Kejujuran Yang Tercela (Ghibah, Namimah, Menyebarkan Rahasia)
Pada asalnya, kejujuran
itu sangat terpuji dalam syari’at. Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa
kejujuran itu merupakan sifat orang yang beriman.
إِنّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمّ لَمْ يَرْتَابُواْ
وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـَئِكَ هُمُ
الصّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu; dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar" (QS.
Al-Hujuraat: 15).
Tidaklah kejujuran itu
akan membawa pelakunya kecuali kepada surga. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عليكم بالصدق
فإن الصدق يهدى إلى البر وإن البر يهدى إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى
الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدى إلى الفجور وإن
الفجور يهدى إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
“Berpegangteguhlah pada kejujuran karena
kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan
sesungguhnya seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran hingga ia
dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah kamu terhadap
kedustaan karena kedustaan membawa kejahatan dan kejahatan itu membawa kepada
neraka. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan hingga
dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta“ (HR. Bukhari no. 6094 dan
Muslim no. 2607).
Akan tetapi, ada beberapa
hal yang dikecualikan dimana orang yang jujur malah tidak mendapat sanjungan
sebagaimana di atas. Apakah itu? Berikut penjelasannya……
Ghibah
Ghibah atau menggunjing
(ngrumpi, nggosip) merupakan perkataan jujur yang tercela dan merupakan khianat
terhadap aib-aib kaum muslimin yang seharusnya ditutupi. Allah ta’ala berfirman:
وَلاَ يَغْتَب
بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً
فَكَرِهْتُمُوه
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. Al-Hujuraat: 12).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أتدرون ما
الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما
أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته
“Apakah kalian tahu apa
ghibah itu?" Para shahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu".
Beliau bersabda: "Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci,
maka kamu telah melakukan ghibah". Beliau ditanya: "Bagaimana jika
sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?" Beliau menjawab: "Bila
sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan
apabila yang kamu bicarakan tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan
atasnya“ (HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874,
At-Tirmidzi no. 1934, Ahmad 2/230, Ad-Darimi no. 2717, dan yang lainnya).
Ghibah itu hukumnya haram,
baik sedikit ataupun banyak.
عن عائشة قالت:
قلت للنبي صلى الله عليه وسلم حسبك من صفية كذا وكذا قال غير مسدد تعني قصيرة فقال
لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته
Dari ’Aisyah ia berkata: "Aku pernah
berkata kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam: ‘Cukuplah Shafiyyah itu
begini dan begitu’. Salah seorang perawi berkata bahwa yang dimaksud ‘Aisyah
adalah Shafiyyah itu pendek badannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang seandainya
dicelupkan ke dalam air laut niscaya akan berubah warnanya" (HR. Abu Dawud
no. 4875, At-Tirmidzi no. 2502, Ahmad 6/128, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Atsar no. 1080; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 3/196).
عن أنس بن مالك
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس
يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس
ويقعون في أعراضهم
Dari Anas bin Malik ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam: “Ketika aku sedang dimi’rajkan, aku
melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang sedang mencakar
wajah dan dada mereka. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka wahai Jibril?’. Jibril
menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela
kehormatannya" (HR. Abu Dawud no. 4878 dan Ahmad 3/224; dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/197 dan Ash-Shahiihah no.
533).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
والغيبة محرمة
بالإجماع, ولا يستثنى من ذلك إلا من رجحت مصلحته, كما في الجرح والتعديل والنصيحة
كقوله صلى الله عليه وسلم, لما استأذن عليه ذلك الرجل الفاجر: «ائذنوا له بئس أخو
العشيرة!» وكقوله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت قيس رضي الله عنها, وقد خطبها
معاوية وأبو الجهم: «أما معاوية فصعلوك, وأما أبو الجهم فلا يضع عصاه عن عاتقه»
وكذا ما جرى مجرى ذلك, ثم بقيتها على الترحيم الشديد
“Menurut kesepakatan, ghibah merupakan
perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali
jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misal dalam al-jarh
wat-ta’dil dan nasihat. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam ketika ada seorang jahat yang meminta ijin kepada beliau: ‘Berikanlah
oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah seburuk-buruk saudara dalam keluarga’. Dan
juga seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti
Qais radliyallaahu ‘anhaa ketika dilamar oleh Mu'awiyyah dan Abul-Jahm: ‘Adapun
Mu’awiyyah adalah seorang yang tidak emmpunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm
adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan
tangan)’. Demikianlah yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari
hal yang di atas, maka hukumnya haram, yang karenanya pelakunya diberikan
ancaman keras" (Tafsir Ibnu Katsir hal. 517 – Free Program from
http://www.islamspirit.com/).
Jumhur ‘ulamaa
menjelaskan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar. Dalil yang menjadi sandaran tentang hal
tersebut adalah:
عن سعيد بن زيد
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن من أربى الربا الاستطالة في عرض المسلم بغير
حق
Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya termasuk dari riba yang paling
berat adalah terus-menerus melanggar kehormatan seorang muslim tanpa alasan
yang benar" (HR. Abu Dawud no. 4876 dan Al-Baihaqi 10/241; dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/197).
Bagaimana cara bertaubat
dari ghibah?
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan:
قال الجمهور من
العلماء: طريق المغتاب للناس في توبته أن يقلع عن ذلك ويعزم على أن لا يعود, وهل
يشترط الندم على ما فات ؟ فيه نزاع, وأن يتحلل من الذي اغتابه. وقال آخرون: لا
يشترط أن يتحلله فإنه إذا أعلمه بذلك ربما تأذى أشد مما إذا لم يعلم بما كان منه
فطريقه إذاً أن يثني عليه بما فيه في المجالس التي كان يذمه فيها, وأن يرد عنه
الغيبة بحسبه
وطاقته, لتكون تلك بتلك
“Jumhur ulama mengatakan: ‘Jalan yang harus
ditempuh orang yang berbuat ghibah adalah dengan melepaskan diri darinya dan
berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali’. Apakah dalam taubat itu
disyaratkan adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf
kepada orang yang telah dighibahinya itu? Mengenai hal ini,
terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta
penghalalan (maaf) kepada orang yang dighibah. Ada yang berpendapat, tidak
disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahukan apa
yang telah dighibahkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit
daripada jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang harus ia tempuh
adalah memberi sanjungan kepada orang yang telah dighibahnya itu di
tempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya ia menghindari ghibah
orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga ghibah itu
dibayar dengan pujian" (Tafsir Ibnu Katsir, hal. 517 – Free Program from http://www.islamspirit.com/).
Pendapat kedua lah yang
lebih dekat dengan kebenaran. Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan secara
lebih detail:
يذكر عن النبي
صلى الله عليه وسلم أن كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته، تقول: ((اللهم اغفر لنا
وله)). ذكره البيهقي في كتاب ((الدعوات الكبير))، وقال: في إسناده ضعف.
وهذه مسألة فيها
قولان للعلماء - هما روايتان عن الإمام أحمد - ، وهما: هل يكفي في التوبة من
الغيبة الاستغفار للمغتاب، أم لابد من أعلامه وتحلله؟
والصحيح أنه لا
يحتاج إلى إعلامه، بل يكفيه الاستغفار له، وذكره بمحاسن ما فيه في المواطن التي
اغتابه فيها.وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية، وغيره.
والذين قالوا:
لابد من إعلامه؛ جعلوا الغيبة كالحقوق المالية، والفرق بينهما ظاهر، فإن في الحقوق
المالية ينتفع المظلوم بعود نظير مظلمته إليه، فإن شاء أخذها، وإن شاء تصدق بها.
وأما في الغيبة،
فلا يمكن ذلك، ولا يحصل له بإعلامه إلا عكس مقصود الشارع، فإنه يوغر صدره ويؤذيه
إذا سمع ما رُمِيَ به، ولعله يُنْتِجُ عداوته، ولا وصفو له أبداً، وما كان هذا
سبيله فإن الشارع الحكيم لا يبيحه ولا يُجَوِّزُه، فضلاً عن أن يوجبه ويأمر به،
ومدار الشرعية على تعطيل المفاسد وتقليلها، لا على تحصيلها وتكميلها، والله أعلم.
"Disebutkan dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam bahwa kaffarah (tebusan) perbuatan ghibah adalah dengan
memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang dighibahi dengan mengatakan: "Ya
Allah, ampunilah kami dan dia". Ini disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam
Ad-Da’awaat Al-Kabiir dan ia mengatakan dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam
masalah ini, keduanya merupakan riwayat dari Al-Imam Ahmad, yaitu: Apakah sudah
mencukupi bertaubat dari perbuatan ghibah hanya dengan memohonkan ampunan untuk
orang yang dighibahi? Ataukah harus memberitahukannya dan minta dihalalkan?.
Yang benar, bahwasannya tidak perlu
memberitahukannya, akan tetapi cukup baginya memohonkan ampunan serta
menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada padanya di tempat-tempat dimana ia telah
membicarakan (meng-ghibah) orang tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya.
Adapun orang yang mengharuskan untuk
memberitahukannya, mereka menganggap bahwa ghibah itu seperti hak-hak harta. Sedangkan perbedaan
keduanya sangat jelas, karena dalam kasus hak harta, yang terdhalimi akan
mendapatkan manfaat dengan dikembalikannya semisal kedhalimannya. Maka jika ia
menghendaki boleh diambilnya, atau dia shadaqahkan harta tersebut jika ia mau.
Adapun dalam kasus
ghibah, maka hal itu tidak memungkinkan, dan tidak akan ia peroleh melalui
keterangannya itu kecuali kebalikan dari yang dimaksud oleh Pembuat syari’at,
karena hal itu justru membuat dadanya panas, dan menyakitinya jika ia mendengar
apa yang dighibahkan tentang dirinya, dan mungkin sekali itu akan membangkitkan
rasa permusuhan serta tidak menjernihkan permasalahan selama-lamanya. Dan
apapun yang seperti ini jalannya, maka Pembuat syari’at yang bijaksana tidaklah
memperkenankannya dan tidak mengijinkannya, lebih-lebih mewajibkan apalagi
memerintahkannya. Adapun poros beredarnya syari’at ini adalah menghilangkan
kerusakan (yang ada) dan meminimalkannya, bukan untuk menimbulkan kerusakan
(yang baru) atau (bahkan) menyempurnakannya. Allahu a’lam" (selesai
perkataan Ibnul-Qayyim – Al-Waabilush-Shayyib wa Raafi’ul-Kalimith-Thayyib,
hal. 389-390, tahqiq: ’Abdurrahman bin Hasan bin Qaaid, isyraf: Bakr Abu Zaid;
Daar ’Aalamil-Fawaaid).
Namimah (Mengadu Domba)
Namimah lebih tercela dan
lebih buruk daripada ghibah. Disamping itu merupakan pengkhianatan dan kehinaan
yang kemudian berakhir dengan percekcokan, pemutusan silaturahim, dan kebencian
di antara teman. Allah ta’ala telah mencela orang yang berperangai seperti ini
dengan firman-Nya:
وَلا تُطِعْ
كُلَّ حَلافٍ مَهِينٍ * هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ * مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ
مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari
menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi
banyak dosa" (QS. Al-Qalam: 10-12).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
{مشاء بنميم} يعني الذي يمشي بين الناس ويحرش
بينهم وينقل الحديث لفساد ذات البين وهي الحالقة, وقد ثبت في الصحيحين من حديث
مجاهد عن طاوس عن ابن عباس قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بقبرين فقال
«إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول, وأما
الاَخر فكان يمشي بالنميمة» الحديث.
"Firman-Nya: {مشاء
بنميم} "yang kian kemari menghambur fitnah" ; yaitu: yang
berjalan di tengah-tengah umat manusia seraya memprovokasi mereka serta
menyebarluaskan pembicaraan untuk mengaburkan yang sudah jelas. Dan telah
ditegaskan dalam Ash-Shahihain, dari hadits Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu
’Abbas ia berkata: "Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah
melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda: ’Kedua orang (yang berada di
kuburan ini) sedang disiksa. Keduanya tidak disiksa karena dosa besar (sebagaimana
disangka orang, padahal ia merupakan dosa besar – Abul-Jauzaa’). Adapun salah
satunya, (mereka disiksa) karena tidak menutup diri saat buang air, sedangkan
yang lain (disiksa) karena suka mengadu domba (namimah)’. Al-Hadits" (Tafsir
Ibnu Katsir, hal. 564 - Free Program from http://www.islamspirit.com/).
Tidak disangsikan lagi
bahwa namimah termasuk salah satu jenis dosa besar. Oleh karena itu Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang namimah dengan sabdanya:
لا يدخل الجنة
نمام
“Tidak akan masuk surga
orang yang mengadu domba" (HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105).
Orang yang mengadu domba
adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah, penghuni neraka jahannam dan
bila tidak bertaubat akan menjadi hamba yang terhina di dunia dan putus asa
dari rahmat Allah di akhirat.
Asy-Syaikh ’Abdurrahman
bin Hasan rahimahumallah berkata ketika menjelaskan bahaya dan dampak namimah:
وذكر ابن عبد
البر عن يحيى بن أبي كثير قال: يفسد النمام والكذاب في ساعة ما لا يفسد الساحر في
سنة . وقال أبو الخطاب في عيون المسائل: ومن السحر السعي بالنميمة والإفساد بين
الناس . قال في الفروع: ووجهه أن يقصد الأذى بكلامه وعمله على وجه المكر والحيلة ،
أشبه السحر ، وهذا يعرف بالعرف والعادة أنه يؤثر وينتج ما يعمله السحر ، أو أكثر
فيعطى حكمه تسوية بين المتماثلين أو المتقاربين . لكن يقال: الساحر إنما يكفر لوصف
السحر وهو أمر خاص ودليله خاص ، وهذا ليس بساحر . وإنما يؤثر عمله ما يؤثره فيعطي
حكمه إلا فيما اختص به من الكفر وعدم قبول التوبة . انتهى ملخصاً.
وبه يظهر مطابقة
الحديث للترجمة . وهو يدل على تحريم النميمة ، وهو مجمع عليه قال ابن حزم رحمه
الله: اتفقوا على تحريم الغيبة والنميمة في غير النصيحة الواجبة . وفيه دليل على أنها
من الكبائر.
"Ibnu ’Abdil-Barr menyebutkan dari Yahya
bin Abi Katsir, dia berkata: "Para pengadu domba dan pendusta membuat
kerusakan dalam satu saat yang tidak dapat dicapai oleh tukang sihir selama
setahun". Abul-Khaththab berkata dalam kitab ’Uyuunul-Masaaail: "Termasuk
sihir adalah berkeliling dengan namimah dan berbuat kerusakan di antara manusia".
Ia juga berkata dalam kitab Al-Furu’: "Ini permasalahannya adalah, bahwa
orang itu bermaksud menyakiti dengan ucapannya dan perbuatannya dengan cara makar
dan tipu muslihat, dan itu menyerupai sihir. Ini dapat diketahui secara adat
kebiasaan, bahwa perbuatan itu berpengaruh dan membuahkan sesuatu serupa dengan
apa yang dihasilkan oleh sihir, atau bahkan lebih banyak. Maka hukumnya pun serupa
dengan sihir, karena di antara keduanya terdapat kesamaan yang saling
berdekatan". Akan tetapi dikatakan bahwa tukang sihir adalah kafir karena
kriteria sihirnya. Ia adalah sesuatu yang khusus dan dalil yang dimilikinya pun
khusus; sedangkan yang ini (yaitu namimah) tidak seperti pelaku sihir. Akan
tetapi keduanya ada kesamaan dalam pengaruh. Maka hukum keduanya pun harus
disamakan, kecuali dalam kekafiran yang khusus pada sihir dan tidak diterimanya
taubat. Selesai dengan peringkasan.
Dengan ini jelaslah
relevansi hadits ini dengan bab di atas, dan hadits itu menunjukkan haramnya
namimah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Ibnu Hazm rahimahullah
berkata: “Mereka sepakat atas haramnya ghibah dan namimah di luar nasihat yang
wajib. Hal ini juga menunjukkan bahwa namimah termasuk perbuatan dosa besar"
(selesai perkataan Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan – Fathul-Majid, hal 283;
ta’liq: Ibnu Baaz; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo).
Para ulama berbeda
pendapat tentang ghibah dan namimah; apakah keduanya sama atau berbeda?
Al-Hafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
وأن بينهما
عموما وخصوصا وجهيا وذلك لأن النميمة نقل حال الشخص لغيره على جهة الإفساد بغير
رضاه سواء كان بعلمه أم بغير علمه والغيبة ذكره في غيبته بما لا يرضيه فامتازت
النميمة بقصد الافساد ولا يشترط ذلك في الغيبة وامتازت الغيبة بكونها في غيبة
المقول فيه واشتركتا فيما عدا ذلك ومن العلماء من يشترط في الغيبة أن يكون المقول
فيه غائبا والله أعلم
"Bahwasannya di
antara keduanya terdapat perbedaan, dan di antara keduanya terdapat sisi
keumuman dan kekhususan. Karena namimah adalah menukil keadaan seseorang untuk
disampaikan kepada yang lain dengan tujuan membuat kerusakan tanpa
keridlaannya, baik ia tahu atau tidak tahu. Sedangkan ghibah adalah menyebut
tentang seseorang tanpa kehadiran orang yang disebut dengan sesuatu yang tidak
diridlainya. Maka namimah itu terbedakan dengan adanya tujuan untuk merusak,
dan ini tidak disyaratkan dalam ghibah. Dan ghibah sendiri terbedakan dengan
ketidakhadiran orang yang dibicarakan. Keduanya memiliki sisi kesamaan dalam
hal yang selain itu. Di antara ulama ada yang mensyaratkan tentang ghibah,
keharusan orang yang dibicarakan tidak ada di tempat. Wallaahu a’lam" (Fathul-Bari,
10/473; Daarul-Ma’rifah, Beirut).
Menyebarkan Rahasia
Menyebarkan rahasia
adalah satu kejujuran yang sangat tercela dan merupakan bukti pengkhianatan
dari pelakunya. Ia merupakan satu sikap khianat terhadap amanah. Allah ta’ala
telah mengabadikan satu contoh dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ أَسَرَّ
النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ
وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا
نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ
الْخَبِيرُ
"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan
secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu
peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah)
dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan
Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan
Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka
tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu
Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini
kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. At-Tahrim: 3).
Ayat di atas berisi terkandung satu teguran
bagi Ummul-Mukminin Hafshah binti ’Umar bin Al-Khaththab ketika ia membocorkan
rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang seharusnya ia simpan. Ia
melakukannya karena rasa cemburu dengan madunya (istri beliau shallallaahu
’alaihi wasallam yang lain). Setelah mendapat teguran dari Allah dan Rasul-Nya
melalui ayat tersebut, maka ia adalah salah satu wanita yang paling cepat sadar
akan kesalahannya, bertaubat, dan kembali kepada kebenaran.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai "rahasia" yang dimaksud dalam ayat. Ada dua
pendapat masyhur dalam hal ini:
Pertama, maksudnya adalah
pengharaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terhadap madu.
عن عبيد بن عمير
قال سمعت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يمكث عند
زينب ابنة جحش، ويثرب عندها عسلا فتواصيت أنا وحفصة أن أيتنا دخل عليها النبي صلى
الله عليه وعلى آله وسلم فلتقل: إني لأجد منك ريح مغافير، أكلت مغافير. فدخل على
إحداهما فقالت له ذلك، فقال: "لا بأس شربت عسلا عند زينب ابنة جحش ولن أعود
له". فنزلت {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ
لَكَ} إلى {تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ} لعائشة وحفصة {وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ
إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا} لقوله بل شربت عسلا.
Dari ’Ubaid bin ’Umair berkata: Aku mendengar
’Aisyah radliyallaahu ’anhaa: Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa ’alaa
aalihi wasallam tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan beliau meminum madu di
sana. Maka aku dan Hafshah bersepakat bahwa siapa saja di antara kami yang
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepadanya, hendaknya ia berkata:
"Sesungguhnya aku mencium bau maghaafir (sesuatu yang kurang sedap baunya)".
Lalu Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepada salah satu dari keduanya,
ia pun mengatakan hal itu kepada Nabi. Beliau menjawab: "Tidak mengapa,
aku telah minum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Aku tidak akan meminumnya
lagi". Maka turunlah ayat: "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa
yang Allah menghalalkannya bagimu" sampai pada ayat: "Jika kamu
berdua bertobat kepada Allah" (QS. At-Tahrim: 1 - 4) – dimana ayat ini turun kepada ’Aisyah
dan Hafshah. Adapun ayat: "Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara
rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa"
– turun karena perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam: "Akan
tetapi aku meminum madu" (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 11/293 – dinukil
melalui perantaraan Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul karya Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 217; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 4/1408,
Cairo).
Kedua, maksudnya
pengharaman terhadap Mariyyah Al-Qibthiyyah. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya
menyebut riwayat sebagai berikut:
عن ابن عباس
قال: قلت لعمر بن الخطاب: من المرأتان ؟ قال: عائشة وحفصة. وكان بدء الحديث في شأن
أم إبراهيم مارية القبطية أصابها النبي صلى الله عليه وسلم في بيت حفصة في نوبتها,
فوجدت حفصة: فقالت: يا نبي الله لقد جئت إليّ شيئاً ما جئت إلى أحد من أزواجك في
يومي وفي دوري وعلى فراشي قال: «ألا ترضين أن أحرمها فلا أقربها» قالت: بلى فحرمها
وقال لها «لا تذكري ذلك لأحد»
Dari Ibnu ’Abbas ia berkata: Aku bertanya
kepada ’Umar bin Al-Khaththab: ’Siapa dua wanita yang dimaksudkan dalam ayat?’.
Ia menjawab: ’Aisyah dan Hafshah’. Kejadian itu terjadi berkaitan dengan
perkara Ummu Ibrahim Mariyah Al-Qibthiyyah yang digauli Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam di rumah Hafshah, sedangkan hari itu merupakan hari giliran
Hafshah. Dan ternyata Hafshah pun melihatnya. Maka ia pun berkata: "Wahai
Nabi Allah, sungguh engkau telah mendatangkan kepadaku sesuatu yang tidak
pernah engkau datangkan kepada seorang pun dari para istrimu, di hari
(giliran)-ku dan di atas tempat tidurku". Lalu beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda: "Tidakkah engkau ridlai, kalau aku haramkan dia dan aku
berjanji untuk tidak mendekatinya lagi". Hafshah berkata: "Tentu".
Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam mengharamkannya (yaitu
mengharamkan Mariyyah Al-Qibthiyyah untuk diri beliau). Dan beliau berkata kepada
Hafshah: "Janganlah engkau ceritakan hal ini kepada siapapun" (Tafsir
Ibnu Katsir hal. 560 - Free Program from http://www.islamspirit.com/. Lihat
pula beberapa riwayat yang terkait asbaabun-nuzuul ayat dalam kitab
Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 217-218).
Ada beberapa hadits yang
menunjukkan bahwa para shahabat adalah orang yang sangat menjaga rahasia:
عن أنس قال أتى
علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا العب مع الغلمان قال فسلم علينا فبعثني إلى
حاجة فأبطأت على أمي فلما جئت قالت ما حبسك قلت بعثني رسول الله صلى الله عليه
وسلم لحاجة قالت ما حاجته قلت انها سر قالت لا تحدثن بسر رسول الله صلى الله عليه
وسلم أحدا قال أنس والله لو حدثت به أحدا لحدثتك يا ثابت
Dari Anas ia berkata: Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam mendatangiku ketika itu aku sedang bermain-main bersama
beberapa orang anak laki-laki, kemudian beliau memberi salam kepada kami. Lalu
beliau menyuruhku untuk satu keperluan hingga aku terlambat pulang ke rumah. Dan ketika aku pulang
menemui ibuku, ia bertanya: "Apa yang menyebabkan engkau pulang terlambat?".
Maka aku pun menjawab: "Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
menyuruhku untuk satu keperluan". Ia bertanya: "Apa Apa keperluannya?".
Aku menjawab: "Ini rahasia". Ibuku pun berkata: "Jangan
sekali-kali engkau ceritakan rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
kepada seorangpun". Anas berkata: "Demi Allah, seandainya aku
menceritakannya kepada seseorang, niscaya aku menceritakannya kepadamu wahai
Tsabit!" (HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482).
Namun, ada beberapa
riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian shahabat menyebutkan satu rahasia dari
beliau setelah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat. Diantaranya:
عن أنس بن مالك
أن النبي صلى الله عليه وسلم ومعاذ رديفه على الرحل قال يا معاذ بن جبل قال لبيك
يا رسول الله وسعديك قال يا معاذ قال لبيك يا رسول الله وسعديك ثلاثا قال ما من
أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على
النار قال يا رسول الله أفلا أخبر به الناس فيستبشروا قال إذا يتكلوا وأخبر بها
معاذ عند موته تأثما
Dari Anas bin Malik: Bahwasannya Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz ketika ia dibonceng
oleh beliau di atas kendaraan: "Wahai Mu’adz!". Mu’adz berkata: "Labbaika
ya Rasulallah wa sa’daika!". Beliau berkata lagi: "Wahai Mu’adz!".
Mu’adz berkata: "Labbaika ya Rasulallah wa sa’daika!". Setelah tiga
kali, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam melanjutkan: "Barangsiapa yang
bersaksi dengan tulus sepenuh hati bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi
dengan benar melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, maka Allah akan mengharamkannya
dari api neraka". Mu’adz bertanya: "Wahai Rasulullah, bolehkah saya
beritahukan hal ini kepada manusia agar mereka merasa gembira?". Beliau
shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab: "(Apabila engkau beritahukan hal
ini kepada mereka), niscaya akan menyandarkan diri (pada hal ini saja)". Maka Mu’adz menyampaikan
hadits ini menjelang kematiannya karena takut berdoa (jika tidak disampaikan)"
(HR. Al-Bukhari no. 128 dan Muslim no. 30).
Al-Hafidh Ibnu Hajar
rahimahullah memberikan satu penjelasan yang sangat bagus dalam mengkompromikan
dua hal tersebut, yaitu ketika beliau mengomentari hadits Anas (Shahih
Al-Bukhari no. 6289):
قال بعض العلماء:
كأن هذا السر كان يختص بنساء النبي صلى الله عليه وسلم وإلا فلو كان من العلم ما
وسع أنسا كتمانه. وقال بن بطال الذي عليه أهل العلم أن السر لا يباح به إذا كان
على صاحبه منه مضرة وأكثرهم يقول انه إذا مات لا يلزم من كتمانه ما كان يلزم في
حياته إلا أن يكون عليه فيه غضاضة قلت الذي يظهر انقسام ذلك بعد الموت إلى ما يباح
وقد يستحب ذكره ولو كرهه صاحب السر كأن يكون فيه تزكية له من كرامة أو منقبة أو
نحو ذلك وإلى ما يكره مطلقا وقد يحرم وهو الذي أشار إليه بن بطال وقد يجب كأن يكون
فيه ما يجب ذكره كحق عليه كان يعذر بترك القيام به فيرجى بعده إذا ذكر لمن يقوم به
عنه ان يفعل ذلك
"Sebagian ulama mengatakan: ’Sepertinya
rahasia itu khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam. Kalau tidak, andaikan itu tentang ilmu, tidak pantas bagi Anas untuk
menyembunyikannya’. Ibnu Baththal mengatakan: ’Yang dipegangi oleh ahli ilmu
adalah bahwa menceritakan rahasia itu tidak diperbolehkan jika menimbulkan
kemudlaratan bagi orangnya. Mayoritas mereka mengatakan: Apabila dia telah
meninggal, maka tidak harus menyembunyikannya sebagaimana keharusan
menyembunyikan ketika masih hidup, kecuali jika rahasia itu di dalamnya ada
perkara-perkara yang mengandung kerendahan’. Aku (Ibnu Hajar) katakan: Yang
lebih jelas (dan tepat) adalah memperinci perkara tersebut, yaitu:
1. Perkara yang
diperbolehkan dan terkadang disukai penyebutannya walaupun si pemilik rahasia
tidak menyukainya. Seperti misal, jika rahasia itu mengandung pujian kepadanya
karena kemuliaan atau perbuatannya baik atau yang semisal dengan itu.
2. Perkara yang dibenci
secara mutlak dan mungkin diharamkan, dan inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu
Baththal.
3. Bahkan bisa jadi
diwajibkan apabila dalam rahasia itu ada sesuatu yang wajib disebutkan.
Misalnya hak yang harus dipenuhinya, tetapi ia terhalang (dengan sesuatu)
sehingga tidak menunaikannya. Kemudian setelah ia meninggal, ada orang yang mau
menunaikan hak itu apabila rahasia itu diceritakan" (Fathul-Bari, 11/82).
Jadi, jika rahasia itu
mengandung satu pujian, kebaikan, ilmu, atau hak yang harus ditunaikan; maka
boleh – dan bahkan bisa menjadi wajib – untuk disampaikan setelah meninggalnya
si pemilik rahasia. Namun jika rahasia itu berkaitan dengan aib, hubungan
pribadi suami istri, atau hal-hal yang rendah yang tidak membawa maslahat jika
disampaikan – atau bahkan membawa kemudlaratan - , maka rahasia tersebut tidak
boleh untuk disampaikan. Wallaahu a’lam.
Demikianlah sedikit
uraian yang membahas kejujuran dari "sisi yang lain". Semoga ada
manfaatnya. Segala ilmu dan kebaikan hanyalah berasal dari Allah ’azza wa
jalla.
Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’,
Posting Komentar untuk "Kejujuran Yang Tercela (Ghibah, Namimah, Menyebarkan Rahasia)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.