Al-Afaatul Lisan (Bahasa Lidah)
Ilat Iku Luwih Landep Timbang Pedang
DUA hal penting yang
sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan memelihara
dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua
yaitu,"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata
yang baik atau diam." Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga
tutur kata, tidak mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti hati, karena
bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis lain yaitu
permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.
Maka dengan menjaga lidah
dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang tenteram,
damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah
Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu
dan melampaui batas atau menyentuh hak dan maruah orang lain.
Inilah nilai keadaban yang tinggi yang amat dibutuhkan masyarakat kini. Disaat pengaruh kebendaan dimana nafsu manusia semakin meluap dan telah meminggirkan sifat santun dan adab bertutur. Perbuatan mereka tampak semakin cablak, ganas dan tanpa tedeng aling-aling mengamburkan kata-kata kotor, jijik berupa umpatan ataupun celaan.
Orang-orang tertentu kini
kelihatan tidak lagi menjungjung tinggi adab sopan dalam berbicara. Seakan yang
mereka ke depankan saat ini hanyalah memenangkan persaingan hidup. Di bidang
ekonomi manusia berlomba-lomba mencari peluang untung diri sendiri. Di bidang
politik juga tidak kalah hebatnya demi mendapatkan kekuasaan, demikian juga di
dalam bidang kehidupan yang lain, manusia sering melupakan diri dan
martabatnya, semata-mata karena mengejar sesuatu kemudian merebutnya untuk
dirinya sendiri.
Lihat saja ketika ‘musim
kampanye', saban waktu dan saban hari, siang dan malam, kita mendengar ceramah
dan ucapan yang dipenuhi dengan kata-kata liar, kasar dan amat menyakitkan
telinga. Tuduhan dan hasutan yang tidak mengandung kebenaran. Kata-kata dalam
bentuk fitnah, makian yang biadab, dan berbagai ‘kalimat sampah' kerap
dijelmakan dalam kesempatan berbicara dan dimainkan oleh orang-orang yang
pandai bersilat dengan kata-kata dan retorika.
Masyarakat tidak
terkecuali senang mendengar dan menelannya mentah-mentah. Kadang-kadang dalam
bentuk lucu dan humor, tetapi penuh kepedihan dan kepalsuan. Unsur lucu atau
jenaka yang diselipkan dalam ceramah dan pidato politik amat menarik perhatian
orang yang mendengarnya, tapi amat memalukan bahwa objek lucu itu kadang-kadang
ditujukan kepada musuh politiknya secara amat sinis dan hina, malah menyentuh
keturunan dan nenek moyang seseorang yang tidak ada kaitan dengan sesuatu yang
diutarakan dalam lawak jenakanya yang menyakitkan itu.
Di parlemen, agenda
pertama yang dilihat dalam persidangan ialah ‘medan laga mulut' yang tidak
mengikuti adab kesopanan dan adab Islam atau bahkan aturan moral sekalipun.
Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi medan laga yang penuh permusuhan
seolah-olah manusia sekarang sudah kembali ke zaman yang tidak beradab.
Harus diakui bahwa
manusia memang berbeda pandangan dan pendirian, bebas membuat pentafsiran
terhadap sesuatu yang dirasakan benar baginya, tetapi manusia juga mempunyai
akal dan pertimbangan secara etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada
hal itu, maka selanjutnya kita selalu dalam petaka.
Lidah memang tak
bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang
dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan
menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang
pencetus ‘gosip' pernah merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini
bisa jadi akan tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan,
dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering
blong.
Bila menghadapi kondisi
'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah saw, Al-Husain ra mungkin bisa
menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita, "Seseorang yang menceritakan
keburukan orang lain di hadapanmu, boleh jadi dia akan menceritakan keburukanmu
(juga) pada orang lain."
***
Dalam sebuah perjalanan
ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu
seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi
diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya.
Ia disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat,
keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah
sumurnya."
Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda,
"Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk
pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya
menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan
seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah
mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan kalian memakan daging orang
mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau
makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan
orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri."
Menurut Ibnu Abbas, kisah
tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12. "Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena
setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan
pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah
seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik
(tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi
Penyayang."
***
Imam Sya'bi adalah salah
seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau berceramah di hadapan
murid²nya, tersebutlah seorang murid duduk disampingnya, yang mulai sejak awal
Imam Sya'bi berbicara tidak pernah ia bertanya atau berkata-kata sepatah
katapun, tidak seperti murid-muridnya yang lain, maka bertanyalah Imam Sya'bi
kepada muridnya yang satu ini ;
"Mengapa engkau
tidak berkata sepatah katapun.....?"
Anak muda itu menjawab,
dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku
mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian
masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk
orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan
tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset
kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia
terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."
Di Basrah pernah
kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim. Penduduk
kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa,
jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu
dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo
singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah wali itu
memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan meninggalkan kota
itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh
mana ketakwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di
penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya," Dari mana
Tuan memperoleh derajat kewalian?"
Orang itu dengan congkak
menjawab, "dari Allah". Dengan ucapan seringkas itu tahulah Imam Hasan
Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka.
Seyogyanya ia berkata, "Maaf, saya bukan wali." Sebab tidak ada
seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian
tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan
oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang
memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.
Posting Komentar untuk "Al-Afaatul Lisan (Bahasa Lidah)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.