Jual Beli dan Harta Yang Dapat diperjual Belikan
Ulama Ahli Fiqih biasanya menyebutkan
pembahasan jual beli (buyu’) setelah pembahasan ibadah (hubungan interaksi
antara makhluk dengan Al-Khaaliq, Alah ta’ala); dan jual beli adalah permulaan
bagi pembahasan tentang mu’amalat (hubungan interaksi sesama manusia).
Sebagaimana dapat diamati dalam setiap kitab-kitab fiqih, bahwa susunan para
ulama fiqih – semoga Allah merahmati mereka – dalam penulisan kitab mereka
adalah dimulai dengan pembahasan tentang ibadat (peribadatan), dan ibadah
dimulai dengan shalat, dan kuncinya adalah thaharah (bersuci). Kemudian setelah
pembahasan tentang ibadah, dilanjutkan dengn pembahasan jual-beli. Yang
demikian itu karena pada jual-beli tergantung kemaslahatan badan manusia, dan
itu adalah hal primer dalam kelangsungan hidup manusia. Kemudian setelah
jual-beli dilanjutkan dengan pembahasan hukum pernikahan, karena (biasanya)
setelah manusia makan, minum, dan mendapatkan kecukupan gizi, ia akan
memerlukan kepada tempat melampiaskan kebutuhan biologisnya, yaitu melalui
proses yang disebut dengan pernikahan. Dan setelah pembahasan tentang hukum
pernikahan, para ulama fiqih membahas hukum qishash dan yang berhubungan
dengannya,(1) (yang disebut hukum pidana).(2)
Definisi Jual Beli
Beraneka ragam definisi
ulama fiqih tentang kata (الْبَيْعُ) “Jual-Beli”.
Berikut ini akan dibawakan salah satu definisi tersebut: “Jual-beli adalah
proses tukar-menukar harta, atau suatu manfaat/jasa yang halal ditukar dengan
hal yang serupa dengannya untuk masa yang tak terbatas, dengan cara-cara yang
dibenarkan”.(3)
Ini adalah definisi jual-beli dalam istilah ilmu fiqih, dan kata (الْبَيْعُ/jual-beli) secara ilmu etimologi bahasa Arab memiliki definisi yang lebih umum dibandingkan dengan definisinya secara terminology. Demikian juga halnya setiap istilah yang memiliki penafsiran secara etimologi dan penafsiran secara syari’at/terminology. Biasanya penafsiran secara etimologi lebih luas bila dibanding dengan penafsiran secara terminology dalam ilmu syari’at. Misalnya kata (الصَّلاةُ). Shalat secara bahasa bermakna doa, akan tetapi dalam syari’at kata tersebut mempunyai definisi yang lain, yaitu: “Suatu amalan ibadah yang dimulai dengan takbiratul-ihram dan diakhiri dengan salam dan disertai dengan niat beribadah kepada Allah”. Dengan demikian, arti kata shalat menurut definisi etimologi lebih luas dibandingkan dengan definisinya secara terminology.
Hal ini terjadi pada
kebanyakan istilah-istilah dalam syari’at, kecuali dalam beberapa kata,
misalnya kata “iman”. Kata iman menurut definisi dalam ilmu etimologi hanya
berada dalam hati, karena iman artinya adalah pengakuan hati akan sesuatu hal.
Akan tetapi kata iman dalam pengertian syari’at lebih umum, karena mencakup
ucapan lisan, amalan anggota badan, dan pengakuan hati. Dan ini jarang terjadi,
karena umumnya definisi secara etimologi lebih luas dibandingkan definisi
menurut terminology.
Bila demikian halnya, definisi
kata (الْبَيْعُ/jual-beli) secara etimologi
lebih luas dbanding definisinya secara terminology. Secara etimologi kata (الْبَيْعُ) definisinya
adalah mengambil sesuatu dan menyerahkan sesuatu, walaupun pengambilan dan
penyerahan tersebut dalam rangka peminjaman atau penitipan, karena kata (الْبَيْعُ) berasal dari
kata (اَلْبَاعَ/lengan) dimana pada proses
jual-beli, masing-masing pelakunya menjulurkan lengannya kepada yang lain.
Pada definisi jual-beli
dinyatakan: “Proses tukar-menukar harta”. Yang dimaksud dengan harta adalah
setiap benda yang manfaatnya halal walaupun tanpa ada keperluan(4), sehingga
termasuk di dalamnya: emas, perak, gandum, garam, beras, kendaraan, bejana,
buku, properti, dan lain-lain yang memiliki kemanfaatan, dan kemanfaatannya
tersebut dihalalkan dalam syari’at.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa setiap benda yang tidak ada manfaatnya, misalnya serangga; atau
pemanfaatannya diharamkan, misalnya peralatan musik, babi, khamr; tidak dapat
dikatagorikan sebagai harta. Nahkan wajib
untuk dimusnahkan, sebagai wujud dari inkarul-munkar.
عَن أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا ؟ قَالَ: أَهْرِقْهَا. قَالَ: أَفَلَا
أَجْعَلُهَا خَلَّا. قَالَ: لَا. رواه أبو داود والترمذي وحسنه الألباني
Dari Anas bin Maalik: Bahwasannya Abu Thalhah
pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang anak yatim
yang mendapat warisan khamr. Beliau bersabda: “Tumpahkanlah (buanglah)”. Abu
Thalhah kembali bertanya: “Apa tidak lebih baik bila saya membuatnya menjadi
cuka?”. Beliau menjawab: “Tidak” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dihasankan
oleh Al-Albani).
Dan pada definisi harta,
dikatakan juga: “Halal walau tanpa ada keperluan”. Catatan ini guna membedakan
benda yang manfaatnya dibolehkan dalam keadaan tertentu atau karena dalam
keadaan darurat, misalnya: Bangkai boleh untuk dimakan ketika dalam keadaan
darurat, seperti ketika ada orang kelaparan dan tidak ada suatu benda halal
yang dapat dimakan guna menjaga kelangsungan hidupnya selain bangkai, maka pada
waktu itu ia boleh memakannya. Allah ta’ala
telah berfirman:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 173).
Anjing buruan adalah
benda yang manfaatnya dihalalkan, akan tetapi dihalalkan karena sebab tertentu
dan di kala ada keperluan. Oleh karena itu, pemanfaat anjing ini dibatasi
dengan batasan tertentu.
مَنْ اقْتَنَى
كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ
كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ. رواه البخاري ومسلم
“Barangsiapa yang memelihara anjing selain
anjing untuk berburu dan menjaga tanaman, maka sesungguhnya akan berkurang
pahalanya setiap hari dua qirath (=qirath adalah ukuran sebesar gunung Uhud)” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian jelaslah sekarang bagi kita
apa itu yang dimaksud dengan harta pada pembahasan ini, yaitu: “Setiap benda
yang pemanfaatannya halal walau tanpa ada keperluan”.
Demikian juga halnya
dengan kemanfaatan suatu benda. Kita tidak dibenarkan menjual kemanfaatan suatu
benda yang diharamkan syari’at, misalnya: Ia membeli dari seseorang jasa
pemnafaatan alat musik, dengan berkata kepada pemilik alat tersebut: “Juallah
kepadaku jasa pemanfaatan alat ini”. Atau dengan mengatakan: “Saya bersedia
membeli jasa penggunaan alat musik ini seharga Rp 500.000,00”. Dan kemudian
dijawab oleh pemiliknya: “Ya, saya jual ijin penggunaannya kepada Anda”.
Transaksi ini haram hukumnya, karena kegunaan alat ini diharamkan, sebagaimana
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إِنَّ اللهَ
إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ. رواه أحمد
و أبو داود وابن حبان وصححه ابن حبان
“Sesungguhnya bila Allah mengharamkan atas
sesuatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula atas mereka
hasil penjualannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Harta yang Dapat Diperjual
Belikan
Dari definisi jual beli
di atas yang telah kami sebutkan, menjadi jelas bagi kita bahwa harta yang
dapat diperjualbelikan ada dua macam, yaitu:
a. Harta benda
b. Jasa/kemanfaatan suatu
benda
Pada definisi di atas,
dikatakan: “Untuk masa yang tak terbatas”. Guna membedakan jual-beli dari
sewa-menyewa (الْإِجَارَةُ), karena tidak
diragukan lagi bahwa pada transaksi sewa-menyewa terjadi proses tukar-menukar,
sehingga bila Anda menyewa suatu rumah dengan uang sewa sebesar Rp 1.000.000,00
maka pada transaksi ini Anda telah menyewa rumah tersebut, dan bukan
membelinya, karena akadnya dibatasi dengan tempo waktu tertentu, dan tidak
untuk selama-lamanya.
Dengan demiian, transaksi
jual-beli harus berlaku untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, bila ada yang
berkata: “Saya jual rumah ini kepada Anda selama satu tahun dengan harga Rp
2.000.000,00”, maka traksaksi ini tidak sah sebagai jual-beli, karena tidak
untuk selama-lamanya. Namun apakah kemudian transaksi ini tetap dihukumi sah,
akan tetapi dalam format sewa-menyewa? Sebagaimana pembahasan dalam kaedah ilmu
fiqih:
هَلْ
اَلْعِبْرَةُ بِصِيَغِ الْعُقُوْدِ أَوْ بِمَعَانِيْهَا ؟
“Apakah yang menjadi
pedoman adalah teks ketika menjalankan akad atau kandungannya?”.(5)
Pendapat yang benar,
transaksi ini sah namun dalam format sewa-menyewa.
Pada definisi jual-beli
di atas dikatakan juga: “Dengan cara-cara yang dibenarkan”. Guna membedakannya
dari piutang dan praktek riba. Hal ini karena Allah ta’ala telah menjadikan
praktek riba sebagai lawan dari jual-beli, dan lawan suatu hal pasti tidak
termasuk bagian darinya. Allah ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
Jadi praktek riba tidak
dianggap sebagai transaksi jual-beli, sebab pada praktek ini tidak terjadi
tukar-menukar dalam satu majelis, walaupun secara sekilas terjadi proses
tukar-menukar. Oleh karena itu, orang-orang musyrikin menyamakannya dengan
jual-beli, dan anggapan ini kemudian dibantah oleh Allah ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shaalih Al-‘Utsaimin berkata: “Bila ada yang bertanya: Apa yang menjadikan
transaksi riba tidak dikatagorikan sebagai jual-beli, padahal pada transaksi
riba terjadi pula proses tukar-menukar?.
Maka jawabannya adalah:
Yang membedakannya dari jual-beli adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap
amalan itu disertai dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang
ia niatkan”.(6)
Apa niat/maksud orang
yang memberikan piutang? Apakah ia bertujuan tukar-menukar dan berdagang
ataukah tujuannya hanya sekedar menolong? Tentu jawabannya adalah yang kedua,
yaitu menolong. Dan karena tujuan awalnya adalah menolong, maka ia menyelisihi
perilaku rentenir, karena dasar utama dalam praktek riba adalah tindak
kedhaliman dan aniaya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala:
وَإِنْ كَانَ
ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 279).
Dengan demikian, tujuan
piutang berlawanan dengan tujuan praktek riba (renten). Oleh karena itu,
piutang tidak dikatagorikan ke dalam jual-beli”.(7)
(selesai – dikutip dari
buku Sifat Perdagangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Panduan Praktis
Fiqih Perniagaan Islam oleh Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, hal. 51-58;
Pustaka Darul-Ilmi, Cet. 1/1429 – dengan sedikit perubahan).
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Disadur dari kitab
Asy-Syarhul-Mumti’, oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah, hal. 8/104, dengan sedikit perubahan.
(2) Karena seringkali
bila manusia telah kenyang, dan terpenuhi kebutuhan biologisnya, akan terjadi
sikap melampaui batas, dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, suatu
tindakan yang disebabkan oleh godaan setan dan sikap menuruti tuntunan jiwa
yang buruk. Bahkan tidak jarang kejadian ini terjadi di saat proses pemenuhan
kebutuhan makan dan minum yang diupayakan melalui perdagangan, dan juga pemenuhan
terhadap kebutuhan biologis.
(3) Silakan baca kitab
Kifayatul-Akhyar oleh Taqiyuddin Al-Khisni, 1/239; Mughnil-Muhtaj oleh
Asy-Syarbini, 2/2; dan Asy-Syarhul-Mumti’, 8/107-dan seterusnya.
(4) Sebagaimana
disebutkan dalam kitab Asy-Syarhul-Mumti’, 8/107-108.
(5) Yang lebih kuat
adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang menjadi pedoman dalam menghukumi
suatu akad adalah maksud dan maknanya, bukan sekedar lahir dari kata-kata yang
diucapkan oleh pelaku transaksi tersebut. Yang ingin mendapatkan keterangan
lebih lanjut tentang kaedah ini, silakan baca kitab Al-Fataawaa Al-Kubraa oleh
Ibnu Taimiyyah, 6/31-dst.; I’lamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnul-Qayyim, 3/98-dst.;
Al-Mantsur oleh Az-Zarkasyi, 2/371; dan Al-Asybah wan-Nadhaair oleh As-Suyuthi,
hal. 166.
(6) Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim dari hadits shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu.
(7) Asy-Syarhul-Mumti’, 8/112-113.
Posting Komentar untuk "Jual Beli dan Harta Yang Dapat diperjual Belikan"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.