Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qawaid Qur'aniyah Kaidah Ke 4 - Manusia Akan Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri

Manusia Akan Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri

Allah Subhanahhu wa ta’ala berfirman:

بَلِ الۡاِنۡسَانُ عَلٰى نَفۡسِه بَصِيۡرَةٌ

وَّلَوۡ اَلۡقٰى مَعَاذِيۡرَه

“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al Qiyamah: 14-15)

 

Setiap manusia sangat berpotensi untuk melakukan perbuatan yang salah, baik itu perbuatan hatinya, perbuatan lisannya, maupun perbuatan anggota tubuhnya. Namun kendati demikian, tidak sedikit manusia melakukan perbuatan yang salah, ia tetap berusaha dan berupaya mengingkari perbuatan salahnya serta mengungkapkan berbagai macam alasan untuk membenarkan kesalahannya. Maka meskipun ia mencari pembenaran untuk kesalahannya, tetap saja sebenarnya dirinya sendirilah yang paling mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dirinya sendirilah yang mengetahui kesalahannya, meskipun ia berusaha sekuat tenaga dan semampu mungkin menyembunyikannya dari pandangan dan pendengaran manusia. Sebagaimana Allah menyebutkan pada ayat di atas dengan tambahan “Bashiroh” yang berarti terang benderang atau jelas, penuh dengan kekuatan dan hujjah.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dengan jelas bagaimana anggota tubuh kita aka bersaksi di hadapan Allah di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman:

حَتّٰٓى اِذَا مَا جَآءُوۡهَا شَهِدَ عَلَيۡهِمۡ سَمۡعُهُمۡ وَاَبۡصَارُهُمۡ وَجُلُوۡدُهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan.”

وَقَالُوۡا لِجُلُوۡدِهِمۡ لِمَ شَهِدْتُّمۡ عَلَيۡنَا‌ ؕ قَالُوۡۤا اَنۡطَقَنَا اللّٰهُ الَّذِىۡۤ اَنۡطَقَ كُلَّ شَىۡءٍ وَّهُوَ خَلَقَكُمۡ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّاِلَيۡهِ تُرۡجَعُوۡنَ

“Dan mereka berkata kepada kulit mereka, "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" (Kulit) mereka men-jawab, "Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan."

وَمَا كُنۡتُمۡ تَسۡتَتِرُوۡنَ اَنۡ يَّشۡهَدَ عَلَيۡكُمۡ سَمۡعُكُمۡ وَلَاۤ اَبۡصَارُكُمۡ وَلَا جُلُوۡدُكُمۡ وَلٰكِنۡ ظَنَنۡتُمۡ اَنَّ اللّٰهَ لَا يَعۡلَمُ كَثِيۡرًا مِّمَّا تَعۡمَلُوۡنَ

“Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.” (QS. Fushilat: 20-22)

Oleh sebab itu, Dusta kepada orang lain adalah seperti membohongi diri sendiri dan jujur kepada orang lain adalah seperti jujur kepada diri sendiri.

Berikut kami sampaikan contoh penerapan dari kaidah ini.

v  Cara Sebagian Orang Berinteraksi Dan Menyikapi Nash-Nash Syariat

Terkadang beberapa nash ayat telah diketahui dengan baik dan jelas oleh seseorang. Makna ayat atau hukum suatu perkara sudah jelas dan tegas, bahkan para ulama tidak ada perbedaan pendapat. Namun tidak sedikit kita jumpai, ada orang yang merasa berat dan terbebani oleh syariat yang telah Allah dan Rasul-Nya berikan, lalu ia pun berupaya menemukan pembelaan diri agar bisa terhindar dari nash atau syariat tersebut. Ada yang beralasan, nash atau syariat itu sudah tidak sesuai dengan selera hawa nafsunya, sudah tidak sesuai dengan zamannya, sudah tidak relavan di zaman modern dan lain-lain.

Saudaraku yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, perlu kita ketahui bahwa tidak ada manfaatnya bagi kita untuk menolak nash, ayat, atau syariat dengan rasa berat yang ada didalam dada. Sebab ia sendiri yang akan menjadi saksi atas dirinya sendiri. Sikap Seorang mukmin terhadapat nash atau syariat adalah menerima, taat dan patuh.

Ibul Qayyim Al Jauziah Rahimahullah mengatakan:

“Subhanallah, Betapa banyak nafsu manusia yang terbebani oleh kehadiran nash-nash (ayat al quran dan hadist). Mereka berandai-andai sekiranya nash yang seperti itu tidak diturunkan. Betapa ayat tersebut membuat panas hati dan jantung mereka, tenggorokkan mereka pun ikut kering karena keberadaannya.” (Risalah At Tabukiyah, hlm. 25)

 

Saudaraku yang semoga di muliakan Allah subhanahu wa ta’ala,

Kita sering menyaksikan sebagian orang yang membela dirinya sendiri, padahal ia terbukti bersalah dan ia benar-benar mengetahui Ia berada dalam posisi yang salah serta ia pun mengetahui siapa yang benar.

Salah seorang ulama salaf juga berkata:

“Sikap jujur yang indah adalah seseorang mengakui kesalahan-kesalahan diri sendiri dihadapan Allah ta’ala.” (Hilyah Al Auliya: 9/282)

Kaidah ini tentunya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh jujur kepada diri sendiri itu jauh lebih baik dari pada berdusta kepada dirinya sendiri.

Maka sudah selayaknya kita mengawasi dan mengontrol diri sendiri, mengakui dosa dan kesalahan, tanpa harus berpura-pura baik dan benar. Sungguh inilah merupakan kedudukan para nabi, orang-orang jujur, dan orang-orang shaleh.

Renungkanlah pengakuan kesalahan oleh nenek moyang kita, Nabi Adam dan Istrinya Hawa, ketika keduanya telah selesai memakan buah dari pohon yang dilarang untuk dimakan buahnya. Sebagaimana dala firman-Nya:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَاۤ اَنۡفُسَنَا وَاِنۡ لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَـنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَـنَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ

“Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Al Araf: 23)

Begitu pula ucapan Nabi Musa sebagai bentuk penyesalan atas terbunuhnya seorang laki-laki dari Qibti, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

قَالَ رَبِّ اِنِّىۡ ظَلَمۡتُ نَفۡسِىۡ فَاغۡفِرۡ لِىۡ فَغَفَرَ لَه اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ‏

“Dia (Musa) berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku." Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al Qashash: 16)

 Ketahuilah bahwa orang yang tidak mengakui dosa dan kesalahannya maka ia termasuk orang munafik. (Ash Sharim Al Maslul, 1/362)

 

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kita kekuatan dan kemampuan untuk memeriksa aib dan kesalahan diri-diri kita. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita memohon ampunan.

Semoga bermanfaat, Baarokallahu fiikum…

(Ringkasan dengan beberapa penambahan dari kitab Qawaidu Qur’aniyyah. 50 Qaidah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat. Syekh DR. Umar bin Abdullah al Muqbil)

 

Ahmadi As-Sambasy

Cilacap, 29 Agustus 2021

Posting Komentar untuk "Qawaid Qur'aniyah Kaidah Ke 4 - Manusia Akan Menjadi Saksi Atas Dirinya Sendiri"