PERBEDAAN AHLUS SUNNAH DENGAN AHLUL BID’AH DALAM MENYIKAPI DALIL DARI AL-QUR-AN & AS-SUNNAH
إِنَّ الْـحَمْدَ للهِ،
نَـحْمَدُهُ وَنَـسْـتَـعِـيْـنُـهُ وَنَـسْـتَـغْـفِـرُهُ، وَنَـعُـوْذُ بِـاللهِ
مِـنْ شُـرُوْرِ أَنْـفُـسِـنَا وَسَـيِّـئَـاتِ أَعْـمَالِـنَا، مَـنْ يَـهْـدِهِ
اللهُ فَـلَا مُـضِـلَّ لَـهُ، وَمَـنْ يُـضْـلِـلْ فَـلَا هَـادِيَ لَـهُ،
أَشْـهَـدُ أَنْ لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ لَـهُ وَحْـدَهُ لَا شَـرِيْـكَ،
وَأَشْـهَـدُ أَنَّ مُـحَـمَّـدًا عَـبْـدُهُ وَرَسُـوْلُـهُ
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى نَـبِـيِّـنَـا مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْـمَعِـيْـنَ
Ikhwaanii Fid Diin a’azzakumullaah. Kita berpegang teguh kepada
“Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf” (Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan
pemahaman Salaf): ini merupakan kenikmatan, merupakan kewajiban, merupakan
hidayah, merupakan cahaya, dan merupakan jalan menuju Surga. Ini harus kita
pegang: “Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf”.
Dan orang yang berpegang teguh kepada “Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa
Fahmis Salaf”: berbeda dengan Ahlul Bida’. Kalau Ahlul Bida’, mereka
mengatakan: berpegang kepada “Al-Qur-aan was Sunnah”; tapi pada hakikatnya
tidak.
Saya akan bawakan penjelasan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-
tentang perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bida’ dalam berpegang kepada
dalil, supaya jelas bagi kita: apakah kita betul-betul mengikuti Sunnah atau
tidak?
Sebab, banyak orang yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah, tapi
begitu sampai dalil; ditolak dalilnya. Kenapa dalil ditolak? Karena tidak
sesuai dengan hawa nafsunya. Atau dalil itu ditolak karena tidak ada ulama yang
berpendapat seperti itu. Jadi yang dilihat oleh dia bukan dalil, tapi yang
dilihat adalah perkataan ulama: Ada atau tidak ulama yang berpendapat berkata begini?
Ada atau tidak fatwa yang berkata begini? Adapun dalil; maka ditinggalkan
olehnya. Ini merupakan ciri dari Ahlul Bid’ah.
Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- menjelaskan dalam kitabnya
“Ash-Shawaa-‘iq al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil Mu’aththilah”. Di sini saya
bawakan dari “Muhktashar”-nya di jilid yang keempat. Kata beliau:
لَـهُمْ عَلَامَاتٌ أُخَرُ
“Ahlul Bida’ memiliki tanda-tanda yang lain.”
Yakni: selain yang disebutkan oleh Imam Abul Muzhaffar As-Sam’ani
-rahimahullaah-
أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ يَتْرُكُوْنَ أَقْوَالَ النَّاسِ لَـهَا،
وَأَهْلَ الْبِدَعِ يَتْرُكُوْنَهَا لِأَقْوَالِ النَّاسِ
“(YANG PERRTAMA): Ahlus Sunnah meninggalkan perkataan manusia
karena mengikuti Sunnah, sedangkan Ahlul Bid’ah meninggalkan Sunnah karena
mengikuti perkataan manusia.”
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ يَعْرِضُوْنَ أَقْوَالَ النَّاسِ
عَلَيْهَا، فَمَا وَافَقَهَا؛ قَبِلُوْهُ وَمَا خَالَفَهَا؛ طَرَحُوْهُ، وَأَهْلَ
الْبِدَعِ يَعْرِضُوْنَهَا عَلَى آرَاءِ الرِّجَالِ، فَمَا وَافَقَ آرَاءَهَا
مِنْهَا؛ قَبِلُوْهُ وَمَا خَالَفَهَا؛ تَرَكُوْهُ وَتَأَوَّلُوْهُ
“(YANG KEDUA): Ahlus Sunnah menimbang perkataan manusia dengan
Sunnah, apa saja dari perkataan (manusia) tersebut yang sesuai Sunnah; maka
mereka terima, dan apa saja yang menyelisihi Sunnah; mereka buang. Sedangkan
Ahlul Bid’ah, mereka menimbang Sunnah dengan pendapat manusia, apa saja dari
Sunnah yang sesuai dengan pendapat mereka; maka mereka terima, dan apa yang
tidak sesuai dengan pendapat mereka; maka mereka tinggalkan, bahkan mereka
berusaha untuk mentakwilnya.”
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ
السُّنَّةِ يَدْعُوْنَ عِنْدَ التَّنَازُعِ إِلَـى التحَاكُمِ إِلَيْهَا دُوْنَ
آرَاءِ الرِّجَالِ وَعُقُوْلِـهَا، وَأَهْلَ الْبِدَعِ يَدْعُوْنَ إِلَـى
التَّحَاكُمِ إِلَـى آرَاءِ الرِّجَالِ وَمَـعْـقُـوْلَاتِـهَا
“(YANG KETIGA): Ahlus Sunnah mengajak manusia -ketika berselisih-
untuk berhukum kepada Sunnah, bukan kepada pendapat ulama dan akal mereka.
Sedangkan Ahlul Bid’ah mengajak manusia -ketika berselisih- untuk berhukum
kepada pendapat ulama dan akal mereka.”
Ahlus Sunnah mengajak manusia -ketika berselisih- untuk berhukum
kepada Sunnah, dasarnya adalah:
1. Firman Allah:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِـيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَـى اللهِ
وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“...jika kamu berlainan pendapat (berselisih) tentang
sesuatu; maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
2. Firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُـحَكِّمُوْكَ فِـيْمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُـمَّ لَا يَـجِدُوْا فِـيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِـمَّا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِــيْمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Jadi, ketika berselisih: kembalikan kepada dalil, bukan kepada
akal, bukan kepada ulama. Ini penjelasan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-,
dasarnya dari dalil, dari Al-Qur-an dan Hadits.
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ إِذَا صَحَّتْ لَـهُمُ
السُّنَّةُ عَنْ الرَّسُوْلِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-؛ لَـمْ
يَتَوَقَّفُوْا عَنِ الْعَمَلِ بِـهَا وَاعْتِقَادِ مُوْجِبِهَا عَلَى أَنْ
يُوَافِقَهَا مُوَافِقٌ، بَلْ يُبَادِرُوْنَ إِلَـى الْعَمَلِ بِـهَا مِنْ غَيْرِ
نَظَرٍ إِلَـى مَنْ وَافَقَهَا أَوْ خَالَفَهَا، وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ
-رَحِـمَهُ اللهُ- عَلَى ذٰلِكَ فِـيْ كَثِيْـرٍ مِنْ كُتُبِهِ، وَعَابَ عَلَى
مَنْ يَقُوْلُ: لَا أَعْمَلُ بِالْـحَدِيْثِ حَتَّـى أَعْرِفَ مَنْ قَالَ بِـهِ
وَذَهَبَ إِلَيْهِ، بَلِ الْوَاجِبُ عَلَى مَنْ بَلَغَتْهُ السُّنَّةُ
الصَّحِيْحَةُ: أَنْ يَقْبَلَهَا وَأنْ يُعَامِلَهَا بِـمَا كَانَ يُعَامِلُهَا
بِهِ الصَّحَابَةُ حِيْـنَ يَسْمَعُوْنَهَا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَيُنَزِّلُ نَفْسَهُ مَنْزِلَةَ مَنْ سَـمِعَهَا مِنْهُ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ -رَحِـمَهُ اللهُ-:
وَأَجْـمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: لَـمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ
أَحَدٍ، وَهٰذَا مِنْ أَعْظَمِ عَلَامَاتِ أَهْلِ السَّنَّةِ أَنَّهُمْ لَا
يَتْرُكُوْنَهَا إِذَا ثَبَتَتْ عِنْدَهُمْ لِقَوْلِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ
كَائِنًا مَنْ كَانَ
“(YANG KEEMPAT): Ahlus Sunnah, apabila telah shahih satu Sunnah
dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka mereka tidak lantas
berdiam diri dari mengamalkannya dan meyakininya sampai ada orang yang setuju
dengan mereka. Akan tetapi mereka langsung bersegera mengamalkannya tanpa
melihat kepada orang yang setuju dengannya atau tidak. Imam Asy-Syafi’i
-rahimahullaah- telah mengatakan hal demikian dalam banyak kitabnya, beliau
mencela orang yang mengatakan: “Aku tidak akan mengamalkan hadits sampai aku
mengetahui siapa yang mengambil hadits tersebut dan mengamalkannya.” Padahal
wajib bagi orang yang sampai kepadanya satu Sunnah yang shahih: untuk
menerimanya dan memperlakukannya sebagaimana para Shahabat -radhiyallaahu
‘anhum- memperlakukannya ketika mereka mendengarnya langsung dari Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dia harus memposisikan dirinya seperti orang yang
mendengar langsung dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Imam
Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata: “Manusia telah sepakat bahwa: siapa yang
telah jelas baginya Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka ia
tidak boleh meninggalkannya karena perkataan siapa pun.” Ini merupakan
sebesar-besar ciri Ahlus Sunnah, mereka tidak akan meninggalkan Sunnah karena
perkataan seorang manusia, siapa pun dia.”
Jadi, ketika kita mendengar hadits dan hadits ini shahih; kita
harus ingat: seperti kita mendengar langsung dari Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, sebagaimana para Shahabat mendengar langsung hadits Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; langsung mengamalkan, tidak menunggu: “Hadits
ini harus ditanyakan kepada orang: apakah dia setuju atau tidak? Semua orang
setuju atau tidak? Ada tidak ulama yang setuju dengan hadits ini? Kalau tidak;
maka tidak diamalkan.” Islam tidak begitu. Kalau sudah ada dalil; amalkan dalil
itu.
Ini penjelasan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-.
وَمِنْهَا: أَنَّهُمْ لَا يَنْتَسِبُوْنَ إِلَـى مَقَالَةٍ
مُعَيَّنَةٍ وَلَا إِلَـى شَخْصٍ مُعَـيَّـنٍ غَيْرِ الرَّسُوْلِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَلَيْسَ لَـهُمْ لَقَبٌ يُعْرَفُوْنَ بِهِ، وَلَا نِسْبَةٌ
يَنْتَسِبُوْنَ إِلَيْهَا إِذَا انْتَسَبَ سِوَاهُمْ إِلَـى الْمَقَالَاتِ
الْمُحْدَثَةِ وَأَرْبَابِـهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ أَئِمَّةِ أَهْلِ السُّنَّةِ
وَقَدْ سُئِلَ عَنْهَا؛ فَقَالَ: السُّنَّةُ مَا لَا اسْمَ لَهُ سِوَى السُّنَّةِ،
وَأَهْلُ الْبِدَعِ يَنْتَسِبُوْنَ إِلَـى الْمَقَالَةِ تَارَةً كَالْقَدَرِيَّةِ
وَالْمُرْجِئَةِ، وَإِلَـى الْقَائِلِ تَارَةً كَالْـهَاشِـمِيَّةِ
وَالنَّجَّارِيَّةِ وَالضِّرَاوِيَّةِ، وَإِلَـى الْفِعْلِ تَارَةً
كَالْـخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ، وَأَهْلُ السُّنَّةِ بَرِيْـــئُوْنَ مِنْ هَذِهِ
النِّسَبِ كُلِّهَا، وَإِنَّـمَا نِسْبَتُهُمْ إِلَـى الْـحَدِيْثِ وَالسُّنَّةِ.
“(YANG KELIMA): Ahlus Sunnah tidak menisbatkan diri mereka kepada
perkataan atau pendapat tertentu, tidak juga kepada orang tertentu selain
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, mereka tidak memiliki julukan
tertentu, tidak juga menisbatkan diri kepada nisbat tertentu -ketika selain
mereka menisbatkan dirinya kepada pandapat yang baru dan orang yang
mengatakannya-. Sebagaimana perkataan sebagian imam Ahlus Sunnah ketika ditanya
tentangnya (Sunnah); ia menjawab: “Sunnah itu tidak memiliki nama selain Sunnah
itu sendiri.” Adapun Ahlul Bid’ah, terkadang menisbatkan diri kepada pendapat
tertentu; seperti: Qadariyyah dan Murji-ah, atau menisbatkan diri kepada
seseorang; seperti: Hasyimiyyah (pengikut Abu Hasyim bin Muhammad bin
Al-Hanafiiyah), Najjariyyah (pengikut Husain bin Muhammad An-Najjar, seorang
tokoh Murji-ah), atau Dhirariyyah (pengikut Dhirar bin ‘Amr Al-Kufi Al-Qadhi,
seorang tokoh Mu’atazilah), terkadang juga Ahlul Bid’ah menisbatkan diri mereka
kepada perbuatan tertentu; seperti: Khawarij dan Rafidhah. (Berbeda dengan
Ahlus Sunnah), Ahlus Sunnah berlepas diri semua penisbatan ini, nisbat mereka
hanya kepada Hadits dan Sunnah.”
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ
السُّنَّةِ إِنَّـمَا يَنْصُرُوْنَ الْـحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ وَالْآثَارَ
السَّلَفِيَّةَ، وَأَهْلَ الْبِدَعِ يَنْصُرُوْنَ مَقَالَاتِـهِمْ وَمَذَاهِبِهِمْ.
“(YANG KEENAM): Ahlus Sunnah hanya membela Hadits yang shahih dan
atsar-atsar Salafush Shalih, dan Ahlul Bida’; mereka membela: pendapat-pendapat
dan juga madzhab mereka.”
Jadi, bukan dalil yang mereka (Ahlul Bid’ah) bela, tapi pendapat.
Jadi, kalau ada fatwa dan ada dalil; maka mana yang kita ikuti?
Dalil yang kita ikuti, meskipun sendiri yang ikut dalil. Ibnul Qayyim
-rahimahullaah- sudah menjelaskan demikian. Bahkan beliau menyebutkan bahwa:
orang yang berpegang dengan dalil meskipun dia sendiri; dia tidak syadz. Justru
yang syadz (yang ganjil) adalah: yang menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah,
beliau jelaskan dalam kitabnya “Al-Furuusiyyah”.
Jadi, ini yang harus kita ikuti. Antum sebagai thalibul ‘ilmi
(penuntut ilmu): harus mencari dan menimbang. Kalau yang dibawakan adalah
dalil; maka ikuti dalil. Dan seperti itu dalam kehidupan kita: berusaha mencari
dan bertanya, untuk mengikuti dalil. Kita akan selamat dunia dan akhirat dengan
mengikuti dalil “Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf” (Al-Qur-an dan
As-Sunnah dengan pemahaman Salaf).
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ
إِذَا ذَكَرُوا السُّنَّةَ وَجَرَّدُوا الدَّعْوَةَ إِلَيْهَا؛ نَفَرَتْ مِنْ
ذٰلِكَ قُلُوْبُ أَهْلِ الْبِدَعِ، فَلَهُمْ نَصِيْبٌ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى:
{...وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِـي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى
أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا} وَأَهْلَ الْبِدَعِ إِذَا ذُكِرَتْ لَـهُمْ شُيُوْخُهُمْ
وَمَقَالَاتُهُمْ؛ اسْتَبْشَرُوْا بِـهَا، فَهُمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَإِذَا
ذُكِرَ اللهُ وَحْدَهُ اشْـمَأَزَّتْ قُلُوْبُ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ إِذَا هُمْ
يَسْتَبْشِرُوْنَ}
“(YANG KETUJUH): Ahlus Sunnah apabila menyebut tentang Sunnah dan
menitikberatkan dakwah mereka kepadanya; maka hati Ahlul Bid’ah lari (tidak
senang), maka mereka ini mendapatkan bagian dari firman Allah Ta’aalaa: “...Dan
apabila engkau menyebut Rabb-mu saja dalam Al-Qur-an; mereka berpaling ke
belakang melarikan diri (karena benci).” (QS. Al-Israa’: 46). Dan Ahlul Bid’ah,
apabila disebut syaikh mereka dan juga pendapat mereka; mereka bergembira,
mereka seperti yang Allah firmankan: “Dan apabila yang disebut hanya nama
Allah; kesal sekali hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun
apabila nama-nama sembahan selain Allah yang disebut; tiba-tiba mereka menjadi
bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ يَعْرِفُوْنَ الْـحَقَّ
وَيَرْحَـمُوْنَ الْـخَلْقَ، فَلَهُمْ نَصِيْبٌ وَافِرٌ مِنَ الْعِلْمِ
وَالرَّحْـمَةِ، وَرَبُّهُمْ تَعَالَـى وَسِعَ كُلَّ شِيْءٍ رَحْـمَةً وَعِلْمًا،
وَأَهْلَ الْبِدَعِ يُكَذِّبُوْنَ بِالْـحَقِّ وَيَكَفِّرُوْنَ الْـخَلْقَ، فَلَا
عِلْمَ عِنْدَهُمْ وَلَا رَحْـمَةَ، وَإِذَا قَامَتْ عَلَيْهِمْ حُجَّةُ أَهْلِ
السُّنَّةِ؛ عَدَلُوْا إِلَـى حَبْسِهِمْ وَعُـقُـوْبَــتِـهِمْ إِذَا
أَمْكَنَهُمْ، وِرَاثَـةً عَنْ فِرْعَوْنَ، فَإِنَّهُ لَمَّا قَامَتْ عَلَيْهِ
حُجَّةُ مُوْسَى وَلَـمْ يُـمْكِنْهُ عَنْهَا جَوَابٌ؛ {قَالَ لَئِنِ اتَّـخَذْتَ
إِلٰـهًا غَيْرِيْ لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُوْنِـيْـنَ}
“(YANG KEDELAPAN): Ahlus Sunnah, mereka mengetahui kebenaran dan
mereka sayang kepada makhluk. Mereka mendapatkan bagian yang sangat banyak dari
ilmu dan rahmat, dan Rabb mereka rahmat-Nya dan ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu. Sedangkan Ahlul Bid’ah, mereka mendustakan kebenaran dan mengkafirkan
makhluk. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidak juga memiliki rahmat. Apabila
mereka kalah hujjah dengan Ahlus Sunnah; maka mereka beralih untuk memenjarakan
dan menghukum Ahlus Sunnah; apabila memungkinkan. Hal ini sebagai warisan
Fir’aun, karena ketika dia kalah hujjah dari Nabi Musa dan tidak bisa
menjawabnya; “Dia (Fir’aun) berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah
(sesembahan) selain aku; pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.”.” (QS.
Asy-Syu’araa’: 29)”
* Antum perhatikan yang kedelapan ini: bahwa Ahlus Sunnah itu tahu
kebenaran, tahu dalil dari “Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf”, dan mereka
sayang kepada makhluk. Sayangnya Ahlus Sunnah kepada makhluk karena mereka
menjelaskan kebenaran kepada umat. Itu sayangnya mereka kepada umat. Mereka
tahu dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah; mereka jelaskan, supaya umat ini faham
tentang dalil itu dan mengamalkan dalil itu.
Seperti: Ahlus Sunnah tahu tentang Tauhid, tentang keutamaan
Tauhid, tentang wajibnya manusia seluruhnya untuk mentauhidkan Allah. Kemudian
Ahlus Sunnah menjelaskan tentang Tauhid ini dan melarang mereka dari berbuat
syirik, karena sayang kepada makhluk. Karena syirik merupakan dosa besar yang
paling besar, kezhaliman yang paling zhalim, dan kemungkaran yang paling
mungkar. Dijelaskan supaya mereka tidak terjatuh dalam kesyirikan. Sebab, kalau
umat ini jatuh dalam kseyirikan; maka terhapus seluruh amalnya dan mereka
diharamkan masuk Surga.
Begitu juga Ahlus Sunnah tahu tentang Sunnah, wajib mengikuti
Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka dijelaskan tentang Sunnah.
Dan Ahlus Sunnah tahu tentang bahaya bid’ah, sebab Nabi -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِـي النَّارِ
“Setiap Bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di
Neraka.”
Ini sabda Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka kita
jelaskan terus tentang bahaya bid’ah, agar orang tidak melakukan perbuatan
bid’ah, karena ketika dia melakukan perbuatan bid’ah; amalnya tidak diterima
oleh Allah, perbuatan itu tidak diterima oleh Allah. Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari
kami; maka amalan tersebut tertolak.”
Dan mereka diancam masuk Neraka. Dan masih banyak lagi tentang
bahaya bid’ah ini.
Maka Ahlus Sunnah ini sayang, sehingga mereka menjelaskan Tauhid
dan melarang dari perbuatan syirik, menjelaskan Sunnah, mengajak orang kepada
Sunnah dan melarang dari perbuatan bid’ah: karena mereka sayang. Mengajak umat
kepada ketaatan dan menjauhkan maksiat: karena mereka sayang. Inilah Ahlus
Sunnah. Justru Ahlus Sunnah ini adalah orang yang paling sayang kepada umat
ini, berbeda dengan Ahlul Bid’ah: mereka tidak sayang kepada umat.
Jadi, bukan hanya menjelaskan tentang Tauhid saja, tapi bagaimana
mengajak orang untuk beribadah dengan mentauhidkan Allah, melarang orang dari
syirik: ini bentuk sayangnya Ahlus Sunnah kepada umat. Bukan dibiarkan umat
dalam kesyirikan, bukan dibiarkan umat dalam bid’ah, bukan dibiarkan umat dalam
kebodohan, kejahilan, dan kezhaliman. Justru dijelaskan oleh Ahlus Sunnah, di
sini mereka ini sayang kepada umat, tapi dituduh oleh setan: keras, memecah
belah umat. Yang pertama kali mengatakan ini adalah setan, supaya orang menjauh
dari Tauhid, supaya orang menjauh dari Sunnah.
* “Sedangkan Ahlul Bid’ah, mereka mendustakan kebenaran dan
mengkafirkan makhluk. Mereka tidak memiliki ilmu dan tidak juga memiliki
rahmat.” Ini penjelasan dari Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah-, beliau sebagai
orang yang berilmu dan sudah berdakwah di masyarakat selama puluhan tahun, beliau
tahu bahwa Ahlul Bid’ah itu selalu mendustakan kebenaran, dibawakan dalil
Al-Qur-an dan As-Sunnah: mereka tolak. Dan mereka mengkafirkan makhluk, orang
yang tidak sesuai dengan mereka: dikafirkan.
Mereka (Ahlul Bid’ah) tidak punya ilmu dan tidak punya sayang.
Seandainya mereka hafal Al-Qur-an; mereka tidak tahu tentang maknanya, tidak
tahu tentang tafsirnya, tidak tahu bagaimana penjelasan para ulama Salaf
tentang ayat itu. Dan mereka tidak sayang kepada umat, karena mereka tidak
menunjukki. Muridnya banyak, belajar bertahun-tahun: tidak tahu tentang Tauhid,
tidak tahu tentang rukun “Laa Ilaaha Illallaah”, tidak tahu tentang syarat “Laa
Ilaaha Illallaah”, tidak tahu bagaiamana beribadah kepada Allah, tidak tahu
tentang kesyirikan dan tidak tahu wajibnya menjauhkan diri dari kesyirikan.
Tidak dijelaskan tentang bid’ah selama-lamanya, mereka sembunyikan. Mereka
tidak sayang kepada umat ini.
* “Apabila mereka kalah hujjah dengan Ahlus Sunnah; maka mereka
beralih untuk memenjarakan dan menghukum Ahlus Sunnah; apabila memungkinkan.”
Mereka tidak mampu membantah dalil-dalil “Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis
Salaf”; maka mereka beralih untuk memenjarakan dan menyiksa Ahlus Sunnah;
apabila memungkinkan, ini cara Ahlul Bid’ah sepanjang zaman. Kalau mereka sudah
tidak mampu membantah dalil-dalil Ahlus Sunnah; mereka minta tolong kepada
penguasa supaya memenjarakan Ahlus Sunnah. Dan itu terjadi, seperti yang
dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah-, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah -rahimahullaah-, dan juga para imam yang lainnya. Dan “ini sebagai
warisan Fir’aun, karena ketika dia kalah hujjah dari Nabi Musa dan tidak bisa
menjawabnya; “Dia (Fir’aun) berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah
(sesembahan) selain aku; pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.”.” (QS.
Asy-Syu’araa’: 29)”
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ إِنَّـمَا يُوَالُوْنَ
وَيُعَادُوْنَ عَلَى سُنَّةِ نَـبِـيِّـهِمْ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-،
وَأَهْلَ الْبِدَعِ يُوَالُوْنَ وَيُعَادُوْنَ عَلَى أَقْوَالٍ ابْتَدَعُوْهَا.
“(YANG KESEMBILAN): Ahlus Sunnah hanya loyal (setia) dan benci
atas dasar Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan Ahlul Bida’,
mereka loyal (setia) dan benci atas dasar pendapat-pendapat yang mereka
ada-adakan.”
Jadi, Ahlus Sunnah, mereka setia dan cinta kepada orang-orang yang
melaksanakan Sunnah, dan mereka benci kepada orang-orang yang tidak
melaksanakan Sunnah, dan benci terhadap orang-orang yang membenci Sunnah Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Sedangkan Ahlul Bida’, mereka loyal dan mereka benci bukan
berdasarkan dalil, tapi kepada pendapat mereka, kepada kaidah mereka, kepada
tokoh mereka, itu yang mereka loyal dan benci. Jadi, kalau kita mencela
pendapat mereka yang tidak berdasarkan dalil; mereka marah.
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ
السُّنَّةِ لَـمْ يُؤَصِّلُوْا أُصُوْلًا حَكَّمُوْهَا وَحَاكَمُوْا خُصُوْمَهُمْ
إِلَيْهَا وَحَكَمُوْا عَلَى مَنْ خَالَفَهَا بِالتَّفْسِيْقِ وَالتَّكْفِيْرِ،
بَلْ عِنْدَهُمْ الْأُصُوْلُ: كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَمَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ.
“(YANG KESEPULUH): Ahlus Sunnah tidak membuat prinsip-prinsip yang
mereka jadikan sebagai landasan pemutusan hukum, dan tidak juga mengajak orang
yang menyelisihi mereka untuk berhukum kepada prinsip tersebut, dan tidak juga
menghukumi orang yang menyelisihi dengan fasik dan kafir. Akan tetapi prinsip
yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah: Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang
ditempuh oleh para Shahabat.”
Jadi, mereka (Ahlus Sunnah) tidak membuat-buat prinsip, tidak
membuat kaidah-kaidah sendiri; yang orang harus mengikuti prinsip itu, atau
mengajak berhukum dengan prinsip tersebut dan menghukumi orang yang
menyelisihinya dengan hukum fasik dan kafir.
Adapun Mu’tazilah maupun yang lainnya: punya prinsip. Ada lima prinsip
yang dimiliki oleh Mu’tazilah yang mereka berhukum dengan prinsip itu.
Kalau Ahlus Sunnah: dasarnya adalah dalil dari “Al-Qur-aan Was
Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf”.
Kalau mereka (Ahlul Bid’ah) sudah membuat prinsip; maka orang yang
menyelisihi prinsip itu: dikafirkan.
Mu’tazilah punya prinsip “Ushuul Khamsah”, kelompok yang lain
punya prinsip yang lain, banyak kelompok-kelompok yang membuat prinsip. Sampai
yang terakhir: Jama’ah Tabligh punya enam prinsip, yang mereka wala’ wal
bara’-nya dengan enam prinsip itu. Bisa dilihat pada buku “Mulia dengan Manhaj
Salaf”.
Adapun Ahlus Sunnah; maka semua prinsipnya: berdasarkan dalil
“Al-Qur-aan Was Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf”, ikuti dalil, sudah itu saja. Kita
ajak umat untuk berhukum dengan dalil, bukan dengan kaidah-kaidah atau yang
lainnya.
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ
السُّنَّةِ إِذَا قِـيْلَ لَـهُمْ: قَالَ الله، وَقَالَ رَسُوْلُهُ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-؛ وَقَفَتْ قُلُوْبُهُمْ عِنْدَ ذٰلِكَ، وَلَـمْ تَعْدُهُ
إِلَـى أَحَدٍ سِوَاهُ، وَلَـمْ تَلْتَفِتْ إِلَـى مَاذَا قَالَ فُلَانٌ
وَفُلَانٌ، وَأَهْلَ الْبِدَعِ بِـخِلَافِ ذٰلِكَ.
“(YANG KESEBELAS): Ahlus Sunnah apabila dikatakan kepada mereka
firman Allah dan sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka hati mereka
berhenti padanya (mematuhinya), tidak melampauinya kepada selainnya, hati
mereka tidak menoleh sedikit pun kepada perkataan fulan dan fulan. Sedangkan
Ahlul Bid’ah: tidak seperti itu.”
Ahlus Sunnah kalau sudah “Qaalallaah” (Allah berfirman) “Qaalar
Rasuul” (Rasul bersabda); maka ikut “Qaalallaah”, “Qaalar Rasuul”, tidak
menunggu. Kalau sekarang yang terjadi tidak demikian: kalau disampaikan dalil
Al-Qur-an dan As-Sunnah; maka menunggu: Apa kata fulan? Apa kata Syaikh Fulan?
Apa kata Ulama Fulan? Kalau sudah Syaikh yang berkata; maka dalil dibuang,
Syaikh lebih utama, tunggu fatwa Syaikh dulu. Padahal dalil sudah dibawakan,
Al-Qur-an dan Hadits sudah dibawakan; tapi berkata: “Tidak. Fatwanya Syaikh
bagaimana?” Atau: “Tanya dulu pada Syaikh.” Harusnya orang beriman begitu
sampai dalil kepadanya: “Sami’naa wa Atha’naa” (kami mendengar dan kami taat),
ikuti dalil.
Oleh karen itu antum lihat pada poin yang keempat:
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ
رَحِـمَهُ اللهُ-: وَأَجْـمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ
سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-؛ لَـمْ يَكُنْ لَهُ
أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Imam Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata: “Manusia telah sepakat:
bahwa siapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-; maka ia tidak boleh meninggalkannya karena perkataan siapa pun.”
Ini juga disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- dalam
kitabnya “I’laamul Muwaqqi’iin”.
Jadi, kalau sudah datang Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam-: “Sami’naa wa Atha’naa” (kami mendengar dan kami taat), Allah
berfirman:
إِنَّـمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِـيْـنَ إِذَا دُعُوْا إِلَـى
اللهِ وَرَسُولِهِ لِـيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُوْلُوْا سَـمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُوْلٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka;
mereka berkata, ““Sami’naa wa Atha’naa” (kami mendengar dan kami taat).” Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur: 51)
Jadi, tidak menunggu perkataan fulan atau Syaikh Fulan, atau yang
lainnya -meskipun seorang hanya sendirian (berpegang kepada Sunnah) atau hanya
beberapa orang-, tidak menunggu orang banyak. Ini harus diperhatikan: dalil
harus kita ikuti. Yang memerintahkan demikian adalah Allah dalam Al-Qur-an,
yang memerintahkan adalah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Jadi, kita harus perhatikan -sebagaimana pada poin yang keempat-:
bagaimana kalau yang bersabda itu Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
di depan kita; apakah kita katakan: “Nanti wahai Rasulullah, tunggu dulu: fulan
belum berkata begitu.” Coba antum sekarang begitu datang dalil (hadits yang
shahih); seperti kita mendengar langsung dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam-, beliau menyampaikan langsung. Harusnya begitu Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda; kita katakan: “Sami’naa wa Atha’naa”
(kami mendengar dan kami taat), tidak mengatakan: “Nanti wahai Rasulullah, saya
tunggu dulu perkataan fulan, fulan, Syaikh Fulan.” Atau: “Tunggu fatwa dulu.”
Orang yang beriman begitu sampai dalil kepadanya; maka dia melaksanakan, dia
katakan: “Sami’naa wa Atha’naa”.
Adapun Ahlul Bida’; maka mereka menunggu dulu perkataan syaikhnya,
tokohnya, dalil ditunda dulu, dia tunggu apa kata syaikhnya terlebih dahulu:
وَمِنْهَا: أَنَّ أَهْلَ
الْبِدَعِ يَأْخُذُوْنَ مِنَ السُّنَّةِ مَا وَافَقَ أَهْوَاءَهُمْ، صَحِيْحًا
كَانَ أَوْ ضَعِيْفًا، وَيَتْرُكُوْنَ مَا لَـمْ يُوَافِقْ أَهْوَاءَهُمْ مِنَ
الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ، فَإِذَا عَجَزُوْا عَنْ رَدِّهِ؛ بَغَوْهُ عِوَجًا
بِالتَّأْوِيْلَاتِ الْمُسْتَنْكَرَةِ الَّتِـيْ هِيَ تَـحْرِيْفٌ لَهُ عَنْ
مَوَاضِعِهِ، وَأَهْلَ السُّنَّةِ لَيْسَ لَـهُمْ هَوًى فِـيْ غَـيْـرِهَا.
“(YANG KEDUA BELAS): Ahlul Bida’ mengambil Sunnah yang sesuai
dengan hawa nafsu mereka, baik (haditsnya) shahih maupun dha’if, dan mereka
meninggalkan hadits-hadits yang shahih yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Ketika mereka tidak mampu lagi menolaknya; maka mereka membengkokkannya dengan
takwil-takwil yang mungkar, yang merupakan perubahan terhadap Sunnah tersebut
dari tempatnya. Adapun Ahlus Sunnah, mereka menempatkan hawa nafsu pada
selainnya.”
Mereka (Ahlul Bida’) mentakwil ayat atau hadits, karena mereka
mengikuti hawa nafsunya.
Adapun Ahlus Sunnah, apabila sudah datang dalil Al-Qur-an dan
As-Sunnah; maka mereka ikut dalil, mereka katakan: “Sami’naa wa Atha’naa” (kami
mendengar dan kami taat).
Inilah penjelasan Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- tentang
ciri-ciri Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, ada dua belas poin.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Wa Sallallaahu ‘Alaa Nabiiyyinaa Muhammadin Wa ‘Alaa Aalihi Wa
Shahbihi Wa Sallam.
Link Pdf = Buka & Download
Oleh:
Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
Posting Komentar untuk " PERBEDAAN AHLUS SUNNAH DENGAN AHLUL BID’AH DALAM MENYIKAPI DALIL DARI AL-QUR-AN & AS-SUNNAH"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.