Wajibnya Merapatkan Dan Meluruskan Shaf - Ustadz Abu Muawiyah
Kabeldakwah.com |
Kami
mulai tulisan ini dengan sabda Rasulullah shollallahu ’alaihi wa sallam:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan shaf-shaf kalian,
karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.
Takhrij Hadits:
Hadits dengan lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya (433) dari shahabat Anas bin Malik –radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, dan dalam riwayat Al-Bukhary (723), dengan lafazh:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
”Luruskan shaf-shaf kalian,
karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat.”
Semakna dengannya, hadits
Abu Hurairah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- dalam riwayat Al-Bukhary (722) dan Muslim
(435), dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam– bahwa beliau bersabda:
وَأَقِيْمُوْا الصَّفِّ
فِي الصَّلاَةِ, فَإِنَّ إِقَامَةِ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ
“Dan tegakkanlah shaf di dalam
shalat, karena sesungguhnya menegakkan shaf termasuk diantara baiknya sholat”.
Kosa Kata Hadits:
1. Sabda beliau [luruskanlah
shaf-shaf kalian] yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan
merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan
atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah
kosong yang berada di tengah shaf.
2. Sabda beliau [termasuk kesempurnaan sholat],
yakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya,
sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.
3. Sabda beliau [sesungguhnya
menegakkan shaf], yakni meluruskan dan menyeimbangkannya ketika hendak mendirikan
shalat berjama’ah.
4. Sabda beliau [termasuk
diantara baiknya sholat]. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa “baiknya sesuatu”adalah
kadar tambahan setelah sempurnanya sesuatu tersebut.
[Lihat: Fathul Bary (2/209), ‘Aunul Ma’bud (2/259),
dan Faidhul Qodir (2/537) dan (4/115-116)]
Syarh:
Di antara sunnah (1) yang
banyak dilalaikan dan tidak diketahui ummat adalah meluruskan dan merapatkan shaf.
Sunnah ini telah ditinggalkan oleh mereka sehingga nampak fenomena yang menyedihkan
berupa adanya ketidakrapian shaf dalam sholat berjama’ah. Di lain sisi, orang yang
diangkat jadi imam sholat juga tidak paham mengenai sunnah yang satu ini. Kalaupun
paham, mereka tidak berusaha mengajarkannya kepada jama’ah, -baik karena sikap acuh
tak acuh mereka terhadap sunnah atau karena sungkannya mereka kepada jama’ah yang
telah menunjuk dirinya sebagai imam sehingga takut jika posisi itu hilang darinya
ketika dia mengajarkan dan menerapkan sunnah yang mulia ini- sehingga terjadilah
kekacauan dalam barisan jama’ah yang terkadang melahirkan perselihihan batin dan
kebencian. Sebagai bentuk usaha dalam mengatasi problema ini, kami merasa perlu
untuk menjelaskan sunnah yang mahjuroh (ditinggalkan) ini dan menyebarkannya melalui
tulisan yang ringkas ini. Berikut penjelasannya:
Anjuran Menyambung Shaf dan
Ancaman Memutuskannya
Banyak nash dari hadits Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menganjurkan kita agar kita meluruskan dan merapatkan
shaf, bahkan beliau juga telah mengancam orang yang memutuskannya dengan ancaman
yang keras.
1. Dari sahabat ‘Abdullah
bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ
فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ
وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ
لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Luruskan shaf-shaf kalian
karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di
antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan
(lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan.
Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya)
dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.(2)
Imam Abu Dawud As-Sijistany
-rahimahullah- berkata ketika menjelaskan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
“Makna sabdanya:[ “Lembutilah tangan-tangan (lengan) saudara kalian”] (adalah) apabila
ada seorang yang datang menuju shaf, lalu ia berusaha masuk, maka seyogyanya setiap
orang melembutkan (melunakkan) bahunya untuknya sehingga ia bisa masuk shaf”. (3)
Jika menutup celah yang renggang
saja merupakan perkara yang sangat dianjurkan, apalagi jika itu merupakan kekosongan
dan kerenggangan yang sangat lapang di antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya
-sebagaimana yang terlihat di banyak masjid di tanah air-, maka ini tentu lebih
dianjurkan bahkan diperintahkan.
2. ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala
‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ
اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam
shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya
sebuah rumah di dalam surga”. (4)
Janji yang demikian besarnya, tentunya tidak diberikan
kecuali kepada orang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengamalkan sunnah
Rasulullah-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di saat manusia banyak yang meninggalkannya
dan melalaikannya, bahkan terkadang diingkari. Demikian pula orang yang menolong
saudaranya dalam melaksanakan sunnah ini dengan melunakkan bahunya agar saudaranya
bisa masuk ke dalam shaf dan tidak terhalang, wajar jika ia disebut sebagai “orang
yang terbaik akhlaknya”.
3. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ
مَنَاكِبِ فِي الصَّلاَةِ, وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا
رَجُلٌ إِلَي فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
“Orang yang terbaik di antara
kalian adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat. Tak ada suatu langkahpun
yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah yang dilangkahkan menuju celah dalam
shaf, lalu ia menutupinya”. (5)
Perintah Meluruskan dan Merapatkan
Shaf
Para pembaca yang budiman
telah membaca hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk meluruskan dan merapatkan
shaf dan juga ancaman bagi orang yang memutuskan shaf dengan cara membuat celah
antara bahunya dengan bahu saudaranya, maka wajarlah jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- memerintahkan hal tersebut demi menekankan pentingnya meluruskan dan merapatkan
shaf serta bahaya memutuskannya.
1. Dari sahabat ‘Abdullah
bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam-
bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا
فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih.
Lantaran itu, hati-hati
kalian akan berselisih”. (6)
Perhatikan bagaimana Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengancam orang yang berselisih dalam mengatur shaf,
satunya maju sedikit dan satunya lagi agak ke belakang. Inilah yang dimaksud berselisih dalam hadits ini.
2. Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ
أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan
shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (7)
Seseorang tidak akan mampu
meluruskan shafnya jika ia tidak merapatkan barisannya. Karenanya Nabi –Shallallahu
‘alaihi wasallam- memerintahkan hal itu dalam sebuah hadits dari:
3. Anas bin Malik -radhiallahu
Ta’ala ‘anhu- bercerita, “Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah),
lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami
seraya bersabda:
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ
وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
”Tegakkanlah shaf-shaf kalian
dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”.
(8)
Meluruskan shaf dan merapatkannya
sangat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat
beliau, sehingga tak heran jika beliau mengingatkan dan memerintahkannya dalam hadits-haditsnya.
Bahkan meluruskan shaf merupakan salah satu jalan menyempurnakan dan menegakkan
sholat, sedangkan menyempurnakan dan menegakkan sholat merupakan kewajiban. Seorang
tak boleh mengurangi kesempurnaanya dengan merenggangkan shaf.
Tata Cara meluruskan dan Merapatkan
Shaf
Jika seseorang mau menilik
dan meneliti hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia akan menemukan
di dalamnya permata berharga bagi para pencinta sunnah, mata air yang menyejukkan
hati dan penawar bagi hati yang sakit. Tak ada suatu kemaslahatan apapun, kecuali
beliau telah jelaskan, dan sebaliknya tak ada satu mudhorotpun yang akan membahayakan
diri seseorang, kecuali beliau telah ingatkan.
Di antara kemaslahatan tersebut
adalah tata cara meluruskan shaf. Kemudian tak mungkin beliau memerintahkan dan
mewajibkan sesuatu, kecuali beliau pasti telah menjelaskan tata cara dan kaifiyahnya
kepada para sahabatnya.
Tata cara meluruskan dan merapatkan
shaf ini telah dipraktekkan oleh para sahabat setelah mereka dibimbing langsung
oleh Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka sekarang mari kita biarkan
salah seorang sahabat yang mulia yang bernama Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala
‘anhu- yang menerangkan tata cara dan kaifiyah meluruskan dan merapatkan shaf di
zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Anas
bin Malik berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا
يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ
تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ
“Dulu, salah seorang di antara
kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki
temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat
mereka seperti bagal (9) yang liar”.(10)
Apa yang dikatakan oleh Anas
-radhiallahu Ta’ala ‘anhu- adalah benar. Andaikan kita terapkan petunjuk Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya dalam merapatkan shaf, niscaya kita akan melihat
orang di samping kita bagaikan cacing kepanasan, tidak rela jika kakinya ditempeli
oleh kaki saudaranya, bahkan marah dan buruk sangka kepada hamba Allah yang taat.
Alangkah buruknya orang jenis ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlahnya.
Busyair bin Yasar Al-Anshory
pernah berkata, “Tatkala Anas datang ke Madinah, maka ada yang bertanya kepadanya:
“Apakah yang anda ingkari pada kami sejak hari engkau mengenal Rasulullah-shollallahu
alaihi wasallam-?”. Maka beliau berkata: [“Aku tak mengingkari (kalian), kecuali
karena kalian tidak menegakkan shaf”]”.(11)
Syaikh Masyhur Hasan Salman
-hafizhohullah- berkata dalam mengomentari atsar di atas, “Demikianlah kondisi kebanyakan
orang di zaman kita ini. Andaikan hal itu dilakukan di hadapan mereka, maka mereka
akan lari laksana keledai liar. Sunnah ini di sisi mereka berubah seakan-akan menjadi
suatu bid’ah (ajaran baru) -na’udzu billah-. Semoga Allah menunjuki mereka dan membuat
mereka merasakan manisnya sunnah”. (12)
Apa yang dikatakan Anas dalam
Atsar di atas memperjelas bagi kita bahwa tata cara tersebut telah mereka lakukan
sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah merupakan hasil ijtihad
mereka, bahkan merupakan hasil pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi mereka
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memerintahkan serta mewajibkan meluruskan dan
merapatkan shaf. Praktek mereka merupakan tafsiran dan manifestasi dari perintah
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka dalam meluruskan dan merapatkan
shaf. Maka janganlah anda yang tertipu dengan orang yang menyatakan bahwa perkara
ini bukanlah wajib, apalagi sampai mengingkarinya dan menyatakannya sebagai akhlaknya
orang-orang yang tak berakhlak.
Al-Hafizh -rahimahullah- berkata
ketika mengomentari atsar Anas di atas, “Pernyataan ini memberikan faedah bahwa
perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi –Shallallahu ‘alaihi
wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan
maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”. (13)
Maka batillah pendapat orang
yang menyatakan bahwa menempelkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki dan lutut dengan
lutut ketika merapatkan shaf merupakan perkara baru.(14)
Syaikh Nashir Al-Albany -rahimahullah-
berkata dalam menyanggah mereka, “Sungguh telah ada sebagian penulis di zaman ini
yang mengingkari menempelkan (kaki) seperti ini dan menyangka bahwa itu adalah model
baru (bid’ah) atas contoh yang ada dan bahwa di dalamnya terdapat sikap keterlaluan
dalam menerapkan sunnah. Dia telah menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan menempelkan
adalah anjuran untuk menutupi celah shaf, bukan hakekat menempel. Ini merupakan
ta’thil (peniadaan) terhadap hukum-hukum ‘amaliyah yang persis menyerupai peniadaan
sifat-sifat Ilahiyah. Bahkan ini lebih jelek dibandingkan itu, karena rawi menceritakan
tentang perkara yang disaksikan, terlihat oleh mata kepalanya, yaitu menempelkan.
Sekalipun demikian ia masih tetap berkata: [“Bukanlah yang dimaksudkan hakekat menempelkan”]
Wallahul musta’an”. (15)
Benar apa yang dikatakan oleh
Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi. Adapun
beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah
hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya
cara tersebut bisa dikerjakan. Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya
ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah. Jika
ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang
sempurna, maka bertaqwalah semampunya. Artinya, berusaha lakukan semampunya dan
jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.
Sekali lagi kami katakan bahwa
meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh
Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu. Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan
cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.
Coba dengarkan dengan baik
penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu
Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam-, “Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu
temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”.
(16)
Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah
berkata, “Dipahami dari pembahasan lalu bahwa meluruskan dan merapatkan shaf maksudnya
adalah:
1. Seorang yang sholat menempelkan
bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, lututnya dengan lutut
temannya dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”.
2. Menjaga kesejajaran antara
bahu-bahu, leher-leher dan dada. Tak ada leher yang berada di depan leher lainnya,
tak ada bahu di depan lainnya dan tak ada dada di depan dada lainnya. Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- sungguh telah bersabda, “Janganlah dada kalian berselisih, lantaran
itu, hati kalian akan berselisih”. (17)” (18).
Demi tersebarnya sunnah ini,
maka kami anjurkan kepada para imam masjid agar meluruskan dan merapatkan shaf,
serta berjalan memeriksa shaf yang masih renggang dan belum rapat, sebagaimana hal
ini telah dilakukan oleh manusia yang terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Dari sahabat Nu’man bin Basyir
-radhiyallahu anhu-berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ
حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ
يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ
! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen),
sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu
hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau
melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, [“Wahai
para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah
akan membuat wajah-wajah kalian berselisih”]”. (19)
Hukum Meluruskan dan Merapatkan
Shaf
Berdasarkan hadits-hadits
yang telah berlalu, para ulama kita menjelaskan bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya
merupakan perkara yang wajib atas setiap jama’ah sholat. Wajibnya hal ini dipahami
dengan adanya perintah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan juga ancaman
beliau terhadap orang yang melalaikannya. Karena, jika memang meluruskan dan merapatkan
shaf bukan perkara wajib tapi mustahab (sunnah/dianjurkan), maka tentunya Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- tidak akan memberikan perintah dan ancaman berkaitan dengan hal
tersebut. Sebab sesuatu yang hukumnya mustahab (mandub/sunnah) boleh dikerjakan
-dan itulah yang lebih baik- dan juga boleh ditinggalkan tanpa ada celaan. Jadi,
apabila ada suatu perintah lalu diiringi dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan
perintah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib. Dari sisi
yang lain, seluruh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukum asalnya adalah
wajib, kecuali jika ada dalil lain menunjukkan bolehnya sekali-sekali tidak meluruskan
shaf dan merapatkannya, maka hukumnya berubah menjadi mandub (sunnah/tidak wajib).
Namun disana tidak ada dalil yang mengubah hukum asal ini, artinya tidak ada dalil
yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau para sahabat pernah
sekali tidak meluruskan dan merapatkan shaf. Maka diketahuilah dari semua hal ini
bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya adalah wajib.
Al-Imam Al-Ba’ly -rahimahullah-
berkata, “Lahiriah (zhohir) pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah bahwa meluruskan
shaf adalah wajib, karena Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang
lelaki yang membusungkan dadanya (dalam shaf), maka beliau bersabda, [“Kalian benar-benar
akan meluruskan shaf kalian ataukah Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih”],
beliau -‘alaihish sholatu was salam- juga bersabda, [“Luruskanlah shaf-shaf kalian
karena meluruskannya adalah termasuk kesempurnaan sholat”] Muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhary
membuatkan judul bagi hadits ini, (Bab: Dosa Orang yang Tidak Meluruskan Shaf)”.
(20)
Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy
-rahimahullah- berkata, “Diwajibkan atas kaum mukminin untuk meluruskan shaf –orang
yang pertama lalu yang berikutnya-dan merapatkan shaf, serta menyejajarkan bahu
dengan bahu serta kaki dengan kaki”. (21)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany
-rahimahullah- berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Berdasarkan hal
ini, maka ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (22)
Ibnul Mulaqqin -rahimahullah-
berkata, “Konsekwensi segi yang pertama adalah wajibnya meluruskan shaf dengan adanya
ancaman karena meninggalkannya”. (23)
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah-
berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di
dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf”. (24)
Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata seusai membawakan hadits yang berisi ancaman
bagi orang yang tidak meluruskan shaf, “Tanpa ragu lagi, ini merupakan ancaman bagi
orang yang tidak meluruskan shaf, karena itulah sebagian ulama berpendapat wajibnya
meluruskan shaf. Mereka berdalil untuk hal itu dengan adanya perintah Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- terhadap hal itu serta ancaman beliau karena penyelisihannya.
Sesuatu yang telah datang perintah tentangnya dan juga ancaman karena menyelisihinya,
ini tak mungkin dikatakan sunnah saja! Oleh karena itulah, maka pendapat yang terkuat
dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, dan bahwa jama’ah jika tidak
meluruskan shaf, maka mereka berdosa”. (25)
Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany
-rahimahullah- berkata ketika menyebutkan beberapa faedah dari sebuah hadits yang
mengancam seseorang jika tidak meluruskan shaf, “Dalam kedua hadits ini terdapat
dua faedah.
Pertama: Wajibnya menegakkan, meluruskan
dan merapatkan shaf karena adanya perintah untuk hal itu. Sedangkan asalnya segala
perintah adalah wajib kecuali jika ada qorinah (korelasi) yang memalingkannya sebagaimana
yang tertera dalam ilmu ushul. Namun qorinahnya di sini menguatkan wajibnya, yaitu
sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat
hati-hati kalian berselisih”]. Karena -tidak samar lagi bahwa- ancaman seperti ini
tidak mungkin diucapkan terhadap sesuatu yang bukan wajib.
Kedua: Pelurusan shaf tersebut adalah
dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan tepi kaki dengan kaki, karena inilah
yang dilakukan oleh para shahabat -radhiallahu ‘anhum- ketika mereka diperintahkan
menegakkan dan merapatkan shaf. Karena itulah, Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath setelah
beliau membawakan tambahan hadits yang aku datangkan pada hadits yang pertama dari
ucapan Anas, [“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut
telah ada sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini,
maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan
meluruskannya”.(26)].
Di antara perkara yang kita
sesalkan, sunnah ini -berupa pelurusan shaf- sungguh telah diremehkan oleh kaum
muslimin, bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit di antara mereka.
Sesungguhnya aku tidak melihat hal ini (meluruskan dan merapatkan shof) ada pada
suatu kelompok di antara mereka kecuali pada ahlul hadits karena aku pernah melihat
mereka di Makkah pada tahun 1368 H, mereka amat semangat berpegang dengannya sebagaimana
halnya sunnah-sunnah Nabi Al-Musthofa -alaihish sholatu was salam- lainnya. Berbeda
dengan yang lainnya dari kalangan pengikut madzhab-madzhab yang empat -aku tidak
kecualikan Hanabilah-. Sunnah ini telah berubah menjadi sesuatu yang terlupakan
di sisi mereka. Bahkan mereka saling mengikuti dalam meninggalkannya dan berpaling
darinya. Demikianlah, karena mayoritas madzhab mereka telah menetapkan bahwa yang
sunnah ketika berdiri sholat adalah merenggangkan di antara dua kaki sejarak 4 jari,
jika melebihi, maka hukumnya makruh sebagaimana datang perinciannya dalam kitab
Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/207).
Ketentuan seperti itu tak
ada asalnya dalam sunnah, itu hanyalah merupakan pendapat semata. Andaikan hal itu
benar, maka harus dikhususkan bagi imam dan munfarid (orang yang sholat sendirian)
agar sunnah-sunnah ini tidak dipertentangkan sesuai konsekwensi kaidah-kaidah ushul.
Intinya, aku mengajak kaum muslimin -terkhusus lagi para imam masjid- yang memiliki
semangat untuk mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-dan mau memperoleh fadhilah
menghidupkan sunnahnya -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengamalkan sunnah ini
(yaitu meluruskan shaf,pen), bersemangat melakukannya dan mengajak manusia kepadanya
sehingga mereka semua berpadu di atasnya. Dengan itulah, mereka akan selamat dari
ancaman, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”].
Pada cetakan ini aku tambahkan seraya berkata, ”Telah sampai kepadaku berita tentang
seorang da’i bahwa ia meremehkan perkara sunnah amaliyyah ini yang telah dijalani
oleh para shahabat dan ditaqrir oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang
itu mengisyaratkan bahwa itu bukan dari hasil pengajaran Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- kepada mereka. Namun orang ini tak sadar -wallahu A’lam- kalau itu merupakan
pemahaman dari para shahabat, ini yang pertama. Yang kedua, Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- telah mentaqrir mereka atas hal tersebut. Demikian itu sudah cukup bagi
Ahlus Sunnah dalam menetapkan disyari’atkannya hal tersebut. Karena orang yang menyaksikan
(langsung kejadian) bisa melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang yang absen.
Mereka adalah suatu kaum yang tak akan celaka orang yang mengikuti jalan mereka”.
(27)
Inilah sekelumit komentar
tentang sunnah (baca: petunujuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat
beliau dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu
bagi kita untuk mengamalkan sunnah ini dan sekaligus nasehat bagi orang-orang yang
menyangka bahwa itu bukan sunnahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para
sahabat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut setia sunnah Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- dan mematikan kita di atas Islam yang suci ini.
Terakhir, kami sampaikan nasehat
kepada kaum muslimin -terutama para saudara kita yang menjadi imam masjid-, “Terapkanlah
sunnah ini kepada jama’ah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang tinggi
di sisi Allah. Namun jika kalian meremehkan hal ini, maka akan terjadi perpecahan
dan kebencian di antara kalian dari arah yang tidak kalian ketahui sebabnya, akibat
kalian telah melanggar petunjuk Allah -Ta’ala- dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Ketahuilah, kalian akan ditanyai
oleh Allah sebagai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kalian pada hari anak
dan harta benda tidak berguna lagi bagi kalian. Janganlah kalian menghalangi para
hamba Allah yang mau mengamalkan sunnah ini, apa lagi membencinya. Karena kalian
akan menjadi musuh Allah di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah
hadits qudsi, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan peperangan baginya”
(28)
Jadi, orang yang memusuhi
dan membenci orang yang menerapkan sunnah ini akan dimusuhi Allah, karena orang-orang
yang melaksanakan sunnah berarti ia taat kepada Allah. Sedang wali Allah adalah
orang yang taat kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah Ta’ala”.
Footnote:
(1) Kata “sunnah”memiliki
dua pengertian. Pertama: Sunnah bermakna sesuatu yang dianjurkan dan biasa diistilahkan
mandub atau mustahab. Kedua: Sunnah bermakna “petunjuk “yang pernah pernah dilakukan
oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Definisi kedua ini mencakup
perkara yang wajib maupun mandub/mustahab. Dalam tulisan ini jika kami menyebut
kata “sunnah”, maka yang kami maksudkan sunnah menurut definisi kedua yang bermakna
“petunjuk”. Kami tak gunakan istilah sunnah untuk mengungkapkan perkara yang mustahab/mandub.
Ini kami jelaskan karena banyak orang yang salah paham dalam menggunakan istilah
sunnah. Seperti jika kita katakan: Meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah
Nabi-shollallahu alaihi wasallam-. Serta merta ada yangmengatakan: Kenapa anda mewajibkan
sesuatu jika memangnya sunnah?!! Padahal sunnah yang kita maksudkan disini adalah
bermakna “petunjuk”mencakup yang wajib maupun yang tidak wajib (baca: mustahab/mandub).
Namun tentunya meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan sunnah Nabi-shollallahu
alaihi wasallam- yang hukumnya wajib, bukan mandub/mustahab.
(2) HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya.
Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)
(3) Lihat Sunan Abu Dawud, hal.110 karya Sulaiman
Ibnul Asy’ats As-Sijistany Al-Azdi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahun 1419 H
(4) HR.Ibnu Majah Al-Qozwini
dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany
-rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335)
cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H
(5) HR.Al-Imam Ath-Thobrony dalam Al-Ausath (1/23/2).
Hadits ini shohih lighoirihi sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albany dalam
Ash-Shohihah (2533)
(6) HR. Al-Imam Muslim dalam
Shohih-nya (432)
(7) HR. Al-Imam Al-Bukhory
dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
(8) HR. Al-Imam Al-Bukhory
dalam Shohih-nya (719)
(9) Bagal:Hewan hasil perkawinan
campur antara kuda dengan keledai.
(10) HR.Al-Bukhory (725)
(11) HR.Al-Bukhory (724)
(12) Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin,
hal.207
(13) Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(14) Lihat Laa Jadiida fi Ahkam Ash-Sholah, hal.13
karya Syaikh Bakr Abu Zaid-hafizhohullah-
(15) Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (6/1/77)
karya Al-Albany. Pada temapat lain beliau juga singgung hal ini. Lihat Ash-Shohihah (1/1/73-74)
(16) HR.Abu Dawud (662), Ibnu
Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
(17) HR.Ibnu Khuzaimah. Lihat Shohih At-Targhib
(513)
(18) Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh
(2/247-248)
(19) HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)
(20) Lihat Al-Ikhtiyarot,
hal.50 via Asy-Syarh Al-Mumti’.
(21) Lihat Al-Muhalla (4/52)
via Minhaj An-Najah
(22) Lihat Fathul Bari (2/268)
karya Al-Hafizh, ta’liq Ibnu Baz & Asy-syaibly, Darus Salam, 1421 H
(23) Lihat Minhaj An-Najah fi Wujub Taswiyah Ash-Shufuf
fi Ash-Sholah (2/519) , cet. Maktabah Al-Furqon, Uni Emirat Arab, 1422 H.
(24) Lihat Nailul Author (2/454) karya Asy-Syaukani,
cet.Dar Al-Kitab Al-Araby, 1420 H
(25) Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al-Mustaqni’
(3/11) karya Al-‘Utsaimin, cet. Mu’assasah Aasam.
(26) Lihat Fath Al-Bari (2/211)
(27) Lihat Ash-Shohihah (1/1/72-74) karya Al-Albany.
Kemudian Syaikh memberikan tambahan bagi ucapannya
di atas pada kolom Al-Istidrokat dalam Ash-Shohihah (1/2/903) seraya berkata, “Lalu
aku melihat sebuah pembahasan yang berfaedah milik salah seorang saudara kami di
Makkah Al-Mukarromah -barokallahu fiih-. Dia mendukung (membela) sunnah yang kuat
ini dalam risalahnya yang ia hadiahkan kepadaku “At-Tatimmat li Ba’dhi Masa’il Ash-Sholah”,
hal.41 - 42. Maka silakan kitab itu dirujuk, niscaya anda akan mendapatkan tambahan ilmu
dan faedah, insya Allah”.
(28) HR.Al-Bukhary dalam Kitab Ar-Riqoq (6502).
Lihat Hidayah Ar-Ruwah (2/420) karya Ibnu Hajar, dengan takhrij Al-Albany, Cet.Dar
Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan, 1422 H.
Semoga Allah mudahkan dan
lancarkan urusan kita semua, dan senantiasa memberikan keistiqomahan kepada kita
dalam beribadah kepadanya.
Disusun Oleh: Ust. Abu
Muawiyah
Posting Komentar untuk "Wajibnya Merapatkan Dan Meluruskan Shaf - Ustadz Abu Muawiyah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.