صالح عن حاتم بن حريث عن مالك بن أبي مريم
عن عبد الرحمن بن غنم الأشعري عن أبي مالك الأشعري قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها يعزف على رءوسهم بالمعازف
والمغنيات يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Sa’iid: Telah menceritakan kepada kami: Ma’in bin ‘Isa, dari Mu’awiyyah bin
Shaalih, dari Haatim bin Haarits, dari Malik bin Abi Maryam, dari ‘Abdirrahman
bin Ghunm Al-Asy’ary, dari Abi Malik Al-Asy’ary ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Pasti akan ada sekelompok manusia
dari umatku yang meminum khamr dan menamainya dengan nama lain. Mereka senang memainkan
alat-alat musik (ma’aazif) dan biduanita. Lalu Allah akan menenggelamkan mereka
ke dalam bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi" (HR. Abu Dawud no. 3688, Ibnu Majah no. 4020, Ahmad
no. 22951, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 3419, dan yang lainnya).
Semua perawi dalam hadits ini adalah tsiqah,
kecuali Malik bin Abi Maryam. Ia adalah perawi majhul. Tidak diketahui riwayat
darinya kecuali apa yang driwayatkan Haatim bin Haarits darinya (sebagaimana
hadits di atas). Ia hanya dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban (dan Ibnu Hibban
adalah salah seorang ulama yang dikenal tasahul dalam mentsiqahkan perawi-perawi
majhul).
b) Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid bin Dzi Himayah
إبراهيم بن عبد
الحميد بن ذي حماية عمن أخبره عن أبي مالك الأشعري أو أبي عامر سمعت النبي صلى
الله عليه وسلم في الخمر والمعازف
Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid bin Dzi Himayah dari
orang yang mengkhabarkan padanya, dari Abi Malik Al-Asy’ary atau Abi ‘Aamir:
Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang khamr dan
alat-alat musik (ma’aazif).
Ibrahim bin ‘Abdil-Hamid adalah perawi tsiqah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (1/454-455). Abu
Zur’ah berkata: “Tidak mengapa dengannya" {ما به بأس}. Imam Ath-Thabarani berkata dalam
Ash-Shaghiir: “Ia termasuk perawi yang dipercaya oleh kaum muslimin" {كان من ثقات المسلمين}. Ibnu Hibban memasukkannya dalam
Ats-Tsiqaat (no. 6520).
Dalam hadits tersebut terdapat perawi mubham
(yang tidak disebutkan identitasnya). Ada kemungkinan bahwa perawi mubham tersebut adalah
‘Abdurrahman bin Ghunm. Jika benar, maka ini adalah mutaba’ah yang sangat kuat.
Jika bukan dia, maka kemungkinan adalah seorang tabi’i majhul yang setingkat
dengan ‘Abdurrahman bin Ghunm.
Bagaimanapun juga, hadits
Ibrahim ini menguatkan hadits Abu Malik dengan keseluruhan riwayatnya.
Secara keseluruhan,
pendapat yang melemahkan hadits ini (seperti pendapat Ibnu Hazm dan orang yang
bertaqlid kepadanya) adalah pendapat yang paling lemah yang tidak mempunyai
dasar pijakan yang kuat. Adapun para imam yang menshahihkan hadits ma’aazif dalam
Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya ini antara lain adalah: Imam Al-Bukhari
dalam Shahih-nya; Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya; Imam Abu Bakar Al-Isma’ily
dalam Al-Mustakhraj ‘alash-Shahih; An-Nawawi dalam Irsyaadul Thullaabil-Haq,
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari dan Taghliqut-Ta’liq; Al-Hafidh Ibnu
Shalah dalam Ma’rifati ‘Ulumil-Hadiits; Al-Hafidh As-Sakhawi dalam
Fathul-Mughiits; Al-Hafidh Ibnu Rajab dalam Nuzhatul-Asmaa’; dan yang lainnya
(termasuk ulama jaman sekarang: Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah dan Tahrim
Aalatith-Tharb).
Hadits ini kami tuliskan
sedikit rinci untuk membantah orang-orang yang mendla’ifkannya dalam rangka
membolehkan nyanyian dan alat musik, terutama di jaman sekarang ditokohi oleh
Dr. Yusuf Al-Qaradlawi.
Catatan:
Apa makna Al-Ma’aazif (اْلمَعَازِف)? Al-Ma’aazif (اْلمَعَازِف) merupakan
jamak dari Al-Mi’zaf (اْلمِعْزَف). Dalam Qamus
Al-Muhith halaman 753 dinyatakan: (هي الملاهي ، كالعود والطنبور) = Ia adalah
al-malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), seperti al-‘ud dan
ath-thanbur (gitar atau rebab). Dalam An-Nihayah, al-ma’azif diartikan sebagai:
(هي الدفوف وغيرها
مما يضرب ( به )) = Ia adalah seperti duff-duff atau selainnya yang biasa
dipukul. Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ mengatakan: (اسم لكلِّ آلات الملاهي التي يعزَف بها ، كالمزمار ، والطنبور ، والشبابة ، والصنوج) = Al-Ma’azif
adalah setiap nama dari alat musik atau permainan (al-malahi) yang digunakan
untuk mengiringi sebuah lagu atau sya’ir; seperti seruling, thanbur, simpal,
dan terompet. Definisi serupa juga tertera dalam kitab beliau yang lain:
Tadzkiratul-Huffadh 2/1337.
Ibnul-Qayyim dalam
Ighatsatul-Lahfan memberikan kata-kata pamungkas untuk definisi Al-Ma’azif: (وهي آلات اللهو كلها ، لا خلاف بين أهل اللغة في ذلك) = Ia adalah
seluruh alat permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli
bahasa (Arab).
2. Imam At-Tirmidzi membawakan sebuah hadits
dalam Sunan-nya:
عن عمران بن
حصين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف فقال رجل من
المسلمين يا رسول الله ومتى ذاك قال إذا ظهرت القينات والمعازف وشربت الخمور
Dari ‘Imraan bin Hushain: Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan ada di kalangan umatku
ini nanti bumi yang ditenggelamkan, hujan batu, dan kutukan hingga diubah
menjadi makhluk lain". Maka berkata seorang laki-laki di antara kaum
muslimin (yaitu dari kalangan shahabat Nabi): “Wahai Rasulullah, bagaimanakah
hal itu bisa terjadi?". Beliau menjawab: “Ya, jika telah bermunculan para
penyanyi perempuan (biduanita), alat-alat musik, dan khamr telah diminum" (HR.
Tirmidzi no. 2212. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid-Dunya dalam Dzammul-Malaahy
1/2; Abu ‘Amru Ad-Daani dalam As-Sunanul-Waaraditau fil-Fitan 39/1, 40/2; dan
Ibnun-Najjar dalam Dzail Tarikh Baghdad 18/252).
Imam At-Tirmidzi
mengomentari hadits itu dengan perkataannya: { وقد روي هذا الحديث عن
الأعمش عن عبد الرحمن بن سابط عن صلى الله عليه وسلم مرسل وهذا حديث غريب } “Hadits ini telah diriwayatkan dari Al-A’masy dari
‘Abdirrahman bin Saabith dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mursal.
Dan hadits ini adalah hadits gharib".
Hadits di atas perawinya
semua tsiqah, kecuali Abdullah bin ‘Abdil-Quddus. Al-Hafidh berkata tentangnya:
{ صدوق ، رُمي بالرفض ،
وكان أيضا يخطئ} “Shaduuq, tertuduh
sebagai seorang Rafidlah, dan banyak salah". Jarh (celaan) terhadap
Abdullah bin ‘Abdil-Quddus ini tidak menjadi masalah karena banyaknya
mutaba’ah.
Adapun kemursalan
Al-A’masy, maka hal itu telah disambung oleh Abu ‘Amru Ad-Daani (40/2) melalui
jalan Hammad bin ‘Amru dengan lafadh yang sama. Namun Hammad ini adalah seorang
matruk (ditinggalkan haditsnya) yang kedudukannya lebih rendah daripada
Abdullah bin ‘Abdil-Quddus. Sementara itu, riwayat Al-A’masy mempunyai
mutaba’ah terlebih dahulu dari Laits bin Abi Sulaim yang dikenal dengan
kelemahannya sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daani (37/2, 39/1).
Mutaba’ah lain adalah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abid-Dunya (2/2): Telah menceritakan kepada
kami Ishaq bin Isma’il ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Jarir, dari
‘Abban bin Taghlab, dari ‘Amru bin Murrah, dari ‘Abdirrahman bin Saabith ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ….. kemudian
dia menyebutkan haditsnya. Hadits tersebut adalah hadits mursal shahih, seluruh
perawinya adalah tsiqah yang dipakai oleh Imam Muslim, kecuali Ishaq bin
Isma’il. Ia adalah Ath-Thalaqany, yang merupakan guru dari Abu Dawud. Beliau
(Abu Dawud) mengomentarinya: “Tsiqah". Begitu pula yang dikatakan oleh
Ad-Daruquthni dan ‘Utsman bin Khurrazaadz: “Tsiqatun-tsiqah" (amat sangat
dipercaya).
Mutaba’ah lain adalah
dari Ibnu Abi Syaibah (15/164/19391): Dari Waki’ bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin
Murrah, dari ayahnya (‘Amru bin Murrah), dengan lafadh yang sama.
Masih banyak mutaba’ah
yang lain sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tahrim
Aalatith-Tharb dan Silsilah Ash-Shahihah yang membawa hadits ini dalam derajat
shahih.
3. Imam Ibnu Majah
meriwayatkan hadits sebagai beikut:
عن أبي مالك
الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها
بغير اسمها يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم
القردة والخنازير
Dari Abu Malik Al-Asy’ary ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam: "Sungguh akan ada
orang-orang dari umatku yang meminum khamr yang mana mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan (alunan suara) biduanita, maka Allah akan
membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk sebagian mereka
menjadi kera dan babi" (HR. Ibnu Majah no. 4010. Diriwayatkan juga oleh
Ahmad no. 22951, Ibnu Hibban dalam Mawaaridudh-Dham’an hal. 336 no. 1384, dan
yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Ibni Majah, Misykaatul-Mashaabih, Ash-Shahiihah, dan Tahrim
Alaatith-Tharb dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam ta’liq-nya atas Musnad
Imam Ahmad).
4. Dari ‘Abdullah bin
‘Abbas ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam:
إن الله حرّم
عليّ - أو حرم - الخمر ، والميسر ، والكوبة ، وكل مسكر حرام
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas
diriku – atau telah mengharamkan – khamr, judi, al-kuubah (sejenis alat musik),
dan setiap hal yang memabukkan adalah haram".
Diriwayatkan oleh Qais bin Habtar An-Nahsyaly
dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Dari Qais ini diriwayatkan dalam dua
jalur:
a) Dari ‘Ali bin Badziimah (علي
بن بذيمة):
Telah menceritakan kepadaku Qais bin Habtar An-Nahsyaly dari Ibnu ‘Abbas.
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3696),
Al-Baihaqi (10/221), Ahmad dalam Al-Musnad (no. 2476) dan Al-Asyribah (no.
193), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (no. 2729), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no.
5341), Abul-Hasan Ath-Thuusi dalam Al-Arba’iin (13/1 – cet. Dhahiriyyah), dan
Ath-Thabarani dalam iAl-Mu’jamul-Kabiir (12/101 no. 12598-12599); dari jalan
Sufyan bin ‘Ali bin Badziimah ia berkata: Telah berkata Sufyan: Aku berkata
kepada ‘Ali bin Badziimah: " Apa yang dimaksudkan dengan Al-Kuubah?".
Ia menjawab: "Gendang".
b) Dari ‘Abdil-Kariim Al-Jazry (عبد الكريم الجزري) dari Qais bin Habtar dengan lafadh:
إن الله حرّم
عليهم الخمر ، والميسر ، والكوبة - وهو الطبل - وقال: كل مسكر حرام
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
kepada mereka khamr, judi, dan al-kuubah – yaitu gendang - . Dan kemudian
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap hal yang memabukkan
adalah haram".
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (no.
2625) dan Al-Asyribah (no. 14), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 12601), dan
Al-Baihaqi (10/213-221).
Sanad hadits ini adalah shahih dari dua jalur
Qais. Qais telah diberikan tautsiq oleh Abu Zur’ah dan Ya’qub dalam Al-Ma’rifah
(3/194), Ibnu Hibban (5/308), An-Nasa’i dan Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
At-Taqrib serta dan diringkas oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kaasyif terhadap
penyebutan tautsiq An-Nasa’i tersebut – dan ia menyetujuinya - . Oleh karena itu Syaikh
Ahmad Syakir menshahihkannya sebagaimana komentarnya terhadap Al-Musnad (Imam
Ahmad bin Hanbal) dalam dua tempat (4/158, 218).
5. Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dalam Musnad-nya:
عن نافع مولى بن
عمر: أن بن عمر سمع صوت زمارة راع فوضع إصبعيه في أذنيه وعدل راحلته عن الطريق وهو
يقول يا نافع أتسمع فأقول نعم فيمضي حتى قلت لا فوضع يديه وأعاد راحلته إلى الطريق
وقال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وسمع صوت زمارة راع فصنع مثل هذا
Dari Nafi’ maula Ibnu ’Umar radliyallaahu
’anhuma: Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengarkan suara seruling yang ditiup
oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya
(untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan
(menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata: "Wahai Nafi’, apakah kamu masih
mendengarnya?". Maka aku berkata: "Ya". Maka ia terus berlalu
hingga aku berkata: "Aku tidak mendengarnya lagi". Maka Ibnu ’Umar
pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut
sambil berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian" (HR. Ahmad 2/8 no. 4535 dan 2/38 no. 4965.
Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri dalam
Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya).
Abu ’Ali Al-Lu’lu’i berkata: Aku mendengar Abu
Dawud berkata: "Hadza hadiitsun munkarun" (ini adalah hadits munkar) (Sunan
Abi Dawud no. 4924). Namun penilaian Abu Dawud tersebut disanggah oleh Muhammad
Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi dengan perkataannya:
هكذا قاله أبو
داود ولا يعلم وجه النكارة فإن هذا الحديث رواته كلهم ثقات وليس بمخالف لرواية
أوثق الناس
"Begitulah yang
dikatakan Abu Dawud. Dan tidak diketahui sisi kemunkaran hadits ini. Para
perawi hadits ini seluruhnya tsiqah, dan tidak bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih tsiqah darinya" (’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud,
Kitaabul-Adab).
Hadits ini dishahihkan
oleh Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi dalam ’Aunul-Ma’bud, As-Suyuthi melalui nukilan
dalam ’Aunul-Ma’bud, Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dan Al-Arna’uth
dalam ta’liq-nya atas Musnad Imam Ahmad (dengan status penilaian: hasan).
Sebagian orang ada yang
justru memakai hadits ini tentang diperbolehkannya mendengarkan alat musik.
Mereka beralasan bahwa jika memang mendengarkan suara seruling itu haram, maka
Ibnu ’Umar tentu tidak akan membiarkan Nafi’ untuk mendengarkannya. Apa yang
dilakukan oleh Ibnu ’Umar hanya merupakan sikap wara’ yang ada pada dalam
dirinya.
Pendalilan mereka itu
telah dijawab oleh para ulama. As-Suyuthi - sebagaimana dinukil oleh Al-’Adhim
’Abadi dalam Aunul-Ma’bud - berkata:
وهذا لا يدل على
إباحة لأن المحظور هو قصد الاستماع لا مجرد إدراك الصوت لأنه لا يدخل تحت تكليف
“Hadits ini tidak
menunjukkan sama sekali tentang kebolehannya, karena hal yang dilarang adalah
dengan tujuan "mendengarkan" (al-istimaa’). Bukan pada keberadaan
sampainya (terdengarnya) suara pada telinga kita (yang memang terkadang tidak
bisa kita hindari – Abul-Jauzaa’). Hal itu tidak masuk pada perkara yang
dibebankan pada manusia (taklif )" (’Aunul-Ma’bud, Kitaabul-Adab).
6. Imam Bukhari dan Imam
Muslim membawakan hadits dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
ia berkata:
دخل علي رسول
الله صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث فاضطجع على الفراش وحول
وجهه ودخل أبو بكر فانتهرني وقال مزمارة الشيطان عند النبي صلى الله عليه وسلم
فأقبل عليه رسول الله عليه السلام فقال دعهما فلما غفل غمزتهما فخرجتا وكان يوم
عيد يلعب السودان بالدرق والحراب فإما سألت النبي صلى الله عليه وسلم وإما قال
تشتهين تنظرين فقلت نعم فأقامني وراءه خدي على خده وهو يقول دونكم يا بني أرفدة
حتى إذا مللت قال حسبك قلت نعم قال فاذهبي
"Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memasuki rumahku sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil yang sedang
mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan mengarahkan wajahnya
ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku seraya berkata: “Ada
seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam". Lalu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar
seraya bersabda: “Biarkan saja mereka berdua". Ketika Abu Bakar lengah,
aku mencubit kedua anak perempuan itu dan merekapun pergi keluar" (HR. Al-Bukhari
no. 907 dan Muslim no. 892).
Hadits ‘Aisyah di atas memberikan pemahaman
bahwa Nabi dan para shahabatnya tidak terbiasa berkumpul mendengarkan nyanyian,
karena itu secara spontan Abu Bakar Ash-Shiddiq menamainya seruling syaithan.
Dan pada waktu itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari
perkataan Abu Bakar (ketika beliau mengatakan: “Ada seruling syaithan di dekat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam"). Dalam riwayat lain, beliau
memberikan penjelasan kepada Abu Bakar tentang alasan pembolehan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam pada waktu itu sebagai satu rukhshah, dengan
perkataan beliau: (دعهما يا أبا
بكر ! فإن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا)
" Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu
mempunyai ‘Ied (hari raya). Dan ini adalah hari raya kita".(1)
Abu Thayyib Ath-Thabari mengatakan:
هذا الحديث
حجتنا ، لأن أبا بكر سمى ذلك مزمور الشيطان ، ولم ينكر النبي صلى الله عليه وسلم
على أبي بكر قوله ، وإنما منعه من التغليظ في الإنكار لحسن رفقته ، لا سيما في يوم
العيد ، وقد كانت عائشة رضي الله عنها صغيرة في ذلك الوقت ، ولم ينقل عنها بعد
بلوغها وتحصيلها إلا ذم الغناء ، وقد كان ابن أخيها القاسم بن محمد يذم الغناء
ويمنع من سماعه ، وقد أخذ العلم عنها
“Hadits tersebut (yaitu
hadits ‘Aisyah di atas) merupakan hujjah bagi kami. Hal itu disebabkan Abu
Bakar menamakannya seruling syaithan, dan perkataan ini tidak diingkari oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja, beliau melarang Abu Bakar untuk
mengingkarinya secara keras (berlebihan) karena kelemah-lembutan beliau terhadap
mereka, terutama pada hari ‘Ied. Apalagi ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa masih
kecil/muda pada waktu itu. Dan tidaklah kemudian dinukil darinya setelah ia
baligh dan dewasa kecuali celaannya terhadap nyanyian. Kemenakannya yang
bernama Al-Qaasim bin Muhammad mencela nyanyian dan melarang untuk
mendengarkannya. Dan Al-Qasim telah mengambil ilmu dari ‘Aisyah (maknanya:
celaan dan pelarangan Al-Qasim itu sangat dimungkinkan merupakan ilmu yang
diajarkan ‘Aisyah kepadanya – Abu Al-Jauzaa’)" (Dinukil dari kitab
Ibnul-Jauzi 1/253-254).
Ibnu Taimiyyah berkata:
ففي هذا الحديث
بيان أن هذا لم يكن من عادة النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه الاجتماع عليه ،
ولهذا سماه الصديق أبو بكر رضي الله عنه " مزمور الشيطان " ، والنبي صلى
الله عليه وسلم أقرّ الجواري عليه معللا ذلك بأنه يوم عيد والصغار يرخص لهم في
اللعب في الأعياد ، كما جاء في الحديث:
" ليعلم
المشركون أن في ديننا فسحة " ، وكما كان يكون لعائشة لعب تلعب بهن ، وتجيء
صواحباتها من صغار النسوة يلعبن معها".
“Dalam hadits ini mengandung penjelasan
bahwasannya hal tersebut (mendengarkan nyanyian dan seruling) bukanlah
kebiasaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, yaitu
berkumpul padanya (untuk mendengarkannya). Oleh karena itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq menamainya dengan seruling syaithan. Dan di waktu yang bersamaan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyetujui apa yang dilakukan oleh
gadis-gadis kecil dengan alasan bahwa hari itu adalah hari ‘Ied. Anak-anak
kecil diberikan keringanan (rukhshah) untuk bernyanyi dan bermain-main
sebagaimana tercantum dalam hadits: “Agar orang-orang musyrik mengetahui bahwa
dalam agama kita terdapat keluasan". Sebagaimana juga ‘Aisyah mempunyai
mainan yang ia pakai untuk bermain, dan kemudian didatangkan anak-anak kecil
perempuan untuk bermain dengannya" (As-Simaa’ war-Raqsh –
Majmu’atur-Rasaail Al-Kubraa 2/285).
Al-Hafidh Ibnu Hajar
berkata:
فيه تعليل
وإيضاح خلاف ما ظنه الصديق من أنهما فعلتا ذلك بغير علمه صلى الله عليه وسلم،
لكونه دخل فوجده مغطى بثوبه فظنه نائما ، فتوجه له الإنكار على ابنته من هذه
الأوجه، مستصحبا لما تقرر عنده من منع الغناء واللهو ، فبادر إلى إنكار ذلك قياما
عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك ، مستندا إلى ما ظهر له ، فأوضح له النبي صلى
الله عليه وسلم الحال، وعرّفه الحكم مقرونا ببيان الحكمة بأنه يوم عيد ، أي: سرور
شرعي فلا ينكر فيه مثل هذا كما لا ينكر في الأعراس
“Di dalam hadits tersebut terdapat alasan dan
penjelasan yang bertolak belakang dengan apa yang diperkirakan oleh Ash-Shiddiq
(Abu Bakar), bahwasannya mereka berdua (yaitu dua anak kecil yang bernyanyi)
melakukannya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hal
itu dikarenakan, ketika Abu Bakar masuk, ia menemukan beliau dalam keadaan
berselimut pakaiannya yang ia menyangka beliau sedang tidur. Maka Abu Bakar melakukan
pengingkaran berdasarkan apa yang ia pahami secara dhahir dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam (atas pelarangannya). Maka kemudian Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal tersebut kepadanya, dan
memberitahukan hukum yang terkait dengan penjelasan hikmah yang terkandung
dalam hari ‘Ied, yaitu: kegembiraan yang disyari’atkan. Maka, tidaklah hal itu
diingkari sebagaimana hal itu juga tidak diingkari ketika acara pernikahan"
(Fathul-Baari 2/no. 907).
7. Dan lain-lain.
Oleh: Abul Jauzaa' Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Hukum Syair, Musik, dan Nyanyian (Part 2)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.