Lama Waktu Jarak antara Adzan dan Iqomah
Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu (1):
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبلال يَا بِلالُ إِذَا أَذَنْتَ
فَتَرَسَّلْ فِيْ أَذَانِكَ وَإِذَا أَقَُمْتَ فَأَحْدُرْ وَاجْعَلْ بَيْنَ
أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ قَدْرَ مَا يَفْرُغُ اْلآكِلُ مِنْ أَكْلِهِ وَالشَّارِبُ
مِنْ شُرْبِهِ وَاْلمُعْتَصِرُ إِذَا دَخَلَ لِقَضَاءِ حَاجَتِهِ وَلا تَقُوْمُوْا
حَتَّى تَرَوْنِيْ
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, apabila engkau mengumandangkan adzan, maka lakukanlah dengan tempo yang lambat. Dan apabila engkau mengumandangkan iqamah, maka lakukanlah dengan tempo yang cepat. Jadikanlah jarak antara adzanmu dan iqamahmu seukuran waktu yang dibutuhkan seseorang yang sedang makan menyelesaikan makannya, orang yang sedang minum menyelesaikan minumnya, dan orang yang sedang buang hajat bisa menyelesaikannya pula. Dan janganlah engkau beriqamat hingga engkau melihatku” (HR. Tirmidzi no. 195).
Dhahir sanad hadits ini
adalah sangat lemah karena perawi yang bernama Abdul-Mun’im As-Siqaa’. Ia
seorang perawi matruk ( = perawi yang ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib (6/431-432). Adz-Dzahabi menukil
perkataan Imam Al-Bukhari: “Munkarul-Hadits” (Mizaanul-I’tidaal 2/669). Selain
itu, guru Abdul-Mun’im, yaitu Yahya bin Muslim Al-Baka’ juga seorang perawi
dla’if (Tahdzibut-Tahdzib 11/279). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 732) (2), dengan sanad yang lebih lemah daripada sanad
Imam At-Tirmidzi karena ada penyelisihan (tambahan perawi), yaitu ‘Amr bin
Faaid Al-Aswari, antara Abdul-Mun’im dan Yahya. Sementara Imam Ad-Daruquthni
berkata tentangnya: “Matruk” (Mizaanul-I’tidaal 3/283).
Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu yang semakna dengan hadits nomor 1 (3) sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa. Hadits ini juga mempunyai
kelemahan adanya perawi yang bernama Shubaih bin ‘Umar. Ia adalah majhul (tidak
diketahui identitasnya) (Lihat Lisaanul-Miizan 3/221). Imam Al-Baihaqi berkata
mengenai hadits ini: “Tidak ma’ruf (dikenal)”.
Hadits ‘Ubay bin Ka’b
radliyallaahu ‘anhu (4):
قَالَ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بِلالُ اجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ
وَإِقَامَتِكَ نَفْساً يَفْرُغُ اْلآكِلُ مِنْ طَعَامِهِ فِيْ مُهْلٍ وَيَقْضِى
اْلمُتَوَضِّئُ حَاجَتَِهِ فِيْ مُهْلٍ
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam: “Wahai Bilal, jadikanlah jarak antara adzan dan iqamahmu seukuran
waktu yang dibutuhkan oleh seseorang yang sedang makan menghabiskan makanannya
dengan tidak tergesa-gesa, dan orang yang hendak buang hajat menyelesaikannya
dengan tidak tergesa-gesa” (HR. Ahmad no. 21323).
Sanadnya dla’if karena perawi yang bernama
Abul-Jauzaa’ (Abdullah bin Al-Jauzaa’). Ia adalah perawi majhul ‘ain karena
tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Abdullah bin Fadhl.
Hadits Salman radliyallaahu ‘anhu sebagaimana
disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Jam’ul-Jawaami’ (no. 616) dari Abusy-Syaikh
yang disebutkan beliau tanpa sanad.
Secara keseluruhan (dengan penggabungan
keempat hadits di atas), ada ulama yang menyimpulkan bahwa hadits tersebut
adalah hasan lighairihi (5). Namun ada pula yang mendla’ifkan karena dianggap
kedlaifan masing-masing hadits sangat parah sehingga tidak bisa saling
menguatkan (6).
Ada hadits lain yang
dianggap secara eksplisit menunjukkan jarak waktu antara adzan dan iqamat,
yaitu:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ مغَفَل اْلمزَنِيْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَ كلِّ أَذَانَيْنِ صَلاةٌ ثَلاثاً لِمَنْ شَاءَ
Dari Abdillah bin Mughaffal A-Muzani:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Antara dua
adzan (yaitu antara adzan dan iqamat) terdapat shalat – beliau mengucapkannya
tiga kali – bagi yang ingin mengerjakannya” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no.
838).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
para shahabatnya kadang datang ke masjid setelah adzan berkumandang (7). Maksudnya, sebelum iqamat
dikumandangkan beliau dan juga para shahabat masih sempat mengerjakan beberapa
sunnah masyru’ah seperti:
Shalat sunah
tahiyyatul-masjid, sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda:
إِذَا دَخَلَ
أَحَدُكُمُ اْلمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Jika salah seorang di
antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum ia duduk” (HR.
Muslim no. 714).(8)
Shalat sunnah rawatib dua
atau empat raka’at (seperti telah ditulis sebelumnya tentang shalat sunnah
antara adzan dan iqamat), sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ صَلَّى
فِيْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَي عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْت فِيْ
اْلجَنَّةِ أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ اْلمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ
صَلاةِ اْلفَجْرِ
“Barangsiapa yang shalat sehari semalam
duabelas raka’at akan dibangunkan baginya rumah di surga: Empat raka’at sebelum
Dhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at
setelah ‘isya’, dan dua raka’at sebelum shubuh” (HR. Tirmidzi no. 415; shahih).
Berdoa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
لَا يُرَدُّ
اَلدُّعَاءُ بَيْنَ اَلْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Tidak akan ditolak doa
yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah” (HR. Nasa’i
dalam Amalul-Yaum wal-Lailah no. 67-69, Ibnu Khuzaimah no. 425-427, dan
At-Tirmidzi no. 3594; shahih).
Tiga hal inilah yang
hendaknya diperhatikan bagi seorang muadzin untuk “mengatur” jarak waktu antara
adzan dan iqamah. Sebuah waktu yang longgar bagi kaum muslimin untuk melaksanakan
hal-hal yang disunnahkan dalam syari’at. Dikecualikan dalam hal ini adalah
waktu maghrib, sebab waktu ini adalah sempit. Imam An-Nawawi berkata: “Para
shahabat kami (dari kalangan ulama Syafi’iyyah) telah sepakat tentang
disunnahkannya mengadakan jarak waktu (antara adzan dan iqamat) ini seukuran
masa bagi berkumpulnya orang-orang yang hendak berjama’ah shalat. Kecuali untuk
shalat maghrib, maka tidak boleh menundanya (sampai orang-orang berkumpul
semua) karena waktunya sempit” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 3/127). Walaupun
sempit, setidaknya para jama’ah yang telah hadir dapat tetap diberi kesempatan
untuk melakukan shalat rawatib dua raka’at (9).
Kesimpulan: Jarak waktu antara adzan
dan iqamah hendaknya cukup longgar bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan
dirinya datang ke masjid; mulai dia berwudlu, berpakaian, berjalan menuju
masjid, dan melakukan hal-hal yang disunnahkan sebagaimana telah dijelaskan.
Orang yang berhak memerintah untuk mengumandangkan iqamat adalah imam rawatib (10).
Seorang muadzin tidak boleh beriqamah kecuali mendapat ijin dari imam. Namun
imam pun juga harus memperhatikan kondisi jama’ahnya. Jika jama’ah telah
berkumpul, maka hendaknya ia memerintahkan muadzin untuk beriqamah. Sebaliknya,
jika jama’ah belum berkumpul, maka imam hendaknya menunggu sampai jama’ah
berkumpul (11). Inilah fungsi imam yang baik, sebab imam adalah penanggung
jawab pelaksanaan shalat berjama’ah. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اْلإِمَامُ
ضَامِنٌ وَاْلمُؤَذِّنُ مَؤتَمِنٌ اللَّهُمَّ أَرْشِدِ اْلأَئِمَّةِ وَاغْفِرْ
لِلْمُؤَذِّنِيْنَ
“Imam adalah orang yang menanggung, dan
muadzin adalah orang yang dapat dipercaya (oleh imam dalam menjaga waktu-waktu
shalat). Ya Allah, tunjukilah para imam dan ampunilah para muadzin” (HR. Abu Dawud no. 517,518; At-Tirmidzi no. 207;
dan yang lainnya. Hadits ini shahih).
Kira-kira jika hal ini
dipraktekkan, jeda waktu antara adzan dan iqamah setidaknya 10 - 15 menit. Bisa
disesuaikan melihat kondisi jama’ah. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
perbaikan shalat berjama’ah di masjid kita tercinta. Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Sanad hadits ini adalah: Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Hasan: Telah menceritakan kepada kami
Al-Ma’la bin Asad: Telah menceritakan kepada kami Abdul-Mun’im, dia adalah
Shahibus-Siqaa’ ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muslim
dari Al-Hasan dan ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdillah: …(selanjutnya disebutkanlah
haditsnya)…
(2) Sanad hadits ini adalah: Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Ishaq: Telah memberitakan kepada
kami ‘Ali bin ‘Abdil-‘Aziz: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hammad bin
Abi Thalib: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Mun’im bin Nu’aim Ar-Riyahi:
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Faid Al-Aswari: Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Muslim, dari Al-Hasan dan ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdillah:
…(selanjutnya disebutkan haditsnya)…
(3) Sanad hadits ini adalah: Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’d, Ahmad bin Muhammad Al-Malini: Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adi Al-Hafidh: Telah mengkhabarkan
kepada kami Ibrahim bin ‘Ali Al-‘Umari: Telah menceritakan kepada kami Mu’alla
bin Mahdi: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Harits: Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyan: Telah menceritakan kepada
kami Hamdan bin Haitsam bin Khalid Al-Baghdadi: Telah menceritakan kepada kami
Shubaih bin ‘Umar As-Sirafi: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin
‘Ubaidillah dari Al-Hasan dan ‘Atha’, mereka berdua dari Abu Hurairah, ia
berkata: …(selanjutnya disebutkan haditsnya)…
(4) Sanad hadits ini adalah: Telah
menceritakan kepada kami Abdullah: Telah menceritakan kepadaku Zakariyyah bin
Yahya bin ‘Abdillah bin Abi Sa’id Ar-Raqqaasyi Al-Khazaaz: Telah menceritakan
kepada kami Muslim bin Qutaibah: Telah menceritakan kepada kami Malik bin
Mighwal, dari Ibnul-Fadhl, dari Abu Al-Jauzaa’ dari Abu Bakr dari Ka’ab ia
berkata: (selanjutnya disebutkan haditsnya)
(5) Sebagaimana dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (jilid 2 no. 887).
(6) Sebagaimana dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi,
Imam Al-Baihaqi, dan Syaikh ‘Usamah Al-Qudsi dalam Kitaabul-Adzan (hal. 262).
(7) Sebagaimana dijelaskan oleh hadits:
أَنَّ
النَّبِىَّ كَانَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah keluar menuju masjid setelah adzan dikumandangkan” (HR. Baihaqi
dalam Al-Kubraa 2/19-20; shahih).
(8) Bahkan sebagian ulama
menghukuminya wajib!
(9) Tidak langsung
diiqamati begitu adzan selesai sebagaimana terjadi di sebagian masjid-masjid.
Anas bin Malik mengkhabarkan:
وَكُنَّا
نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلاةِ اْلمَغْرِبِ
“Kami biasa shalat dua raka’at setelah
matahari tenggelam sebelum melaksanakan shalat maghrib di masa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR.Muslim no. 836).
(10) Sebagaimana hadits
Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu:
كان بلال يؤذن
إذا دحضت فلا يقيم حتى يخرج النبي صلى الله عليه وسلم فإذا خرج أقام الصلاة حين
يراه
“Adalah Bilal mengumandangkan adzan apabila matahari telah tergelincir (yaitu waktu Dhuhur). Dan ia tidak mengumandangkan iqamah sampai melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Apabila ia telah melihat beliau, maka ia pun beriqamah” (HR. Muslim no. 606).
(11) Sebagaimana hadits:
أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ
يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا رَأَىَ أَهْلَ
الْمَسْجِدِ قَلِيلاً جَلَسَ حَتَّى يَرَى مِنْهُمْ جَمَاعَةً ثُمَّ يُصَلِّى ،
وَكَانَ إِذَا خَرَجَ فَرَأَى جَمَاعَةً أَقَامَ الصَّلاَةَ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah keluar menuju masjid setelah adzan dikumandangkan. Jika beliau
melihat jama’ah masjid masih sedikit, maka beliau duduk terlebih dahulu hingga
mereka berkumpul. Baru kemudian menegakkan shalat berjama’ah. Namun bila beliau
keluar dan melihat jama’ah masjid telah berkumpul, maka beliau langsung
menegakkan shalat” (HR. Baihaqi dalam Al-Kubraa 2/19-20; shahih).
Posting Komentar untuk "Lama Waktu Jarak antara Adzan dan Iqomah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.