Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tinjauan Kaidah Syar‘i terhadap Rekayasa Bentuk Hewan dalam Perspektif Fikih Islam

Kabeldakwah.com

Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘ālamīn memiliki sistem hukum yang sangat komprehensif dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan seluruh makhluk hidup. Termasuk di dalamnya adalah etika memperlakukan hewan dan batasan pemanfaatannya. Fenomena rekayasa bentuk hewan—seperti praktik pembentukan ikan “short body” demi nilai jual—perlu dikaji secara serius menggunakan kaidah-kaidah syar‘i agar umat tidak terjerumus pada perbuatan yang bertentangan dengan prinsip syariat. Kajian ini menjadi penting karena menyentuh aspek akhlak, muamalah, dan tujuan syariat (maqāṣid al-syarī‘ah).

 1. Larangan Menyakiti Hewan Tanpa Maslahat yang Dibenarkan

Prinsip dasar dalam Islam adalah larangan menyakiti makhluk hidup tanpa alasan yang sah secara syar‘i. Hewan memang diciptakan untuk dapat dimanfaatkan manusia, namun pemanfaatan tersebut tidak boleh disertai unsur penyiksaan, kekejaman, atau penderitaan yang tidak perlu. Rasulullah menegaskan prinsip ini dalam banyak riwayat. Di antaranya hadits-hadits tersebut dirumuskan oleh para ulama dengan ungkapan:

«مَنْ عَذَّبَ ذَاتَ رُوحٍ بِغَيْرِ حَقٍّ فَهُوَ آثِمٌ»

“Barang siapa menyiksa makhluk bernyawa tanpa hak, maka ia berdosa.”

Ini menegaskan bahwa menyakiti hewan hanya dibenarkan apabila ada ḥaqq syar‘i, seperti untuk makanan, pengobatan, atau perlindungan dari bahaya. Adapun tindakan yang semata-mata bertujuan estetika atau komersial, sementara menimbulkan penderitaan fisik pada hewan, tidak dapat dibenarkan. Dalam konteks rekayasa bentuk ikan yang berisiko tinggi menyebabkan stres, cacat, atau kematian, maka tindakan tersebut keluar dari batas maslahat yang dibolehkan syariat.

 2. Larangan Melakukan Bahaya (Ḍarar) dan Membahayakan

Islam sangat menekankan prinsip pencegahan bahaya. Salah satu kaidah fikih universal yang menjadi fondasi banyak hukum muamalah adalah:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.”

Kaidah ini mengandung makna bahwa setiap tindakan yang membawa mudarat, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain, harus dicegah. Apabila suatu perbuatan memiliki karakteristik: (1) berisiko tinggi menimbulkan kematian atau cacat permanen, (2) tidak termasuk kebutuhan pokok (ḥājah atau ḍarūrah), dan (3) dilakukan secara sengaja demi keuntungan, maka hukum asalnya adalah terlarang. Dalam praktik rekayasa bentuk hewan, unsur ḍarar sangat dominan, sementara unsur kebutuhan tidak terpenuhi, sehingga bertentangan dengan kaidah ini.

 3. Persoalan Taghyīr Khalqillāh (Mengubah Ciptaan Allah)

Isu mengubah ciptaan Allah (taghyīr khalqillāh) merupakan persoalan penting dalam fikih kontemporer. Al-Qur’an mengabadikan peringatan setan yang ingin menyesatkan manusia dengan mendorong mereka mengubah ciptaan Allah:

وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ

(Lihat QS. an-Nisā’: 119)

Para ulama menjelaskan bahwa tidak semua perubahan bentuk dihukumi haram secara mutlak. Perubahan dibolehkan apabila mengandung maslahat syar‘i yang kuat, seperti pengobatan, pencegahan penyakit, atau kebutuhan hidup yang mendesak. Namun, perubahan yang semata-mata bertujuan memperindah bentuk demi selera pasar, terlebih jika disertai mudarat yang nyata, termasuk dalam kategori yang dilarang.

Dalam kasus rekayasa ikan “short body”, perubahan bentuk tidak bertujuan pengobatan atau kemaslahatan hewan, melainkan rekayasa fisik demi meningkatkan harga jual. Dengan demikian, praktik ini lebih dekat kepada bentuk taghyīr khalqillāh yang tercela menurut syariat.

 4. Potensi Tadlīs (Penipuan) dalam Jual Beli

Aspek muamalah tidak kalah penting dalam kajian ini. Jika ikan hasil rekayasa dijual tanpa penjelasan yang jujur kepada pembeli, sehingga pembeli mengira bahwa bentuk tersebut alami, maka terjadi unsur tadlīs (penipuan). Islam sangat keras dalam melarang penipuan dalam transaksi. Rasulullah bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)

Tadlīs merusak kepercayaan dalam pasar dan bertentangan dengan prinsip keadilan dalam muamalah Islam. Oleh karena itu, menjual hewan hasil rekayasa tanpa transparansi yang jelas merupakan perbuatan haram, meskipun secara lahiriah tampak menguntungkan.

 5. Unsur Gharar dan Spekulasi Berbahaya

Selain tadlīs, praktik ini juga mengandung unsur gharar, yaitu ketidakjelasan dan spekulasi yang berisiko tinggi. Risiko kematian, cacat, hasil yang tidak pasti, serta nilai jual yang bergantung pada manipulasi bentuk menjadikan transaksi ini sarat dengan gharar. Padahal Rasulullah secara tegas melarang jual beli yang mengandung gharar:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim)

Apalagi jika praktik ini dijadikan bisnis massal, maka unsur gharar dan mudaratnya semakin besar, sehingga semakin jauh dari prinsip muamalah yang adil dan beretika.

Sebagai penutup pembahasan untuk tema ini maka berdasarkan analisis kaidah-kaidah syar‘i di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik rekayasa bentuk hewan yang menimbulkan penderitaan, tidak didasari kebutuhan syar‘i, mengandung unsur bahaya, penipuan, dan gharar, tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Syariat hadir untuk menjaga kemaslahatan dan menolak kerusakan, bukan sekadar melegitimasi keuntungan ekonomi. Semoga kajian ini menjadi pengingat bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan makhluk Allah dan menjadikan syariat sebagai standar utama dalam setiap aktivitas kehidupan.

Disusun oleh: Ahmadi Assambasy, M.Pd.

Disadur dan dikembangkan dari artikel ust. Abu Nadir Zainal Abidin Kekerda Lotim

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Apa Saja (Ryzen Store), Jasa Pembuatan Barcode BBM, Jasa Pembuatan NPWP, Jasa Pembuatan Aplikasi Raport, Service Laptop, Melayani Se-Nusantara Indonesia. (Hub. via E-mail: erfanagusekd@gmail.com)

Posting Komentar untuk "Tinjauan Kaidah Syar‘i terhadap Rekayasa Bentuk Hewan dalam Perspektif Fikih Islam"