Hukum Daging Hyena dalam Islam
Secara garis besar, para
ulama telah berselisih pendapat dalam dua perkataan ketika membahas hukum
daging hyena (adl-dlabu’):
1. Mengharamkannya.
Ini adalah madzhab dari
Abu Hanifah, Malik, Sa’id bin Al-Musayyib, Ats-Tsauriy, dan Ibnul-Mubaarak
rahimahumullah (lihat Durrul-Mukhtaar – dengan hasyiyyah Ibni ‘Aabidiin –
5/194, Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan 4/103, dan Tuhfatul-Ahwadzi
5/499-500) . Dalil mereka yang utama adalah:
عن أبي هريرة،
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (كل ذي ناب من السباع، فأكله حرام).
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Setiap binatang buas (as-sibaa’) yang
mempunyai taring, diharamkan untuk memakannya” (Diriwayatkan oleh Muslim no.
1933).
Menurut mereka, hyena
(adl-dlabu’) termasuk binatang buas(1) yang mempunyai taring.
2. Menghalalkannya.
Ini adalah madzhab Sa’d
bin Abi Waqqaash, Ibnu ‘Abbas,, Atha’, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, Ishaq (bin
Rahawaih), dan Abu Tsaur rahimahumullah (lihat Mughnil-Muhtaj 4/299, Al-Muqni’
– dengan hasyiyyah-nya – 3/52, Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan 4/103,
Sunan At-Tirmidzi 2/198 no. 851, dan Tuhfatul-Ahwadzi 5/499-500). Pendapat
inilah yang dikuatkan oleh Ibnul-‘Arabiy, Al-Khaththaabiy, Ibnu Hajar,
Ibnul-Qayyim, Asy-Syaukaniy, dan yang lainnya.
Dalil mereka yang utama
adalah:
عن بن أبي عمار
قال قلت لجابر: الضبع صيد هي قال نعم قال قلت آكلها قال نعم قال قلت له أقاله رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال نعم
Dari Abu ‘Ammaar ia berkata: Aku bertanya
kepada Jaabir: “Apakah hyena (adl-dlabu’) termasuk hewan buruan?”. Ia menjawab:
“Ya”. Aku bertanya: “Bolehkah untuk memakannya?”. Ia menjawab: “Ya”. Aku
kembali bertanya kepadanya: “Apakah (pembolehan) itu dikatakan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Ia menjawab: “Ya” (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi no. 851 & 1791, Abu Dawud no. 3801, Ibnu Majah no. 3085,
‘Abdurrazzaq no. 8682, Ibnu Hibbaan no. 3964, dan yang lainnya; shahih).
Asy-Syafi’iy berkata:
ما زال الناس
يأكلون الضبع، ويتبعونه بين الصفا والمروة.
“Orang-orang senantiasa memakan hyena (adl-dlabu’) dan memperjual-belikannya memburunya antara Shafaa dan Marwah” (Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar oleh Al-Baihaqiy, 14/87 – melalui Al-Hayawaanaat oleh Sulaiman Al-Khurasyiy, hal. 60).
Pendapat yang mengharamkan
menyanggah pendalilan pihak yang menghalalkannya dengan beberapa point sebagai
berikut:
a. Hadits Jaabir bukanlah
hadits yang masyhuur, sedangkan beramal dengan yang masyhur (hadits pengharaman
binatang buas bertaring) lebih diutamakan.
b. Mendahulukan dalil
pelarangan daripada dalil pembolehan jika ada pertentangan (ta’aarudl) sebagai
langkah hati-hati – sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul.
c. Membawa dalil yang
menunjukkan pembolehan datang sebelum adanya dalil pengharaman. Atau secara
ringkas, dalil pembolehan tersebut adalah mansukh dengan dalil pengharaman.
d. Hadits Jaabir tidak
secara sharih menunjukkan kehalalan memakan daging hyena. Ada kemungkinan bahwa
penyandaran Jaabir kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya dalam
kaitan hyena termasuk hewan buruan. Kemudian ia berijtihad bahwa semua hewan
buruan halal dagingnya untuk dimakan. Atas dasar kemungkinan ini, hadits Jaabir
ini tidak sah digunakan sebagai dalil.
Sanggahan di atas dijawab
oleh pendapat kedua yang membolehkan sebagai berikut:
a. Bagaimana bisa
dikatakan bahwa hadits Jaabir bukan hadits yang masyhur, sementara itu ia
dishahihkan oleh banyak ahli hadits dulu dan sekarang seperti: Al-Bukhari,
At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqiy, Ibnu Hajar, dan yang lainnya?
Apalagi hal itu diamalkan oleh beberapa ulama salaf sebagaimana telah
disebutkan. Telah menjadi satu hal yang maklum bahwa yang dijadikan pendalilan
bagi satu hukum itu terletak pada keshahihan dan dilalah (penunjukkan)-nya,
bukan pada masyhur dan tidaknya.
b. Jalan tarjih ataupun
klaim adanya naasikh hanya dilakukan jika metode penjamakan tidak dapat
ditempuh. Di sini, penjamakan dalil-dalil yang (kelihatan) bertentangan adalah
memungkinkan/mudah. Menggunakan dua dalil secara bersamaan lebih diutamakan
daripada menggunakan hanya satu dalil dan meninggalkan yang lainnya (padahal
dua-duanya adalah shahih).
Dalil yang menyatakan
kehalalan daging hyena lebih khusus daripada dalil pengharamannya. Hyena adalah
jenis yang dikecualikan dari hewan-hewan buas yang bertaring (lihat
Ma’aalimus-Sunan 4/103, As-Sailul-Jaraar hal. 724, dan I’laamul-Muwaqqi’iin
2/135). Oleh karena itu, tidak ada pertentangan di antara kedua dalil itu.
c. Alasan bahwa hadits
Jaabir tidak sah digunakan sebagai dalil karena tidak sharih penunjukan
penghalalan daging hyena terhapus dengan riwayat lain dari hadits Jaabir bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang secara tegas
menghalalkan daging hyena:
الضبع صيد فكلها
وفيها كبش سمين إذا أصابها المحرم
“Hyena itu termasuk hewan
buruan. Maka makanlah ia! Dan denda seekor kambing gemuk (untuk disembelih)
apabila seorang yang ihram membunuhnya” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 5/183;
shahih – lihat Shahiihul-Jaami’ no. 3899-3900)
Hadits di atas sekaligus
menjelaskan kepada kita bahwa ditetapkan hewan buruan oleh syari’at sebagai
penunjukkan kehalalan untuk memakan dagingnya. ‘Illat dengan adanya huruf fa’
tasbib menunjukkan daging hyena itu halal dengan sebab termasuk hewan buruan.
Sebagaimana yang kita
lihat, pendapat kedua yang menghalalkan daging hyena lebih kuat. Berikut akan
kami tuliskan fatwa singkat dari Al-Lajnah Ad-Daaimah:
س: نرجو إفادتنا
عن أكل الضبع والثعلب والضب، حلال، أو حرام، أو مشتبه فيه؟ جزاكم الله خير الجزاء
ج: الضبع والضب
حلال، وأما الثعلب فحرام
وبالله التوفيق،
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
اللجنة الدائمة
للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ... عضو ...
نائب الرئيس ... الرئيس
عبد الله بن
قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن
باز
Pertanyaan: Kami mengharapkan satu faedah dari
penjelasan Anda tentang hukum memakan hyena (adl-dlabu’), musang (ats-tsa’lab),
dan kadal padang pasir (dlabb). Apakah ia halal, haram, atau termasuk perkara
syubhat? Jazaakumullahu khairal-jazaa’.
Jawab: Hyena dan kadal
padang pasir adalah halal. Adapun musang adalah haram. Wabillaahi-taufiiq. Wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daaimah li-Buhuuts Al-‘Ilmiyyah
wal-Iftaa’.
‘Abdurrahman bin Qu’uud (anggota), ‘Abdulah
bin Ghudayyan (anggota), ‘Abdurrazzaq ‘Afiifiy (wakil ketua), dan ‘Abdul-‘Aziiz
bin ‘Abdillah bin Baaz (ketua).
(Fataawaa no. 5976).
Selain itu, di kalangan ulama kontemporer yang
menghalalkannya antara lain Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahiim (Fataawaa wa
Rasaail 1/3394 tanggal 29/10/1388), Asy-Syaikh Ibnu Baaz (mis. Majmu’ Fataawaa
23/34-35 no.18), Asy-Syaikh Al-Albaniy (mis. Silsilatul-Hudaa wan-Nuur no. 325
menit 30:58), dan Asy-Syaikh Al-Fauzaan (mis. Al-Mulakhash Al-Fiqhiy
2/581).
Wallaahu ta’ala a’lam.
Semoga artikel ringkas
ini ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Bagi ikhwan yang belum pernah mengetahui hewan
adl-dlabu’ (hyena), maka dapat dilihat beberapa jenisnya sebagaimana foto di
bawah:
Bahan bacaan:
1. Ahkaamul-Qur’an oleh Abu Bakr bin
Al-‘Arabiy, takhrij & ta’liq: Muhammad bin ‘Abdil-Qaadir ‘Athaa’;
Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 3/1424, Beirut.
2. Al-Hayawaanaat Maa
Yajuuz Akalahu wa Maa Laa Yajuuz oleh Sulaiman bin Shaalih Al-Khurasyiy; Daarul-Qaasim,
Cet. 1/1420, Riyaadl.
3. Al-Mulakhash Al-Fiqhiy
oleh Shaalih Al-Fauzaan; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1423, Riyadl.
4. As-Sailul-Jaraar oleh
Asy-Syaukaniy; Daar Ibni Hazm, Cet. 1, Beirut.
5. I’laamul-Muwaqqi’iin
oleh Ibnul-Qayyim, tahqiq: Thaha ‘Abdur-Rauf Sa’d; Maktabah
Al-Kulliyyaatil-Azhariyyah, Cet. Thn. 1388, Kairo.
6. Sunan Abi Dawud ma’a
Ma’aalimus-Sunan oleh Al-Khaththaabiy; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418, Beirut.
7. Tuhfatul-Ahwadziy
bi-Syarh Jaami’ At-Tirmidziy oleh Al-Mubaarakfuriy, tahshhih: ‘Abdul-Wahhaab
bin ‘Abdil-Lathiif; Daarul-Fikr, Beirut.
8. Dll.
Footnote:
(1) Mengenai definisi
hewan buas (as-sibaa’), Al-Imam Ahmad berkata: “Setiap hewan yang menggigit
dengan taringnya, maka ia termasuk binatang buas” (Syarh Az-Zarkasyiy ‘alaa
Mukhtashar Al-Khiraqiy, 6/675 – melalui perantaraan Al-Hayawaanaat oleh
Sulaiman Al-Khurasyiy, hal. 21). Adapun Ibnul-Atsiir berkata: “Hewan apa saja
yang menerkam hewan lainnya dan memakannya secara paksa seperti singa, macan,
serigala, dan sebangsanya” (An-Nihaayah – materi kata سبع).
Posting Komentar untuk "Hukum Daging Hyena dalam Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.