Menolak Mafsadat atau Mudhorot Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat atau Kebaikan
Kaidah: “Menolak Mafsadat
atau Mudhorot Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat atau Kebaikan”
Dasar dari kaidah ini
adalah:
Firman Allah ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya" (QS. Al-Baqarah: 219)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Dosanya itu menyangkut masalah agama, sedangkan manfaatnya
berhubungan dengan masalah duniawi, yaitu minuman itu bermanfaat bagi badan,
membantu pencernaan makanan, mengeluarkan sisa-sisa makanan, mempertajam
sebagian pemikiran, kenikmatan, dan daya tariknya yang menyenangkan.
Sebagaimana dikatakan oleh Hasan bin Tsabit pada masa Jahiliyyah:
Kami meminumnya hingga
kami terasa sebagai raja dan singa
Yang pertemuan itu tidak
menghentikan kami
Demikian juga menjualnya dan memanfaatkan uang hasil dari penjualannya. Dan juga keuntungan yang mereka dapatkan dari permainan judi, lalu mereka nafkahkan untuk diri dan keluarganya. Tetapi faedah tersebut tidak sebanding dengan bahaya dan kerusakan yang terkandung di dalamnya, karena berhubungan dengan akal dan agama. Untuk itu Allah berfirman: “tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" (selesai – Tafsir Ibni Katsir 2/291-292).
Firman Allah ta’ala:
وَلا تَسُبُّوا
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ
مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS.
Al-An’am: 108).
Memaki sembahan mereka sebenarnya merupakan
upaya membuat mereka marah, menghinakan mereka dan sembahan mereka, serta
sebagai satu pembelaan terhadap agama Allah. Namun Allah melarangnya
karena jika kita menempuh jalan tersebut akan terbuka jalan/sebab mereka memaki
Allah tanpa ilmu. Hal itu merupakan mafsadat yang lebih besar lagi. Oleh karena
itu maslahat untuk tidak memaki sembahan mereka lebih besar daripada maslahat
yang dicapai dengan memaki sembahan mereka.
Hadits ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda:
يا عائشة لولا
أن قومك حديث عهد بجاهلية لأمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه وألزقته
بالأرض
“Wahai ‘Aisyah, seandainya bukanlah karena
kaummu baru saja lepas dari Jahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan
meruntuhkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan
daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah…” (HR.
Al-Bukhari no. 1586 dan Muslim no. 1333).
Hadits di atas memberikan satu pelajaran bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam meninggalkan kemaslahatan pembangunan Ka’bah
sesuai aslinya berdasarkan asas Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam demi menolak
mafsadah; yaitu jika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meruntuhkannya, maka
manusia akan lari dari Islam atau murtad karenanya. Maka, beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam mendahulukan menolak mafsadah daripada upaya mencari maslahat.
Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu tentang
‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan kaum munafiqin lainnya:
وقال عبد الله
بن أبي بن سلول أقد تداعوا علينا لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل
فقال عمر ألا نقتل يا رسول الله هذا الخبيث لعبد الله فقال النبي صلى الله عليه
وسلم لا يتحدث الناس أنه كان يقتل أصحابه
“’Abdullah bin Ubay bin
Salul berkata: ‘Apakah orang-orang Muhajirin menantang kita? Jika kita sudah
kembali ke Madinah, pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah
dari Madinah’. ‘Umar berkata: ‘Ya Rasulullah, mengapa tidak kita bunuh saja
orang jahat ini?’. Maksudnya: ’Abdullah bin ’Ubay bin Salul. Maka Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: ’Jangan sampai orang-orang berkata
bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” (HR. Al-Bukhari no. 3518)
Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam menahan diri dari membunuh kaum munafiqin padahal (kalaupun dilakukan)
terdapat maslahat. Namun hal itu tidak dilakukan agar tidak menjadi sebab
larinya manusia (dari Islam) dan mereka mengatakan bahwa Muhammad telah
membunuh para shahabatnya.
Jika terkumpul di
dalamnya antara maslahat dan mafsadat dalam satu perkara, maka harus
dipertimbangkan dengan benar untuk mengambil kesimpulan dalam amalan. Wajib
baginya untuk merajihkan, mana yang lebih dominan antara maslahat atau
mafsadatnya yang akan timbul. Jika maslahat yang dihasilkan lebih besar
daripada mafsadatnya, maka dianjurkan baginya untuk melakukan amalan tersebut.
Akan tetapi jika sebaliknya, mafsadat yang ditimbulkan lebih besar daripada
maslahatnya, maka ia tidak boleh untuk melaksanakannya. Bahkan haram dilakukan.
Jika maslahat dan mafsadat yang ditimbulkan sama, maka hendaknya ia tetap tidak
melakukannya sebagai langkah kehati-hatian (terhadap mafsadah yang diperkirakan
timbul).
Oleh karena itu, tidak
selamanya kemaslahatan itu harus dilakukan. Perlu pemikiran yang jernih dan
analisis yang jeli sehingga amalan yang dilakukan tepat sesuai dengan keinginan
Pembuat syari’at.
Oleh: Abul-Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
NB: Saya
jadi ingat dalam pembicaraan beberapa waktu silam tentang usaha yang dilakukan
sebagian ikhwah untuk membuka wawasan keilmuan pada salafiyyin dengan
menampilkan pendapat-pendapat yang kurang ’populer’ (pake apostrof) di kalangan
ulama (baik klasik atau kontemporer). Maslahat yang hendak dicapai agar ikhwah salafiyyun tidak
jumud dalam ilmu. Namun sayangnya hal itu justru menimbulkan mafsadat dicelanya
beberapa da’i salafiyyin oleh pihak yang tidak senang dengan dakwah salaf
karena mereka dianggap hanya memunculkan satu pendapat saja yang sesuai dengan
mereka, dan terkesan ’menyembunyikan’ khilaf. Padahal, sifat fatwa, penjelasan,
dan jawaban pada asalnya adalah ringkas sesuai dengan yang ditanyakan karena
tujuannya adalah untuk segera diamalkan. Berbeda halnya jika hal itu merupakan
pembahasan khusus sehingga perlu ditampilkan keluasan pandangan dari berbagai
fuqahaa’ beserta dalil-dalil yang mungkin mereka pergunakan untuk membangun
pendapatnya. Mungkin ini masih debatable tergantung dari sisi mana ia
memandangnya. Oleh karena itu, usaha-usaha semacam ini – yang pada asalnya baik
- menurut hemat saya hendaknya memperhatikan faktor kapan, dimana, dan pada
siapa. Semoga Allah memberikan keistiqamahan, barakah, dan hidayah kepada kita
semua. Amien...
Posting Komentar untuk "Menolak Mafsadat atau Mudhorot Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat atau Kebaikan"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.