Kisah Mohammad Natsir yang Tak Pernah Diceritakan dalam Sejarah
Kabeldakwah.com |
Meninggalnya mantan
Perdana Menteri Republik Indonesia kelima Mohammad Natsir dirasakan bangsa
Jepang seolah “ledakan bom atom ke-3” yang dijatuhkan di Kota Tokyo, mengapa
Jepang begitu menghormatinya?
Mohammad Natsir atau Pak Natsir, begitu orang sering memanggil beliau, adalah sebuah nama panggilan yang biasa untuk siapa saja, menunjukkan kesederhanaan hidup beliau. Saya mungkin termasuk generasi paling akhir dari da’i Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang masih mendapatkan didikan langsung dari beliau walau tidak lama, sejak 1991, dan beliau meninggal Februari 1993.
Saat mendengar mantan
Perdana Menteri RI kelima meninggal kesedihan mendalam bagi seluruh kader dan
da’i Dewan Da’wah. Saat itu sayapun langsung pergi ka kantor Dewan Dakwah Jawa
Timur Jalan Purwodadi, dekat kuburan Mbah Ratu.
Sudah cukup banyak warga
Dewan Dakwah berkumpul untuk mengkonfirmasi berita meninggalnya Pak Natsir.
Saat itu, saya duduk di dekat telepon yang berfungsi sebagai faksimile, mode
teknologi paling canggih pada waktu itu untuk mengirim dokumen.
Telepon berdering tak
henti-henti dari berbagai daerah menanyakan kabar meninggalnya Pak Natsir kala
itu. Tiba-tiba adalah sebuah faksimile masuk. Pesan tersebut datang dari
Perdana Menteri Jepang Keiici Miyazawa.
“Wah Perdana Menteri
Jepang nampaknya telah mendengar juga berita meninggalnya Pak Natsir dan
mengirimkan ucapan duka,” demikian guman saya dalam hati.
Semua pesan faksimile itu
nampak tercetak. Saya tidak sabar membaca ucapan dukanya.
“Mendengar Muhammad
Natsir meninggal, serasa Jepang mendapatkan serangan Bom Atom ke-3 yang tepat
jatuh di tengah Kota Tokyo. Duka yang sangat mendalam bagi kami seluruh bangsa
Jepang,” demikian bunyi ucapan tersebut.
Saya kaget sekali saya
mebaca ucapan itu. Saya segera memotong kertas faks yang lembek itu dan saya
sampaikan pada Ketua DDII Jatim (alm) H. Tamat Anshori Ismail.
Namun Pak Tamat meminta
saya membacakan dengan keras pesan tersebut di hadapan jamaah agar semua
mendengar. “Maksum kamu baca lagi supaya semua yang berkumpul di situ
mendengar,” katanya.
Semua orang terdiam
setelah pesan dari Keiici Miyazawa saya baca. Saya bertanya kepada Pak Tamat,
ada cerita dan hubungan apa antara Pak Natsir dengan Bangsa Jepang, Pak?
Pak Tamat menjawab datar
saja. “Pak Natsir kan mantan perdana menteri, jadi ya mungkin pernah ada
hubungan diplomatik yang spesial dengan Jepang, “ begitu gitu saja jawabnya.
Saya kurang puas dengan
jawaban Pak Tamat. Saya lanjutkan rasa penasaran ini kepada banyak tokoh yang
lebih senior dan lebih sepuh.
Salah satunya adalah
Ketua Dewan Syura Dewan Da’wah Jatim yang juga Ketua MUI Jatim kala itu, KH
Misbach. Sayangnya, Kiai Misbach juga tidak bisa menjelaskan maksud di balik
ucapan PM Miyazawa.
Sungguh aneh ini, ucapan
duka yang luar biasa, dan tidak biasa, pasti ada kisah yang luar biasa, begitu
guman saya dalam hati. Akhirnya saya menyimpan pertanyaan itu lebih dari 10
tahun dan tidak ada satupun tokoh yang bisa menjelaskan makna ucapan itu.
Embargo, Raja Faisal dan M. Natsir
Tahun 2003, saya
berkenalan dengan diplomat Jepang di Jakarta. Namanya Hamada San.
Saya sering nggobrol dan
ngopi bersama dia. Suatu ketika, sampailah obrolan pada aktivitas saya dll.
Saya bercerita jika aktif
di organisasi Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan Pak
Natsir, namun saya generasi terakhir yang pernah dididik langsung Pak Natsir.
Tanpa saya duga, Hamada
San berdiri tegak di samping saya, lalu membungkuk-bungkuk memberi hormat.
Tentu saya kaget, ada apa Hamada San sampai berbuat seperti itu?
Setelah itu ia duduk dan
lama terdiam, sambil matanya menerawang. “Apakah kamu tahu nama Laksamana
Maeda?” katanya.
“Ya, saya tahu.”
“Apakah kamu tahu namanya
Nakasima San?”
“Wah saya tidak tahu.”
“Apakah kamu pernah
mengdengar nama Raja Faisal dari Saudi?”
“Ya saya tahu.”
“Mereka adalah nama-nama
yang punya hubungan spesial dengan (alm) Mohammad Natsir,” ujar Hamada San.
Hamada San adalah
diplomat senior Jepang yang sudah puluhan tahun bertugas di Indonesia. Dia
sangat mencintai Indonesia, salah satunya adalah karena kisah yang akan dia
ceritakan
kepada saya.
Karena itulah dia tidak
mau pindah-pindah tugas dan tetap berada di Indonesia hingga puluhan tahun.
Sebelum Hamada San
bercerita dengan beberapa bekal nama Laksamana Maeda, Nakasima (Nakajima San),
Raja Faisal dan Muhammad Natsir, saya teringat peristiwa 10 tahun lampau,
tentang faksimil PM Jepang Keiici Miyazawa.
Kepada Hamada San, saya
ceritakan tentang bunyi faks ucapan duka cita dari PM Jepang Miyazawa tersebut.
“Ada cerita apa sehingga PM Miyazawa sampai membuat ucapan duka sedemikan
dramatis dan dahsyat begitu”?.
Hamada San semakin tajam
memandang saya, lalu sedikit meninggikan suaranya. “Kamu baca ucapan duka cita
PM Miyazawa itu? Kamu benar-benar murid Pak Natsir kalau gitu, tidak salah dan
kamu tidak bohong bahwa kamu adalah murid Pak Natsir, karena tidak banyak yang
tahu hingga menyimpan memori selama itu hingga 10 tahun kamu masih ingat bunyi
ucapan duka cita itu,” demikian kata dia.
Akhirnya, Hamada San
bercerita. Jepang pada waktu itu mengalami situasi sulit akibat embargo minyak
bumi.
Industri Jepang hampir
kolaps. Semua industri butuh bahan bakar dari minyak bumi, tapi Jepang di
embargo oleh Amerika Serikat (AS).
Berbagai upaya dilakukan
pemerintah Jepang untuk mendapatkan pasokan minyak bumi, tapi embargo Amerika
membuat semua negara tidak ada yang berani menjual minyak ke Jepang.
Untuk mendapatkan pasokan
minyak bumi, Laksamana Maeda menyarankan melakukan melakukan lobi
internasional.
Namun bagi bangsa Jepang,
Laksamana Maeda adalah pengkhianat dan tidak menjalankan perintah Kaisar
Jepang. Dia dianggap telah memberikan ruang untuk Bung Karno yang telah membuat
teks proklamasi kemerdekaan, juga menyerahkan senjata-senjata Nippon pada para
pejuang kemerdekaan RI.
Karena itu kehidupan
Laksmana Maeda setelah kembali ke Jepang sangat menyedihkan. Selain mendapat
hukuman, dia juga dicopot dari dinas militer serta tidak mendapatkan pensiun,
demikian kata Hamada.
Namun melihat kondisi
Industri Jepang yang hampir kolaps, Laksmana Maeda memberikan usul dan nasehat
pada pemerintah dan menyarankan untuk mengirim utusan ke Indonesia.
Laksamana Maeda
mengusulkan agar pemerintah Dai Nippon mengirim utusan ke Indonesia dan menemui
seseorang yang sedang di penjara. Namanya Muhammad Natsir, yang tidak lain
tokoh Partai Masyumi.
Laksamana Maeda meminta
utusan Jepang menceritakan kesulitan ini dan meminta agar Pak Natsir bersedia
melobi Raja Arab Saudi (Raja Faisal kala itu), agar bersedia mengirim minyaknya
ke Jepang, kata Hamada.
Menurut Hamada,
sebenarnya pemerintah Jepang tidak begitu percaya dengan usulan Maeda. Namun
karena berbagai cara telah ditempuh dan tidak mendapatkan hasil, apapun upaya
yang masih bisa di lakukan akan dicoba.
Akhirnya pemerintah
Jepang menugaskan orang yang namanya Nakajima San untuk menyampaikan pesan PM
Jepang pada Pak Natsir. Menurut Hamada San, misi ini sebenarnya tidak terlalu
diharapkan berhasil, sebab menemui orang di dalam penjara untuk melakukan
sesuatu hal besar tidaklah mungkin.
Nakajima pun terbang ke
Indonesia dan atas bantuan banyak pihak akhirnya ia bisa bertemu Pak Natsir di
penjara. Nakajima menyampaikan pesan Pemerintah Jepang agar Pak Natsir bisa
membantu Jepang mendapatkan pasokan minyak dari Arab Saudi.
Kala itu Pak Natsir tidak
menanggapi dan tidak berkata apa-apa terhadap permintaan pemerintah Jepang itu.
Beliau, katanya cuma bertanya apakah Nakajima San membawa kertas dan pulpen.
Lalu tidak lama, Nakajima
menyerahkan selembar kertas dan pulpen kepada Pak Natsir. Lalu Pak Natsir
menulis dalam kertas itu pesan berbahasa Arab yang tidak panjang, kurang lebih
hanya setengah halaman, dan melipatnya.
Pak Natsir menyampaikan
pada Nakajima agar membawa surat ini pada Raja Arab Saudi, Raja Faisal.
Nakajima tidak tahu apa isi surat tersebut, apalagi itu berbahasa Arab.
Namun berbekal secarik
kertas dari Pak Natsir, PM Jepang mengabarkan pada diplomat Jepang di Arab
Saudi bahwa ada utusan Pak Natsir dari Indonesia yang akan menghadap Raja
Faisal.
Arab Saudi yang sangat
menghormati (alm) Mohammad Natsir menyambut baik serta menunggu kehadiran orang
Jepang yang membawa pesan dari Pahlawan Nasional tersebut. Nakajima San sampai
di Arab Saudi disambut baik bak tamu negara dan dengan mudah bisa bertemu Raja
Faisal dan menyerahkan surat dari Pak Natsir.
Raja Faisal membaca surat
Pak Natsir dan langsung memenuhi permintaan dalam surat itu, yakni mengirim
minyak ke Jepang. Kepada Nakajima, Pemerintah Arab Saudi berjanji segera
mengirimkan minyak melalui Indonesia, yang akan melibatkan Pertamina.
Nakajima terperangah
tidak percaya, kata Hamada San. Hanya sepucuk surat yang dia tidak tahu isinya
dari seseorang yang mendekam di penjara dan Jepang akan mendapatkan pasokan
minyak dari “Raja Minyak Dunia”.
Cerita kemudian berlanjut
pada realisasi pengiriman minyak dari Arab Saudi melalui Pertamina. Karena
itulah sebabnya Pertamina menjadi perusahaan yang sangat besar di Jepang,
pernah menjadi pembayar pajak terbesar di Jepang, karena Pertamina menjadi
pensuplai minyak bagi Industri Jepang atas jasa Pak Natsir.
Selanjutnya Industri
Jepang bangkit berbagai industri otomotif merajaii pasar dunia sebut saja
Honda, Toyota, Suzuki, Mitsubishi dll. Industri Jepang bangkit atas jasa baik
Pak Natsir, kata Hamada.
Menolak Hadiah Jepang
Yang tidak kalah menarik,
yang membuat bangsa Jepang sangat menaruh hormat pada Pak Natsir, tidak ada
satupun hadiah dari pemerintah Jepang yang diterima Pak Natsir, semua hadiah
yang diberikan Jepang dikembalikan, (ndah) neo kalo pimpinan jaman now) hingga
negara itu kesulitan untuk bisa memberikan imbal balas jasanya.
Hal ini karena beliau (M
Natsir) telah berpesan pada keluarganya untuk tidak menerima apapun dari
pemerintah Jepang. Beliau bahkan tidak pernah bercerita tentang surat penting
itu pada siapapun di Indonesia.
Itulah sebabnya tidak ada
tokoh Indonesia atau tokoh Dewan Da’wah sekalipun yang tahu tentang kisah itu.
Karena itu pulalah
pemerintah Jepang sangat berduka yang sangat dalam saat Pak Natsir meninggal
dunia. Bukan hanya pemerintah, tapi bangsa Jepang merasa ada “ledakan bom atom
ke 3” yang di jatuhkan tepat di Kota Tokyo mendengar Mohammad Natsir, yang juga
pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi ini meninggal dunia.
“Itu bukan ucapan
dramatis seperti kamu bilang. Itulah perasaan hati kami bangsa Jepang atas
meninggalnya Mohammad Natsir waktu itu, “ kata Hamada San mengakhiri cerita.
Saya mendengarkan kisah
itu tanpa sedikitpun menyela. Saya hanya diam terpaku, mendengarkan penjelasan
yang tertunda selama 10 tahun lamanya.
Mohammad Natsir, adalah
seorang ulama, politikus, pejuang kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional.
Mantan sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan
Masjid se-Dunia ini mungkin agak kurang dikenal di kalangan generasi milenial.
Yang tidak kalah penting,
pemegang 3 gelar Doktor (HC.) adalah orang di balik gagasan kembalinya
Indonesia menjadi Negara Kesatuan, 73 tahun yang lalu, sebelum banyak orang
berteriak “Saya NKRI” dan ‘saya Pancasila’.
Kala itu, tokoh Partai
Masyumi ini mengajukan gagasan penting, yakni kembalinya Indonesia menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setelah sebelumnya Indonesia hidup
dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah berbulan-bulan
melakukan pembicaraan dengan pemimpin fraksi, sekaligus melakukan lobi untuk
menyelesaikan berbagai krisis di daerah, Mohammad Natsir berpidato mengajak
seluruh negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur
parlementer, yakni melalui Mosi Integral pada 3 April 1950.
Berkat perjuangan Pak
Natsir, Parlemen RIS menerima mosi dan meminta pemerintah segera melakukan
langkah-langkah untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pidatonya kemudian dikenal dengan “Mosi Integral M Natsir”.
Disusun
Oleh: Agus Maksum
(Anggota
Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Jatim)
Posting Komentar untuk "Kisah Mohammad Natsir yang Tak Pernah Diceritakan dalam Sejarah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.