Kaifiyah Duduk Bagi Masbuuq Ketika Mendapati Imam Sedang Duduk Tawarruk Pada Raka’at Terakhirnya
Tanya:
Bagaimanakah kaifiyah duduk bagi masbuuq ketika mendapati imam sedang duduk
tawarruk pada raka’at terakhirnya?. Apakah ia duduk tawarruk ataukah iftiraasy,
sementara ia harus berdiri setelah itu untuk menyempurnakan sisa kekurangan
raka’atnya?.
Jawab: Para ulama berselisih
pendapat dalam hal ini. Namun yang raajih – wallaahu a’lam – makmum masbuuq
tersebut duduk tawarruk mengikuti imam dengan dalil sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا
رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ
فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا
صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
"(Seseorang) dijadikan sebagai imam
hanyalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka shalatlah kalian
dengan berdiri juga, jika imam rukuk maka rukuklah kalian, dan jika imam
bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata: ‘Sami’allahu liman hamidahu’ - ucapkanlah:
‘Rabbanaa wa lakal-hamdu’. Jika imam shalat berdiri maka shalatlah berdiri, dan
jika imam shalat duduk maka shalatlah kalian seluruhnya dengan duduk" (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no 689).
إنما جُعِلَ
الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا
"(Seseorang) dijadikan sebagai imam
hanyalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia rukuk
maka rukuklah kalian…" (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no 722).
Kata innamaa (إِنَّمَا) dalam bahasa ‘Arab bermakna pembatasan (hashr), sehingga di sini maknanya seseorang itu diangkat sebagai imam untuk mengimami manusia (dalam shalat) hanya dengan tujuan agar diikuti. Asy-Syaikh ‘Abdul-Kariim Al-Khudlair hafidhahullah dalam sesi pelajaran pembahasan kitab ‘Umdatul-Ahkaam(1) mengatakan bahwa hadits tersebut pada asalnya mengkonsekuensikan wajibnya seorang makmum mengikuti imam dalam semua hal yang meliputi perkataan, perbuatan, dan niat. Hanya saja kemudian ada beberapa nash yang mengecualikan bolehnya makmum berselisihan niat dengan imam(2).
Melalui hadits di atas,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan makmum untuk mengikuti
semua gerakan imam yang disyari’atkan dalam shalat. Bahkan seandainya imam
shalat dalam keadaan duduk, maka makmum pun diperintahkan untuk duduk. Oleh
karena itu, seandainya imam duduk tasyahud akhir dengan tawarruk, maka makmum
pun disyari’atkan untuk mengikutinya dengan duduk tawarruk.
An-Nawawiy rahimahullah
mengatakan duduk tawaarruk bersama imam merupakan pendapat Al-Juwainiy dan
anaknya, serta Ar-Raafi’iy dari kalangan madzhab Asy-Syaafi’iyyah (Al-Majmuu’,
3/451). Al-Mardaawiy rahimahullah hal ini adalah pendapat yang shahih dari
madzhab (Hanaabilah) (Al-Inshaaf, 3/202 – via Syaamilah).
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbaad hafidhahullah berkata:
المسبوق إذا جاء
والإمام في التشهد الأخير يجلس كجلوس الإمام وكجلوس المصلين الذين لم يسبقوا،
فيجلس متوركاً كما جاءت في ذلك السنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فالإمام
يتورك ومن وراءه يتورك والمسبوق يتورك، ولا يعتبر نفسه أنه في التشهد الأول، بل يأتي
بالتشهد ويأتي بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ويدعو ويكثر الدعاء حتى يسلم
الإمام، فهو يتابع الإمام في هيئة الجلوس وفي كونه يتشهد ويصلي على النبي صلى الله
عليه وسلم، ويتخير من الدعاء ما شاء، كما جاء ذلك عن رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وليس معنى ذلك أنه يجلس في التشهد يسكت، بل يفعل كما يفعل الإمام
"Seorang masbuuq apabila mendatangi imam
saat tasyahud akhir, maka ia duduk seperti duduknya para makmum yang lain yang
tidak masbuq. Maka, ia duduk tawarruk sebagaimana yang terdapat dalam sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Imam duduk tawarruk, maka
orang-orang yang di belakangnya (makmum) juga duduk tawarruk. Demikian juga
orang yang masbuuq duduk tawarruk. Tidak boleh ia menganggap dirinya dalam
tasyahud pertama (sehingga hanya membaca bacaan tasyahud saja). Bahkan ia mesti
membaca tasyahud, shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta
berdoa dan memperbanyak doanya tersebut hingga imam salam. Ia mesti mengikuti
imam dalam cara/bentuk duduknya serta dalam keadaannya membaca tasyahud,
shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan membaca doa pilihan
sesuai dengan kehendaknya; sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, maknanya bukanlah ia duduk dalam tasyahud
lalu diam, namun ia melakukan sebagaimana yang dilakukan imam" (sumber:
http://ar.islamway.com/fatwa/32933).
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Lihat: http://www.khudheir.com/text/5265.
(2) Misalnya, boleh hukumnya orang yang shalat
sunnah menjadi imam bagi orang yang shalat wajib. Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا
مُسْلِمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ، أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muslim, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru, dari Jaabir bin
‘Abdillah: Bahwasannya Mu’aadz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Setelah selesai), ia pulang dan mengimami
kaumnya (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 700).
Boleh juga hukumnya orang yang shalat wajib
mengimami orang yang shalat sunnah. Dalilnya adalah:
أَخْبَرَنَا
زِيَادُ بْنُ أَيُّوبَ، قال: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قال: حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ
عَطَاءٍ، قال: حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ الْعَامِرِيُّ،
عَنْ أَبِيهِ، قال: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ
إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ: "عَلَيَّ
بِهِمَا". فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ: "مَا
مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا". قَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا
قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ: " فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا
فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ
فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin
Ayyuub, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ya’laa bin ‘Athaa’, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Jaabir bin Yaziid bin Al-Aswad Al-‘Aamiriy, dari ayahnya, ia
berkata: Aku pernah mengikuti shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam di Masjid Al-Khaif. Ketika shalat telah usai, ternyata ada dua orang
laki-laki di belakang shaff yang tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda: "Bawalah
dua orang laki-laki tersebut kepadaku". Dibawalah kedua orang laki-laki
itu oleh para shahabat ke hadapan beliau dalam keadaan gemetar sendi-sendinya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apa yang menghalangimu
untuk shalat bersama kami?". Mereka berkata: "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami". Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: "Jangan kalian lakukan. Apabila kalian telah shalat di
rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjidyang sedang melaksanakan
shalat berjama’ah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena shalat itu bagi
kalian terhitung sebagai shalat sunnah" (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no.
858; shahih).
(Lihat juga:
Asy-Syarhul-Kabiir oleh Ibnu Qudaamah 4/412, Haasyiyyah Ibni Qaasim ‘alaa
Ar-Raudlil-Murbii’ 2/392, Al-Ihkaam Syarh Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Qaasim, dan
Asy-Syarhul-Mumtii’ oleh Ibnu ‘Utsaimiin 4/365 – via kitab: Al-Imaamah
fish-Shalaah oleh Dr. Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf Al-Qahthaaniy, yang
dipublikasikan oleh http://www.islamhouse.com).
Posting Komentar untuk "Kaifiyah Duduk Bagi Masbuuq Ketika Mendapati Imam Sedang Duduk Tawarruk Pada Raka’at Terakhirnya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.