Hukum Dzhihar (Menganggap Istri sebagai Ibunya)
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ
إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ
مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
"Orang-orang yang
mendhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun” (Al-Mujaadilah: 2).
Ayat di atas adalah pokok
dalil bagi para ulama ketika mereka membuka bahasan tentang dhihar (الظِّهَارُ).
Kata dhihar diambil dari
kata adh-dhahru (الظَّهْرُ) yang berarti punggung. Dhihar secara syari’at maknanya adalah
ucapan suami terhadap istrinya:
أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّيْ
"Engkau bagiku seperti punggung ibuku”.(1)
Dipilih kata punggung
karena ia merupakan anggota tubuh yang dikendarai. Oleh karena itu, hewan
tunggangan disebut dengan dhahr (ظَهْرٌ). Dalam hal
ini, istri disamakan dengan dhahr (punggung) karena istri layaknya tunggangan
suami.
Para ulama sepakat hukum dhihar adalah haram dengan dasar ayat di atas.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي
عُبَيْدَةَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ تَبَارَكَ الَّذِي وَسِعَ
سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ إِنِّي لَأَسْمَعُ كَلَامَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ
وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكَلَ
شَبَابِي وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي وَانْقَطَعَ
وَلَدِي ظَاهَرَ مِنِّي اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى
نَزَلَ جِبْرَائِيلُ بِهَؤُلَاءِ الْآيَاتِ { قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ }
Telah menceritakan kepada
kami Abu Bakr bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi
‘Ubaidah: Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-A’masy, dari Tamiim
bin Salamah, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata: Telah berkata ‘Aaisyah: "Maha
Suci Allah yang pendengaran-Nya mencakup segala sesuatu. Sungguh, aku pernah
mendengar perkataan Khaulah binti Tsa'labah ketika ia mengadu kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang suaminya, namun sebagian perkataan tidak
aku dengar. Ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku telah menghabiskan masa mudaku
bersamanya dan melahirkan anak-anaknya dari rahimku. Namun ketika umurku telah
senja dan tidak bisa lagi memberi anak, ia men-dhihar-ku. Ya Allah,… aku
mengadukan ini kepadamu’. Tidak lama kemudian, turunlah Jibril dengan membawa
beberapa ayat yang menyatakan: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah….(QS. Al-Mujaadilah: 1)" (Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah no. 2063. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jariir 28/5, Al-Haakim 2/481, Ibnu
Abi ‘Aashim no. 625, dan yang lainnya; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil 7/175).
Dulu di masa Jahiliyyah,
dhihar disamakan dengan thalaq. Namun setelah Islam datang, Allah ta’ala
memberikan keringanan kepada umat Islam dengan tidak menghitung perbuatan
tersebut sebagai thalaq, namun terhitung sebagai dosa (maksiat) yang mewajibkan
suami untuk membayar kaffarat jika ia ingin kembali (menggauli) kepada
istrinya. Maksudnya, jika ada seorang suami yang men-dhihar istrinya, maka
istrinya tersebut haram baginya (tidak boleh digauli) sebelum membayar
kaffarat.
حَدَّثَنَا أَبُو عَمَّارٍ الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ
بْنُ مُوسَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي قَدْ ظَاهَرْتُ مِنْ زَوْجَتِي فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ أَنْ أُكَفِّرَ
فَقَالَ وَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ رَأَيْتُ
خَلْخَالَهَا فِي ضَوْءِ الْقَمَرِ قَالَ فَلَا تَقْرَبْهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا
أَمَرَكَ اللَّهُ بِهِ
Telah menceritakan kepada
kami Abu ‘Ammaar Al-Husain bin Huraits: telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl
bin Muusaa, dari Ma’mar, dari Al-Hakam bin Abaan, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu
‘Abbaas: Bahwasannya ada seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam, bahwa ia telah mengucapkan kata dhihar lalu menggaulinya. Ia
bertanya: "Wahai Rasulullah, aku telah mengucapkan kata dhihar kepada
isteriku namun aku menggaulinya sebelum membayar kaffarat”. Lalu beliau
menjawab: "Apa yang mendorongmu melakukannya, semoga Allah
merahmatimu?". Ia menjawab: "Aku melihat gelang kakinya pada sinar
bulan”. Beliau bersabda: "Janganlah engaku menggaulinya hingga engkau
mengerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu (yaitu membayar kaffarat)"
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1199. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no.
2223 & 2225, Ibnu Maajah no. 2065, An-Nasaa’iy 6/167, Ibnul-Jaarud no. 747,
Al-Haakim 2/204, dan Al-Baihaqiy 7/386; shahih – lihat Shahih Sunan
At-Tirmidziy 1/613).(2)
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ
سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Orang-orang yang
mendhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak),
maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam
puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih” (QS. Al-Mujaadilah: 3-4).
Ayat di atas menjelaskan
tartib kaffarat bagi orang yang melakukan dhihar:
1. Memerdekakan seorang
budak mukmin (laki-laki atau perempuan).
Para ulama menjelaskan
bahwa budak yang hendak dibebaskan tersebut adalah mukmin/mukminah(3) dan bebas
dari aib yang secara nyata membahayakannya untuk bekerja (seperti buta, buntung
tangan atau kakinya, dan yang lainnya).
2. Berpuasa dua bulan
berturut-turut.
Syaratnya: (1) Ia tidak
mampu memerdekakan budak, baik disebabkan ketiadaan budak yang memenuhi syarat
atau ketiadaan harta yang cukup untuk memerdekakan budak; (2) Puasa yang
dilakukan harus berturut-turut, kecuali hari-hari yang diharamkan syari’at
untuk berpuasa (misalnya: dua hari raya ‘Ied dan hari tasyriq) atau hari-hari
yang memang ia diberikan rukhshah oleh syari’at untuk berbuka (seperti hari
pada waktu ia sakit atau bepergian/safar). Jika puasanya terputus sebelum
sempurna dua bulan tanpa alasan syar’iy, meskipun hanya satu hari, maka ia
harus mengulangnya; (3) Menetapkan niat pada malam harinya bahwa puasa yang
akan ia lakukan adalah puasa kaffarat dhihar.
3. Memberikan makan
enampuluh orang miskin.
Syaratnya: (1) Tidak
mampu berpuasa dua bulan berturut-turut; (2) Orang yang hendak diberi makan
termasuk katagori: muslim, miskin, dan merdeka; (3) Ukuran makanan yang
diberikan tidak boleh kurang dari 1 (satu) mudd gandum atau setengah sha’ bahan
makanan jenis lainnya.
Tartib kaffarat dhihar
tersebut lebih jelas ada dalam kisah menarik Salamah bin Sakhr Al-Bayadliy
radliyallaahu ‘anhu berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ
الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ قَالَ ابْنُ الْعَلَاءِ ابْنِ عَلْقَمَةَ
بْنِ عَيَّاشٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ قَالَ
ابْنُ الْعَلَاءِ الْبَيَاضِيُّ قَالَ كُنْتُ امْرَأً أُصِيبُ مِنْ النِّسَاءِ مَا
لَا يُصِيبُ غَيْرِي فَلَمَّا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ خِفْتُ أَنْ أُصِيبَ مِنْ
امْرَأَتِي شَيْئًا يُتَابَعُ بِي حَتَّى أُصْبِحَ فَظَاهَرْتُ مِنْهَا حَتَّى
يَنْسَلِخَ شَهْرُ رَمَضَانَ فَبَيْنَا هِيَ تَخْدُمُنِي ذَاتَ لَيْلَةٍ إِذْ
تَكَشَّفَ لِي مِنْهَا شَيْءٌ فَلَمْ أَلْبَثْ أَنْ نَزَوْتُ عَلَيْهَا فَلَمَّا
أَصْبَحْتُ خَرَجْتُ إِلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ الْخَبَرَ وَقُلْتُ امْشُوا
مَعِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لَا
وَاللَّهِ فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ أَنْتَ بِذَاكَ يَا سَلَمَةُ قُلْتُ أَنَا بِذَاكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَرَّتَيْنِ وَأَنَا صَابِرٌ لِأَمْرِ اللَّهِ فَاحْكُمْ فِيَّ
مَا أَرَاكَ اللَّهُ قَالَ حَرِّرْ رَقَبَةً قُلْتُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ
مَا أَمْلِكُ رَقَبَةً غَيْرَهَا وَضَرَبْتُ صَفْحَةَ رَقَبَتِي قَالَ فَصُمْ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ وَهَلْ أَصَبْتُ الَّذِي أَصَبْتُ إِلَّا مِنْ
الصِّيَامِ قَالَ فَأَطْعِمْ وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتِّينَ مِسْكِينًا
قُلْتُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا وَحْشَيْنِ مَا لَنَا
طَعَامٌ قَالَ فَانْطَلِقْ إِلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَلْيَدْفَعْهَا
إِلَيْكَ فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ وَكُلْ أَنْتَ
وَعِيَالُكَ بَقِيَّتَهَا فَرَجَعْتُ إِلَى قَوْمِي فَقُلْتُ وَجَدْتُ عِنْدَكُمْ الضِّيقَ
وَسُوءَ الرَّأْيِ وَوَجَدْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ السَّعَةَ وَحُسْنَ الرَّأْيِ وَقَدْ أَمَرَنِي أَوْ أَمَرَ لِي
بِصَدَقَتِكُمْ زَادَ ابْنُ الْعَلَاءِ قَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ بَيَاضَةُ بَطْنٌ
مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ
Telah menceritakan kepada
kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Al-‘Alaa’ secara makna, mereka
berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Muhammad bin
Ishaaq, dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Athaa’ - Ibnul-‘Alaa’ berkata: Ibnu ‘Alqamah
bin ‘Ayyaasy – , dari Sulaimaan bin Yasaar, dari Salamah bin Shakhr –
Ibnul-‘Alaa’ berkata: Al-Bayaadliy –: "Aku dahulu seorang yang sering
menggauli isteri tidak seperti orang selainku yang menggauli isterinya. Ketika
telah masuk bulan Ramadlan, aku khawatir menggauli isteriku sehingga hal itu
berlanjut hingga pagi hari. Maka aku men-dhihar isteriku hingga bulan Ramadlan
berlalu. Ketika pada malam hari ia membantuku, tiba-tiba tersingkap sedikit
auratnya. Maka tidak lama kemudian aku menggaulinya. Kemudian ketika pagi hari
aku keluar menuju kepada kaumku dan mengkhabarkan hal tersebut kepada mereka.
Aku berkata: ‘Pergilah kalian bersamaku kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam!’. Mereka berkata: ‘Tidak, demi Allah kami tidak akan pergi bersamamu’.
Maka aku pergi kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan
menceritakan hal tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata: ‘Wahai
Salamah, apakah engkau melakukan hal ini?’. Aku berkata: ‘Aku melakukan hal ini
-sebanyak dua kali-, dan aku bersabar terhadap terhadap keputusan Allah, maka
putuskanlah terhadap diriku apa yang telah Allah perlihatkan kepada dirimu’.
Beliau bersabda: ‘Bebaskan budak’. Aku berkata: ‘Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran tidaklah saya memiliki budak selain dirinya’. Beliau bersabda:
‘Berpuasalah dua bulan berturut-turut!’. Aku berkata: ‘Tidaklah saya tertimpa
sesuatu yang menimpaku kecuali ketika aku sedang berpuasa’. Beliau bersabda:
‘Berilah makan satu wasaq kurma enam puluh orang miskin’. Aku berkata: ‘Demi
Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kami bermalam dalam keadaan
tidak memiliki makanan’. Beliau berkata: ‘Pergilah kepada pengumpul shadaqah
Bani Zuraiq, hendaknya ia memberikannya kepadamu dan berilah makan enam puluh
orang miskin satu wasaq kurma, dan makanlah sisanya bersama keluargamu."
Kemudian aku kembali kepada kaumku dan berkata: ‘Aku dapatkan di sisi kalian
kesempitan serta pendapat yang buruk, dan aku dapatkan di sisi Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam kelapangan dan pendapat yang baik. Beliau telah
memerintahkan agar aku diberi shadaqah kalian” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 2213. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 1198 & 3299, Ibnu Maajah
no. 2062, Ad-Daarimiy no. 2319, Ahmad 2/86-87, Al-Haakim 2/203, dan Al-Baihaqiy
7/390; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil 7/176-179 no. 2091 dan Ghautsul-Makduud
bi-Takhriiji Muntaqaa Ibnil-Jaaruud 3/63-64).
Rukun Dhihaar
Jumhur ulama menyebutkan
bahwa rukun dhihaar ada empat, yaitu:
1. Al-Mudhaahir (orang
yang mengucapkan lafadh dhihar, yaitu suami).
2. Al-Mudhaahir minhaa
(objek yang dijatuhi lafadh dhihaar, yaitu istri).
3. Shiighah (lafadh
dhihaar).
4. Al-Musyabbah bihi
(objek/orang yang diserupakan padanya dalam lafadh dhihaar).
Dhihaar tidak akan jatuh
kecuali dengan keberadaan empat hal ini.
Apakah Dhihar Hanya
Dikhususkan dengan Kata "Ibu” dan Tidak Selainnya?
Jumhur ulama berpendapat
bahwa dhihar tidak terbatas dengan penggunaan kata ibu, namun juga pada mahram
abadi suami (si pengucap dhihar), seperti nenek, bibi, saudara perempuan, dan
yang lainnya. Perkataan ini semisal: "engkau bagiku seperti punggung
bibiku” atau "engkau bagiku seperti punggung saudara perempuanku” dan yang
lainnya. Sedangkan ulama lain (yaitu Dhahiriyyah) berpendapat bahwa dhihar
hanya dikhususkan pada kata "ibu” saja. Yang raajih dalam hal ini adalah
pendapat jumhur. Inilah pendapat yang diambil oleh Al-Hasan, ‘Atha’, Jaabir bin
Zaid, Asy-Sya’biy, An-Nakha’iy, Az-Zuhriy, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Maalik,
Ishaaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Inilah pendapat yang
dipegang Hanaabilah dan Asy-Syaafi’iy dalam al-qaulul-jadiid-nya (Al-Mufashshal
fii Ahkaamil-Mar’ah wal-Baitil-Muslim oleh Dr. ‘Abdul-Kariim Zaidaan,
8/293-294; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1413).
‘Illat pengharaman dhihar
adalah karena penyerupaan terhadap orang yang haram dinikahi dan digauli
selamanya. Oleh karena itu, penyebutan hukum dengan kata ‘ibu’ tidak
menghalangi tetapnya hukum tersebut pada selain ibu jika memang serupa
dengannya.
Apakah Dhihar Berlaku Jika
Disebutkan Penyerupaan kepada Selain Punggung?
Para ulama telah berbeda
pendapat dalam hal ini.
Hanafiyyah berpendapat
bahwa hal itu tidak terbatas pada punggung saja, namun juga bagian tubuh lain
mahram yang tidak boleh dilihat oleh orang yang men-dhihar; seperti perut,
paha, atau farji (Badaai’ush-Shanai’, 3/233).
Hanaabilah berpendapat
bahwa dhihar juga berlaku jika suami menyamakan istrinya dengan bagian-bagian
tubuh lain dari mahram abadinya. Misalnya ucapannya: ‘Engkau bagiku seperti
punggung ibuku’ atau ‘seperti perut ibuku’ atau ‘seperti tangan ibuku’ atau
‘seperti kaki ibuku’. Dikecualikan dalam hal ini anggota tubuh yang tidak tetap(4)
seperti rambut dan kuku (Kasysyaaful-Qinaa’, 3/227).
Syaafi’iyyah berpendapat
bahwa jika anggota tubuh (mahram abadi) tidak disebutkan untuk maksud pemuliaan
secara kebiasaan/adat, dan ia mengharamkan untuk bersenang-senang dengannya;
maka dhihar berlaku – seperti penyerupaan terhadap tangan. Namun jika suami
menyebutkan anggota tubuh yang punya kemungkinan untuk maksud pemuliaan seperti
mata ibu, maka ini tergantung dari niat di pengucap. Jika ia meniatkan dengan
ucapannya itu untuk dhihar, maka dhihar itu berlaku. Jika tidak, maka tidak
berlaku (Nihaayatul-Muhtaaj, 7/77).
Maalikiyyah berpendapat
dhihar berlaku jika suami menyebutkan bagian tubuh mahram (abadi)-nya, meskipun
sehelai rambut ataupun air ludah (Asy-Syarhul-Kabiir oleh Ad-Dardiir, 2/439-440).
Adapun Dhahiriyyah, maka
mereka berpendapat dhihar hanya berlaku pada penyerupaan terhadap punggung ibu
saja, tidak kepada yang lainnya (Al-Muhallaa, 10/50).
Dapat kita lihat bahwa
jumhur ulama berpendapat bahwa dhihar juga berlaku jika suami menyerupakan
istrinya dengan anggota tubuh selain punggung. Namun mereka berbeda dalam
perinciannya.
Dhihar dalam nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya terkait dengan penyamaan terhadap punggung.
Inilah yang disepakati. Adapun anggota tubuh selain itu yang disebutkan dengan
niat dhihar, maka ini permasalahan ijtihadiyyah. Asy-Syaikh Husain bin ‘Audah
Al-‘Awaaisyah hafidhahullah menguatkan pendapat Ibnu Hazm rahimahulah (Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 5/360). Wallaahu a’lam.
Perkataan: ‘Engkau Bagiku
Haram’ ; Apakah Terhitung Sebagai Dhihar?
Tidak termasuk dhihar,
karena tidak ada unsur penyerupaan. Ia hanya dihukumi sebagai sumpah. Jika ia
ingin kembali menghalalakan istrinya (untuk digauli), maka ia harus membayar
kaffarah sumpah. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي
مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ
تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
"Hai Nabi, mengapa
kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari
kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari
sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS. At-Tahriim: 1-2).
عن ابن عباس قال: إذا حرم الرجل عليه امرأته فهي يمين يكفرها
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia
berkata: "Apabila seorang laki-laki mengharamkan istrinya, maka ia
termasuk sumpah yang ada kaffarat-nya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1473).
Peringatan: Jika ada
orang yang mengatakan ‘engkau haram bagiku’ dengan niat thalaq, maka jatuh
thalaq.(5)
(Lihat bahasan ini dalam
Asy-Syarhul-Mumti’, 13/241-242).
Jika Seorang Suami
Mengatakan ‘Engkau Bagiku Seperti Punggung Ibuku’ dengan Niat Menthalaqnya,
Apakah Pada Saat Itu Jatuh Thalaq?
Tidak jatuh thalaq.
Bahkan perbuatan ini termasuk perbuatan jahiliyyah yang telah dihapuskan oleh
Islam. Bagaimanapun, jika ada seorang suami yang mengucapkan kalimat tersebut –
meskipun ia berniat dengannya thalaq – maka ia hanya dihukumi sebagai dhihar.
Panggilan Suami kepada
Istrinya: ‘Ummiy’, Apakah Termasuk Dhihar?
Ia bukan lafadh termasuk
jenis lafadh dhihar, baik yang sharih ataupun kinayah sebagaimana ma’ruf
dikenal para ulama. Tidak ada unsur penyerupaan padanya. Sudah menjadi
pengetahuan dan kebiasaan di negeri kita bahwa seorang suami yang memanggil
istrinya dengan sebutan ‘ummiy’ bukan untuk tujuan dhihar dan panggilan
terhadap ibu kandungnya, namun untuk tujuan pengajaran (terhadap anak-anaknya)
dan kasih-sayang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Semua perbuatan
tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang
diniatkan” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1 & 54 & 2529 & 5070
& 6689 & 6953, Muslim no. 1907, Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 188,
Ath-Thayaalisiy no. 37, Al-Humaidiy no. 28, Ahmad 1/25 & 43, Abu Daawud no.
2201, Ibnu Maajah no. 4227, At-Tirmidziy no. 1647, dan yang lainnya).
Ucapan Istri kepada
Suaminya: ‘Engkau Bagiku Seperti Punggung Ayahku’, Apakah Termasuk Dhihaar?
Tidak termasuk dhihaar,
karena dhihaar – menurut nash – hanya berlaku pada suami terhadap istrinya.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ
"Orang-orang yang
mendhihar istrinya di antara kamu … (Al-Mujaadilah: 2).
Para ulama telah sepakat
mengenai hal ini (lihat Ahkaamul-Qur’aan oleh Ibnul-‘Arabiy, 4/189).
Ini saja yang dapat
dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Lafadh ini merupakan lafadh sharih tentang
dhihar yang disepakati oleh para ulama (Al-Ijmaa’ oleh Ibnul-Mundzir hal. 99
no. 426, tahqiq: Khaalid bin Muhammad bin ‘Utsmaan Al-Mishriy.
(2) Hadits ini di-ta’lil
oleh Abu Haatim dan An-Nasaa’iy dengan irsal. Telah diriwayatkan oleh Sufyaan
bin ‘Uyainah, Mu’tamir bin Sulaimaan, Ma’mar, dan Ibnul-Jaarud dari Al-Hakam
bin Abaan dari ‘Ikrimah secara mursal. Adapun riwayat muttashil diriwayatkan
juga oleh Ma’mar, Ismaa’iil bin ‘Ulayyah (keduanya adalah perawi tsiqah), dan
Hafsh bin ‘Umar Al-‘Adaniy (dla’iif). Riwayat irsal ini tidak menjatuhkan
riwayat muttashil karena riwayat muttashil ini telah diriwayatkan oleh perawi
tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam
At-Talkhiishul-Habiir 3/278-279 no. 1615.
(3) Salah satunya dengan
mengambil dalil:
عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: .....وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد
والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب (الذئب؟؟) قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل
من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته
بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟"
قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Dari Mu’awiyyah bin
Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata: "…..Aku mempunyai seorang budak wanita
yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu
hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor
kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah
sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya,
lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun
menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah,
apakah aku harus memerdekakannya?’. Beliau menjawab: ‘Bawalah budak wanita itu
kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak
wanita itu: ‘Dimanakah Allah?’. Ia menjawab: ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi:
‘Siapakah aku?’. Ia menjawab: ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda: ‘Bebaskanlah,
sesungguhnya ia seorang wanita beriman” (Diriwayatkan oleh Muslim no. no. 537,
Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain).
(4) Maksudnya, rambut dan kuku adalah anggota
tubuh yang bisa dihilangkan dengan memotongnya, wallaahu a’lam.
(5) Silakan baca artikel
kami: https://www.kabeldakwah.com/2022/12/thalaq-yang-diucapkan-secara-jelas-dan.html
.
Ikuti terus sosial media
Tim Kabel Dakwah:
Youtube: Kabel Dakwah
Twitter: Kabel Dakwah Official
Facebook: Kabel Dakwah Official
Instagram: Kabel Dakwah
Website: Kabeldakwah.com
Kami Juga melayani:
1. Jasa Pembuatan Website
Wordpress / Blogger
2. Iklan Publikasi di Website
Kabeldakwah.com
3. Instal Ulang Windows
4. Penjualan Theme Blogger
5. Instal Ulang Software
Aplikasi
6. Pembuatan Jersey
7. Pemesanan Snack
(Khusus Area Cilacap Kota)
8. Pemesanan Aplikasi
Raport
9. Indexing Website
10. Privat Mengaji
(Online), Dan Lain-Lain.
Hubungi Kami Di Sini
Dukung Kabeldakwah.com dengan menjadi SPONSOR dan
DONATUR.
SARAN / MASUKAN, Konfirmasi SPONSOR & DONASI hubungi:
089673617156
Kirim Sponsor dan Donasi Anda ke Rek Berikut:
BSI 7055429997 a.n. Nurul Azizah
Posting Komentar untuk "Hukum Dzhihar (Menganggap Istri sebagai Ibunya)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.