Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Sepak Bola Lebih “Agamis” Ketimbang Jum’atan (?)

Siapapun mesti ingat peristiwa kolosal sekian tahun silam, aksi 212 yang digelar poro sedulur Muslim yang kebanyakan berjaket Front Pembela Islam negeri ini. Shalat jum’ah dan acara keagamaan lain ditempatkan di jalan raya, termasuk di monas.

Pemuka agama yang kebanyakan dari kalangan nahdliyyin mengutuk dengan berbagai dalil agama, termasuk sebagai “bid’ah besar”, sebagai tidak “rahmatan lil ‘alamin” dsb. Kemudian ada yang menjawab dengan tesis balik dan berargumen. Akhir kalam, FPI dibubarkan dan HRS diperkarakan.

Kini terjadi peristiwa tragedi kolosal yang menewaskan sekitar 130 nyawa melayang sia-sia dan ratusan korban terluka. Tidak usah ditanya, mereka mati apa: husn al-khatimah atau su’u al-khatimah?. Yang jelas mereka mati kerono bal-balan. Apapun model kematiaannya, bagi mayit yang Muslim, kami berdoa, “allahumm ighfir lahum wa irhamhum”.

Adalah aksi 212 dan sejenisnya yang lahiriahnya beraroma ibadah dan tidak menimbulkan korban. Bahkan areanya langsung bersih dari sampah karena mereka Muslim yang sadar bersih. Sementara sepak bola sering menimbulkan korban jiwa sia-sia, nuruti nafsu dan menghamburkan uang.

Jika aksi 212 dikutuk dan rumahnya dihanguskan, maka apakah tidak lebih adil dan maslahah jika sepak bola juga dibubarkan. Atau klub tuan rumah saja dibubarkan. Jika sekedar diskors, sudah sering dan nyatanya tidak menimbulkan efek jera. Atau…*

Sudah sering tragedi macam ini terjadi dan pemerintah cuma bisa menyesalkan, berbela sungkawa, semoga tidak terulang dst. Nyatanya… terus berulang dan kini lebih mengerikan. Pemerintah jangan hanya tegas mencabuti subsidi, menaikkan harga dan memunguti pajak saja. Harusnya tegas juga menyikapi tragedi neraka ini.

Pemerintahan pak Jokowi ini mengagumkan dan sangat hebat. Meski beberapa kebijakannya sangat menyengsarakan wong cilik, borok-borok aparat semburat dan sebagainya, tapi kondisi negara tenang dan tak ada demo signifikan. Beda dengan zaman pak SBY dulu. Hanya 500 rupiah harga premium dinaikkan, demonya berkepanjangan. turun, turun, SBY kerbau, pencitraan…”. Kata wong pinter: ”toko emas milik preman cenderung lebih aman”.

Kepada tuan-tuan di MUI, Syuriah NU, Majlis tarjih Muhammadiah, kaum akademik mohon segera menyelenggarakan seminar, bahsul masail atau kajian khusus membahas sepak bola negeri ini dari perspektif maslahah dan mafsadah. Lalu hasilnya direkomendasikan ke pemerintah sebagai bentuk tanggungjawab ilmuwan muslim di hadapan Tuhan nanti. Apa sepak bola lebih religious ketimbang shalat jum’ah di jalan raya?

Kalau urusan tahlilan saja mendalil-dalil. Urusan vaksin saja berfatwa. Urusan rokok, adu argumen. Kok ini urusan nafsu main-main, menghamburkan uang dan menghilangklan nyawa pada diem, sariawan. Tuan-tuan itu ilmuwan Muslim yang diamanati Tuhan memberi fatwa. Sadarlah, bahwa nereka itu lebih panas ketimbang penjara.

Sesekali meniru al-imam al-Ghazali, dengan pola _syadd al-dzari’ah_ menunjuk, bahwa setiap permainan yang sangat berpotensi menimbulkan: _al-‘adawah_ (permusuhan fisik), _al-baghdla’_ (perseteruan psikhis), _shadd ‘an dzikr Allah_ (terpental dari Allah) hukumnya HARAM. Bukan haram _fi nafs al-amr_, tapi haram _fi amr kharij_. Hadana Allah.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie, M. Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an Tebu Ireng

 

Posting Komentar untuk "Ketika Sepak Bola Lebih “Agamis” Ketimbang Jum’atan (?)"