Menyikapi Pemimpin Yang Dzhalim
Tanya: Bagaimana sikap kita dalam
menghadapi pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya
tidak sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyatnya?
Jawab: Hakekat kepemimpinan adalah amanat
yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala.
Allah ta’ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk
kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana
firman-Nya:
يَأَيّهَا الّذِينَ
آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah
kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” (QS. Al-Anfaal: 27)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin
yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya:
مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ
إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba pun yang
mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari
meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah
mengharamkan atasnya surga.” (HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142)
Lantas, bagaimana sikap kita jika
kita menemui pemimpin yang dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada
rakyatnya? Untuk menjawab hal ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan
kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan
para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini
sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
semenjak empatbelas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20
saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama
yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika
menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar
dan taat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ
بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan
menemui atsarah (yaitu: pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat –
AbuAl-Jauzaa’) Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl.” (HR.
Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata:
فيه الحث على السمع
والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع،
بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat
anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang
dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa
ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan
(perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan
sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia
menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah
memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya).” (Syarh
Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232)
عن علقمة بن وائل
الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يَا
نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ
وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ
عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ
بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا
وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami
dari ayahnya ia berkata: Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Nabiyullah, bagaimana
pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan
menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali
mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali.
Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah) Dan akhirnya beliau menjawab:
“(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas
mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat.” (HR.
Muslim no. 1846)
Hadits di atas merupakan jawaban yang
sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas
kedhaliman penguasa serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam
perkara-perkara yang ma’ruf. (1) Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ
فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk
mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia
benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila
ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh
taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu
Majah no. 2864) (2)
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata:
وفيه: أن الإمام
إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث: (( يعني:سمع كلام الحاكم
وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره
بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة الإمام ))
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan
At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu
memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk
melaksanakannya. Al-Muthahhar mengomentari hadits ini: ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan
penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia
memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak.
Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat
maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh
mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh
membangkang/memerangi penguasa tersebut.” (Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan
At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah)
Al-Harb berkata dalam kitabnya
Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf:
وإن أمرك السلطان
بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
“Jika sulthan (penguasa)
memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada
ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari
ketaatannya dan menahan haknya.” (Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal.
401)
Dan inilah contoh praktek nyata dari
salah satu Imam kaum muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
ketika terjadi fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur
Mu’tazillah dan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para
penguasa banyak menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin,
termasuk di antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap
penguasa yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur (3) Al-Imam Hanbal
rahimahullah mengisahkan:
أجتمع فقهاء بغداد
في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي –
وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا
نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك،
وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين،
ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح
بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته
– صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat
menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan
kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap
hak-hak kaum muslimin) Mereka mengadu: “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak
dan tersebar, yaitu ucapan: Al-Qur’an adalah makhluk (4) dan perkara
yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin) Kami tidak ridla
dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat
mereka dan berkata: “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian.
Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah),
janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian
menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian
akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan
bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang
yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan: “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin)
bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar.” (Al-Adabusy-Syar’iyyah
oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal
dalam As-Sunnah hal. 133)
Bersabar dan tidak keluar dari
ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap
diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada
penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak
boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk
menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat
provokatif: “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan
kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah
membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan
yang semisalnya. Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat
dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara
pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk
mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun akhirnya ditinggalkan
karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila itu berlanjut, api
fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah
darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan
negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara
umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.....
Islam sebagai agama yang hanif telah
memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada
penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ
بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ
عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati
sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia
menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil
tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat) Bila sulthan tersebut
mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan
tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah
melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 15369,
Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih
lighairihi)
Realisasi petunjuk Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah
bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan
fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh
telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu –
Abu Al-Jauzaa’)
عن أسامة بن زيد
قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد
كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu
‘anhu ia berkata: Seseorang berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak menemui
‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya?”. Maka Usamah menjawab: “Apakah engkau
memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu?
Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak
akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah
orang pertama yang membukanya” (HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989) (5)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata:
ولكنه ينبغي لمن
ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد
بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله
وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم
أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى
متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا
طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang
mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah
selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun
caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Hendaklah ia
mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan
nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan
diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam
(pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun
selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari
mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah
mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam
ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada
Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Al-Khaliq.” (As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1)
Inilah petunjuk Nabawi tentang
nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas
sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi:
إن من أعظم الجهاد
كلمة عدل عند سلطان جائر
“Sesungguhnya jihad yang paling besar
adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang
dhalim/jahat.” (HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no.
4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih)
Baca Juga: Jumlah Wanita Lebih Banyak dibanding Jumlah Lelaki (Tanda-tanda Dekatnya Hari Kiamat)
Mengapa disebut jihad yang paling
besar? Tidak lain karena ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di
hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap,
dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah
jihad baginya.
Kita tetap dituntut untuk menjelaskan
kepada umat bahwa yang haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil.
Misalnya saja, jika penguasa kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala
Yahudi yang menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak
mengatakan bahwa riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal
tersebut dan memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis
dan cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada
mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi
khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa tanpa ada
kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.
Kesimpulan: Bila kita mendapatkan penguasa
melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan
rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam
hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di
mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela
penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah
akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan
kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa
yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan.
Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan
kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat
mata) Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak
ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa
kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk
selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada
hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam
kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang
kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya
kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti
ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti
petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka
ia akan binasa. Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إنما الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya
dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)”. (HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no.
1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain)
(2) Sebagian orang ada yang mempunyai
pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan atau
berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya secara
keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak benar.
Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa
yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan secara
umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ألا من ولي عليه
وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa diperintah
atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat
(imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia
membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut) Dan
tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan”. (HR. Muslim no.
1855)
(3) Misalnya dapat dibaca dalam kitab
Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi yang tersebar dalam beberapa
juznya.
(4) Perkataan ini adalah perkataan
kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah
Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.
(5) Ibnu Hajar berkata (أي
باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة) “Yaitu pintu mengingkari para penguasa dengan cara
terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan persatuan
kaum muslimin akan tercerai-berai.” (Fathul Bari juz 13 penjelasan hadits nomor
6685)
(Ditulis ditengah keheningan malam
pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Menyikapi Pemimpin Yang Dzhalim"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.