Hari Arafah Dan Idul Adha Ikut Siapa?
Bila terjadi perbedaan
keputusan awal Dzulhijjah yang otomatis berbeda juga hari Arofah dan Idhul
Adha-nya antara Pemerintah Saudi Arabia dan Pemerintah kita seperti yang
terjadi tahun ini 1439 H, dimana terjadi perbedaan keputusan antara Saudi
dengan Indonesia. Hari ahad ini 12 Agustus sudah tanggal 1 Dzulhijjah di Saudi,
sedangkan keputusan Kemenag adalah besok Senin Agustus. Bagaimana
menyikapinya?!!
Kaum musliminin biasanya
akan berbeda pendapat dalam sikap sebagai berikut:
- Ada yang ikut pemerintah
dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak
- Ada yang ikut Saudi
Arabia dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak
- Ada yang ikut Saudi
Arabia dalam Arofah saja, sedangkan idhul adha tetap ikut pemerintah.
Masalah ini masalah yang
diperselisihkan ulama. Adapun pendapat yang kuat menurut kami adalah tetap ikut
Negara masing-masing dengan beberapa argumen kuat sebagai berikut:
1. Hal ini sesuai dengan
hadits Rasulullah:
الصَّوْمُ
يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
Puasa itu hari manusia
berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.
Perhatikanlah, Nabi tidak
membedakan antara idhul fithri dan idhul adha. Abul Hasan as-Sindi berkata
dalam Hasyiyah Ibnu Majah: “Dhohir hadits ini bahwa masalah-masalah ini (puasa,
idhul fithri dan idhul adha) bukan urusan pribadi, tetapi dikembalikan kepada
imam dan jama’ah. Dan wajib bagi personil untuk mengikuti imam dan jama’ah.
Oleh karenanya, apabila seorang melihat hilal lalu imam menolak persaksiannya,
hendaknya dia tidak mengikuti pendapatnya tetapi dia harus mengikuti jama’ah
dalam hal itu”.
2. Hal ini sesuai dengan
kaidah-kaidah Islam:
حُكْمُ
الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.
Oleh karenanya, para fuqoha’ menegaskan bahwa
hukum/keputusan pemerintah dalam masalah ini menyelesaikan perselisihan dan
perbedaan pendapat, karena hal ini akan membawa kemaslahatan persatuan kaum
muslimin yang juga merupakan kaidah agung dalam Islam. (Lihat Al-Istidzkar Ibnu
Abdil Barr 10/29 dan Rosail Ibnu Abidin 1/253).
Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syaukani
tatkala mengatakan: “Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta
membendung segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung
dan pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh
setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil
Al-Qur’an dan sunnah”. (Al-Fathur Robbani 6/2847-2848).
Inilah
pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhu Masyakhina Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, beliau berkata: “Demikian juga hari Arofah, ikutilah negara kalian
masing-masing”. Kata beliau juga: “Hukumnya satu, sama saja (baik dalam idhul fithri maupun
idhul adha)”. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin
19/41, 43)
Jawaban Terhadap Pendapat
Yang Tidak Mengikuti Pemerintah
Adapun pendapat yang
menyatakan bahwa Arofah ikut Saudi karena Arofah itu berkaitan dengan tempat,
sedangkan Arofah hanya ada di Saudi Arabia, maka pendapat ini perlu ditinjau
ulang kembali, karena beberapa hal:
Pertama: Akar perbedaan ulama
dalam masalah ini bukan karena Arofah itu berkaitan dengan tempat atau tidak,
tetapi kembali kepada masalah ru’yah hilal Dzulhijjah, apakah bila terlihat di
suatu Negara maka wajib bagi Negara lainnya untuk mengikutinya ataukah tidak?!
Dengan demikian, maka patokan Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah, adapun
istilah “Arofah” hanya sekedar mim bab Taghlib (kebanyakan saja). Marilah kita cermati hadits berikut:
فَإِذَا أُهِلَّ
هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Apabila hilal Dzulhijjah telah terlihat, dan
salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil
rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia menyembelih kurbannya. (HR. Muslim)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa
patokannya adalah terlihatnya hilal Dzilhijjah.
Kedua:
Kalau akar permasalahannya adalah karena tempat, hal itu berarti semua kaum
muslimin harus mengikuti ru’yah Dzulhijjah Saudi Arabia, sedangkan hal ini
tidak mungkin kalau tidak kita katakan mustahil, Karen Para ulama falak
-seperti dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- telah bersepakat bahwa
mathla’ hilal itu berbeda-beda. Dengan demikian maka mustahil bila semua kaum
muslimin di semua Negara ikut ru’yah Saudi Arabia, karena dimaklumi bersama
bahwa antara jarak antara Negara bagian barat dan timur sangat jauh sehingga
menyebabkan perbedaan tajam tentang waktu terbit dan tenggelamnya matahari,
mungkin matahari baru terbit di suatu tempat sedangkan dalam waktu yang
bersamaan matahari di tempat yang lain akan terbenam?! Lantas, bagaimana mungkin
semua kaum muslimin sedunia bisa berpuasa dan hari raya dalam satu waktu?!!
(Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Muhammad Burhanuddin hlm. 98-99. Lihat pula
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/47)
Ketiga: Kalau semua kaum muslim
sedunia harus mengikuti ru’yah Saudi dalam Arofah, kita berfikir jernih dan
bertanya-tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang dulu yang tidak
memiliki Hp atau telpon seperti pada zaman sekarang?! Apakah mereka menunggu
khabar dari saudara mereka yang berada di Arofah saat itu?! Apakah perbedaan
seperti ini hanya ada pada zaman kita saja?! Bukankah perbedaan seperti sudah
ada sejak dahulu?!
Al-Hafizh Ibnu Rojab
menceritakan bahwa pada tahun 784 H terjadi perselisihan di Negerinya tentang
hilal Dzul Qo’dah yang secara otomatis terjadi perbedaan tentang hari Arofah
dan idhul adha-nya. (Risalah fi Ru’yati Dzil Hijjah (2/599 -Majmu Rosail Ibnu
Rojab-).
Karenanya, di zaman Ibnu
Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam
menentukan hari Arofah dan hari raya 'Idul Adha.
Demikian juga Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah, beliau berkata: "Tatkala itu wuquf (padang
Arofah) di Mekah hari jum'at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari
raya
adha di Qohiroh (Mesir)
adalah hari jum'at". (Inbaa' Al-Ghomr bi Abnaa' al-Umr fi At-Taariikh
2/425).
Seandainya para ulama
dulu ikut ru’yah Saudi Arabia, lantas kenapa ada perselisihan semacam ini?!
Keempat: Jika memang yang
ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di
padang Arofah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing
negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya,
yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?. Jika penduduk
Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa
sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala
itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf
-misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?.
Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
(dinukil dari http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/786-kapan-puasa-arofah)
Kelima: Jika seandainya terjadi
malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu
tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa
dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arofah juga
tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arofah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arofah meskipun tidak ada yang
wukuf di padang Arofah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah yang dimaksudkan
adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Ala kulli hal
(bagaimanapun juga), kami sangat menyadari bahwa masalah ini adalah masalah
khilafiyyah mu’tabar, namun sebagai usaha persatuan kaum muslimin, kami
menghimbau agar kaum muslimin tidak menyelisihi pemerintah mereka masing-masing
karena hal itu berdampak negatif yang tidak sedikit, apalagi ini merupakan
himbaun Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Kemenag yang dalam hal ini mewakili
pemerintahan Indonesia. (Lihat Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia hlm. 42)
Sebagaimana juga kami
menghimbau kepada para dai dan mubaligh serta para ustadz untuk menanamkan
kepada masyarakat agar cerdas dalam menyikapi perbedaan dan berlapang dada
dalam menyikapi perbedaan seperti ini.
Bila ada yang berkata:
“Pendapat ini berarti menjadikan pemerintah sebagai Tuhan selain Allah”. Maka
kami katakan: Ini meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, ucapan ini kalau
memang pemerintah merubah ketentuan syari’at lalu kita mengikutinya, adapun
masalah kita sekarang adalah masalah ijtihadiyyah dan khilafiyyah yang
mu’tabar, maka sangat tidak tepat sekali ucapan di atas diletakkan dalam
masalah ini. Wallahu A’lam. (lihat Risalah fi Hilal Dzil Hijjah kry Ibnu Rojab
2/608)
Oleh: Al Ustadz Abu
Ubaidah Muhammad Yusuf As Sidawi -hafidzahullah-
Posting Komentar untuk "Hari Arafah Dan Idul Adha Ikut Siapa?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.