Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Pemberian Nama Untuk Si Bayi atau Si Anak

Daftar Isi:

Urgensi Pemberian Nama Kepada Bayi

Keterkaitan Nama dengan Pemiliknya.

Waktu Pemberian Nama.

Faktor-Faktor Penting ketika Memilih dan Memberikan Nama.

Nama-Nama yang Paling Baik.

Nama-Nama yang Dimakruhkan.

Nama-Nama yang Diharamkan.

Sangat Dianjurkan untuk Merubah/Mengganti Nama-Nama yang Buruk.

Larangan Memberikan Laqab (Gelar) yang Jelek.

Memberi Kunyah kepada Anak Kecil

Boleh Ber-Kunyah Walaupun Belum/Tidak Mempunyai Anak.

Ber-kunyah dengan Abul-Qaasim..

Hukum Memberi Nama Sayyid.

Memberi Nama atau Memanggil kepada Seseorang/Anak dengan Nama Allah Seperti Kariim, ‘Aziiz, Lathiif, dan yang Semisal

 

Urgensi Pemberian Nama Kepada Bayi

Para ulama telah menegaskan kewajibannya tentang memberikan nama, bahkan mereka telah sepakat (ijma’) tentang hal tersebut. Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

واتفقوا أن التسمية للرجال والنساء فرض

“Para ulama sepakat bahwasannya memberi nama kepada laki-laki dan perempuan adalah wajib” (Maraatibul-Ijma’, hal. 153).

Nama adalah lafadh dimana seseorang dipanggil dengannya. Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap masalah ini, hingga Allah pun menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).

Hingga kelak di hari kiamat, manusia akan dipanggil dengan nama yang mereka dipanggil dengannya semasa di dunia.

عن أبي الدرداء قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "إنكم تُدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم".

Dari Abu Dardaa’, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian” (HR. Abu Dawud no. 4948, Ad-Daarimiy no. 2736, Al-Baihaqi 9/306, dan yang lainnya. Sanad hadits ini dla’if karena adanya inqitha’, namun maknanya benar).

Keterkaitan Nama dengan Pemiliknya

Nash-nash syari’at telah menjelaskan keterkaitan nama dengan pemiliknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسلم سالمها الله وغفار غفر الله لها وعصية عصت الله ورسوله

“Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Aslam (- nama orang -), semoga Allah mendamaikan hidupnya; Ghifaar (- nama orang -), semoga Allah mengampuninya; dan ‘Ushayyah (- nama orang -) telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari no. 3513, Muslim no. 2518, Ahmad no. 4702, dan yang lainnya).

Demikian pula nama yang ada pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ahmad dan Muhammad; dimana dua-duanya mengandung makna ‘terpuji’. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang mempunyai sifat-sifat terpuji dalam ‘aqidah, akhlaq, dan segala hal yang ternisbat kepada beliau.

Namun sebaliknya, kita dapat melihat beberapa musuh Allah seperti Abu Lahab yang nama aslinya adalah ‘Abdul-‘Izza. Kunyah Abu Lahab[1] ini sangat pas dengan dirinya, yang akhirnya ia ditempatkan ke dasar neraka, terbakar oleh lidah api yang menyala-nyala akibat kedurhakaannya. Begitu pula dengan Abu Jahal.

Al-Imam Ibnu-Qayyim rahimahullah berkata:

ومن تأمل السنة وجد معاني في الأسماء مرتبطة بها حتى كأن معانيها مأخوذة منها وكأن الأسماء مشتقة من معانيها........ وإذا أردت أن تعرف تأثير الأسماء في مسمياتها. فتأمل حديث سعيد بن المسيب عن أبيه عن جده قال أتيت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما اسمك قلت حزن فقال أنت سهل قال لا أغير اسما سمانيه أبي قال ابن المسيب فما زالت تلك الحزونة فينا بعد رواه البخاري في صحيحه والحزونة الغلظة

“Barangsiapa yang mengamati sunnah, niscaya ia akan menemukan bahwa nama-nama yang ada berhubungan dengan pemiliknya yang seakan-akan ia memang diambil darinya sesuai dengan karakternya…… Apabila engkau ingin mengetahui bagaimana nama-nama itu bisa mempengaruhi pemiliknya, maka perhatikanlah hadits Sa’id bin Al-Musayyib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata: “Aku pernah menghadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: “Siapakah namamu?”. Aku menjawab: “Namaku Huzn”. Beliau bersabda: “(Gantilah), namamu menjadi Sahl (=mudah)”. Aku berkata: “Aku tidak akan menukar nama yang telah diberikan oleh bapakku”. Ibnul-Musayyib berkata: “Sejak saat itu, sifat kasar senantiasa ada dalam keluarga kami”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Makna al-huzuunah/huzn adalah al-ghildhah (=kasar)” (Tuhfatul-Mauduud bi-Ahkaamil-Mauluud oleh Ibnul-Qayyim, hal. 84-85, tahqiq: ‘Abdul-Mun’im ‘Aaniy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1403).

Waktu Pemberian Nama

Ada dua pendapat ternukil dalam permasalahan ini yang mempunyai landasan dalil:

1. Dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits:

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

“Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama” (HR. Abu Dawud no. 2837-2838; At-Tirmidzi no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165; Ahmad 5/7,12,17,22; dan yang lainnya; shahih)

Berkata Al-Imam Al-Baghawiy rahimahullah:

واستحب غير واحد من أهل العلم أن لا يسمى الصبي قبل السابعة، روي ذلك عن الحسن، وبه قال مالك

“Banyak ulama berpendapat disunnahkannya untuk tidak menamai anak sebelum hari ketujuh kelahirannya. Diriwayatkan hal itu dari Al-Hasan, dan dengannya Malik berpendapat” (Syarhus-Sunnah, 11/269, tahqiq & takhrij: Syu’aib Al-Arna’uth; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1403 H).

2. Dilakukan pada hari pertama atau sebelum hari ketujuh dari waktu kelahirannya.

Pendapat ini didasarkan pada hadits:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِيْ غُلامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِاْلبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ

Dari Abi Musa radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata: “Telah lahir seorang anakku. Maka aku membawanya ke hadapan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dan beliau menamainya Ibrahiim. Maka kemudian beliau men-tahnik-nya dengan kurma dan mendoakan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkannya padaku” (HR. Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; dan yang lainnya).

عن أنس بن مالك. قال:......فولدت غلاما. فقال لي أبو طلحة: احمله حتى تأتي به النبي صلى الله عليه وسلم. فأتى به النبي صلى الله عليه وسلم. وبعثت معه بتمرات. فأخذه النبي صلى الله عليه وسلم فقال (أمعه شيء؟) قالوا: نعم. تمرات. فأخذها النبي صلى الله عليه وسلم فمضغها. ثم أخذها من فيه. فجعلها في في الصبي. ثم حنكه، وسماه عبدالله.

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: ….”Maka Ummu Sulaim melahirkan seorang bayi laki-laki. Lalu Abu Thalhah mengatakan kepada Anas: “Bawalah bayi ini kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Anas) bawa bayi tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan berbekal dua butir kurma. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil bayi itu sambil bertanya: “Apakah ada makanan yang dibawa?”. Orang-orang menjawab: “Ya, dua butir kurma”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma tersebut dan mengunyahnya. Lalu beliau ambil dari mulut beliau, kemudian beliau suapkan ke dalam mulut bayi itu dan beliau memberinya nama ‘Abdullah” (HR. Al-Bukhari no. 5467, 6198; Muslim no. 2145; Abu Dawud no. 4951; dan yang lainnya).

Al-Imam Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:

وَأَنَّ الَّذِي كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ابْنِهِ إبْرَاهِيمَ وَفِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ مِنْ تَسْمِيَتِهِ إيَّاهُمَا قَبْلَ يَوْمِ سَابِعِهِمَا وَقَبْلَ ذَبْحِ عَقِيقَةٍ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْهُ بِأَنَّهَا لَمْ يُنْسَخْ أَنْ يَكُونَ يَوْمَ سَابِعِهِ كَانَ طَارِئًا عَلَى ذَلِكَ وَنَاسِخًا لَهُ فَكَانَ أَوْلَى مِمَّا كَانَ قَبْلَهُ مِمَّا يُخَالِفُهُ

“Pemberian nama yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada putranya Ibrahim dan ‘Abdullah bin Thalhah sebelum hari ketujuh dan sebelum disembelihnya nasikah (‘aqiqah) bagi masing-masingnya, karena kedua riwayat ini sebagai penghapus hukum (bagi riwayat yang menyebutkan penetapan waktu tasmiyyah/pemberian nama pada hari ketujuh), maka hal ini lebih utama dari apa-apa yang menyelisihinya” (Musykilul-Aatsaar oleh Ath-Thahawiy, 1/456).

Yang benar, waktu pemberian nama adalah fleksibel. Perkataan Ath-Thahawi rahimahullah tidaklah dapat diterima karena dua-duanya merupakan sunnah yang tsabit dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Klaim mansukh tentu saja harus diletakkan apabila masih memungkinkan untuk dijamak. Apalagi dua pendapat tersebut tidaklah bertentangan, namun hanya menunjukkan keragaman saja. Seseorang boleh memberikan nama pada waktu kelahirannya ataupun menundanya hingga hari ketujuh dari kelahirannya. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan satu bab dalam Shahih-nya – yang sekaligus menunjukkan pendapatnya dalam hal ini:

باب تسمية المولود غَداةَ يولَدُ لمن لم يَعقَّ عنه، وتحنيكهِ

“Bab: Pemberian nama bagi bayi segera setelah kelahirannya bagi anak yang tidak diaqiqahi, dan men-tahnik-nya”.

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar atas perkataan Al-Bukhari di atas:

وهو جمع لطيف لم أره لغير البخاري

“Ini adalah cara penggabungan makna yang sangat teliti, dan belum ada yang berpendapat seperti ini selain Al-Bukhari” (Fathul-Baariy, 9/588).

Namun, perkataan Al-Bukhari di atas juga perlu untuk dicermati kembali karena pemberian nama setelah kelahirannya tidaklah mesti dipersyaratkan bagi anak yang tidak diaqiqahi. Hal itu dikarenakan hadits Anas bin Malik ataupun hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhuma di atas tidaklah menunjukkan hal itu. Barangkali setelah dinamai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Abu Musa dan Abu Thalhah menyembelih kambing bagi anaknya di hari ketujuh.

Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata

إن التسمية لما كانت حقيقتها تعريف الشيء المسمى لأنه إذا وجد وهو مجهول الاسم لم يكن له ما يقع تعريفه به فجاز تعريفه يوم وجوده وجاز تأخير التعريف إلى ثلاثة أيام وجاز إلى يوم العقيقة عنه ويجوز قبل ذلك وبعده والأمر فيه واسع

“Sesungguhnya tasmiyyah (pemberian nama) iu pada hakekatnya berfungsi untuk menunjukkan identitas penyandang nama, karena jika ia didapati tanpa nama berarti tidak memiliki identitas yang dengannya ia bisa dikenali. Oleh karena itu, identitasnya boleh diberikan pada hari kelahirannya, boleh juga ditunda pada hari ketiga, atau pada hari aqiqahnya. Boleh juga sebelum atau sesudah hari ‘aqiqahnya. Oleh karena itu, perkara ini adalah luas/lapang” (Tuhfatul-Mauduud, hal. 79).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

وأما التسمية فإن كان الاسم قد أعد من قبل الولادة فلتكن التسمية عند الولادة لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم دخل على أهله ذات يوم وقال ولد لي الليلة ولد وسميته إبراهيم وإن كانت التسمية لم تعد فلتكن في اليوم السابع عند ذبح العقيقة وينبغي للإنسان أن يحسن اسم ابنه واسم ابنته وأحب الأسماء إلى الله أعني أسماء الذكور عبد الله وعبد الرحمن

“Adapun perkara pemberian nama (tasmiyyah), apabila nama anak telah dipersiapkan sebelum kelahirannya, hendaklah pemberian nama dilakukan pada hari kelahirannya. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam pernah masuk ke rumah istrinya pada suatu hari, dan bersabda: “Pada suatu malam aku dianugerahi seorang anak laki-laki dan aku namai ia dengan Ibrahim”. Namun bila nama tersebut belum dipersiapkan (sebelum kelahiran), hendaklah ia menamai anak itu pada hari ketujuh saat penyembelihan hewan ‘aqiqah. Sudah sepatutnya bagi seseorang untuk membaikkan dalam pemberian nama bagi anak-anaknya. Nama paling dicintai oleh Allah – yaitu bagi anak laki-laki – adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman” (Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, juz 8).

Faktor-Faktor Penting ketika Memilih dan Memberikan Nama

1. Nama tersebut diambil dari nama-nama orang shalih dari kalangan para nabi, rasul, dan orang shalih lainnya. Maksudnya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan cara mencintai dan menghidupkan nama mereka, serta melaksanakan apa yang dicintai Allah dengan memilih nama-nama para wali-Nya yang telah membawa agama-Nya.

2. Nama yang singkat, hurufnya sedikit, serta mudah diucapkan dan dihapal.

3. Maknanya bagus, sesuai dengan kondisi orangnya, derajat, agama, dan martabatnya.

Nama-Nama yang Paling Baik

Apabila diurutkan, nama-nama yang paling baik dan disunnahkan untuk diberikan kepada anak Adam berdasarkan nash adalah:

1. ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.

Nama ini adalah nama yang paling dicintai oleh Allah ta’ala berdasarkan hadits:

عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أحب أسمائكم إلى الله عبد الله وعبد الرحمن

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman” (HR. Muslim no. 2132, Abu Dawud no. 4949, At-Tirmidzi no. 2833, Al-Haakim no. 7719, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309, dan yang lainnya).

Di kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat sekitar 300 orang yang bernama ‘Abdullah.

2. Nama yang menunjukkan penghambaan diri terhadap salah satu nama-nama Allah, seperti ‘Abdul-‘Aziz, ‘Abdul-Malik, ‘Abdurrahiim, dan yang lainnya.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

واتفقوا على استحسان الاسماء المضافة الى الله عز وجل كعبد الرحمن وما أشبه ذلك

“Para ulama sepakat tentang baiknya nama-nama yang disandarkan kepada Allah ‘azza wa jalla seperti ‘Abdurrahman dan yang serupa dengannya”.

3. Nama para Nabi dan Rasul, sebab mereka adalah orang-orang yang menjadi pilihan Allah agar menjadi panutan bagi manusia.

عن يوسف بن عبد الله بن سلام رضي الله عنهما قال: سماني النبي صلى الله عليه وسلم يوسف وأقعدني على حجره ومسح على رأسي

Dari Yusuf bin ‘Abdillah bin Salaam radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamaiku Yusuf, mendudukkanku di pangkuannya, dan mengusap-usap kepalaku” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 838; shahih).

عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "ولد لي الليلة غلام. فسميته باسم أبي إبراهيم

Dari Anas bin Maalik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Pada suatu malam aku dianugerahi seorang anak laki-laki dan aku namai ia dengan nama bapakku, Ibrahim” (HR. Muslim no. 2315, Ibnu Hibban no. 2902, dan yang lainnya).

عن أنس قال:.....قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (تسموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي).

Dari Anas ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Pakailah nama dengan namaku (yaitu: Muhammad), namun jangan berkunyah dengan kunyahku” (HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121, 3537; Muslim no. 2131; Ibnu Majah no. 3737; dan yang lainnya).

Tanbih!!

Sebagian orang ada yang memakruhkan untuk menamai anak-anak mereka dengan nama para nabi dengan dasar atsar berikut:

عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: " لا تسموا أحداً باسم نبي "

Dari Amiirul-Mukminiin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Janganlah kalian menamai seorang pun dengan nama para nabi” (HR. Thabaraniy - lihat Fathul-Baariy, 10/572).

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:

وإنما كره عمر ذلك، لئلا يسبب أحد المسمى بذلك فأراد تعظيم الاسم يبتذل في ذلك

“Hanya saja ‘Umar membenci hal tersebut (penamaan dengan nama Nabi), agar seseorang tidak mencaci pemilik nama tersebut. Ia bermaksud untuk mengagungkan nama para Nabi supaya tidak dihinakan” (Fathul-Baariy, 10/579)

Al-Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:

قال أبو بكر بن أبي شيبة في باب ما يكره من الأسماء حدثنا الفضل بن دكين عن أبي جلدة عن أبي العالية تفعلون شرا من ذلك تسمون أولادكم أسماء الأنبياء ثم تلعنونهم وأصرح من ذلك ما حكاه أبو القاسم السهيلي في الروض فقال وكان من مذهب عمر بن الخطاب كراهة التسمي بأسماء الأنبياء

“Telah berkata Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam Baab Nama-Nama yang Dibenci/Dimakruhkan: Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dakiin, dari Jildah, dari Abul-‘Aaliyah: “Kalian melakukan hal yang lebih buruk dari itu. Kalian telah menamai anak-anak kalian dengan nama para nabi, namun kemudian kalian melaknatnya”. Dan yang lebih jelas dari hal itu adalah apa yang dihikayatkan oleh Abul-Qaasim As-Suhailiy dalam kitab Ar-Raudl, ia berkata: Di antara madzhab ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu adalah memakruhkan nama para nabi” (Tuhfatul-Mauduud, hal. 89).

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan alasan ‘Umar:

وصاحب هذا القول قصد صيانة أسمائهم عن الابتذال

“Pemilik perkataan ini (yaitu ‘Umar) bertujuan untuk menjaga nama para nabi dari penghinaan”.

Apa yang dilakukan ‘Umar ini bukanlah hujjah dalam melarang pemakaian nama para nabi dan rasul. Karena telah shahih hadits-hadits sebagaimana di atas tentang kebolehannya.

4. Nama orang-orang shalih dari kalangan kaum muslimin.

عن المغيرة بن شعبة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين قبلهم).

Dari Syu’bah bin Al-Mughiirah ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya mereka dahulu memakai nama para nabi dan orang-orang shalih sebelum mereka” (HR. Muslim no. 2135).

Dalam hal ini, para shahabat adalah penghulu orang-orang shalih setelah para nabi dan rasul bagi kaum muslimin. Berbeda dengan kaum Syi’ah Rafidlah yang membenci mereka, dan bahkan melarang menamai anak-anak mereka dengan nama Khulafaur-Rasyidin selain ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.

Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah menegaskan tentang hal ini:

إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya.” (HR. Ahmad 1/379 no. 3600; hasan).

Shahabat paling utama adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.

Dan inilah shahabat Az-Zubair bin Al-‘Awwaam radliyallaahu ‘anhu yang menamai anak-anaknya – yang berjumlah sembilan orang – dengan nam-nama sebagian syuhadaa’ Badr: ‘Abdullah, Al-Mundzir, ‘Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Khaalid, dan ‘Umar.

5. Nama yang mengandung kebaikan dan sesuai dengan sifat yang sesuai dengan orangnya.

عن أبي وهب الجشمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:... وأصدقها حارث وهمام

Dari Abu Wahb Al-Jusyamiy ia berkata: Telahbersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “…..Nama yang paling benar adalah Haarits dan Hamaam” (HR. Abu Dawud no. 4950 dan Ahmad 3/345 no. 19054; shahih – lihat selengkapnya takhrij hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 904 dan 1040).

Nama-Nama yang Dimakruhkan

Makruh seseorang memberikan nama dengan:

1. Nama yang mengandung arti keberkahan atau yang menimbulkan rasa optimistis.

Fungsinya agar tidak menimbulkan ganjalan hati ketika mereka dipanggil sementara itu yang bersangkutan tidak berada di tempat, sehingga akan dijawab: “Tidak ada”.

Misalnya nama: Aflah (=beruntung), Naafi’ (=bermanfaat), Rabaah (=keuntungan), Yasaar (=kemudahan), dan lain-lain.

Hal itu sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits shahih:

عن سمرة بن جندب. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (أحب الكلام إلى الله أربع: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر. لا يضرك بأيهن بدأت. ولا تسمين غلامك يسارا، ولا رباحا، ولا نجيحا، ولا أفلح، فإنك تقول: أثم هو؟ فلا يكون. فيقول: لا).

Dari Samurah bin Jundub ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Perkataan yang paling dicintai oleh Allah ada empat: Subhaanallaah, alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, dan allaahu akbar. Tidak masalah yang mana di antara kalimat itu akan engkau mulai. Dan janganlah engkau namai anakmu dengan Yasaar, Rabaah, Najiih, dan Aflah. Sebab, engkau nanti akan bertanya: ‘Apakah ia ada di tempat?’. Jika ternyata tidak ada, maka akan dijawab: ‘Tidak ada’” (HR. Muslim no. 2137; Ahmad 5/10 no. 20119, 5/21 20257; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/306).

Maksud hadits ini adalah jika orang tersebut bernama Rabaah (=beruntung), lantas ada seseorang yang mencarinya: “Apakah Rabaah ada di rumah?”. Jika tidak ada, maka akan dijawab: “Rabaah tidak ada di rumah” ( = keberuntungan tidak ada di rumah). Oleh sebab itulah nama ini dimakruhkan.

عن ابن عباس. قال: كانت جويرية اسمها برة. فحول رسول الله صلى الله عليه وسلم اسمها جويرية. وكان يكره أن يقال: خرج من عند برة

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Dulunya Juwairiyyah bernama Barrah (=kebaikan). Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Juwairiyyah. Beliau tidak suka jika dikatakan: “Beliau telah keluar dari Barrah (=kebaikan)[2]” (HR. Muslim no. 2140).

Catatan: Nama Barrah ini juga tidak diperbolehkan karena mengandung tazkiyyah terhadap diri sendiri sebagaimana akan dijelaskan pada nomor 2.

Al-Imam Ibnu Qayyim berkata:

وفي معنى هذا مبارك ومفلح وخير وسرور ونعمة وما أشبه ذلك فإن المعنى الذي كره له النبي صلى الله عليه وسلم التسمية بتلك الأربع موجود فيها فانه يقال أعندك خير أعندك سرور أعندك نعمة فيقول لا فتشمئز القلوب من ذلك وتتطير به وتدخل في باب المنطق المكروه

“Yang termasuk dalam makna ini, seperti nama Mubaarak, Muflih, Khair, Suruur, Ni’mah, dan yang sejenisnya. Makna yang tidak disukai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada empat nama itu juga terkandung dalam nama-nama di atas. Apabila ditanyakan: ‘Apakah Khair (=kebaikan) ada bersamamu?. Apakah Suruur (=kebahagiaan) ada bersamamu?. Apakah Ni’mah (=nikmat) ada bersamamu?’. Jika dijawab: ‘Tidak ada’ – tentu saja jawaban tersebut mengandung kesan yang sangat tidak baik. Terkesan seperti ucapan sial, dan bahkan termasuk dalam katagori ucapan yang tidak disukai” (Tuhfatul-Mauduud, hal. 82).

2. Nama yang mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri.

Misalnya nama: Barrah (=wanita yang baik dan berbakti) dan Mubaarak (=orang yang diberkahi) – padahal boleh jadi ia tidak seperti itu.

عن أبي هريرة: أن زينب كان اسمها برة، فقيل: تزكي نفسها، فسماها رسول الله صلى الله عليه وسلم زينب.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Zainab dulu bernama Barrah. Maka pernah dikatakan padanya: “Ia telah men-tazkiyyah-i (menganggap suci) dirinya sendiri”. Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Zainab (HR. Al-Bukhari no. 6192, Muslim no. 2141, Ibnu Majah no. 3732, Ibnu Hibbaan no. 5830, dan yang lainnya).

Termasuk dalam hal ini adalah nama Iman – sebagaimana banyak dipakai oleh orang Indonesia.[3]

Allah ta’ala telah berfirman:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm: 32).

3. Nama yang berhubungan dengan hawa nafsu.

Nama ini biasanya banyak diberikan kepada anak-anak perempuan, seperti: Ahlaam (=impian), Ariij (=harum semerbak), ‘Abiir (=bau harum/parfum), Ghaadah (=gadis yang lembut), Fitnah (=yang mempunyai daya tarik), Nihaad (=gadis yang montok buah dadanya), Wishaal (=berhubungan badan), Faatin (=mempesona), Syaadiyah, Syaadiy (=biduanita), dan yang lainnya.

4. Nama yang mengandung kesan jelek, baik dalam lafadh ataupun makna.

Misalnya nama: Harb (=perang), Murrah (=pahit), Kalb (=anjing), Hayyah (=ular), Jahsy (=kasar), Baghal (=keledai), dan yang lainnya.

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata:

لا تنبغي التسمية باسم قبيح المعنى، ولا باسم يقتضي التزكية له، ولا باسم معناه السب. ولو كانت الأسماء إنما هي أعلام للأشخاص لا يقصد بها حقيقة الصفة، لكن وجه الكراهة أن يسمع سامع بالاسم فيظن أنه صفة للمسمى، فلذلك كان صلى الله عليه وسلم يحول الاسم إلى ما إذا دعي به صاحبه كان صدقا، وقد غير رسول الله صلى الله عليه وسلم عدة أسماء،

“Tidak sepantasnya memberikan nama dengan nama yang mengandung makna buruk, nama mengandung tazkiyyah (pujian) terhadap diri sendiri, dan nama yang mengandung celaan – sekalipun hanya sekedar untuk pengenal bagi seseorang, tidak dimaksudkan untuk hakekatnya. Tetap saja ada sisi kemakruhannya, yaitu ketika nama itu disebutkan dan orang yang mendengarkan mengira bahwa sifat tersebut memang ada pada si pemilik nama. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama-nama tersebut dengan nama yang sesuai dengan orangnya” (Fathul-Baariy 10/577 – lihat pula Silsilah Ash-Shahiihah 1/427).

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu pernah berkomentar terhadap seseorang yang bernama Khabbiyyah (yang mengandung makna “menyembunyikan barang”) bin Kunaaz (yang mengandung makna “mengumpulkan barang/harta”): “Kami tidak mempunyai hajat dengannya, karena dia telah ‘menyembunyikan barang’ dan bapaknya telah ‘mengumpulkannya’ – sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Mu’talafu wal-Mukhtalaf 4/1965 oleh Ad-Daaruquthniy.

5. Nama orang-orang fasiq, seperti para pelawak, pelukis/pematung, pemusik, dan yang sejenisnya.

6. Nama yang menunjukkan dosa dan maksiat.

Misalnya nama: Dhaalim bin Sarraaq (=orang lalim anaknya pencuri). Ada sebuah riwayat bahwasannya ‘Utsmaan bin Abil-‘Ash penah membatalkan pelantikan seorang pejabatnya saat mengetahui bahwa ia mempunyai nama itu. Hal itu sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Ma’rifah wat-Taariikh 3/201 oleh Al-Fasawiy.

7. Nama orang-orang yang dhalim/sewenang-wenang dan diktator.

Misalnya nama: Fir’aun, Qaaruun, Haamaan, Abrahah, dan yang lainnya.

8. Nama dengan kata benda, atau mashdar dan shifat musyabbah (yang menunjukkan paling) yang disandarkan kepada diin (agama) atau Islaam.

Misalnya nama: Nuuruddiin (=cahaya agama), Dliyaa’uddin (=penerang agama), atau Saiful-Islam (=pedang Islam). Hal ini disebabkan besarnya kedudukan kata dien dan Islaam dalam syari’at. Menggabungkan sebuah nama dengan dua kata ini mengarah pada klaim dusta. Oleh sebab itu sebagian ulama mengharamkan[4], namun jumhur mengatakan makruh.

Adalah An-Nawawi rahmahullahu ta’ala membenci laqab (julukan) Muhyiddin yang disandarkan kepada. Begitu pula Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu ta’ala yang membenci laqab: Taqiyyuddin, dimana beliau berkata: {لكن أهلي لقبوني بذلك فاشتهر} “Namun keluargaku lah yang memberi laqab kepadaku, yang dengan itu menjadi masyhur”.

Nama jenis ini juga termasuk nama yang mengandung tazkiyyah terhadap diri sendiri sebagaimana dijelaskan pada nmor 2 di atas.

9. Nama yang terdiri dari dua kata dobel.

Misalnya nama: Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’iid, dan yang lainnya. Penamaan seperti ini tidak dikenal dari ulama salaf, dimana hal ini hanya muncul dari kalangan orang-orang belakangan.

10. Nama-nama malaikat.

Sebagian ulama membenci penamaan seseorang dengannama-nama malaikat, seperti Jibriil, Miikaaiil, Israafiil. Adapun menamakan anak perempuan dengan nama malaikat, maka sangat jelas keharamannya. Sebab, hal itu menyerupai orang-orang musyrikin yang meyakini baha para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah ta’ala.

11. Nama surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an.

Misalnya nama: Yaasiin dan Thaahaa. Adapun yang disebutkan oleh sebagian orang awam bahwa Yaasiin dan Thaahaa termasuk nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalahkeyakinan yang keliru. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatul-Mauduud hal. 88.

12. Nama orang-orang ‘Ajam yang sulit diucapkan oleh lisan orang ‘Arab.

Misalnya nama: Niifiin, Dony, Bambang, dan lain-lain.

Nama-Nama yang Diharamkan

Diharamkan bagi seseorang memberikan nama dengan:

1. Nama yang mengandung penghambaan kepada selain Allah.

Para ulama telah sepakat tentang keharamannya.

عن هانئ بن يزيد رضي الله عنه:....وسمع النبي صلى الله عليه وسلم يسمون رجلا منهم عبد الحجر فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ( ما اسمك ؟ ) قال: عبد الحجر قال: ( لا أنت عبد الله )

Dari Haani bin Yaziid radliyallaahu ‘anhu: “…Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar mereka memanggil salah seorang di antara mereka dengan nama ‘Abdul-Hajar (=hamba batu). Lalu Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah namamu?”. Laki-laki itu menjawab: “’Abdul-Hajar”. Beliau bersabda: “Gantilah namamu dengan ‘Abdullah (=hamba Allah)” (Al-Adabul-Mufrad no. 811; shahih).

Dari sini muncul kekeliruan dalam menisbatkan penghambaan terhadap nama-nama yang dianggap sebagai nama Allah, padahal bukan nama Allah; seperti: ‘Abdul-Mu’iz, ‘Abdus-Sattar, ‘Abdul-Ma’buud, dan yang lainnya.

2. Nama-nama Allah.

Seperti memberi nama dengan nama: Ar-Rahmaan, Al-Khaaliq, Al-‘Aziiz, Ar-Rahiim, dan yang semisalnya.

Allah ta’ala berfirman:

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Apakah engkau mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patutu disembah)” (QS. Maryam: 65).

Yaitu tidak seorang pun yang berhak menyandang nama yang serupa dengan namanya, yaitu Ar-Rahmaan (lihat Tafsir Al-Qurthubiy 11/130).

Masih dalam riwayat Haani bin Yaziid radliyallaahu ‘anhu sebagaimana di atas:

فسمعهم النبي صلى الله عليه وسلم وهم يكنونه بأبي الحكم فدعاه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ( إن الله هو الحكم وإليه الحكم فلم تكنيت بأبي الحكم ؟ ) قال: لا ولكن قومي إذا اختلفوا في شيء أتوني فحكمت بينهم فرضي كلا الفريقين قال: ( ما أحسن هذا ) ثم قال: ( مالك من الولد ؟ ) قلت: لي شريح وعبد الله ، ومسلم بنو هانئ ، قال: ( فمن أكبرهم ؟ ) قلت: شريح قال: ( فأنت أبو شريح )

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada di antara mereka yang berkunyah Abul-Hakam. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Hakam, dan Dial ah yang berhak menetapkan hukum. Apakah engkau berkunyah Abul-Hakam?”. Ia menjawab: “Tidak. Namun kaumku bila berselisih pada satu permasalahan, mereka mendatangiku. Kemudian aku menghukumi apa yang mereka perselisihkan itu, dan akhirnya mereka ridla dengan keputusanku itu. Beliau bersabda: “Betapa baik apa yang kamu lakukan itu”. Beliau melanjutkan: “Apakah engkau memiliki anak?”. Aku menjawab: “Ada tiga orang: Syuraih, ‘Abdullah, dan Muslim - Bani Haani”. Beliau bertanya: “Siapa yang paling besar/tua di antara mereka?”. Aku menjawab: Syuraih”. Beliau bersabda: “Gantilah kunyahmu dengan Abu Syuraih”.

3. Nama Malikul-Muluk, Sulthaanus-Salaathiin, dan Syaahin Syaah.

عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (إن أخنع اسم عند الله رجل تسمى ملك الأملاك)

زاد ابن أبي شيبة في روايته (لا مالك إلا الله عز وجل).

قال الأشعثي: قال سفيان: مثل شاهان شاه.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah Malikul-Amlaak (=Raja Diraja)”.

Pada riwayat Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan: “Tidak ada Raja selain Allah”.

Al-A’masy berkata: “Hal yang semisal dengan itu adalah nama Syaahaan-Syaah” (HR. Al-Bukhari no. 6205-6206, Muslim no. 2143, dan yang lainnya).

4. Nama Sayyidun-Naas, Sayyidul-Kul, Sittul-Kul, dan yang sejenisnya.

Hal yang sama, diharamkan pula memberi nama dengan nama Sayyidu Waladi Adam untuk selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

5. Nama berhala yang disembah selain Allah.

Misalnya nama: Latta, ‘Uzza, Manath, Isaaf, Naailah, Hubal, Buddha, Syiwa, dan yang lainnya.

6. Nama orang-orang Arab yang merupakan ciri khas orang kafir.

Misalnya nama: Petrus, Pieter, Georgeus, George, Paulus, dan yang semisal. Menamakan seseorang dengan nama-nama ini merupakan perbuatan mem-bebek dan tasyabbuh terhadap kuffar.

عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن تشبه بقوم فهو منهم

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhaa ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut” (HR. Ahmad 2/50 no. 5114-5115, 2/92 no. 5667).

7. Nama-nama iblis, jin, dan syaithan.

Misalnya nama: Khinzab, ‘Ifrit, dan semisalnya.

Sangat Dianjurkan untuk Merubah/Mengganti Nama-Nama yang Buruk

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyenangi nama-nama yang bagus/baik dan membenci nama-nama yang buruk. Termasuk sunnah dalam hal ini adalah merubah nama-nama yang buruk dan diganti dengan nama-nama yang bagus/baik.

عن ابن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير اسم عاصية، وقال (أنت جميلة).

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama ‘Aashiyyah (=pelaku maksiat), dan bersabda: “Namamu Jamiilah (indah)” (HR. Muslim no. 2139).

عن أسامة بن أخدريٍّ: أن رجلاً يقال له أصرم كان في النفر الذين أتوا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "ما اسمك؟" قال: أنا أصرم، قال: "بل أنت زرعة".

Dari Usamah bin Akhdariy: Bahwasannya seorang laki-laki bernama Ashram (=tandus) dan ia termasuk salah seorang yang datang menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah namamu?”. Ia menjawab: “Ashram”. Maka beliau bersabda: “Gantilah namamu dengan Zur’ah (=subur)” (HR. Abu Dawud 4954 dan Al-Haakim no. 7729, ; shahih).

عن هانئ بن هانئ عن على رضي الله عنه قال: لما ولد الحسن سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسن فلما ولد الحسين سميته حربا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قال قلت حربا قال بل هو حسين فلما ولد الثالث سميته حربا فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال أروني ابني ما سميتموه قلت حربا قال بل هو محسن قال سميتهم بأسماء ولد هارون شبر وشبير ومشبر

Dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Ali radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Ketika Al-Hasan lahir, aku member nama Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda: “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya?”. Aku berkata: “Harb”. Beliau bersabda: “Gantilah namanya Hasan”. Ketika Al-Husain lahir, aku pun kembali menamainya Harb. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda: “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya?”. Aku berkata: “Harb”. Beliau bersabda: “Gantilah namanya Husain”. Ketika anakku yang ketiga lahir, kembali aku namakan Harb. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda: “Coba bawa kemari cucuku, dan siapakah namanya?”. Aku berkata: “Harb”. Beliau bersabda: “Gantilah namanya Muhsin”. Beliau meneruskan: “Sesungguhnya aku memberi nama mereka dengan nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabiir, dan Musyabbir” (HR. Ahmad 1/98 no. 769, Haakim no. 4773, Al-Baihaqi 6/166, dan yang lainnya; hasan).

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata:

وغيَّر النبي صلى اللّه عليه وسلم اسم العاص وعزيز وعتلة وشيطان والحكم وغراب وحباب وشهاب فسماه هشاماً، وسمى حرباً سلماً، وسمى المضطجع المنبعث، وأرضاً تسمى عَفِرَةَ سماها خضرة، وشعب الضلالة سماه شعب الهدى، وبنو الزِّنية سماهم بني الرشدة، وسمى بني مغوية بني رشدة.

قال أبو داود: تركت أسانيدها للاختصار.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengubah nama Al-‘Aash, ‘Aziiz, ‘Atlah, Syaithaan, Al-Hakam, Ghuraab, Hubaab, dan Syihaab dan menggantinya dengan nama Hisyaam. Beliau mengganti nama Harb menjadi Silm dan Al-Mudlthaji’ menjadi Al-Munba’its. Begitu pula beliau mengganti nama tempat di muka bumi yang bernama ‘Afirah menjadi Khadlirah, Syi’abudl-Dlalaalah menjadi Syi’abul-Hudaa, Banu Az-Zinyah menjadi Banu Ar-Risydah, dan Banu Mughwiyyah menjadi Banu Rusydah”. Abu Dawud berkata: Aku buang sanad-sanadnya untuk memperingkas” (Shahih Sunan Abi Daawud 3/217; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H).

Larangan Memberikan Laqab (Gelar) yang Jelek

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim” (QS. Al-Hujuraat: 11).

عن أبي جبيرة بن الضحاك قال: فينا نَزلتْ - في بنى سلمة - ( وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ ) قال: قَدِمَ عَلينَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليسَ مِنَّا رَجُلٌ إلا لَه اسمَانِ ، فَجَعَل النَّبيُ صلى الله عليه وسلم يَقولُ: ( يَا فُلان ) فَيقولُونَ يا رسول الله إِنَّهُ يَغضَبُ مِنهُ

Dari Abu Jubairah bin Adl-Dlahhaak ia berkata: “Firman Allah ta’ala: walaa tanaabazuu bil-alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah”. Ia kembali berkata: “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi kami, tidaklah seorang pun di antara kami melainkan mempunyai dua nama. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Fulan”. Maka mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah (dipanggil dengan nama itu”[5] (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 330, Abu Dawud no. 4962, Ibnu Majah no. 3741, dan yang lainnya; shahih).

Haram hukumnya memberikan laqab (gelar) yang buruk dan saling memanggil dengannya. Jika laqab tersebut mengandung pujian (yang tidak berlebihan) dan orang tersebut menyukainya, maka diperbolehkan. Ini dapat dibuktikan dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan laqab (gelar) kepada beberapa orang shahabat, seperti Amiinul-Ummah kepada Abu ‘Ubaidah, Dzul-Janaahain kepada Ja’far bin Abi Thaalib, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.

Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata:

واتفق العلماء على تحريم تلقيب الإِنسان بما يكره، سواء كان له صفة؛ كالأعمش، والأجلح، والأعمى، والأعرج، والأحول، والأبرص، والأشج، والأصفر، والأحدب، والأصمّ، والأزرق، والأفطس، والأشتر، والأثرم، والأقطع، والزمن، والمقعد، والأشلّ، أو كان صفة لأبيه أو لأمه أو غير ذلك مما يَكره‏.‏ واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك‏.‏‏

“Para ulama sepakat diharamkannya memberikan laqab (gelar) pada seseorang dengan gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya seperti: Al-A’masy (si rabun), Al-Ajlah (si botak), Al-A’maa (si buta), Al-A’raj (si pincang), Al-Ahwal (si juling), Al-Abrash (yang mengidap penyakit kusta), Al-Asyaj (yang kepalanya luka), Al-Ashfar (si kuning), Al-Ahdab (si bungkuk), Al-Asham (si bisu), Al-Azraq (si biru), Al-Afthasy (si pesek), Al-Asytar (si cacat), Al-Asyram (si sumbing), Al-Aqtha’ (si buntung), Az-Zaman (si pengidap penyakit yang tidak akan sembuh), Al-Maq’ad (yang selalu duduk), dan Al-Asyal (si lumpuh); atau menjulukinya dengan sifat ibu atau bapaknya atau julukan lainnya yang tidak ia senangi. Namun para ulama sepakat tentang kebolehan memberikan laqab (julukan) seperti itu jika seseorang tidak dikenal melainkan dengan laqab tersebut” (Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy, 2/342; Maktabah Nizaari Mushthafa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H).

Memberi Kunyah kepada Anak Kecil

Diperbolehkan memberikan kunyah kepada anak keci, sebagaimana tertera dalam hadits:

عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا وكان لي أخ يقال له أبو عمير قال أحسبه قال كان فطيما قال فكان إذا جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فرآه قال أبا عمير ما فعل النغير قال فكان يلعب به

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil Abu ‘Umair yang aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya: “Wahai Abu ‘Umair, apa yang terjadi pada An-Nughair (si burung pipit kecil)?”. Waktu itu ia sedang bermain dengan nughair” (HR. Al-Bukhari no. 6129,6203; Muslim no. 2150; Abu Dawud no. 4969; At-Tirmidzi no. 333,1989; Ibnu Majah no. 3720; Ibnu Hibbaan no. 2308, 2506; dan yang lainnya).

Boleh Ber-Kunyah Walaupun Belum/Tidak Mempunyai Anak

Mari kita simak hadits Shuhaib berikut ini:

قال عمر لصهيب: أي رجل أنت, لولا خصال ثلاث فيك! قال: و ما هن? قال: اكتنيت و ليس لك ولد, و انتميت إلى العرب و أنت من الروم, و فيك سرف في الطعام. قال: أما قولك: اكتنيت و لم يولد لك, فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم كناني أبا يحيى, و أما قولك: انتميت إلى العرب و لست منهم, و أنت رجل من الروم. فإني رجل من النمر بن قاسط فسبتني الروم من الموصل بعد إذ أنا غلام عرفت نسبي, و أما قولك: فيك سرف في الطعام, فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: خياركم من أطعم الطعام

 ‘Umar pernah berkata kepada Shuhaib: “Engkau adalah laki-laki yang sempurna, jika saja tidak ada tiga hal pada dirimu”. Shuhaib berkata: “Apakah itu?”. ‘Umar menjawab: “(1) Engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak, (2) engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi, dan (3) padamu ada kelebihan makanan”. Shuhaib berkata: “Adapun ucapanmu - engkau memakai kunyah padahal engkau tidak mempunyai anak -, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberiku kunyah Abu Yahyaa. Adapun ucapanmu – engkau menggolongkan diri ke dalam bangsa ‘Arab padahal engkau orang Romawi -, maka sebenarnya aku laki-laki dari An-Namr bin Qaasith. Lalu orang Rowawi dari Al-Mushil menawanku, ketika itu aku adalah anak kecil yang telah tahu nasabku. Adapun ucapanmu – padamu ada kelebihan makanan -, maka aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang memberi makanan” (HR. Ibnu Majah no. 3738, Ahmad 6/16 no. 23971, Al-Haakim no. 5701, dan yang lainnya – lihat Silsilah Ash-Shahiihah 1/109-111 no. 44).

Setelah membawakan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani berkata:

مشروعية الاكتناء, لمن لم يكن له ولد, بل قد صح في البخاري و غيره أن النبي صلى الله عليه وسلم كنى طفلة صغيرة حينما كساها ثوبا جميلا فقال لها: هذا سنا يا أم خالد, هذا سنا يا أم خالد ". و قد هجر المسلمون لاسيما الأعاجم منهم هذه السنة العربية الإسلامية, فقلما تجد من يكتني منهم و لو كان له طائفة من الأولاد, فكيف من لا ولد له? و أقاموا مقام هذه السنة ألقابا مبتدعة, مثل: الأفندي, و البيك, و الباشا, ثم السيد, أو الأستاذ, و نحو ذلك مما يدخل بعضه أو كله في باب التزكية المنهي عنها في أحاديث كثيرة. فليتنبه لهذا.

“Disyari’atkannya berkunyah bagi orang yang belum memiliki anak. Bahkan telah shahih dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan selainnya bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi kunyah pada gadis kecil ketika beliau memakaikan baju kepadanya. Beliau berkata kepada anak itu: “Ini bagus wahai Ummu Khaalid, ini bagus wahai Ummu Khaalid”. Kaum muslimin, terlebih lagi orang-orang ajam (non-‘Arab) dari kalangan mereka telah meninggalkan sunnah ‘Arabiyyah Islamiyyah ini. Maka jarang sekali engkau dapatkan dari mereka yang memakai kunyah walaupun ia memiliki banyak anak. Lalu bagaimana lagi keadaannya orang yang tidak mempunyai anak? (tentu lebih jauh dari ber-kunyah). Mereka menggantikan tempat sunnah ini dengan gelar-gelar yang mereka ada-adakan seperti Al-Affandi, Al-Beik, Al-Baasyaa, As-Sayyid, Al-Ustadz, dan yang semisalnya dari gelar-gelar yang sebagian atau seluruhnya masuk dalam bab tazkiyyah yangdilarang dalam banyak hadits. Maka perhatikanlah ini!!” (Silsilah Ash-Shahiihah, 1/110-111).

Catatan: Khusus dua gelar – yaitu Al-Ustadz dan As-Sayyid – yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Albani di atas memerlukan perincian. Untuk gelar Al-Ustadz, apabila ini diberikan kepada yang berhak sebagai satu penghormatan, maka tidak mengapa. Banyak nukilan dari ulama salaf tentang ini. Misalnya saja Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahih-nya no. 312 mengatakan:

أخبرنا الأستاذ أبو عثمان إسماعيل بن عبد الرحمن الصابوني أخبرنا أبو طاهر.....

“Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Ustaadz Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin ‘Abdirrahman Ash-Shaabuuniy: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir….”.

Al-Imam An-Nawawiy berkata dalam Syarh Shahih Muslim:

وفيه قول الأستاذ أبي إسحاق الاسفرايني الذي قدمناه في الفصول أنه لا يحتج به،

“Dan di padanya terdapat perkataan Al-Ustaadz Abu Ishaaq Al-Isfiraayiniy yang telah kami sebutkan terdahulu dalam Al-Fushuul bahwasannya ia tidak berhujjah dengannya”.

Dan masih banyak yang lainnya.

Adapun tentang gelar As-Sayyid, maka akan dibahas pada uraian selanjutnya insya Allah.

Ber-kunyah dengan Abul-Qaasim

Tentang pemakaian kunyah Abul-Qasim, terjadi khilaf di antara ulama’.

1. Asy-Syafi’iyyah dan Adh-Dhahiriyyah berpendapat tidak bolehnya berkunyah Abul-Qaasim secara mutlak, baik nama orang yang bersangkutan Muhammad, Ahmad, atau yang lainnya. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

تسموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي

“Pakailah nama dengan namaku dan jangan kalian berkunyah dengan kunyahku” (HR. Al-Bukhari no. 2120,2121,3537; Muslim no. 2131; Abu Dawud no. 4965; At-Tirmidzi no. 2841; Ibnu Majah no. 3736; Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir 9/388; dan yang lainnya).

2. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa larangan menggunakan kunyah Abul-Qaasim hanyalah khusus bagi mereka yang bernama Muhammad atau Ahmad saja. Bagi yang tidak bernama ini, maka boleh baginya ber-kunyah Abul-Qaasim. Hal ini didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

من تسمى باسمي فلا يتكنى بكنيتي، ومن تكنى بكنيتي فلا يتسمى باسمي

“Barangsiapa memiliki nama seperti namaku, maka jangan berkunyah dengan kunyahku. Dan barangsiapa yang berkunyah dengan kunyahku, maka jangan ia memakai namaku” (HR. Abu Dawud no. 4966; Ahmad 2/455 no. 9863, 3/313 no. 14396; dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/309).

Hadits ini munkar. Hadits ini diriwayatkan oleh Jaabir dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma. Dari jalan Jaabir, maka status riwayatnya adalah munkar. Cacatnya ada pada Abuz-Zubair, ia seorang mudallis yang meriwayatkan secara ‘an’anah. Selain itu, ia telah menyalahi tiga perawi tsiqah lainnya. Adapun dari Abu Hurairah, maka ia lemah karena kelemahan Syariik. Ia seorang yang jelek hafalannya (sayyi’ul-hifdhiy).

Kesimpulannya, hadits ini adalah dla’if sehingga tidak bisa dipakai untuk berdalil. Wallaahu ‘alam.

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تجمعوا بين اسمي وكنيتي فإني أنا أبو القاسم الله عز وجل يعطي وأنا أقسم

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yang memberi dan akulah yang membagi” (HR. Ahmad 2/433 no. 9596; Ibnu Hibban no. 5814, 5817; dan yang lainnya – shahih).

Hadits ini memberikan mafhum bahwa jika tidak mengumpulkan antara nama dan kunyah adalah diperbolehkan.

3. Malikiyyah dan jumhur ulama mengatakan kebolehannya secara mutlak. Adapun larangan dalam hadits telah mansukh dengan dalil sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ما الذي أحل اسمي وحرم كنيتي أو ما الذي حرم كنيتي وأحل اسمي

“Apakah gerangan yang membolehkan memakai namaku, namun mengharamkan kunyahku?” (HR. Abu Dawud no. 4968; Ahmad 6/135 no. 25084, 6/209 no. 25788; Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/310,

Namun hadits ini adalah dla’if munkar. Cacatnya terletak pada perawi Muhammad bin ‘Imraan Al-Hajabiy. Tidaklah ia diketahui melainkan dari hadits ini saja. Nakarah (pengingkaran) akan riwayat ini juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 3/673. Di sini ia menyelisihi riwayat Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Hajabiy. Lihat takhrij Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Musnad Al-Imam Ahmad 41/490-491.

Mereka juga berpendapat bahwa kunyah Abul-Qaasim ini telah masyhur dan ada semenjak dahulu tanpa adanya pengingkaran.

4. Ibnu Jarir yang berpendapat bahwa hadits tersebut tidak mansukh, namun pelarangan yang terkandung dalam hadits hanyalah berderajat makruh saja. (bukan haram).

5. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya berlaku di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Adapun setelah beliau wafat, maka boleh berkunyah dengan Abul-Qaasim. Mereka berdalil dengan riwayat:

عن أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم في السوق فقال رجل يا أبا القاسم فالتفت إليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال إنما دعوت هذا فقال النبي صلى الله عليه وسلم سموا باسمي ولا تكنوا بكنيتي

Dari Anas ia berkata: Pernah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di pasar. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memanggil: ‘Hai, Abul-Qaasim!’. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya. Ia pun berkata kepada beliau: ‘Sesungguhnya aku hanya bermaksud memanggil orang ini’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pakailah namaku, namun jangan berkunyah dengan kunyahku” (HR. Al-Bukhari no. 2120, 2121; Muslim no. 2131; Ibnu Majah no. 3737, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/308-309; dan yang lainnya).

Tarjih:

Yang terkuat di sini – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang mengatakan haramnya berkunyah Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad atau Ahmad. Hal ini didukung oleh hadits:

عن جابر بن عبد الله أن رجلا من الأنصار ولد له غلام فأراد أن يسميه محمدا فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله فقال أحسنت الأنصار سموا باسمي ولا تكتنوا بكنيتي

Jabir berkata: Lahir anak laki-laki dari seorang Anshar lalu ia beri nama Muhammad. Maka berkata Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Alangkah bagusnya orang-orang Anshar. Mereka menamakan dengan namaku dan tidak berkunyah dengan kunyahku. Hanya saja aku adalah Qaasim (pembagi), aku membagi diantara kalian. Maka berilah nama dengan namaku dan janganlah berkunyah dengan kunyahku” (HR. Muslim no. 2133).

Diperkuat lagi oleh hadits ‘Ali radliyallaahu ‘anhu:

عن علي بن أبي طالب أنه قال: يا رسول الله أرأيت إن ولد لي بعدك أسميه محمدا وأكنيه بكنيتك قال نعم قال فكانت رخصة لي

Dari ‘Ali bin Abi Thaalib ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika lahir seorang anak laki-laki bagiku setelah engkau wafat yang aku namai ia dengan Muhammad dan aku beri ia kunyah dengan kunyah-mu?. Beliau menjawab: “Ya, boleh”. ‘Ali berkata: “Hal itu merupakan rukhshah bagiku”. (HR. Abu Dawud no. 4967, At-Tirmidzi no. 2843, Al-Baihaqi dalam Al-Kabiir 3/309, Abu Ya’la no. 303, dan yang lainnya; shahih).

Perkataan ‘Ali: “Hal itu merupakan rukhshah bagiku” mengandung faedah bahwa asal keharaman bagi apa yang ‘Ali minta ijin dengannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; yaitu memberi nama Muhammad dan memberikan kunyah Abul-Qaasim (kunyah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam) kepada anaknya. Hal ini selaras dengan hadits: “Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku”.

Ini merupakan pendapat pertengahan di antara pendapat-pendapat yang disebutkan di atas.

Adapun perkataan ‘Ali: { بعدك} “setelah engkau wafat” ; mengandung faedah bahwa larangan ber-kunyah dengan Abul-Qaasim bagi orang yang bernama Muhammad/Ahmad hingga saat ini (tidak terbatas pada waktu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja).

Hukum Memberi Nama Sayyid

عن مطرِّف قال: قال أبي: انطلقت في وفد بني عامر إلى رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فقلنا: أنت سيدنا، فقال: "السَّييِّد اللّه (تبارك وتعالى)" قلنا: وأفضلنا فضلاً وأعظمنا طَوْلاً، فقال: "قولوا بقولكم أو بعض قولكم ، ولا يستجرينكم الشيطان".

Dari Mutharrif, ia berkata: Telah berkata bapakku: Aku dan Bani ‘Aamir pergi menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata kepada beliau: “Engkau adalah Sayyid kami”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “As-Sayyid itu hanyalah Allah tabaaraka wa ta’aalaa”. Kami berkata: “Kami hanyalah ingin mengutamakan dan mengagungkan orang yang memang punya keutamaan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah dengan ucapanmu atau sebagian ucapanmu itu. Namun janganlah sampai kalian jadikan syaithan sebagai penolongnya” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 211; Abu Dawud no. 4806; Ahmad no. 4/24 16350, 4/25 no. 16359; An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 10076; Ibnu ‘Asaakir 4/71; dan Adl-Dliyaa’ no. 444 – shahih).

Sebagian ulama menggunakan hadits di atas sebagai dalil tidak diperbolehkannya penggunaan kata Sayyid secara mutlak. Namun pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena ada beberapa riwayat yang menunjukkan diperbolehkannya menyebut Sayyid kepada seseorang. Diantaranya:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: لما نزلت بنو قريظة على حكم سعد، هو ابن معاذ، بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان قريبا منه، فجاء على حمار، فلما دنا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (قوموا إلى سيدكم)

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu: Ketika Banu Quraidhah menyerahkan penetapan hukum kepada Sa’d bin Mu’adz, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya agar menghadap kepada beliau, dimana posisinya tidak jauh dari beliau. Sa’d pun datang dengan mengendarai keledai. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdirilah menuju Sayyid kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3043; Muslim no. 1768; Abu Dawud no. 5215; dan Ahmad 3/22 no. 11184 3/71 no. 11698).

عن أبي بكرة قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر، والحسن بن علي إلى جنبه، وهو يقبل على الناس مرة وعليه أخرى، ويقول: (إن ابني هذا سيد، ولعل الله أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين).

Dari Abu Bakrah ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya. Beliau menghadap kepada orang-orang sekali, dan di kali lain beliau menghadap kepada Al-Hasan. Hingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin” (HR. Al-Bukhari no. 2704 dan Ahmad 5/44 no. 20466, 5/51 20535)

Cara mengkompromikan hadits-hadits di atas adalah membawa dalil pelarangan memberikan/menggunakan nama Sayyid apabila menggunakan alif dan laam (yaitu As-Sayyid), namun diperbolehkan jika tidak menggunakan alif-laam (yaitu Sayyid) jika disandarkan kepada kaum tertentu atau negara tertentu. Seperti: Sayyidul-Qaum, Sayyid Ahli Balad, dan yang lainnya. Panggilan As-Sayyid (dengan alif laam) hanya khusus diperuntukkan kepada Allah. Wallaahu a’lam.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata ketika menjelaskan QS. Aali ‘Imraan ayat 39:

ففيه دلالة على جواز تسمية الإنسان سيدا كما يجوز أن يسمى عزيزا أو كريما

“Ayat di atas menunjukkan diperbolehkannya menamakan seseorang dengan Sayyid sebagaimana diperbolehkan untuk memberikan nama ‘Aziiz, Kariim,….” (Tafsir Al-Qurthubiy, 4/77, tahqiq: Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423 H).

Kebolehan ini ditambahkan syarat, jika memang orang tersebut layak dan pantas menerima nama/julukan tersebut. Dilarang memberikan gelar atau memanggil orang fasiq, penggemar maksiat, atau ahli bid’ah.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( لا تقولوا للمنافق سيد ن فإنه إن يك سيدكم فقد أسخطتم ربكم عز وجل )

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian memanggil orang munafiq dengan panggilan Sayyid (tuan). Karena sekalipun ia seorang tuan kalian (dalam hal-hal urusan dunia), tapi kalian telah membuat marah Rabb kalian ‘azza wa jalla” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 760, Abu Dawud no. 4977, dan Ahmad 5/346-347; shahih).

Memberi Nama atau Memanggil kepada Seseorang/Anak dengan Nama Allah Seperti Kariim, ‘Aziiz, Lathiif, dan yang Semisal

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:

التسمي بأسماء الله عز وجل يكون على وجهين الوجه الأول أن يحلى بال أو يقصد بالاسم ما دل عليه من صفة ففي هذه الحال لا يسمى به غير الله كما لو سميت أحداً بالعزيز والسيد والحكيم وما أشبه ذلك فإن هذا لا يسمى به غير الله لأن أل هذه تدل على لمح الأصل وهو المعنى الذي تضمنه هذا الاسم وكذلك إذا قصد بالاسم وإن لم يكن محلا بال إذا قصد بالاسم معنى الصفة فإنه لا يسمى به ولهذا غير النبي صلى الله وسلم كنية أبي الحكم التي تكنى بها لأن أصحابه يتحاكمون إليه فقال النبي عليه الصلاة والسلام إن الله هو الحكم وإليه الحكم ثم كناه بأكبر أبنائه شريح كناه بأبي شريح فدل ذلك على أنه إذا تسمى أحد باسم من أسماء الله ملاحظا بذلك معنى الصفة التي تضمنها هذا الاسم فإنه يمنع لأن هذه التسمية تكون مطابقة تماما لأسماء الله سبحانه وتعالى أما الوجه الثاني فهو أن يتسمى باسم غير محلا بال ولا مقصود ولا مقصود به معنى الصفة فهذا لا بأس به مثل الحكم وحكيم ومن أسماء بعض الصحابة حكيم بن حزام الذي قال له النبي عليه الصلاة والسلام لا تبع ما ليس عندك وهذا دليل على إنه إذا لم يقصد بالاسم معنى الصفة فإنه لا بأس به لكن في مثل جبار لا ينبغي أن يتسمى به وإن كان لم يلاحظ الصفة وذلك لأنه قد يؤثر في نفس المسمى فيكون معه جبروت وعلو واستكبار على الخلق فمثل هذه الأشياء التي قد تؤثر على صاحبها ينبغي للإنسان أن يتجنبها والله أعلم.

“Memberi nama dengan nama Allah ‘azza wa jalla memiliki dua sisi:

Pertama, Penyebutan nama dengan menggunakan huruf alif dan laam atau bertujuan dengan pemberian nama itu untuk menunjukkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut; maka yang demikian tidak diperbolehkan diberikan kepada selain Allah. Seperti halnya engkau memberikan nama kepada seseorang dengan nama Al-‘Aziiz, As-Sayyid, Al-Hakiim, dan yang seruap dengan itu. Lasannya karena dengan adanya penambahan Alif dan Laam berarti menunjukkan kepada asal dari makna yang terkandung dalam nama tersebut.

Begitu juga jika bertujuan untuk menunjukkan sifat, walaupun tidak menggunakan alif laam. Nama seperti ini tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Oleh karena itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti kunyah Abul-Hakam karena teman-temannya selalu meminta putusan hukum kepadanya. Nabi ‘alaihish-shalaatu was-salaam: “Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan hanya Dia-lah yang berhak enetapkan hukum”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya kunyah dengan nama anaknya yang paling besar yang bernama Syuraih. Ini menunjukkan apabila seseorang memiliki nama dengan salah satu nama Allah yang mengandung makna sifat (sengaja disesuaikan dengan sifat, pekerjaan, atau keadaan), maka hal itu dilarang oleh syari’at. Sebab, dengan begitu ada kesan mencocok-cocokkan (berusaha menyesuaikan) antara nama dengan penyandaran.

Kedua, menamai dengan nama-nama Allah tanpa didahului oleh huruf alif dan laam, serta tidak bermaksud menyesuaikan dengan makna sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Hal ini diperbolehkan seperti nama: Al-Hakam dan Hakiim. Di antara shahabat ada yang benama Hakiim bin Hizaam, salah seorang shahabat yang Rasulullah ‘alaihish-shalaatu was-salaam pernah berkata kepadanya: “Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu”. Hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai nama tersebut selama penamaan itu tidak bermaksud untuk menetapkan makna sifat yang terkadung di dalamnya. Tetapi, ada nama Allah lainnya yang tidak pantas untuk dijadikan sebagai nama manusia seperti Jabbar, meskipun tidak bermaksud untuk menetapkan makna sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Karena bisa jadi nama itu mempengaruhi diri orangnya sehingga dirinya menjadi orang yang sombong, angkuh, dan takabbur terhadap orang lain. Oleh karena itu, sepantasnya seorang muslim tidak memakai nama seperti ini. Wallaahu a’lam (Fataawaa Nuur ‘alad-Darb, juz 1).

Apa yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tentang kebolehan menggunakan nama Allah jika tanpa di awali alif dan laam dikuatkan oleh firman Allah ta’ala:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan (Rauf) lagi penyayang (Rahiim) terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128)

Pada ayat di atas Allah ta’ala telah menisbatkan sebagian nama-Nya – sekaligus sifat-Nya – kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Rauf dan Rahiim (dengan tanpa huruf alif dan laam).

Wallaahu ta’ala a’lam.

Oleh: Abul-Jauzaa’ Dony Arif Wibowo

(Ciomas Permai, Rabi’uts-Tsaniy 1430 – dikumpulkan dari beberapa sumber (Ibnul-Qayyim, Bakr Abu Zaid, Ahmad Al-‘Isawiy, Ibnu ‘Utsaimin, Salim Asy-Syibliy, Muhammad Khalifah Ar-Rabbah, dll)



[1] Lahab artinya adalah lidah api.

[2] Yaitu setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumahnya atau memberikan giliran hari kepadanya.

[3] Al-Imam Al-Ajurriy rahimahullah menuliskan dalam kitabnya:

من صفة أهل الحق ممن ذكرنا من أهل العلم: الاستثناء في الإيمان ، لا على جهة الشك ، نعوذ بالله من الشك في الإيمان ، ولكن خوف التزكية لأنفسهم من الاستكمال للإيمان ، لا يدري أهو ممن يستحق حقيقة الإيمان أم لا ، وذلك أن أهل العلم من أهل الحق إذا سئلوا: أمؤمن أنت ؟ قال: آمنت بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والجنة والنار ، وأشباه هذا ، والناطق بهذا ، والمصدق به في قلبه مؤمن ، وإنما الاستثناء في الإيمان لايدرى أهو ممن يستوجب مانعت الله عز وجل به المؤمنين من حقيقة الإيمان أم لا؟ هذا طريق الصحابة رضي الله عنهم والتابعين لهم بإحسان ، عندهم أن الاستثناء في الأعمال ، لا يكون في القول ، والتصديق بالقلب ؟ وإنما الاستثناء في الأعمال الموجبة لحقيقة الإيمان ، والناس عندهم على الظاهر مؤمنون ، به يتوارثون ، وبه يتناكحون ، وبه تجري أحكام ملة الإسلام

“Di antara sifat Ahlul-Haq dari para ulama yang telah kami sebutkan adalah bahwa dibolehkan pengecualian dalam iman tetapi bukan untuk keraguan, na’udzubillah. Akan tetapi ber-istitsna’ (pengecualian) dalam iman tidak lain adalah untuk menghindari, jangan sampai mengaku dirinya sampai pada puncak kesempurnaan iman, padahal belum tentu apakah ia sampai kepadanya atau belum. Para ahli ilmu dari ahlul-haq manakala ditanya: ‘Mukminkah engkau?’; mereka akan menjawab: ‘Aku beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir, surga, neraka dan sejenisnya’. Orang yang meyakini ini dan meyakininya dengan hati, maka dia adalah mukmin. Pengecualian dalam iman hanya boleh disampaikan manakala ia tidak mengetahui apakah ia termasuk ke dalam golongan orang yang disifati Allah sebagai mukmin yang memiliki hakikat iman yang sebenar-benarnya atau tidak. Ini adalah jalan yang ditempuh shahabat radliyallaahu ‘anhum dan oleh tabi’in (yang mengikuti mereka) dengan penuh kebaikan. Mereka berpendapat bahwa istitsna’ bukan dalam ucapan dan keyakinan dalam hati, tetapi pada amal yang mengantarkan si hamba kepada hakikat iman. Dan menurut mereka, orang itu pada lahirnya beriman, dengannya mereka saling mewaris, dan dengannya mereka saling menikah, serta dengannya berlaku-hukum-hukum Islam” (Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurry hal. 102).

[4] Lihat penjelasan (syarh) Ibnu ‘Allaan terhadap kitab Al-Adzkaar (6/130).

[5] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak sengaja dan tidak mengetahui jika panggilan itu merupakan yang dibenci oleh orang tersebut.

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store

Posting Komentar untuk "Fiqih Pemberian Nama Untuk Si Bayi atau Si Anak "