Memelihara atau Memanjangkan Jenggot dalam Kaca Mata Syariat Islam
"MEMELIHARA JENGGOT ADALAH TIDAK WAJIB KARENA KAJIAN
ANATOMI MENYATAKAN BAHWA TIDAK SEMUA ORANG BERJENGGOT?"
Tanya: Seorang Ustadz pernah
menjelaskan bahwa hukum jenggot menurut beliau tidak wajib. Beliau menguatkan
alasan ketidakwajibannya itu berdasarkan ilmu anatomi tubuh yang kebetulan
beliau kuasai dimana tidak semua orang dapat berjenggot. Sehingga, apabila
jenggot itu wajib, kasihan dong dengan orang yang tidak berjenggot. Apalagi
kaum wanita. Tentu mereka akan berdosa semua. Bagaimana sebenarnya kedudukan
permasalahan ini dalam kaca mata syari’at Islam?
Jawab: Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada beliau, maka apa yang beliau sampaikan adalah keliru (kalau tidak boleh dikatakan sangat keliru). Permasalahan anatomi manusia bahwa tidak setiap orang itu mempunyai jenggot, tidak ada hubungannya sama sekali dengan metode istinbath hukum dalam permasalahan ini. Dan satu lagi, hal itu (bahwa tidak setiap orang mempunyai jenggot) bukanlah hal yang hanya diketahui orang jaman sekarang saja, akan tetapi sudah sangat ma’ruf/diketahui semenjak jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan jauh sebelum itu. Alasan yang beliau sampaikan untuk mengatakan tidak wajibnya memelihara jenggot berdasarkan dalil anatomi – sepanjang pengetahuan kami – tidak pernah ternukil dari para ulama mu’tabar Ahlus-Sunnah (bahkan dalam nukilan pendapat paling lemah sekalipun). Ini adalah satu hujjah yang terkesan dipaksakan dan – maaf – terlalu mengada-ada.
Pensyari’atan jenggot
dalam Islam adalah khusus bagi laki-laki (bukan pada wanita) dan bagi mereka
yang memang Allah karuniai jenggot yang tumbuh di pipi dan dagunya (1). Jika
memang seseorang yang ”dari sananya” tidak tumbuh jenggot, tentu tidak dikenai
kewajiban (memelihara) jenggot. Allah telah berfirman:
لا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا
”Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Permasalahannya adalah
bagi mereka (laki-laki) yang mempunyai jengot, namun malah memangkas atau
mencukurnya. Inilah yang dijadikan khithab (objek yang diajak bicara) dari
sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dalam banyak haditsnya. Dan inilah
yang dijadikan bahasan para ulama kita semenjak dahulu sampai dengan sekarang.
Pembicaraan atau khilaf mengenai hukum memelihara jenggot itu secara garis
besar terangkum dalam 4 (empat) pendapat masyhur. Namun sebelumnya perlu
ditekankan bahwa khilaf ini sebatas pada khilaf terhadap jenggot yang
panjangnya melebihi genggaman tangan. Khilaf ini tidak mencakup perbuatan
mencukur pendek-pendek atau mencukur habis jenggot, sebab madzhab empat dan
selainnya (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah)
telah sepakat tentang keharamannya. Khilaf tersebut adalah sebagai berikut: (2)
1. Tidak memotong jenggot
sama sekali dengan membiarkannya sebagaimana adanya. Ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Asy-Syafi’i dalam satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama
Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan beberapa ulama yang lainnya.
Pendapat ini berhujjah
dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam:
خالفوا المشركين
وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
”Selisilah oleh kalian
orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” (HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259).
أحفوا الشوارب
وأعفوا اللحى
”Potonglah kumis kalian
dan peliharalah jenggot” (HR. Muslim no.
259).
انهكوا الشوارب
وأعفوا اللحى
”Potong sampai habis
kumis kalian dan peliharalah jenggot” (HR. Al-Bukhari
no. 5554).
جزوا الشوارب
وأرخوا اللحى خالفوا المجوس
”Potong/cukurlah kumis
kalian dan panjangkanlah jenggot. Selisilah oleh kalian kaum Majusi” (HR. Muslim no. 260).
إن أهل الشرك
يعفون شواربهم ويحفون لحاهم فخالفوهم فاعفوا اللحى وأحفوا الشوارب
”Sesungguhnya orang
musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka !
Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” (HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan).
عن بن عمر عن
النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحية
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam: ”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan
memelihara jenggot” (HR. Muslim no. 259).
Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang
mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang
memalingkannya.(3) Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas), lagi
setara yang memalingkan dari kewajiban ini.
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i
berkata:
قال ابن
الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق
اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه
القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab
Haasyiyah Al-Kifaayah: ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam
kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang
ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan
gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas
keharaman mencukur jenggot” (Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali
Al-Halaby hal. 31).
An-Nawawi berkata:
والمختار تركها
على حالها, وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلاً
”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan
jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” (Syarh Shahih
Muslim 2/154).
Al-Hafidh Al-’Iraqi
berkata:
واستدل الجمهور
على أن الأولى ترك اللحية على حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي
وأصحابه
”Jumhur ulama
berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana
adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam
Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” (Tharhut-Tatsrib 2/83).
Al-Qurthubi berkata:
لا يجوز حلقها
ولا نتفها ولا قصها
”Tidak diperbolehkan untuk mencukur, mencabut,
dan memangkas jenggot” (Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim
Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5).
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata:
المعتمد في
المذهب ، حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat
dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” (Ghadzaaul-Albaab
1/376).
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata:
وقد حدث قوم
يحلقون لحاهم وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها
”Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur
jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang
Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” (Fathul-Bari
10/351 no. 5553).
2. Membiarkan jenggot
sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan
memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya.
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in,
Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya. Pendapat
ini dibangun dengan dalil yang disampaikan oleh pendapat pertama yang kemudian
ditaqyid dengan atsar Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma:
عن نافع عن بن
عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
وكان بن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته فما فضل أخذه
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu
’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda: ”Selisilah
oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”.
(Nafi’ berkata: ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau
’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia
potong” (HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259).
عن نافع أن عبد
الله بن عمر كان إذا أفطر من رمضان وهو يريد الحج لم يأخذ من رأسه ولا من لحيته
شيئا حتى يحج
Dari Nafi’: Bahwasanya Abdullah bin ’Umar
radliyallaahu ’anhuma apabila datang selesai bulan Ramadlan ('Iedul-Fithri),
dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan
jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” (HR. Malik dalam
Al-Muwaththa’ Kitaabun-Nikaah 1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam
Al-Umm 7/253).
عن مروان يعني
بن سالم المقفع قال رأيت بن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف
Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ –
ia berkata: ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia
memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” (HR. Abu Dawud no. 2357;
hasan).
’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah
menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia
berkata:
كانوا يحبون أن
يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai
untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka
memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” (HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482
dengan sanad shahih) (4).
Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera
dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang
membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan
’umrah (Al-Muwaththa’ 1/318). Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam
memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah (Ikhtilaaful-Imam Malik
wasy-Syafi’i 7/253). Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya (Al-Mudawwanah
2/430).
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin
Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam
Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam
berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata:
قال الشافعي:
وأخبرنا مالك عن نافع أن ابن عمر كان إذا حلق في حج أو عمرة أخذ من لحيته وشاربه.
(قال
الربيع): قلت: فإنا نقول( ): ليس على أحد الأخذ من لحيته وشاربه، إنما النسك في
الرأس؟
قال الشافعي:
وهذا مما تركتم عليه بغير رواية عن غيره عندكم علمتها.
”Telah berkata Asy-Syafi’i: Telah
mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’: Bahwasannya Ibnu ’Umar
radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau
memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu
Ar-Rabi’) berkata: ”Sesungguhnya kami berkata: Tidak boleh bagi seorangpun
untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya
disyari’atkan mencukur kepala saja?”. Maka Asy-Syafi’i berkata: ”Ini termasuk
hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi
kalian yang aku ketahui” (Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253). Di sini Imam Asy-Syafi’i
memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata:
وأحب إلي لو أخذ
من لحيته وشاربه، حتى يضع من شعره شيئاً لله، وإن لم يفعل فلا شيء عليه، لأن النسك
إنما هو في الرأس
لا في اللحية.
”Aku menyukai jika ia
memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu
karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena
dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada
jenggot” (Al-Umm 2/2032).
3. Diperbolehkan memotong
jenggot yang terlalu panjang (yang melebihi batas genggaman tangan) sehingga
membuat jelek penampilannya. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik
bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik
tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib
adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan
Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32). (5)
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;
يكره حلق اللحية
وقصها وتحذيفها وأما الأخذ من طولها وعرضها إذا عظمت فحسن بل تكره الشهرة في
تعظيمها كما يكره في تقصيرها
”Mencukur, memangkas, dan
mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang
dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka
itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan(6)
sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” (Fathul-Baari 10/351 no. 5553).
4. Disukai untuk memotong
jenggot yang melebihi satu genggam secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu
haji dan ’umrah. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan
Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.
Telah berkata Muhammad
bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah – rahimahumallah:
أخبرنا أبو
حنيفة عن الهيثم عن ابن عمر -رضي الله عنهما-: أنه كان يقبض على لحيته ثم يقص ما
تحت القبضة. قال محمد: وبه نأخذ، وهو قول أبي حنيفة.
”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah,
dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma: Bahwasannya ia (Ibnu
’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah
genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan): Kami mengambil pendapat tersebut. Dan
itulah perkataan Abu Hanifah” (Al-Aatsaar 900).
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy
berkata:
ويحرم على الرجل
قطع لحيته ـ أي حلقها, وصرح في النهاية بوجوب قطع ما زاد على القبضة, وأما الأخذ
منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثة الرجال, فلم يبحه أحد, وأخذ كلها
فعل يهود الهند, ومجوس الأعاجم
”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki
memotong jenggotnya – yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah atas wajibnya
memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari
itu (yaitu memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) -
sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang Maghrib dan orang-orang banci,
maka tidak seorang pun ulama yang membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot
merupakan perbuatan orang-orang Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam
(non-Arab)” (Raddul-Mukhtaar 2/418).
Madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan,
namun tidak boleh kurang dari itu. Telah berkata Al-Khalaal: Telah
mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata: Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya
tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab: ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar
memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb
berkata): ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar
tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada beliau: ”Apa hukumnya memelihara
(jenggot)?”. Beliau berkata: ”Telah diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata: ”Seakan-akan beliau
berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya
sama sekali)”. Selanjutnya Al-Khalaal berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku
Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada
mereka, bahwa ia berkata: ”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang
seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka
beliau menjawab: ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi
genggaman tangan”. Aku (Ishaaq) berkata: ”Bagaimana dengan hadits Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam: Potonglah kumis dan peliharalah jenggot?”. Maka
beliau menjawab: ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang
melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”.
(Ishaq berkata): Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang
jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah
tenggorokannya” (Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114).
Tarjih: Pendapat yang
paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong
jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah. Atsar
Ibnu ’Umar merupakan pentaqyid yang sangat jelas, yaitu berkaitan dengan waktu
dan batasan panjang yang diperbolehkan (7). Taqyid ini merupakan ijma’ (yaitu
jenis ijma’ sukuti) yang terjadi di kalangan shahabat tanpa ternukil adanya
pengingkaran. Dan sangat mungkin ini juga merupakan ijma’ yang terjadi di
kalangan tabi’in. Apalagi diperkuat oleh atsar shahih dari ’Atha’ dalam
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Wajib hukumnya memelihara
(membiarkan) jenggot menurut nash yang jelas dari As-Sunnah, dan haram hukumnya
memotong lebih pendek dari genggaman tangan atau bahkan mencukur habis
keseluruhan jenggot. Namun jika memang sudah terlalu panjang sehingga
memperburuk penampilan, diperbolehkan untuk memotongnya dengan batasan yang
telah ditentukan syari’at (tidak boleh lebih pendek dari satu genggam).
Di sini mungkin perlu
kami ingatkan tentang ucapan Ibnu Hazm:
واتفقوا أن حلق
جميع اللحية مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur
seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” (Maraatibul-Ijmaa’ hal 157).
Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh
Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’
2/3953.
Sebagai seorang muslim, menjadi keharusan
untuk mematuhi perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mencontoh
sifat-sifat yang ada padanya (8).
Mudlarat dari Memotong/Mencukur Jenggot
1. Menyelisihi perkara-perkara Nubuwwah yang
datang dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – yang tiadalah yang
diucapkan beliau itu menurut kemauan hawa nafsunya – untuk memelihara jenggot.
Allah ta’ala telah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih” (QS. An-Nuur: 63).
2. Penyelisihi
perkataan-perkataan ahlul-’ilmi (ulama) – para pewaris Nabi – yang kita
diperintahkan untuk mentaatinya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ
”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”
(QS. An-Nisaa’: 59).
3. Menyelisihi petunjuk
para nabi dan rasul dalam hal yang umum, dimana sunnah-sunnah mereka semuanya
adalah memelihara jenggot. Allah ta’ala
telah berfirman:
أُوْلَـئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْراً إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
”Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk
mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan
(Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh
ummat” (QS. Al-An’aam: 90).
4. Menyelisihi petunjuk
nabi kita Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hal yang khusus, karena
Allah telah memerintahkan kita untuk ber-ittiba’ kepada beliau:
َومَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
”Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah sangat keras hukuman-Nya” (QS. Al-Hasyr: 7).
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS.
Al-Ahzaab: 21).
5. Menyelisihi petunjuk para pendahulu kita
yang shalih (salafunash-shaalih) dari kalangan shahabat dan para tabi’in
radliyallaahu ’anhum ajma’in dimana tidak diketahui satupun di antara mereka
yang mencukur (pendek-pendek/habis) jenggotnya. Mereka adalah para imam
kita dalam petunjuk, contoh kita dalam kebaikan, dan bintang-bintang kita yang
menerangi dalam kegelapan. Mereka adalah kaum yang tidak akan mencelakan orang
yang mengikutinya dengan idzin Allah.
6. Menyelisihi
sunnah-sunnah fithrah yang telah Allah tetapkan pada manusia. Allah berfirman:
فطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
”(Tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah” (QS. Ar-Ruum: 30).
7. Merubah ciptaan Allah
tabaraka wata’ala, padahal semua ciptaan Allah adalah baik. (9)
8. Menyerupai orang-orang
musyrikin, Yahudi, dan penyembah berhala. Padahal Allah telah memerintahkan
kita untuk menyelisihi mereka.
9. Menyerupai wanita.
Allah telah berfirman:
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالأُنثَى
”Dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan” (QS. Ali-’Imran: 36).
10. Mengingkari karunia
nikmat (jenggot) ini, dimana telah Allah muliakan laki-laki dengannya.
11. Dan yang lain-lain.
Peringatan:
1. Atsar Hasan Al-Bashri
dan Ibnu Sirin rahimahumallah:
وكيع عن أبي
هلال قال: سألت الحسن وابن سيرين فقالا: لا بأس به أن تأخذ من طول لحيتك.
Dari Waki’, dari Abu Hilal ia berkata: Aku
bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin (tentang hukum memotong
jenggot), maka mereka menjawab: “Tidak mengapa untuk mengambil/memotong dari
panjang jenggotmu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226).
Atsar ini adalah dla’if karena kebersendirian
Abu Hilaal Ar-Raasiby. Ia adalah seorang rawi yang diperbincangkan yang seseorang tidak boleh
berhujjah dengannya jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar berkata: Ia
seorang yang shaduq, tapi layyin (lemah haditsnya)” (At-Taqrib no. 5923).
Adz-Dzahabi berkata: ”Abu
Dawud mentsiqahkannya; Abu Hatim berkata: Tempatnya kejujuran; tapi tidak
kokoh; An-Nasa’i berkata: Tidak kuat (laisa bil-qawiy); Ibnu Ma’in: Shaduq,
dituduh sebagai Qadariyyah; Al-Fallaas berkata: Yahya bin Sa’id tidak
meriwayatkan hadits dari Abu Hilal, namun Abdurrahman meriwayatkan darinya” (Mizaanul-I’tidaal
no. 7646). Imam Bukhari memasukkannya sebagai perawi dla’if dalam kitab
Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir (no. 324).
2. Atsar Thawus bin
Kaisan rahimahullah:
أبو خالد عن ابن
جريج عن ابن طاوس عن أبيه أنه كان يأخذ من لحيته ولا يوجبه.
Dari Abu Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu
Thawus, dari bapaknya (Thawus): ”Bahwasannya ia (Thawus) memotong jenggotnya
namun tidak mewajibkannya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226).
Atsar ini dla’if karena
kebersendirian Ibnu Juraij. Ia adalah seorang mudallis yang jelek (qabiih)
tadlisnya. Ia meriwayatkan secara ’an’anah dan tidak disebutkan dalam riwayat
tersebut tentang penegasan sima’-nya.
3. Pada beberapa sumber
sering dinukil perkataan yang dinisbatkan pada Ibnu ’Abdil-Barr dalam kitab
At-Tamhiid:
ويحرم حلق اللحية
، ولا يفعله إلا المخنثون من الرجال
”Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang
melakukannya kecuali dari kalangan laki-laki banci” (selesai).
Maka ini bukanlah
perkataan Ibnu ’Abdil-Barr. Tidak terdapat dalam kitabnya, baik dalam
At-Tamhiid ataupun Al-Istidzkaar. Namun anehnya perkataan ini termuat dan
ternukil oleh sebagaian ulama besar kita yang kemudian dinisbatkan sebagaimana
di atas.
Semoga apa yang saya
tulis di sini dapat bermanfaat bagi ilmu dan amal kita. Amien.............
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Footnote:
(1) Jenggot dalam bahasa Arab disebut
Al-Lihyah (اَللِّحْيَةُ).
Al-Fairuz Abadi berkata tentang definisi dari Al-Lihyah: {شعْرُ الخدَّيْن و الذَّقنِ} ”rambut (yang tumbuh) di kedua pipi dan
dagu” (Al-Qamus Al-Muhith 4/387). Hal yang sama dinukil dari Ibnu Mandhur dalam
Lisaanul-’Arab: { اسم يجمع من الشعر ما نبت على الخدّين والذقَن } ”nama bagi semua rambut
yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu”.
(2) Sebagaimana disarikan
oleh Abu Ahmad Al-Hadzaly dalam Multaqaa Ahlil-Hadits yang diambil dari kitab
I’faaul-Lihyah hal. 29-30, Fathul-Baari 10/350, dan Juzzul-Masaalik 15/6.
(3) Dalam pembahasan
Ushul Fiqh, para ulama telah menjelaskan:
صيغة الأمر عند
الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً.
“Bentuk perintah secara
mutlak/ umum memberi konsekuensi: wajibnya sesuatu yang diperintahkan dan
bersegera dalam melakukannya secara langsung”.
Di antara dalil yang
digunakan para ulama untuk membangun kaidah ini antara lain:
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيم
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" (QS.
An-Nuur: 63). (lihat
Al-Ushul min ‘Ilmil-Ushul oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).
(4) ’Atha’ telah
memutlakkan perbuatan dari para shahabat dan tabi’in untuk memotong jenggot
ketika haji dan ’umrah. Sifat kemutlakan lafadh ’Atha’ ini dalam memotong
jenggot ini dijelaskan oleh perbuatan Ibnu ’Umar dalam haji dan ’umrah bahwa
yang dipotong itu adalah selebih dari genggaman tangan. ’Atha’ adalah salah
satu murid Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Apa yang diriwayatkan oleh ’Atha’
ini sekaligus menafsiri apa yang diriwayatkan oleh ulama dari kalangan tabi’in
lain yaitu Al-Qaasim bin Muhammad.
عن أفلح قال:
كان القاسم إذا حلق رأسه أخذ من لحيته وشاربه
Dari Aflah ia berkata: "Adalah Al-Qaasim
jika ia mencukur kepalanya (waktu haji atau ’umrah), maka ia pun memotong
jenggot dan kumisnya” (HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225; shahih).
Al-Qaasim mencukur jenggotnya di waktu haji
dan ’umrah adalah selebih dari genggaman tangan sebagaimana dilakukan oleh
pembesar shahabat dan tabi’in lainnya.
(5) Dinukil melalui perantaraan risalah
Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Asmary yang berjudul: Hukmul-Akhdzi
minal-Lihyah yang dipublikasikan dalam www.saaid.net; sebagaimana juga ternukil
dalam pembahasan Multaqaa Ahlil-Hadiits (berjudul:
هل
يوجد قول معتبر يجوز الأخذ من اللحية ما دون القبضة ؟
(6) Perkataan Al-Qadli ‘Iyadl tentang
dibencinya membiarkan jenggot selama satu bulan jangan diartikan boleh mencukur
selama satu bulan secara mutlak (sebagaimana dijadikan hujjah sebagian orang
muta’akhkhirin). Maksud perkataan beliau adalah bahwa beliau membenci jenggot
dibiarkan selama satu bulan jika telah melebihi satu genggaman tangan jika
membuat jeleknya penampilan. Beliau berkata dalam Syarah Shahih Muslim sebagai
berikut:
يُكْرَه
حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا , وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا
فَحَسَن , وَتُكْرَه الشُّهْرَة فِي تَعْظِيمهَا كَمَا تُكْرَه فِي قَصِّهَا وَجَزّهَا .
قَالَ: وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَف هَلْ لِذَلِكَ حَدّ ؟ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ
يُحَدِّد شَيْئًا فِي ذَلِكَ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَتْرُكهَا لِحَدّ الشُّهْرَة
وَيَأْخُذ مِنْهَا
, وَكَرِهَ مَالِك طُولهَا جِدًّا , وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا زَادَ عَلَى
الْقَبْضَة فَيُزَال , وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذ مِنْهَا إِلَّا فِي حَجّ
أَوْ عَمْرَة
”Dimakruhkan untuk
mencukur, memotong, dan membakar jenggot. Adapun memotong karena saking
panjangnya dan (menjaga) kehormatannya (yang jika dibiarkan nampak jelek/keji),
maka hal itu baik. Dan dimakruhkan membiarkannya selama sebulan sebagaimana
dimakruhkan untuk memotong dan mencukurnya. Dan para ulama salaf telah berbeda
pendapat, apakah dalam hal ini terdapat batasan? Diantara mereka ada yang tidak
memberikan batasan apapun, namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang
selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan. Dan
Malik membenci/memakruhkan jika jenggot tersebut terlalu panjang. Di antara
mereka (ulama) ada yang memberi batasan, apa-apa yang melebihi genggaman tangan
maka boleh dihilangkan/dipotong. Dan di antara mereka ada pula yang membenci
memotongnya kecuali saat haji dan ’umrah” (selesai).
Di sini jelas bahwa
Al-Qadli ’Iyadl tidak memperbolehkan memotong jenggot yang panjangnya kurang
dari genggaman tangan, sebab yang menjadi sebab adalah terlalu panjang sehingga
memperburuk penampilan. Wallaahu a’lam.
(7) Jika ada dalil
muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum,
maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq
‘alal-muqayyad wajibun) (silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul
oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab).
(8) Dan Rasulullah
shallallaahu’alaihi wasallam adalah orang yang memelihara jenggotnya,
sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik tentang jenggot beliau:
ما عددت في رأس
رسول الله صلى الله عليه وسلم ولحيته إلا أربع عشرة شعرة بيضاء
”Tidaklah aku menghitung sesuatu di kepala dan
jenggot Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melainkan aku dapatkan
sebanyak empatbelas buah uban (HR. Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail no.
31; shahih).
(9) Waliyullah Ad-Dahlawi berkata:
وقصها ـ أي
اللحية ـ سنة المجوس, وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya – yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah kaum Majusi. Hal itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah” (Al-Hujjatul-Baalighah 1/182).
Oleh: Abul Jauzaa' Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Memelihara atau Memanjangkan Jenggot dalam Kaca Mata Syariat Islam"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.