Adab-Adab Dalam Bercanda atau Bergurau
Berkelakar atau bercanda merupakan hal lumrah yang dilakukan manusia. Bahkan, kadang berkelakar sudah menjadi semacam ‘bumbu’ dalam setiap pembicaraan. Namun, adakalanya kita menemui seseorang yang berlebihan dalam bercanda dan tertawa, dan di lain pihak ada pula seseorang yang selalu bermuka kelam tanpa dihiasi garis-garis senyum di bibirnya. Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara dua kebathilan. Selain itu Islam juga merupakan agama yang komplit, yang mengatur segala sesuatu sampai dengan buang hajat dengan segala adabnya. Lalu,… bagaimana Islam membicarakan fiqh dalam bercanda?
Dalam beberapa riwayat menyebutkan
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda ketika memanggil
shahabatnya:
يَا ذَا اْلأُذُنَيْن
“Hai yang mempunyai dua telinga” (1)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga
pernah berkata kepada seorang perempuan tua: “Tidak ada perempuan tua yang
masuk surga”. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca ayat:
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ
إِنْشَاءً * فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka
(bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis
perawan”. (QS. Al-Waaqi’ah: 35-36) (2)
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu
diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, bawalah aku jalan-jalan”. Beliau
berkata: “Kami akan membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta”. Laki-laki itu
pun menukas: “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”. Beliau berkata:
وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ
إِلّا النُّوقُ
“Bukankah setiap unta adalah anak
ibunya?”. (3)
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
diriwayatkan bahwa ia berkata: “Orang-orang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah
engkau juga mengajak kami bercanda?’. Beliau menjawab:
إِنِّي لا أَقُولُ
إِلّا حَقّاً
“(Ya, tapi) tidaklah aku hanya
mengatakan sesuatu kecuali kebenaran (tanpa berdusta)“. (4)
Dari beberapa riwayat tentang
kelakar/bercandanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkumpul padanya
3 (tiga) perkara:
1. Tidak berdusta / tidak mengada-ada.
2. Jarang dilakukan (kadang-kadang).
3. Hendaknya bercanda itu melihat 3 Hal: Waktu (momen), Tempat, dan Etika (adab).
Tiga perkara di atas hendaknya
diperhatikan oleh kaum muslimin - baik bagi orang awam, para da’i, dan para
pemimpin - dalam bermuamalah terhadap sesama. Tidak halal hukumnya sengaja melucu dengan
hal-hal kedustaan agar manusia tertawa karenanya. Merupakan musibah di
masyarakat ketika profesi pelawak menjadi sangat laris di masyarakat. Hendaknya
mereka bertaubat kepada Allah ta’ala dan meninggalkannya, sebab Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengancam mereka (yang melucu dengan dusta agar
orang-orang tertawa) dengan sabdanya:
وَيْلٌ لِلَّذِي
يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ، لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Neraka Wail bagi orang yang
berbicara lalu berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka Wail
baginya, neraka Wail baginya”. (5)
Dengan demikian, berlebihan dalam
kelakar dan terus-terusan dengannya adalah terlarang, karena hal itu akan
menjatuhkan kehormatan dan menumbuhkan dendam serta kemarahan. Adapun kalau
sedikit, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka hal itu mengandung
kebaikan jiwa. Dan terakhir, tersisa nasihat emas dari salaf kita:
ينبغي لمن كان ضحوكاًَ
بسّاماًَ أن يُقصِّر من ذلك، ويلومَ نفسَه حتى لا تمجَّهُ الأَنفس، وينبغي لمن كان
عبوساً منقبضاً أن يتبسَّم، ويُحسن خُلقَه، ويمقتَ نفسَه على رداءة خُلُقه، وكلُّ انحراف
عن اعتدال فَمَذْموم، ولا بدَّ للنفس من مجاهدة وتأديب
“…Hendaknya mereka senang tertawa
untuk membatasi diri dan hendaknya mereka mencela diri sendiri sehingga jiwanya
tidak goyah. Sementara bagi mereka yang berwajah kusam masam, hendaknya mereka
tersenyum dan memperelokkan akhlaqnya, serta harus marah kepada diri sendiri
karena kejelekan akhlaqnya. Setiap penyimpangan yang keluar dari rel
penyimpangan adalah tercela. Sehingga jiwa itu perlu dididik dan dibenahi”. (6)
Footnote:
(1)
HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 235 dan Sunan-nya no. 1992, 3828;
Abu Dawud no. 5002; dan Ahmad 3/117, 127. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228.
(2)
HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail no. 240 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail no. 205 dan Ghayatul-Maram no. 375.
(3)
HR. Abu Dawud no. 4998 dan At-Tirmidzi no. 1991. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/228. .
(4)
HR. At-Tirmidzi no. 1990; dan beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/375.
(5)
HR. Abu Dawud dalam no. 4990 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/226.
(6)
Siyaaru A’lamin-Nubalaa’ 10/140, 141.
(Disadur dari Aina Nahnu min
Akhlaaqis-Salaf oleh ’Abdul-’Aziz bin Naashir Al-Jalil hal. 135-137)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi Assambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Adab-Adab Dalam Bercanda atau Bergurau"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.