Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Shalih al-Ushaimi: Maulid Nabi Masalah Khilafiyah - Ustadz Aris Munandar

Kabeldakwah.com

Shalih al-Ushaimi: Maulid Nabi Masalah Khilafiyah

Peringatan maulid Nabi SAW adalah aktivitas yang tidak ada di masa Nabi SAW dan para shahabatnya. Oleh karena itu suatu hal yang wajar jika para ulama memiliki beragam pendapat dan sikap menghadapi hal ini.

Syaikh Shalih al-Ushaimi adalah salah seorang ulama besar KSA, mantan anggota Haiah Kibar Ulama Arab Saudi dan pengajar di Masjidil Haram dan Masjid an-Nabawi. Syaikh Shalih al-Ushaimi “berani” menegaskan bahwa hukum peringatan maulid Nabi SAW adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama (masalah khilafiyah).

وحاصل المنقول عن أهل العلم رحمهم الله تعالى في هذه المسألة اختلافهم في ذلك على ثلاثة أقوال:

أولها جوازعمل المولد النبوي بشرط أن لا يشتمل على منكر

وثانيها أنه مكروه غير جائز ولا محرم

وثالثها أنه محرم لا يجوز فعله

والصحيح من هذه الأقوال الثلاثة القول بالتحريم لأدلة ثلاثة عظام

“Kesimpulan dari berbagai kutipan pendapat ulama tentang permasalahan perayaan/peringatan Maulid Nabi adalah para ulama berselisih pendapat mengenai hukum perayaan maulid Nabi dalam tiga pendapat.

Pendapat pertama, boleh (jawāz/jāiz) mengadakan perayaan/peringatan maulid Nabi dengan syarat tidak mengandung kemunkaran.

Kedua, perayaan maulid Nabi hukumnya makruh, bukan boleh bukan pula haram.

Ketiga, perayaan/peringatan maulid Nabi itu haram tidak boleh dilakukan.

Pendapat yang benar dari tiga pendapat ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa perayaan/peringatan maulid Nabi hukumnya haram karena tiga alasan pokok”.

Tathrīz Risalah fi Hukmi al-Maulid karya Muhammad bin Ali asy-Syaukani oleh Syaikh Shalih al-Ushaimi Hlm 21.

Hasil kajian objektif yang dilakukan oleh Syaikh Shalih al-Ushaimi menunjukkan bahwa ada tiga pendapat ulama, bukan pendapat orang-orang bodoh, mengenai hukum peringatan maulid Nabi.

Pendapat pertama mengatakan hukumnya boleh/jawāz, jāiz. Jawāz itu bermakna tidak terlarang baik larangan haram atau pun larangan makruh. Dalam konteks ini jawāz bermakna mubah atau sunnah.

Anjuran mengadakan peringatan maulid Nabi adalah pendapat al-Hafizh as-Suyuthi, ulama besar yang salah satu buku beliau, Tadribur Rawi adalah buku babon dalam bidang kajian hadis. Demikian pula pendapat ini dianut oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, penulis Fathul Bari syarah terbaik untuk Shahih al-Bukhari.

Pendapat kedua mengatakan bahwa perayaan/peringatan maulid Nabi itu hukumnya makruh, tidak haram. Ini adalah pendapat Tajuddin al-Fakihani. Menurut beliau, jika maulid Nabi itu kegiatannya hanya kumpul untuk makan-makan dari sumber harta yang halal, bukan hasil iuran yang dipaksakan hukumnya makruh, tidak haram.

«المورد في عمل المولد» (ص10):

فلم يبق إلا أن يكون مكروها، أو حراما. وحينئذ يكون الكلام فيه في فصلين، والتفرقة بين حالين:

أحدهما: أن يعمله رجل من عين ماله لأهله وأصحابه وعياله، لا يجاوزون [في] ذلك الاجتماع على أكل الطعام، ولا يقترفون شيئا من الآثام؛ فهذا الذي وصفناه بأنه بدعة مكروهة وشناعة، إذ لم يفعله أحد من متقدمي أهل الطاعة، الذين هم فقهاء الإسلام وعلماء الأنام، سرج الأزمنة وزين الأمكنة.

Al-Fakihani (W: 734 H) mengatakan, “Tidaklah tersisa kemungkinan hukum untuk perayaan maulid Nabi kecuali makruh atau haram. Oleh karena itu kami akan membahas hukum maulid dalam dua fasal untuk membedakan dua jenis maulid.

Pertama, sumber dana perayaan maulid berasal murni dari harta penyelenggara dan perayaan tersebut diselenggarakan untuk isteri, anak dan kawan-kawannya.

Acara kumpul-kumpul tersebut tidak lebih dari menikmati makanan tanpa melakukan kegiatan dosa apa pun.

Maulid sebagaimana yang kami gambarkan statusnya bid’ah makruhah dan suatu hal yang jelek.

Hal itu karena kegiatan semisal ini tidak dilakukan oleh satu pun muslim taat di masa silam. Padahal mereka adalah pakar fikih dalam Islam, ulama, lentera zaman dan pembuat indah tempat yang mereka tinggali”.

Al-Maurid fi Amal al-Maulid karya al-Fakihani al-Maliki hlm 10-11.

Pendapat ketiga, perayaan/peringatan maulid hukumnya haram. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Taimiyah al-Hanbali.

Hanya saja Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim berpendapat bahwa orang yang melakukan perayaan maulid bisa saja diberi pahala atas niat baik dan tulus menyelenggarakan acara maulid, bukan karena amal maulidnya. Pendapat ketiga ini dipilih/ditarjih oleh Syaikh Shalih al-Ushaimi.

Memilih pendapat yang terkuat (tarjih) adalah hal yang bersifat ijtihadi. Rajih menurut siapa dulu. Pendapat yang rajih menurut Ibnu Taimiyah belum tentu rajih menurut al-Fakihani atau pun menurut Ibnu Hajar al-Asqalani atau as-Suyuthi.

Silahkan anda memilih pendapat yang mengharamkan perayaan/peringatan maulid Nabi namun sadari bahwa keharaman perayaan maulid itu bukanlah kesepakatan seluruh ulama. Bahkan para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Yang berbeda pendapat bukanlah orang-orang bodoh zero ilmu, namun para ulama besar, raksasa ilmu.

Demikian pula silahkan anda memilih pendapat yang menganjurkan menyelenggarakan maulid Nabi. Akan tetapi sadari bahwa para ulama bersepakat bahwa tidak ada acara maulid Nabi pada masa Nabi dan para shahabat.

Oleh karena itu semua hadis Nabi SAW atau perkataan shahabat mengenai maulid Nabi pasti riwayat palsu. Sehingga tidak perlu memotivasi orang untuk melakukan perayaan maulid dengan riwayat-riwayat yang jelas-jelas palsu.

Di samping itu wajib diingat bahwa ulama yang membolehkan atau menganjurkan perayaan Maulid Nabi itu menetapkan syarat, tidak boleh ada kemaksiatan dalam kegiatan Maulid Nabi itu semisal perempuan joget-joget, ikhtilat laki-laki dan perempuan.

Menanggapi sebuah pertanyaan dari Palembang, Sumatera tepatnya dari Sayyid Aqil bin Abdullah bin Aqil al-Habsyi tertanggal 25 al-Muharram 1332 H tentang hukum Maulid Nabi, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan,

«مجلة المنار» (17/ 111 بترقيم الشاملة آليا):

(ج) هذه الموالد ‌بدعة ‌بلا ‌نزاع، وأول من ابتدع الاجتماع لقراءة قصة المولد النبوي أحد ملوك الشراكسة بمصر

“Maulid itu bid’ah (baca: tidak ada pada masa Nabi SAW dan para shahabat) tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Orang yang pertama kali mengadakan acara kumpul-kumpul untuk membaca kisah Maulid nabi adalah salah seorang raja Syarakisah di Mesir” Majallah al-Manar edisi 17 hlm 111.

Penegasan bahwa maulid Nabi SAW itu masalah khilafiyah juga disampaikan oleh Muhammad Ali asy-Syaukani.

ثم بعد حدوث هذا المولد قام الخلاف على ساق وكثرت في ذلك المؤلفات من المانع والمجوز ...

فمنهم من جزم بعدم جوازه ومنهم من جوزه بشرط أن لا يكون يصحبه منكر مع الاعتراف بأنه بدعة

“Kemudian setelah muncul perayaan maulid terjadilah perselisihan pendapat di antara para ulama. Ada banyak buku yang ditulis mengenai hukum maulid baik dari pihak ulama yang melarang atau pun dari pihak ulama yang membolehkan….

Ada ulama yang menegaskan ketidakbolehan perayaan maulid. Ada juga ulama yang membolehkan perayaan maulid dengan syarat tidak mengandung acara kemungkaran. Para ulama yang membolehkan hal ini mengakui bahwa perayaan maulid itu bid’ah (baca: tidak ada pada masa Nabi SAW dan para shahabat)”.

Tathrīz Risalah fi Hukmi al-Maulid karya Muhammad bin Ali asy-Syaukani oleh Syaikh Shalih al-Ushaimi Hlm 20 - 21.

Ditulis oleh: Ustadz Dr. Aris Munandar

 

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Apa Saja (Ryzen Store), Jasa Pembuatan Barcode BBM, Jasa Pembuatan NPWP, Jasa Pembuatan Aplikasi Raport, Service Laptop, Melayani Se-Nusantara Indonesia. (Hub. via E-mail: erfanagusekd@gmail.com)

Posting Komentar untuk " Shalih al-Ushaimi: Maulid Nabi Masalah Khilafiyah - Ustadz Aris Munandar"