Hukum Seorang Ayah Menikahkan Anak Gadisnya Tanpa Persetujuannya
Ini bukan jaman Siti Nurbaya…… begitu kata sebagian orang.
Maksudnya, jaman sekarang ini bukan lagi jaman jodoh-jodohan dan paksa-paksaan
dalam pernikahan. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya,
sebenarnya. Celoteh sebagian pemuda-pemudi itu memang ada benarnya jika ditilik
dari sisi syari’at. Syari’at Islam telah memberikan keluasan bagi seorang
wanita untuk menikah dengan orang yang disenanginya. Syari’at tidak mendukung
‘jaman Siti Nurbaya’ yang penuh gambaran feodalistik. Akan tetapi ia mempunyai
rambu-rambu yang sempurna yang menjamin keselamatan bagi setiap orang yang
memperhatikannya.
Sebagai awal, ada satu kisah
menarik yang pernah dialami shahabat besar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ حُسَيْنِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى آلِ حَاطِبٍ عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ تُوُفِّيَ عُثْمَانُ بْنُ
مَظْعُونٍ وَتَرَكَ ابْنَةً لَهُ مِنْ خُوَيْلَةَ بِنْتِ حَكِيمِ بْنِ أُمَيَّةَ
بْنِ حَارِثَةَ بْنِ الْأَوْقَصِ قَالَ وَأَوْصَى إِلَى أَخِيهِ قُدَامَةَ بْنِ
مَظْعُونٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَهُمَا خَالَايَ قَالَ فَمَضَيْتُ إِلَى
قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ أَخْطُبُ ابْنَةَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ
فَزَوَّجَنِيهَا وَدَخَلَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ يَعْنِي إِلَى أُمِّهَا
فَأَرْغَبَهَا فِي الْمَالِ فَحَطَّتْ إِلَيْهِ وَحَطَّتْ الْجَارِيَةُ إِلَى
هَوَى أُمِّهَا فَأَبَيَا حَتَّى ارْتَفَعَ أَمْرُهُمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُدَامَةُ بْنُ مَظْعُونٍ يَا رَسُولَ
اللَّهِ ابْنَةُ أَخِي أَوْصَى بِهَا إِلَيَّ فَزَوَّجْتُهَا ابْنَ عَمَّتِهَا
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَلَمْ أُقَصِّرْ بِهَا فِي الصَّلَاحِ وَلَا فِي الْكَفَاءَةِ
وَلَكِنَّهَا امْرَأَةٌ وَإِنَّمَا حَطَّتْ إِلَى هَوَى أُمِّهَا قَالَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ يَتِيمَةٌ وَلَا تُنْكَحُ
إِلَّا بِإِذْنِهَا قَالَ فَانْتُزِعَتْ وَاللَّهِ مِنِّي بَعْدَ أَنْ مَلَكْتُهَا
فَزَوَّجُوهَا الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub(1): Telah menceritakan kepada kami ayahku(2), dari Ibnu Ishaaq(3): Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah maulaa Aali Haathib(4), dari Naafi’ maulaa ‘Abdillah bin ‘Umar(5), dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: “’Utsmaan bin Madh'uun wafat meninggalkan seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Khuwailah binti Hakiim bin Umayyah bin Haaritsah bin Al-Auqash”. Ibnu ‘Umar berkata: “Dan dia berwasiat kepada saudara lelakinya yang bernama Qudaamah bin Madh'uun. Keduanya adalah paman dari jalur ibuku. Lalu aku mendatangi Qudaamah bin Madh'uun untuk melamar anak perempuan ‘Utsmaan bin Madh'uun, lalu ia pun menikahkanku dengannya. Tiba-tiba Al-Mughiirah bin Syu'bah menemui ibunya, merayunya, dan membuatnya tertarik kepada hartanya sehingga akhirnya ia lebih condong kepadanya. Dan anak perempuannya itu juga lebih condong kepada keinginan ibunya. Keduanya (Ibnu Umar dan Qudaamah bin Madh'uun) tidak menyetujuinya hingga permasalahan ini sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Qudaamah bin Madh'uun pun berkata: "Wahai Rasulullah, anak perempuan dari saudara laki-lakiku telah diwasiatkan kepadaku, hingga aku pun menikahkannya dengan anak lelaki dari bibinya (dari jalur ayah) yakni, ‘Abdullah bin ‘Umar. Aku tidak meragukan kebaikan dan kemampuan keponakan perempuanku itu. Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang ternyata lebih condong kepada kemauan ibunya". Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali diminta ijinnya/persetujuannya”. Ibnu ‘Umar berkata: “Demi Allah, ia pun akhirnya direbut dariku setelah aku menikahinya, lalu mereka menikahkannya dengan Al-Mughiirah bin Syu'bah" (Diriwayatkan oleh Ahmad 2/130; sanad riwayat ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqiy 7/113, Al-Haakim 2/167, Ad-Daaruquthniy no. 3545-3549, dan Ibnu Maajah no. 1878. Dishahihkan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1835, dihasankan Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 10/285, dishahihkan Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad 5/389, dan dishahihkan Basyar ‘Awwaad dalam Takhriij Sunan Ibnu Maajah 3/325-326).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
membatalkan pernikahan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, seorang shahabat
besar, karena wanita yang dinikahinya itu tidak menyukainya.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ فِي نَفْسِهَا
فَإِنْ صَمَتَتْ فَهُوَ إِذْنُهَا وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا يَعْنِي
إِذَا أَدْرَكَتْ فَرَدَّتْ
Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah(6): Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad(7), dari
Muhammad ‘Amru(8), dari Abu Salamah(9), dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang wanita yatim (jika
hendak dinikahkan), harus dimintai persetujuannya. Jika ia diam, maka itulah
ijinnya. Jika menolak, maka tidak boleh dipaksa". Maksudnya jika telah
baligh dan menolak pernikahannya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1109, dan
ia berkata: “Hasan”. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10297, Ibnu Abi
Syaibah 4/138, Ahmad 2/259 & 384 & 475, Abu Daawud no. 2093-2094,
An-Nasaa’iy 4/87, Abu Ya’laa no. 6019 & 7328, Ath-Thahaawiy dalam Syarh
Musykilil-Aatsaar no. 5728-5729, Ibnu Hibbaan no. 4079 & 4086, an Al-Baihaqiy
7/120 & 122. Dishahihkan
Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/563 & Irwaaul-Ghaliil no.
1834).
At-Tirmidziy berkata:
واختلف
أهل العلم في تزويج اليتيمة فرأى بعض أهل العلم أن اليتيمة إذا زوجت فالنكاح موقوف
حتى تبلغ فإذا بلغت فلها الخيار في إجازة النكاح أو فسخه وهو قول بعض التابعين
وغيرهم وقال بعضهم لا يجوز نكاح اليتيمة حتى تبلغ ولا يجوز الخيار في النكاح وهو
قول سفيان الثوري والشافعي وغيرهما من أهل العلم وقال أحمد وإسحاق إذا بلغت
اليتيمة تسع سنين فزوجت فرضيت فالنكاح جائز ولا خيار لها إذا أدركت واحتجا بحديث
عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم بنى بها وهي بنت تسع سنين وقد قالت عائشة إذا
بلغت الجارية تسع سنين فهي امرأة
“Para ulama telah berselisih
pendapat tentang perkara menikahkan wanita yatim. Sebagian ulama berpendapat
bahwa jika seorang wanita yatim dinikahkan, maka pernikahannya itu digantungkan
hingga mencapai usia baligh. Jika telah mencapai usia baligh, maka ada hak
pilih baginya untuk meneruskan atau membatalkan pernikahannya. Ia adalah
pendapat sebagian tabi’in dan yang lainnya. Sebagin ulama lagi berkata: Tidak
diperbolehkan menikahi wanita yatim hingga ia baligh dan tidak boleh ada hak
pilih (untuk meneruskan atau membatalkan) dalam pernikahan. Ia adalah perkataan
Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy dan yang lainnya dari kalangan ulama. Telah
berkata Ahmad dan Ishaaq: Apabila wanita yatim itu mencapai usia sembilan
tahun, lalu ia dinikahkan dan ia pun ridla dengannya, maka pernikahannya itu
sah dan tidak ada hak pilih baginya jika ia telah mencapai usia baligh.
Keduanya berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah: Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam membina rumah tangga dengannya (menggaulinya) saat ia berusia
sembilan tahun. ‘Aaisyah berkata: ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun,
maka ia seorang wanita dewasa/baligh” (Sunan At-Tirmidziy, 2/402).
Yang benar, bahwasannya
seorang wanita yatim boleh dinikahkan sebelum baligh, karena tidak disebut
yatim jika ia telah baligh.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَدِينِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ سَعِيدِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ رُقَيْشٍ
أَنَّهُ سَمِعَ شُيُوخًا مِنْ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ وَمِنْ خَالِهِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِي أَحْمَدَ قَالَ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ حَفِظْتُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُتْمَ بَعْدَ
احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ
Telah menceritakan kepada kami
Ahmad bin Shaalih(10): Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad
Al-Madiiniy(11): Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khaalid bin
Sa’iid bin Abi Maryam(12), dari ayahnya(13), dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin
Yaziid bin Ruqaisy(14): Bahwasannya ia pernah mendengar beberapa orang tua dari
Bani ‘Amru bin ‘Auf dan dari pamannya yang bernama ‘Abdullah bin Abi Ahmad(15),
ia berkata: Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib: Aku menghapal dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada yatim setelah ihtilaam (baligh), dan
tidak ada sikap diam dalam sehari semalam” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
2873; lemah, akan tetapi ia mempunyai beberapa penguat di jalur lain.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 5/79-83 no. 1244).
Oleh karena itu, berdasarkan
dhahir hadits sebelumnya, boleh hukumnya menikahkan wanita yatim dengan syarat
bahwa wanita yatim itu menyetujuinya. Jika tidak, maka ia tidak boleh dipaksa
untuk menikah.
Adapun jika wanita itu belum
baligh dan bukan berstatus yatim, menurut jumhur, ia boleh dinikahkan tanpa
diperlukan ijinnya terlebih dahulu. Bahkan Ibnu Qudaamah – dengan menukil
perkataan Ibnul-Mundzir – telah menegaskan adanya ijma’ akan hal ini:
قال
ابن المنذر: أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم أن نكاح الأب ابنته البكر الصغيرة
جائز ، إذا زوجها من كفء ، ويجوز له تزويجها مع كراهيتها وامتناعها
“Telah berkata Ibnul-Mundzir:
Para ulama yang kami hapal semuanya telah sepakat bahwa seorang ayah yang
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil diperbolehkan, jika ia menikahkan
dengan orang yang sepadan. Dan diperbolehkan pula menikahkan anak perempuannya
itu walaupun disertai ketidaksukaan ataupun penolakan” (Al-Mughniy, 9/398).
Ijma’ ini juga dikatakan oleh
Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa (9/458), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/98),
dan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (9/123).
Mereka berdalil dengan
perbuatan Abu Bakr yang menikahkan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa yang saat
itu ia masih kecil tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu.
Gadis secara umum (yang belum
pernah menikah) yang telah mencapai usia baligh, maka para ulama berselisih
tajam dalam hal ini. Sebagian ulama ada yang membolehkan menikahkan tanpa
melalui prosedur ijin atau persetujuan dari anaknya. Berjajar dalam barisan ini
adalah Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sedangkan para
ulama yang kontra dengan pendapat ini di antaranya Ahmad dalam satu riwayat,
Ahnaaf (Hanafiyyah), dan Dhahiriyyah.
Namun menurut pendapat yang raajih,
wallaahu a’lam, ia pun tetap harus diminta persetujuannya jika hendak
dinikahkan.
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً
بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ
أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami
‘Utsmaan bin Abi Syaibah(16): Telah menceritakan kepada kami Husain bin
Muhammad(17): Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim(18), dari Ayyuub(19),
dari ‘Ikrimah(20), dari Ibnu ‘Abbaas: Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya
sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin
meneruskan pernikahannya atau tidak)” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096;
shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1875, Ahmad 1/273, An-Nasaa’iy
dalam Al-Kubraa no. 5387, Abu Ya’laa no. 2526, Ath-Thahaawiy 4/365, dan
Al-Baihaqiy 7/119. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud,
1/586).
Inilah pendapat yang dipilih
Al-Imaam Al-Bukhaariy dimana ia membuat satu bab khusus dalam kitab Shahih-nya
dengan judul:
إذا
زوّج الرجل ابنته وهي كارهة، فنكاحه مردود.
“Apabila seorang laki-laki
menikahkan anak perempuannya sedangkan ia tidak suka, maka pernikahannya itu
tertolak (batal)”.
Adapun janda, para ulama
sepakat bahwa ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya/persetujuannya.
حدثنا
سعيد بن منصور وقتيبة بن سعيد. قالا: حدثنا مالك. ح وحدثنا يحيى بن يحيى (واللفظ
له) قال: قلت لمالك حدثك عبدالله بن الفضل عن نافع بن جبير، عن ابن عباس ؛ أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الأيم أحق بنفسها من وليها. والبكر تستأذن في
نفسها. وإذنها صماتها ؟" قال: نعم.
Telah menceritakan kepada kami
Sa’iid bin Manshuur dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata: Telah
menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa – dan lafadh ini miliknya -, ia berkata: Aku berkata kepada Maalik:
Apakah ‘Abdullah bin Al-Fadhl pernah berkata kepadamu, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Abbaas: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis
harus dimintai ijin/persetujuan darinya. Sedangkan ijinnya adalah diamnya?”. Ia
(Maalik) menjawab: “Ya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421).
حدثني
عبيدالله بن عمر بن ميسرة القواريري. حدثنا خالد بن الحارث. حدثنا هشام عن يحيى بن
أبي كثير. حدثنا أبو سلمة. حدثنا أبو هريرة ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"لا تنكح الأيم حتى تستأمر. ولا تنكح البكر حتى تستأذن" قالوا: يا رسول
الله ! وكيف إذنها ؟ قال " أن تسكت".
Telah menceritakan kepadaku
‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaariiriy: Telah menceritakan kepada
kami Khaalid bin Al-Haarits: Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari
Yahyaa bin Abi Katsiir: Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah: telah
menceritakan kepada kami Abu Hurairah:Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga
dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga
dimintai ijinnya”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana itu
ijinnya?”. Beliau menjawab: “Diamnya” (Diriwayatkan Muslim no. 1419).
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
أصل
الاستئمار: طلبُ الأمر؛ فالمعنى: لا يعتقد عليها حتى يطلب الأمر منها. ويؤخذ من
قوله: لا تستأمر؛ أنه لا يعتقد إلا بعد أن تأمر بذلك.
“Asal makna kata al-isti’maar
adalah: mencari perintah. Maka artinya adalah: Ia tidak boleh dinikahkan hingga
dimintakan perintah darinya. Oleh karena itu, diambil pengertian dari sabda
beliau: ‘laa tusta’mara’, yaitu bahwasannya akad pernikahan tidak boleh dilangsungkan
hingga janda tersebut dimintai persetujuannya atas hal tersebut” (selesai).
Telah berkata Asy-Syaukaaniy
rahimahullah:
والأحاديث
في هذا الباب كثيرة، وهي تفيد أنه لا يصح نكاح من لم ترْضَ؛ بكرا كانت أو ثيبا.
“Dan hadits-hadits dalam bab
ini adalah banyak. Dan ia memberikan faedah bahwasannya tidak sah pernikahan
bagi orang yang tidak menyukainya, baik gadis ataupun janda” (Sailul-Jaraar,
1/364).
Itu saja yang dapat disajikan
di siang hari Jum’at ini…. Masih dalam suasana Ramadlaan 1431. Semoga yang
ditulis di sela-sela aktifitas kantor ini ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Ya’quub bin Ibraahiim bin
Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Az-Zuhriy Abu Yuusuf Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7865 dan Mu’jamu Syuyuukh
Al-Imam Ahmad, hal. 397 no. 284).
(2) Ibraahiim bin Sa’d bin
Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Abu Ishaaq
Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi hujjah (108-182/183/184/185 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179).
(3) Muhammad bin Ishaaq bin
Yasaar Al-Madaniy Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy Al-Mathlabiy; seorang yang
shaduuq, namun melakukan tadlis (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (idem,
hal. 825 no. 5762).
(4) ‘Umar bin Husain bin
‘Abdillah Al-Jumahiy Abu Qudaamah Al-Makkiy maula ‘Aaisyah binti Qudaamah bin
Madh’uun Al-Jumahiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (idem,
715 no. 4910).
(5) Naafi’ Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur
(w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 996 no. 7136).
(6) Qutaibah bin Sa’iid bin
Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy Abu Rajaa’ Al-Balkhiy
Al-Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 240 H). Dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 799 no. 5557).
(7) ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad
bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy Abu Muhammad Al-Juhhaniy (w. 186/187 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Ada beberapa komentar ulama
tentangnya: Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata: “Maalik bin Anas
mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata: “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai
seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih.
Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia
membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah
bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”.
Yahyaa bin Ma’iin berkata: “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin
Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian Ibnu Abi
Haazim”. Di lain riwayat ia berkata: “Tidak mengapa dengannya”. Di lain riwayat
ia berkata: “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata: “Jelek hapalan. Kadang
meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim
berkata: “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata: “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia
berkata: “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari
‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata: “Tsiqah, banyak
mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” (Lihat: Tahdziibul-Kamaal,
18/187-195 no. 3470). Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata:
“Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah”. As-Saajiy berkata: “Ia
termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak
keraguan” (lihat: Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680).
Al-Bardza’iy pernah berkata:
Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah: “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin
Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara
mereka yang lebih engkau senangi?”. Ia menjawab: “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi
Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” (Suaalaat Al-Bardza’iy lembar
424-425). Ya’quub bin Sufyaan berkata: “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah
adalah seorang imam yang tsiqah” (Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349).
Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq, namun
ia meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 615 no. 4147). Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata: “Tsiqah” (Tahriirut-Taqriib,
2/371 no. 4119). Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata: “Tsiqah” (Natslun-Nabaal
bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852). Al-Albaaniy berkata: “Tsiqah” (Al-Irwaa’,
1/295).
Kesimpulannya: Ia seorang yang
tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya
dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian
ulama.
(8) Muhammad bin ‘Amru bin
‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang
yang jujur, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 144/145 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228).
(9) Abu Salamah bin
‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah banyak
haditsnya (22- 94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem,
hal. 1155 no. 8203).
(10) Ahmad bin Shaalih
Al-Mishriy Abu Ja’far bin Ath-Thabariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh
(170-248 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (idem, hal. 91 no. 48).
(11) Yahyaa bin Muhammad bin
‘Abdillah bin Mihraan Al-Jaariy Al-Hijaaziy Al-Madiniy. Para ulama berbeda
pendapat tentangnya. Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah”. Al-Bukhariy berkata:
“Orang-orang memperbincangkannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam
Ats-Tsiqaat dan berkata: “Banyak meriwayatkan hadits gharib (yughrib)”. Yahyaa
Az-Zammiy berkata: “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy: “Haditsnya tidak mengapa” (Tahdziibul-Kamaal,
31/522-524 no. 9613). Namun Ibnu Hibbaan juga memasukkannya dalam
Al-Majruuhiin, dan berkata: “Ia termasuk orang yang sering bersendirian dalam
periwayatan tanpa ada mutaba’ah-nya karena sedikitnya riwayat yang ia miliki.
Seakan-akan ia banyak mengalami keraguan. Maka dari sini, terdapat beberapa hal
yang diingkari dalam riwayatnya sehingga wajib menyingkirkan jika ia
bersendirian dalam riwayat-riwayatnya. Jika ingin berhujjah dengannya, maka ia
dijadikan hujjah terhadap riwayat-riwayat yang menyepakati riwayat para perawi
tsiqaat, dan aku berpendapat tidak mengapa dengannya”.
Ibnu Hajar berkata: “Shaduuq,
banyak kelirunya (yukhthi’)” (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1066 no. 7688).
(12) ‘Abdullah bin Khaalid bin
Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Para ulama berbeda pendapat
tentangnya. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad bn Shaalih
Al-Mishriy berkata: “Tsiqah”. Al-Azdiy berkata: “Tidak ditulis haditsnya”.
Ibnul-Qaththaan berkata: “Majhuul haal” (Tahdziibut-Tahdziib, 5/196 no. 336).
Kesimpulannya: “Shaduuq,
hasanul-hadiits”. Pentsiqahan Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Syaahiin membatalkan
klaim Ibnul-Qaththaan bahwa ia seorang yang majhuul haal. Adapun kritik
Al-Azdiy, maka tidaklah itu membuat derajat ‘Abdullah bin Khaalid menjadi
lemah, mengingat ia seorang yang sering berlebih-lebihan dalam mengkritik
perawi.
(13) Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy
At-Taimiy. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Madiiniy berkata:
“Kami tidak mengetahui/mengenalnya”. Al-‘Uqailiy membawakan satu hadits
miliknya yang ia ingkari. Ibnul-Qaththaan memajhulkannya (Tahdziibut-Tahdziib,
3/95). Ada tiga orang perawi tsiqah meriwayatkan darinya: ‘Abdullah bin Khaalid
(shaduuq), ‘Athaaf bin Khaalid (tsiqah), dan Muhammad bin Ma’n Al-Ghiffaariy
(tsiqah). Ibnu Hajar berkata: ‘Maqbuul” (Taqriibut-Tahdziib, hal. 287 no. 1650).
Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah” (Al-Kaasyif, 1/365 no. 1326).
Kesimpulannya adalah
sebagaimana Ibnu Hajar. Riwayatnya diterima apabila mutaba’ah-nya.
(14) Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan
bin Yaziid bin Ruqaisy Al-Asadiy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 383 no. 2368).
(15) ‘Abdullah bin Abi Ahmad
bin Jahsy Al-Asadiy; disebutkan oleh jama’ah dalam jajaran tabi’iin yang tsiqah
(idem, hal. 491 no. 3223).
(16) ‘Utsmaan bin Muhammad bin
Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang
yang tsiqah lagi haafidh (156-239 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Tahdziibut-Tahdziib, 7/151).
(17) Al-Husain bin Muhammad
bin Bahraam At-Taimiy Abu Ahmad/Abu ‘Aliy Al-Muaddib Al-Marwadziy; seorang yang
tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 250 no. 1354).
(18) Jariir bin Haazim bin
Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy Abun-Nadlr Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah (idem, hal. 196 no. 919 dan tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911).
(19) Ayyuub bin Abi Tamiimah
As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah
(w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 158 no.
610).
(20) ‘Ikrimah Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w.
107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (idem, hal. 687-688
no. 4707).
Ikuti terus sosial media
Tim Kabel Dakwah:
Youtube: Kabel Dakwah
Twitter: Kabel Dakwah Official
Facebook: Kabel Dakwah Official
Instagram: Kabel Dakwah
Website: Kabeldakwah.com
Kami Juga melayani:
1. Jasa Pembuatan Website
Wordpress / Blogger
2. Iklan Publikasi di Website
Kabeldakwah.com
3. Instal Ulang Windows
4. Penjualan Theme Blogger
5. Instal Ulang Software
Aplikasi
6. Pembuatan Jersey
7. Pemesanan Snack
(Khusus Area Cilacap Kota)
8. Pemesanan Aplikasi
Raport
9. Indexing Website
10. Privat Mengaji
(Online), Dan Lain-Lain.
Hubungi Kami Di Sini
Dukung Kabeldakwah.com dengan menjadi SPONSOR dan
DONATUR.
SARAN / MASUKAN, Konfirmasi SPONSOR & DONASI hubungi:
089673617156
Kirim Sponsor dan Donasi Anda ke Rek Berikut:
BSI 7055429997 a.n. Nurul Azizah
Posting Komentar untuk "Hukum Seorang Ayah Menikahkan Anak Gadisnya Tanpa Persetujuannya"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.