Mengapa Rakyat Sumatera Pernah Memberontak? - Ngopidiyyah
![]() |
| Kabeldakwah.com |
Hari ini kita mendengar
kabar banjir besar di Sumatera.
Hutan ditebang, sungai
meluap, ratusan nyawa melayang.
Tidak ada tanggung jawab
Negara yang jelas, tidak ada langkah tegas yang terasa.
begitulah nasib Sumatera,
bedanya hari ini rakyat Sumatera sangat sabar menerima alamnya di ekspoitasi.
namun tidak dengan
Sumatera yang dulu.
Ya.. PRRI Sumatera....Bagi sebagian orang, lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada tahun 1958 sering dianggap semata-mata sebagai pemberontakan daerah yang kecewa kepada Jakarta.
Penjelasan semacam ini
sebenarnya terlalu sederhana dan menyesatkan.
Kenapa?
PRRI tidak lahir dari
satu sebab tunggal, apalagi hanya karena ambisi elite daerah. Ia lahir dari ketidakadilanyang
dirasakan bertahun-tahun oleh masyarakat Sumatera terhadap pemerintah pusat.
(siapkan kopi dulu,
tenang... baca pelan pelan ya soalnya materinya berat)
diantaranya alasan
memberontak karena :
Republik yang Terlalu
Jawa-sentris
Sumber kekecewaan paling
mendasar adalah sentralisasi kekuasaan dan pembangunan yang berpusat di Jakarta
dan Pulau Jawa. Setelah hampir sepuluh tahun Indonesia merdeka, masyarakat
Sumatera—khususnya Sumatera Tengah—merasa tidak menikmati hasil kemerdekaan
secara layak.
Tokoh nasional asal
Sumatera, Mohammad Yamin, pernah menggambarkan kondisi yang sangat kontras:
"di Sumatera Tengah,
jalan raya berlubang dan rusak berat, gelap sementara di Pulau Jawa jalan-jalan
baik, terang."
akhirnya berdampak
langsung pada mandeknya ekonomi rakyat. Hasil bumi sulit diangkut, biaya
logistik mahal, dan perdagangan tidak berkembang.
Ironisnya, Sumatera
justru merupakan tulang punggung ekonomi Republik.
Buktinya Apa?
Data yang dicatat oleh S.
Takdir Alisjahbana (1956) menunjukkan fakta yang mencengangkan:
71% ekspor Indonesia
berasal dari Sumatera
Sumatera Utara: 21%
Sumatera Tengah: 15%
Sumatera Selatan: 35%
Pulau Jawa hanya
menyumbang 17% ekspor nasional
Namun dalam pembagian
anggaran pembangunan, keadaannya terbalik:
Sumatera yang
menghasilkan 71% devisa, hanya menikmati sekitar 17% dana pembangunan
Pulau Jawa yang hanya
menyumbang 17% ekspor, justru menyerap hingga 75% anggaran pembangunan
Bagi masyarakat Sumatera,
republik ini terasa seperti menghisap daerah penghasil untuk membiayai pusat.
Sumatera bekerja keras, tetapi hasilnya dinikmati di tempat lain. Tidak
berlebihan jika muncul perasaan bahwa Sumatera diperlakukan seperti sapi perah:
diperah terus-menerus, tanpa diberi perawatan yang layak.
Coba bayangkan logika
paling dasar.
Sebuah daerah:
punya karet, kopi, timah,
minyak, hasil bumi menghasilkan lebih dari separuh devisa negara, rakyatnya
bekerja di tanahnya sendiri
Lalu datang Republik dan
berkata:
“Semua hasil ini harus
disetor ke pusat. Nanti kami atur pembagiannya untuk seluruh republik.”
Secara teori, ini
terdengar adil.
Tapi logika keadilan itu
gugur ketika fakta di lapangan berkata sebaliknya.
Yang terjadi pada
Sumatera waktu itu adalah:
Hasil alam diambil ke
pusat
Daerah tidak diberi
wewenang mengelola
Dana pembangunan kembali
ke daerah sangat minim
Maka logika awam
bertanya:
“Kalau kami menghasilkan
71%, kenapa jalan kami rusak?
Kenapa sekolah, pasar,
dan pelabuhan kami tertinggal?”
Pertanyaan ini bukan
ideologi, tapi akal sehat.
Kalau:
sapi diperah setiap hari
tapi tidak diberi pakan yang cukup
tidak dirawat kandangnya
dibiarkan rusak Maka sapi itu akan mati.
Begitulah perasaan
Sumatera terhadap Republik:
diperas kekayaannya
tidak diberi timbal balik
pembangunan
tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan
Republik terasa bukan
sebagai rumah bersama, tapi tuan yang menagih setoran.
Lalu Orang Daerah
Bertanya (dan Ini Rasional)
Pertanyaannya sangat
logis:
“Kalau kekayaan ini kami
kelola sendiri,
jalan bisa kami bangun,
sekolah bisa kami
perbaiki,
rakyat bisa kami
sejahterakan.
Lalu buat apa ikut
Republik, mending buat negara sendiri, kita kelola sendiri.
Ini bukan pikiran
separatis, tapi logika ekonomi-politik yang jujur.
Kesimpulan Sederhana
PRRI bukan sekadar
“pemberontakan daerah”,
melainkan protes keras
terhadap republik yang terasa Jawa-sentris.
Jika republik hanya
berarti:
setor kekayaan → menunggu
belas kasihan pusat
maka wajar jika daerah
bertanya:
“Apa bedanya kami merdeka
dengan kami dijajah?”
Pertanyaan itu yang
melahirkan PRRI.
Selain ketimpangan
anggaran dan eksploitasi ekonomi, kemarahan Sumatera juga dipicu oleh kedekatan
politik Soekarno dengan PKI, sebuah kekuatan yang dipandang anti-agama. Bagi
masyarakat Sumatera—terutama Minangkabau yang dikenal sebagai basis Islam dan Masyumi—hal
ini terasa sebagai pengkhianatan agama.
Ketegangan itu berujung
tragedi. Dalam operasi penumpasan PRRI, ribuan putra daerah Minang gugur di
tangan tentara Republik. Peristiwa yang dikenang sebagai Tragedi Jam Gadang
meninggalkan luka kolektif yang panjang. Ironisnya, Ahmad Yani, tokoh nasionalis
Republik yang hari ini diperingati sebagai pahlawan, tercatat memimpin operasi
berdarah-darah itu.
Qadarullah, tujuh tahun
kemudian, Ahmad Yani justru tewas dibunuh PKI—kekuatan politik pusat yang
sebelumnya dibela dan dirangkul negara.
Sejarah pun mencatat
ironi itu: yang dibela, akhirnya menghabisi nyawanya sendiri.
terlepas dari alasan
alasan itu semua. coba kita renungkan, hari ini Sumatera, Aceh tak hanya kebun
karet saja yang diambil, tak hanya hutan saja yang dirampas, tapi ulah
penebangan elite republik sudah memakan ribuan korban, ini nyawa putera daerah
loh.....
masak kita hanya diam dan
sabar.
minimal berdoa semoga
Allah menjatuhkan mensungkurkan singgasana singgasana pemimpin dzalim.

Posting Komentar untuk "Mengapa Rakyat Sumatera Pernah Memberontak? - Ngopidiyyah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.