Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Nikah Misyaar dan Nikah dengan Niat Thalaq

Daftar Isi:

Nikah Mis-yaar.

Nikah dengan Niat Thalaq.

 

Nikah Mis-yaar

Gambaran praktis nikah mis-yaar adalah seorang laki-laki mengawini seorang wanita lalu laki-laki ini harus selalu datang kepadanya pada waktu-waktu tertentu – dimana biasanya si wanita sengaja memilih laki-laki yang bertempat tinggal jauh - kemudian wanita tadi mengalah/rela untuk menggugurkan sebagian haknya untuk mendapatkan pembagian yang ‘adil dalam hari-hari giliran atau yang lainnya dengan istri suaminya yang lain. Misalnya Fulan yang berasal dari Saudi Arabia datang (safar) ke Indonesia, dan kemudian menikahi Fulanah. Antara Fulan dan Fulanah ini menjadi ‘suami-istri’ normal ketika si Fulan ada di Indonesia. Namun kemudian si Fulanah rela menggugurkan sebagian haknya – misalnya dalam hal jatah hari – kepada istrinya Fulan yang lain. Maka, ketika Fulan kembali ke negaranya, Fulanah tidak mendapatkan haknya yang ia relakan tersebut. Ia baru mendapatkan kembali haknya ketika Fulan kembali berkunjung ke Indonesia, karena status keduanya masih suami istri (selama Fulan tidak menceraikan Fulanah atau Fulanah tidak mengajukan khulu’).

Asy-Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mendefinisikan nikah mis-yaar dalam termonologi syar’iy sebagai berikut:

عقد الرجل زواجه على امرأة عقدًا شرعيّاً مستوفي شروطه وأركانه، إلا أن المرأة تتنازل فيه - برضاها - عن بعض حقوقها على الزوج كالسكن والنفقة والمبيت عندها والقسم لها مع الزوجات ونحو ذلك

“Satu pernikahan dimana seorang laki-laki melakukan akad pernikahan terhadap seorang wanita dengan akad syar’iy yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya; namun si wanita mengugurkan sebagian haknya - dengan kerelaannya - seperti tempat tinggal, nafkah, giliran bermalam bersamanya, dan pembagian hak yang setara dengan istri-istri suaminya yang lain” (Shahih Fiqhis-Sunnah, 3/158).

Yang dimaksud dengan rukun akad nikah adalah adanya ijab dan qabul.

Adapun syarat sah akad nikah adalah:

1. Mendapat ijin wali.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أيما امرأة لم ينكحها الولي، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل. فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب منها. فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh wali, maka pernikahannya bathil (tidak sah) – beliau mengucapkannya tiga kali –. Apabila ia telah melakukan jima’ (hubungan badan), maka wanita itu tetap berhak menerima mahar karenanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (pemerintah) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1879, dan Ahmad 6/156; shahih).

2. Kerelaan wanita untuk dinikahkan sebelum pelaksanaan pernikahan.

Tidak boleh seorang wanita dipaksa menikah, padahal ia tidak rela.

عن ابن عباس: أن جارية بكراً أتت النبي صلى اللّه عليه وسلم فذكرت أن أباها زوَّجها وهي كارهة، فخيَّرها النبيُّ صلى اللّه عليه وسلم.

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma: Bahwasannya ada seorang gadis perawan datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan seorang laki-laki yang tidak disukainya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya pilihan (untuk tetap menikah atau membatalkannya)” (HR. Abu Dawud no. 2096 dan Ibnu Majah no. 1875; hasan bi-syawaahidihi).

عن أبي هريرة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تنكح الأيم حتى تستأم

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Seorang wanita yang sendirian tidak boleh dinikahkan sebelum diminta kesediannya” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419).

3. Mahar (maskawin)

Allah ta’ala berfirman:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ

“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” (QS. An-Nisaa’: 24).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada seorang laki-laki yang hendak minkah:

أعطِها ولو خاتم من حديد

“Berikanlah ia (mahar) walaupun hanya berupa sebuah cincin besi” (HR. Al-Bukhari no. 5029 dan Muslim no. 1425).

4. Saksi-saksi

Para ulama berbeda pendapat tentang syarat ini. Jumhur berpendapat saksi adalah termasuk syarat sahnya akad. Letak permasalahannya adalah tambahan lafadh pada hadits {لا نكاح إلا بولي} “Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan adanya wali”. Tambahan tersebut adalah: {وشاهدي عدل} “dan dua orang saksi yang ‘adil”.

Sebagian ulama mengatakan bahwa tambahan itu adalah dla’if dari semua jalan periwayatannya. Namun Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan:

وهذه وإن كان منقطعًا دون النبي صلى الله عليه وسلم، فإن أكثر أهل العلم يقول به، ويقول: الفرق بين النكاح والسفاح الشهود

“Walaupun riwayat ini munqathi’ dan tidak sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu marfu’), namun kebanyakan ulama mengamalkannya. Perbedaan antara nikah dan zina adalah keberadaan saksi” (Al-Umm 2/168).

Telah shahih riwayat mauquf dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya ia berkata:

لا نكاح إلا بشاهدي عدل وولي مرشد

“Tidak ada pernikahan (yang sah) melainkan dengan adanya dua orang saksi yang ‘adil dan wali (baligh) yang membimbing” (lihat Irwaaul-Ghaliil, 6/235, 251).

Jika ada seseorang yang menikah dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun di atas, maka nikahnya sah tanpa ada keraguan. Pengguguran sebagian hak oleh wanita/istri dengan kerelaannya itu sama sekali tidak mempengaruhi sahnya pernikahan. Bukankah Saudah binti Zam’ah radliyallaahu ‘anhaa pernah merelakan sebagian haknya berupa pembagian jatah giliran untuk diberikan kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma ?.

عن عائشة: أن سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يقسم لعائشة بيومها ويوم سودة.

Dari ‘Aisyah: Bahwasannya Saudah binti Zam’ah telah memberikan jatah gilirannya kepada ‘Aisyah, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menggilir ‘Aisyah dengan jatah giliran harinya ditambah jatah giliran hari Saudah” (HR. Al-Bukhari no. 5212, Muslim no. 1463, Abu Dawud no. 2138, Ibnu Majah no. 1972, dan yang lainnya).

Tentang hukum nikah mis-yaar, maka pernah disampaikan pertanyaan tentang nikah mis-yaar kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah sebagai berikut:

قرأت في إحدى الجرائد تحقيقًا عما يسمى زواج المسيار وهذا الزواج هو أن يتزوج الإنسان ثانية أو ثالثة أو رابعة ، وهذه الزوجة يكون عندها ظروف تجبرها على البقاء عند والديها أو أحدهما في بيتها ، فيذهب إليها زوجها في أوقات مختلفة تخضع لظروف كل منهما ، فما حكم الشريعة في مثل هذا الزواج. أفتونا مأجورين ؟.

“Saya pernah membaca di salah satu koran yang di dalamnya terdapat bahasan nikah mis-yaar. Yaitu seorang laki-laki menikah dengan istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Namun istri yang dinikahi ini karena kondisi tertentu terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya atau pada salah satunya. Kemudian sang suami datang kepadanya dalam waktu-waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada pada mereka berdua. Apa hukumnya menurut syari’at Islam bentuk pernikahan seperti ini ? Kami mohon penjelasannya.

Maka beliau menjawab:

" لا حرج في ذلك إذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً ، وهي وجود الولي ورضا الزوجين ، وحضور شاهدين عدلين على إجراء العقد ، وسلامة الزوجين من الموانع ؛ لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: ( أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج ) ؛ وقوله صلى الله عليه وسلم: ( المسلمون على شروطهم ) ، فإذا اتفق الزوجان على أن المرأة تبقى عند أهلها ، أو على أن القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً ، أو في أيام معينة ، أو ليالي معينة: فلا بأس بذلك ، بشرط إعلان النكاح ، وعدم إخفائه " .

“Tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar’iy, yaitu adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki dan wanita) tersebut, adanya dua orang saksi yang ‘adil atas pelaksanaan akad, dan bersihnya calon istri dari larangan-larangan. Kebolehan hal itu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang dengannya kalian menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan juga sabda beliau yang lain: “Orang-orang muslim itu tergantung kepada syarat-syarat yang mereka sepakati”. Apabila kedua suami-istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu. Dengan syarat, pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan” (Koran Al-Jaziirah, no. 8768 – Senin, 18 Jumadal-Ula 1417 H – Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 450-451).

Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah pernah ditanya sebagai berikut:

يدور كلام كثير حول تحريم وتحليل زواج المسيار ، ونود من سماحتكم قولا فصلاً في هذا الشأن مع بيان شروطه وواجباته إن كان في حكم الحل ؟ .

“Terdapat banyak perkataan yang beredar sekitar permasalahan halal dan haramnya nikah mis-yaar. Oleh karena itu, kami minta pendapat Anda secara rinci mengenai permasalahan ini bersama penjelasan beberapa syarat dan kewajiban yang menyertai jika pernikahan ini dihukumi halal ?”.

Maka beliau menjawab:

شروط النكاح هي تعيين الزوجين ورضاهما والولي والشاهدان ، فإذا كملت الشروط وأعلن النكاح ولم يتواصوا على كتمانه لا الزوج ولا الزوجة ولا أولياؤهما وأولم على عرسه مع هذا كله فإن هذا نكاح صحيح ، سمِّه بعد ذلك ما شئت

“Syarat-syarat pernikahan adalah adanya kedua mempelai dan keridlaan mereka berdua (atas penikahan yang hendak dilaksanakan), wali, dan dua orang saksi. Apabila persyaratan tersebut lengkap dan pernikahan tersebut diumumkan tanpa saling berpesan untuk menyembunyikannya, baik dari pihak laki-laki, wanita, ataupun keluarga mereka berdua, ditambah lagi mereka mengadakan walimah atas pernikahannya; maka pernikahan tersebut sah. Engkau dapat namai apapun pernikahan itu setelahnya” (Koran Al-Jaziirah no. 10508 – Juma’t, 15 Rabi’uts-Tsaaniy 1422 H).

Dan perlu diketahui bahwa pembolehan ini tidak hanya difatwakan oleh beliau berdua (Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz Alusy-Syaikh), namun juga oleh Dr. Yusuf Al-Qaradlawi, Asy-Syaikh ‘Ali Jum’ah (mufti Mesir), dan Dr. Nashr Farid Waashil (bekas mufti Mesir). Selengkapnya dapat dilihat di: Permata Aqiq Web dan Misyar Qardhawi (lihat hal. 390 – 413).

Namun setelah melihat banyak penyimpangan yang dilakukan sebagian orang yang melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya - seperti bermunculannya agen-agen yang memasang tarif untuk mengadakan pernikahan ini, munculnya wali-wali palsu, dan pelaksanaan secara diam-diam – maka Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang nikah mis-yaar, beliau menjawab:

الواجب على كل مسلم أن يتزوج الزواج الشرعي ، وأن يحذر ما يخالف ذلك ، سواء سمي " زواج مسيار " ، أو غير ذلك ، ومن شرط الزواج الشرعي الإعلان ، فإذا كتمه الزوجان: لم يصح ؛ لأنه والحال ما ذكر أشبه بالزنى

“Wajib bagi setiap muslim untuk menikah dengan pernikahan yang syar’iy. Dan hendaknya ia berhati-hati dengan apa-apa yang menyelisihi hal itu, sama saja apakah ia dinamakan nikah mis-yaar atau selainnya. Termasuk syarat pernikahan syar’iy adalah diumumkannya pernikahan itu. Apabila kedua suami-istri tersebut menyembunyikannya, maka tidak sah. Karena apa yang disebutkan (dalam pertanyaan – yaitu nikah mis-yaar) menyerupai perbuatan zina” (Majalah Ad-Da’wah no. 1693, tanggal 12-2-1420 H - Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalat Ibni Baaz, 20/431-432 no. 188).

Lihatlah! Jawaban beliau rahimahullah menyiratkan satu pemahaman bahwa praktek-praktek nikah mis-yaar yang ada sekarang ini (termasuk praktek yang ada di Indonesia) tidak memenuhi syarat syar’iy sebagaimana yang beliau fatwakan tentang kebolehannya sebelum itu.

Asy-Syaikh Ihsaan bin Muhammad bin ‘Ayisy Al-‘Utaibi pernah berkunjung ke rumah Asy-Syaikh Al-Albani pada tanggal 17 Muharram 1418 dan bertanya tentang nikah mis-yaar yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini. Maka beliau rahimahullah memfatwakan keharamannya dengan dua sebab:

1. أن المقصود من النكاح هو " السكن " كما قال تعالى: ( وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم/21 ، وهذا الزواج لا يتحقق فيه هذا الأمر

“Maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum: 21). Sedangkan pernikahan semacam ini tidak mewujudkan demikian.

2. أنه قد يقدَّر للزوج أولاد من هذه المرأة ، وبسبب البعد عنها وقلة مجيئه إليها سينعكس ذلك سلباً على أولاده في تربيتهم وخلقهم

“Boleh jadi Allah ta’ala mentaqdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlaq”

(lihat selengkapnya kitab Ahkaamut-Ta’addud fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah oleh Ihsaan Al-‘Utaibi, hal. 28-29).

Nikah dengan Niat Thalaq

Pernikahan ini juga merupakan jenis pernikahan yang belakangan marak, khususnya bagi mereka yang berada jauh dari negeri asalnya untuk satu urusan (pekerjaan, studi, atau yang lainnya), sebagaimana nikah mis-yaar. Bentuknya: Ia merencanakan dalam hatinya untuk menceraikan wanita yang hendak ia nikahi setelah urusannya di negeri tersebut selesai. Para ulama berbeda pendapat tentang penghukuman nikah dengan niat thalaq. Jumhur ulama membolehkannya dan sebagian yang lain mengharamkannya (dengan menyerupakannya dengan nikah mut’ah).

An-Nawawi rahimahullah berkata:

قَالَ الْقَاضِي: وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك: لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ: هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Al-Qaadli berkata: Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah mutlak dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata: ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata: ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 9/182).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

وإن تزوجها بغير شرط إلا أن في نيته طلاقها بعد شهر أو إذا انقضت حاجته في هذا البلد‏,‏ فالنكاح صحيح في قول عامة أهل العلم إلا الأوزاعي قال‏:‏ هو نكاح متعة والصحيح أنه لا بأس به‏,‏ ولا تضر نيته وليس على الرجل أن ينوي حبس امرأته وحسبه إن وافقته وإلا طلقها‏.‏

“Dan apabila seseorang menikah dengan tanpa syarat, namun dalam hatinya meniatkan untuk menceraikannya sebulan kemudian atau ketika kebutuhannya di negeri itu telah selesai, maka nikahnya sah menurut pendapat ulama secara umum, kecuali Al-Auza’i. Ia (Al-Auza’i) berkata: ‘Itu adalah nikah mut’ah’. Yang benar, tidak mengapa dengannya sekalipun ada niat demikian. Si laki-laki tidak boleh berniat untuk mengurung istrinya[1]. Boleh saja ia melakukan itu apabila istrinya menyetujui; namun jika tidak, maka ia harus menceraikannya” (Al-Mughniy, 10/48-49)

Pernah diajukan pertanyaan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:

هل يجوز الزواج بنية الطلاق ؟

“Apakah boleh menikah dengan niat thalaq ?

Maka beliau menjawab:

لا حرج في ذلك إذا كان ذلك بينه وبين ربه من دون شرط من المرأة أو أوليائها وترك ذلك أفضل لأن ذلك أكمل في الرغبة، وهذا قول جمهور أهل العلم كما ذكر ذلك أبو محمد بن قدامة في المغني - رحمه الله - .

“Tidak mengapa mengenai hal itu bila niatnya hanya diketahui ia dan Allah saja, tanpa ada syarat dari pihak wanita atau dari walinya. Namun membuang niat tersebut lebih utama (afdlal), sebab yang demikian itu lebih sempurna keinginannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana yang disebutkan Abu Muhammad bin Qudamah dalam Al-Mughniy – rahimahullah” (Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 235, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 453).

Pertanyaan lain kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:

يذكر أحد الإخوة أنه قرأ عن سماحتكم إنه يجوز الزواج بنية الطلاق بدون تحديد وقت الطلاق وأنكم تنصحون الشباب المغتربين بالزواج على هذه الصفة وأنه من الممكن أن تتولد بينهم المحبة أو يرزقهم الله بولد فيستمر فهل هذا صحيح أرجو التوضيح أثابكم الله ؟

“Salah seorang rekan menyebutkan bahwa ia pernah membaca dari Syaikh yang terhormat, bahwasannya boleh menikah dengan niat thalaq dengan tidak dibatasi kapan waktu thalaqnya. Dan bahwasannya Syaikh juga menasihatkan kepada para pemuda yang bepergian jauh agar menikah dengan cara seperti itu, dan bahwasannya sangat mungkin akan lahir rasa saling mencintai di antara mereka berdua dan dikaruniai anak oleh Allah ta’ala sehingga pernikahan menjadi langgeng. Apakah ini benar ? Kami mohon penjelasannya”.

Beliau rahimahullah menjawab:

قد صدرت هذه الفتوى من اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في المملكة العربية السعودية برئاستي واشتراكي وهذه هو قول جمهور أهل العلم كما ذكر ذلك موفق الدين بن قدامة رحمه الله في كتابه المغني على أن يكون ذلك بينه وبين الله سبحانه وليس ذلك من نكاح المتعة.

أما لو اتفق مع أهل المرأة على ذلك أو شرط ذلك لمدة معلومة فإن ذلك منكر لا يجوز ويعتبر النكاح نكاح متعة باطلًا لأن الرسول صلى الله عليه وسلم نهى عنه وأخبر أن الله قد حرمه إلى يوم القيامة، وبالله التوفيق.

“Fatwa itu memang telah dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuuts wal-Ifta’ Kerajaan Saudi Arabia yang saya pimpin dan dengan keterlibatan saya di situ. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh Muwafiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughniy. Namun niat tersebut hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah saja. Itu tidak termasuk nikah mut’ah.

Adapun jika hal itu disepakati bersama pihak keluarga wanita atau dengan syarat waktu tertentu saja, maka nikah seperti ini munkar, tidak boleh dilakukan dan termasuk dalam katagori nikah mut’ah nan bathil. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan telah memberitahukan bahwa Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Wabillaahit-Taufiq” (Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 235, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 454).

Pertanyaan lain kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:

سمعت لك فتوى على أحد الأشرطة بجواز الزواج في بلاد الغربية، وهو ينوي تركها بعد فترة معينة، كحين انتهاء الدورة أو الابتعاث، فما هو الفرق بين هذا الزواج وزواج المتعة ؟

“Saya pernah mendengar fatwa Syaikh yang mulia melalui sebuah kaset yang membolehkan seseorang menikah di negara lain (tujuan safar) dengan niat akan meninggalkannya pada waktu tertentu, seperti sesudah selesai mengikuti pelatihan atau selesai melakukan tugas. Maka apa perbedaan antara nikah tersebut dengan nikah mut’ah ?”

Maka beliau rahimahullah menjawab:

نعم لقد صدرت من اللجنة الدائمة وأنا رئيسها بجواز النكاح بنية الطلاق إذا كان ذلك بين العبد وبين ربه، إذا تزوج في بلاد غربة ونيته أنه متى انتهى من دراسته أو من كونه موظفًا وما أشبه ذلك أن يطلق فلا بأس بهذا عند جمهور العلماء، وهذه النية تكون بينه وبين الله - سبحانه - وليست شرطًا.

والفرق بينه وبين المتعة: أن نكاح المتعة يكون فيه شرط مدة معلومة كشهر أو شهرين أو سنة أو سنتين ونحو ذلك. فإذا انقضت المدة المذكورة انفسخ النكاح هذا هو نكاح المتعة الباطل، أما كونه تزوجها على سنة الله ورسوله ولكن في قلبه أنه متى انتهى من البلد سوف يطلقها، فهذا لا تضره وهذه النية قد تتغير وليست معلومة وليست شرطًا، بل هي بينه وبين الله فلا يضره ذلك، وهذا من أسباب عفته عن الزنى والفواحش وهذا قول جمهور أهل العلم حكاه عنهم صاحب المغني موفق الدين بن قدامة رحمه الله.

“Benar. Sudah ada fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daaimah dan saya adalah pimpinannya, tentang diperbolehkannya menikah dengan niat thalaq bila niat tersebut hanya diketahui oleh dirinya dan Allah saja. Apabila seseorang menikah di negara lain dan niatnya adalah menceraikannya apabila studinya telah selesai atau setelah tugasnya sebagai pegawai selesai. Menurut pendapat jumhur ulama, nikah seperti itu diperbolehkan, namun niatnya hanya diketahui oleh ia (si laki-laki) dan Allah saja, dan itu bukan termasuk syarat.

Perbedaannya dengan nikah mut’ah adalah bahwa nikah mut’ah itu ada syaratnya yaitu untuk waktu tertentu, seperti sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, atau semisalnya. Lalu apabila habis masa itu, maka nikahpun dengan sendirinya menjadi gugur (bubar/cerai otomatis). Inilah yang disebut nikah mut’ah yang bathil itu. Adapun menikah berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi di dalam hatinya ada niat akan menceraikannya apabila telah selesai melaksanakan tugas di negara lain tersebut, maka nikah seperti ini tidak mengapa, karena niat seperti itu bisa berubah. Ia tidak diketahui dan bukan sebagai syarat. Niat itu hanya diketahui oleh ia sendiri dan Allah saja. Maka tidak apa-apa yang demikian itu. Ini merupakan cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughniy, yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah” (Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Musnid, hal. 236, Asy-Syaikh Ibnu Baaz – melalui perantaraan Fataawaa ‘Ulamaa’ Al-Baladil-Haraam, hal. 455).

Sebagai pelengkap, mari kita ambil pelajaran yang sarat faedah dari Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:

لو نوى المتعة بدون شرط، يعني نوى الزوج في قلبه أنه متزوج من هذه المرأة لمدة شهر ما دام في هذا البلد فقط، فهل نقول: إن هذا حكمه حكم المتعة أو لا؟ في هذا خلاف، فمن العلماء من قال: إنه حرام وهو المذهب لأنه في حكم نكاح المتعة؛ لأنه نواه، وقد قال النبي صلّى الله عليه وسلّم: «إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى» ، وهذا الرجل قد دخل على نكاح متعة مؤقت، فكما أنه إذا نوى التحليل وإن لم يشترطه صار حكمه حكم المشترط، فكذلك إذا نوى المتعة وإن لم يشترطها فحكمه كمن نكح نكاح متعة، وهذا القول قول قوي.

وقال آخرون: إنه ليس بنكاح متعة؛ لأنه لا ينطبق عليه تعريف نكاح المتعة، فنكاح المتعة أن ينكحها نكاحاً مؤقتاً إلى أجل، ومقتضى هذا النكاح المؤجل أنه إذا انتهى الأجل انفسخ النكاح، ولا خيار للزوج ولا للزوجة فيه؛ لأن النكاح مؤقت يعني بعد انتهاء المدة بلحظة لا تحل له هذه المرأة، وهو ـ أيضاً ـ ليس فيه رجعة؛ لأنه ليس طلاقاً بل هو انفساخ نكاح وإبانة للمرأة، والناوي هل يُلزِم نفسه بذلك إذا انتهى الأجل؟

الجواب: لا؛ لأنه قد ينوي الإنسان أنه لا يريد أن يتزوجها إلا ما دام في هذا البلد، ثم إنه إذا تزوجها ودخل عليها رغب فيها ولم يطلقها، فحينئذٍ لا ينفسخ النكاح بمقتضى العقد، ولا بمقتضى الشرط؛ لأنه ما شرط ولا شُرط عليه، فيكون النكاح صحيحاً وليس من نكاح المتعة.

وشيخ الإسلام ـ رحمه الله ـ اختلف كلامه في هذه المسألة، فمرة قال بجوازه، ومرة قال بمنعه، والذي يظهر لي أنه ليس من نكاح المتعة، لكنه محرم من جهة أخرى، وهي خيانة الزوجة ووليها، فإن هذا خيانة؛ لأن الزوجة ووليها لو علما بذلك ما رضيا ولا زوجاه، ولو شرطه عليهم صار نكاح متعة، فنقول: إنه محرم لا من أجل أن العقد اعتراه خلل يعود إليه، ولكن من أجل أنه من باب الخيانة والخدعة.

فإذا قال قائل: إذا هم زوَّجوه، فهل يلزمونه بأن تبقى الزوجة في ذمته؟ فمن الممكن أن يتزوج اليوم ويطلق غداً؟

قلنا: نعم، هذا صحيح أن الأمر بيده إن شاء طلق وإن شاء أبقى، لكن هنا فرق بين إنسان تزوج نكاح رغبة، ثم لما دخل على زوجته ما رغب فيها، وبين إنسان ما تزوج من الأصل إلا نكاح متعة بنيته، وليس قصده إلا أن يتمتع هذه الأيام ثم يطلقها.

فلو قال قائل: إن قولكم إنه خيانة للمرأة ووليها غير سديد؛ وذلك لأن للرجل عموماً أن يطلق متى شاء، فالمرأة والولي داخلان على مغامرة ومخاطرة، سواء في هذه الصورة أو غيرها؛ لأنهما لا يدريان متى يقول: ما أريدها.

قلنا: هذا صحيح لكنهما يعتقدان ـ وهو أيضاً يعتقد ـ أنه إذا كان نكاح رغبة أن هذا النكاح أبدي، وإذا طرأ طارئ لم يكن يخطر على البال، فهو خلاف الأصل، ولهذا فإن الرجل المعروف بكثرة الطلاق لا ينساق الناس إلى تزويجه، ولو فرضنا أن الرجل تزوج على هذه النية، فعلى قول من يقول: إنه من نكاح المتعة ـ وهو المذهب ـ فالنكاح باطل، وعلى القول الثاني ـ الذي نختاره ـ أن النكاح صحيح، لكنه آثم بذلك من أجل الغش، مثل ما لو باع الإنسان سلعة بيعاً صحيحاً بالشروط المعتبرة شرعاً، لكنه غاشٌ فيها، فالبيع صحيح والغش محرم،

“Apabila ia (laki-laki) meniatkan nikah agar bisa mendapatkan kenikmatan/kesenangan tanpa ada syarat, yaitu calon suami berniat dalam hatinya untuk menikahi wanita ini selama sebulan - selama masih berada di negerinya saja -, maka apakah akan kita katakan bahwa nikah ini hukumnya sama dengan nikah mut’ah atau tidak ? Dalam perkara ini ada perselisihan di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang berkata: Hukumnya sama dengan nikah mut’ah; sebab ia telah meniatkan, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Sesungguhnya semua amalan itu hanya tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan’[2]. Laki-laki ini telah masuk dalam pernikahan yang ia niatkan mendapatkan kenikmatan untuk sementara waktu, maka sebagaimana jika ia niatkan untuk penghalalan – sekalipun tidak mensyaratkan – maka hukumnya sama dengan hukum bersyarat. Demikian pulalah jika ia berniat sekedar mengambil kenikmatan – sekalipun tidak mensyaratkannya -, hukumnya sama dengan hukum nikah mut’ah. Pendapat ini sebagaimana dapat engkau lihat sendiri adalah pendapat yang kuat.

Yang lain berpendapat: Ini bukan nikah mut’ah; sebab tidak terpenuhi padanya definisi nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah ia menikahinya sampai waktu tertentu, di saat waktu itu telah sampai maka nikah itu bubar dengan sendirinya tanpa ada pilihan bagi suami ataupun istri. Juga pada nikah mut’ah tidak boleh kembali setelahnya, sebab perpisahan keduanya bukan karena thalaq, tetapi dengan sebab bubarnya pernikahan dan terlepasnya istri. Inilah nikah mut’ah. Sedangkan orang yang sekedar berniat, apakah dia harus melakukannya setelah tiba masa itu ? Jawabnya: Tidak. Sebab, terkadang seseorang berniat hanya ingin mempertahankan pernikahan selama di negeri ini saja, lalu ternyata setelah ia menikahinya dan melakukan hubungan dengannya, ia pun senang kepadanya dan tidak mau menceraikannya. Maka ketika itu nikahnya tidak bubar berdasarkan akad atau syarat, sebab dirinya tidak mensyaratkan dan tidak pula diberi syarat. Maka kesimpulannya: Nikahnya sah, dan bukan nikah mut’ah.

Syaikhul-Islam mempunyai pendapat beragam dalam masalah ini. Beliau pernah mengatakan boleh dan pernah juga mengatakan tidak boleh. Sedangkan yang nampak benar bagiku, ini bukan nikah mut’ah. Hanya saja ia diharamkan dengan sebab lain, yaitu tindakan penipuan terhadap istri dan walinya. Dimana istri dan wali kalau mengetahui hal tersebut, maka tidak akan mau dan tidak akan menikahkan dengannya, sedangkan kalau dia terang-terangan menjadikannya sebagai syarat di hadapan mereka, maka ini menjadi nikah mut’ah. Maka kami katakan: Ia haram bukan karena terjadinya cacat pada akad, tetapi karena ia termasuk pengkhianatan dan penipuan.

Kalau seseorang berkata: Bagaimana kalau para wali telah menikahkannya, apakah mereka boleh memaksa si laki-laki untuk memelihara terus pernikahannya ? Sebab, bisa jadi mereka menikahkannya pada hari ini lalu esok hari ia menthalaqnya.

Kami katakan: Ya, ini benar bahwasannya keputusan berada di tangannya (suami), apakah ia mau menthalaq atau mempertahankan pernkahan. Akan tetapi ada perbedaan antara seorang yang menikah karena memang suka lalu sekamar dengan istri yang dicintainya dengan seorang yang sejak awal memang meniatkan sekedar kenikmatan dalam hatinya. Orang kedua ini hanyalah menginginkan kenikmatan dalam beberapa hari lalu habis itu diapun menthalaqnya.

Apabila ada seseorang yang berkata: Ucapanmu bahwa ini sebuah pengkhianatan terhadap pihak wanita dan walinya tidaklah benar, sebab pihak suami mempunyai pilihan kapan saja dia hendak menceraikannya, sehingga pihak wanita telah mempertaruhkan diri dalam tantangan besar, dimana mereka tidak tahu kapan suami akan menceraikannya.

Kami katakan: Ini benar. Akan tetapi apabila pernikahan didasari cinta, maka pihak wanita maupun laki-laki sama-sama menginginkan agar pernikahan ini abadi. Jika ternyata di belakang hari terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benak mereka, maka ini suatu hal yang datang kemudian yang berbeda dengan maksud awal. Oleh sebab itu, seorang yang dikenal suka menthalaq (menceraikan), orang-orang tidak akan senang menikahkan keluarganya dengan laki-laki tersebut.

Apabila ada seorang laki-laki yang melakukan nikah dengan niat yang demikian, maka berdasarkan pendapat yang mengatakan ia termasuk nikah mut’ah, maka nikah ini bathil (tidak sah). Sedangkan berdasarkan pendapat kedua – inilah yang kita pilih – pernikahannya sah, akan tetapi dia telah berdosa dengan sebab menipu. Ia semisal dengan seorang yang menjual suatu barang dengan syarat yang syar’iy, akan tetapi dia melakukan penipuan. Maka jual belinya sah, sedangkan penipuannya haram” (Asy-Syarhul-Mumti’, 12/76).

Penutup

Demikianlah keadaan fatwa para ulama mengenai nikah mis-yaar dan nikah dengan niat thalaq.

Terdapat khilaf yang mu’tabar di dalamnya. Bahkan, pendapat yang mengatakan sahnya dua jenis nikah ini adalah merupakan pendapat jumhur ulama. Namun kemudian mereka (jumhur) berbeda dalam perinciannya.

Saya pribadi cenderung sependapat dengan pendapat jumhur. Dan khusus nikah dengan niat thalaq, penggabungan pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baaz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah yang terbaik. Yaitu, hukum asal nikah dengan thalaq adalah makruh. Saya tidak sepakat jika hal ini sampai pada derajat haram, karena unsur penipuan yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pun bersifat kemungkinan atau nisbi. Apalagi jika ada seseorang yang menikah dengan cara ini dengan niat (yang benar) agar tidak terjerumus pada zina, maka sangat sulit mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu dihukumi haram. Bahkan ia boleh melakukannya sebagaimana dijelaskan Asy-Syaikh Ibnu Baaz!!

Oleh karena itu, sungguh sangat naif dan culas jika ada sebagian pihak yang menisbatkan adanya praktek penyimpangan atas dua jenis pernikahan ini kepada ulama yang membolehkannya - sebagaimana telah dilakukan oleh redaksi Eramuslim[3]. Entahlah, saya tidak tahu, apakah redaksi eramuslim mengetahui duduk permasalahan ini atau tidak dalam pembahasan para ulama. Mengapa sikap sinisnya tidak sekalian saja dialamatkan kepada jumhur ulama seperti Ibnu Qudamah dan An-Nawawi rahimahumallah atau yang lainnya ?. Kesalahan sikap menggampangkan dan penyimpangan yang dilakukan segelintir orang seharusnya hanya dinisbatkan kepada orangnya. Sedangkan para ulama bara’ (berlepas diri) terhadap penyimpangan-penyimpangan itu. Itu seperti halnya jika ada ulama yang menjelaskan kebolehan poligami kemudian ada beberapa pihak yang ‘bermudah-mudah’ dan berlaku dhalim dalam urusan ini; apakah kemudian kita nisbatkan sebab musababnya pada ulama yang membolehkannya ?

Janganlah kita jadikan sebagian ketidaktahuan (kejahilan) kita menjadi sebab kita mencela apa yang seharusnya tidak perlu dicela!!

Jika kita perhatikan dengan cermat apa yang difatwakan leh Asy-Syaikh Ibnu Baaz (baik dalam nikah mis-yaar dan nikah dengan niat thalaq) sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan yang menyandarkan perbuatannya kepada fatwa beliau.

Akhirnya,…. kita berharap agar Allah memberikan petunjuk bagi kita semua. Hanya Allah lah tempat meminta, dan hanya Dia-lah kita memohon pertolongan. Semoga apa yang dituliskan ini ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Oleh: Abul-Jauzaa’ Dony Arif Wibowo



[1] Maksudnya, menikahinya lalu meninggalkannya tanpa menceraikannya hingga batas yang tidak diketahui. Wallaahu a’lam.

[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[3] Lihat: Web Era Muslim (https://m.eramuslim.com/berita/dunia/indonesia-menjadi-obyek-wisata-seks-terpopuler-bagi-turis-arab.htm)  dalam salah satu berita terbarunya (tanggal 19 April 2009) yang melansir bahasan ini. Dalam berita tersebut termuat cercahan-cercahan kalimat miring, yang kemudian dialamatkan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah – yang dikatakan sebagai ulama panutan Salafy-Wahabiy. Pemuatan judul berita yang cukup ‘cantik’ – yaitu: Indonesia Menjadi Obyek "Wisata Seks" Terpopuler Bagi Turis Arab – yang kemudian dibumbui dengan kalimat yang tidak kalah ‘cantik’ sebagai berikut:

“Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh salah satu fatwa ulama mereka. Salah satu ulama yang melegalkan praktik demikian adalah Syaikh Abdullah bin Baz, ulama yang menjadi rujukan penting kalangan salafi-wahhabi”.

Kita tanyakan kepada redaksi eramuslim: “Ada dendam apa antara dirimu dengan Salafiyyin, khususnya Asy-Syaikh Ibnu Baaz ?”.

Posting Komentar untuk "Hukum Nikah Misyaar dan Nikah dengan Niat Thalaq"