Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Pengajian di Gedung - Ustadz Aris Munandar

Kabeldakwah.com

Lokasi di masjid, gedung, ruang kelas, villa, dan hotel adalah sekedar sarana membagikan ilmu. Adalah satu hal yang aneh jika seorang yang mengajar di pesantren mencela penyampaian ilmu dengan alasan tempat ilmu itu di masjid.

Ilmu disampaikan diiringi backsound ataukah tidak itu adalah pilihan dalam pemanfaatan sarana. Selama backsoundnya tidak diharamkan oleh syariat apa masalahnya?

Lampu yang dimatikan supaya audien fokus kepada slide presentasi atau ustadz pemateri adalah sarana yang mubah. Siapa yang mau mengambil opsi ini silahkan dan siapa yang tidak mau juga tidak mengapa. Yang penting tidak saling menyalahkan.

Apa perbedaan ustadz disorot lampu saat menyampaikan ilmu dengan ustadz yang live FB saat kultum online fokus ke wajahnya? Jika yang pertama divonis dakwah mengajak kepada diri sendiri tentu hal yang kedua juga tidak jauh beda.

Jika mengikuti pengajian berbayar terlarang mengapa mengikuti pengajian dengan syarat ikut umroh bersama seorang ustadz diperbolehkan?

Berikut ini penjelasan menarik dari Ibnu Utsaimin mengenai tema sarana dalam dakwah:

«لقاء الباب المفتوح» (21/ 18 بترقيم الشاملة آليا):

«‌‌أما قول القائل: إن مكان المواعظ المساجد، فَصَدَق، لكن هل الرسول عليه الصلاة والسلام لم يعظ الناس إلا في المسجد؟ لا.

بل كان يعظهم في المسجد، ويعظهم في السوق، ويعظهم في السفر، ووعد النساء يوماً يعظهنَّ فيه، فأتى إليهن في بيت إحداهن.

فمكان الوعظ صحيحٌ أنه المساجد، وهذا هو الأصل؛ لكن كلما دعت الحاجة إلى الوعظ في غيره فإنه يُوعَظ فيه.

“Orang yang mengatakan bahwa tempat pengajian itu di masjid itu benar akan tetapi apakah Sang Rasul hanya memberikan pengajian di masjid? Jawabannya tidak.

Sang Rasul menyampaikan materi kajian kepada para shahabat di masjid, di pasar dan saat bepergian. Nabi pun menjanjikan hari tertentu untuk memberi pengajian muslimah. Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam lantas mendatangi rumah salah satu emak-emak untuk memberi pengajian. (Berarti pengajian itu boleh juga di rumah, pent).

وإني أقول لهذا الأخ الذي اعترض بهذا الاعتراض: يجب أن يكون عند الإنسان إدراك ووعي، وأن يُنَزِّل الأمور منازلها، وألا يكون سطحياً يرى من فوق السقوف، بل يكون إنساناً واعياً يَسْبُر أغوار الأمور، وينظر ما الذي يترتب من المصالح والمفاسد على الأفعال، والقاعدة العريضة الواسعة الشاملة للشريعة الإسلامية إنما هي: جلبُ المصالح ودفعُ المفاسد،

Jadi orang itu hendaknya memiliki kesadaran dan pemahaman yang mendalam. Segala sesuatu diletakkan pada posisinya yang tepat. Jangan jadi orang yang pikirannya dangkal hanya menilai dari atas sisi luaran saja.

Jadilah orang yang suka mikir sehingga punya kesadaran tinggi memandang segala sesuatu secara mendalam.

Perhatikan dampak positif dan negatif dari suatu perbuatan. Kaidah yang cakupannya luas dan lebar dalam syariat mengatakan syariat menghendaki terwujudnya maslahat dan tercegahnya keburukan serta mafsadah.

فإذاً نقول: هذه الأماكن؛ أماكن المدارس التي هي محل العلم من أزمنة طويلة، والمسلمون لا ينكرونها، بل درسوا فيها وبنوها، وبنوا لها الأربطة، وطبعوا لها الكتب، كل ذلك لم يكن معروفاً في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام، غاية ما هنالك أنه يمكن أن يُسْتَدلَّ للأربطة بأصحاب الصُّفَّة؛ لكن هل منع الرسول عليه الصلاة والسلام من ذلك؟ أبداً.

Sekolah (pesantren, sekolah Islam, universitas Islam) merupakan tempat menimba ilmu sejak waktu yang lama. Seluruh kaum muslimin tidak ada yang mengingkari keberadaannya. Bahkan kaum muslimin belajar, membangun sekolah, membangun asrama mahasiswa/pelajar dan mencetak buku-buku yang diajarkan di sekolah tersebut.

Semua ini tidak ada di masa sang Rasul Shollallahu 'alaihi wa sallam.

Paling banter yang bisa dicarikan dalilnya secara spesifik adalah asrama santri/mahasiswa. Asrama ini bisa didalili dengan para shahabat yang tinggal di shuffah. Apakah Sang Rasul melarang keberadaan shuffah dan ahli shuffah? Jawabannya sama sekali tidak melarang.

ما منع من هذا، فالمدارس الآن مكان للعلم، يُدْرَس فيها كتاب الله تعالى وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم وأقوال العلماء، والوسائل المساندة للعلم من نحوٍ وغيره.

Rasul tidak melarang keberadaan shuffah. Saat ini sekolah adalah tempat ilmu. Di sekolah (baca: pesantren, universitas Islam dan lain-lain) diajarkan al-Qur’an, perkataan dan pendapat ulama dan ilmu-ilmu alat semisal Nahwu dan lain-lain.

فنقول للأخ الذي اعترض هذا الاعتراض: فكِّر في الأمر، واعلم أن الدين أوسع من فكرك، وأوسع من عقلك، وأنه يأتي بالمصالح أينما كانت، ما لم تشتمل على مضار مساوية أو غالبة فتُمْنَع.

Pikirkan hal ini baik-baik. Sadari bahwa agama ini lebih luas dibandingkan pikiranmu, lebih lebar dibandingkan akalnya. Agama ini menerima semua bentuk kemaslahatan di mana pun keberadaannya selama tidak mengandung keburukan yang semisal atau yang lebih besar. Baru ketika itu hal tersebut dilarang.

أما قوله: إن ‌وسائل ‌الدعوة توقيفية: فكلمة ‌وسائل تدل على أنها ليست توقيفية، فما دامت وسيلة فإننا نسلكها إلا أن تكون محرمة،

Tentang apakah sarana dakwah itu harus berdalil (tauqifiyah), kata-kata “sarana” itu sendiri menunjukkan bahwa hal tersebut tidak memiliki dalil. Selama suatu hal bisa menjadi sarana kebaikan maka kita bisa memanfaatkannya. Lain halnya jika sarana itu sendiri adalah hal yang haram.

نسلكها وإن لم يرد نوعها في الشريعة؛ ما لم تكن محرمة؛ لأن الوسائل لها أحكام المقاصد،

Semua sarana yang bisa mewujudkan kebaikan itu bisa kita manfaatkan meski tidak memiliki dalil spesifik dalam syariat selama sarana itu sendiri bukanlah hal yang haram.

Hukum sarana itu tergantung hukum maksud dan tujuan.

ألسنا الآن نبلغ الناس بواسطة مكبر الصوت؟! هذه وسيلة، فهل كانت هذه الوسيلة موجودة في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام؟! الجواب: غير موجودة! ألسنا نقرأ الكتب بلبس النظَّارة من أجل تكبير الحرف أو بيانه؟! هذه وسيلة لقراءة الكتب وتحصيل العلم، فهل كان هذا موجوداً في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام؟! الجواب: غير موجود!

Bukankah kita menyampaikan ilmu kepada banyak orang dengan menggunakan pengeras suara? Pengeras suara itu sarana. Apakah pengeras suara sudah ada di masa Sang Rasul SAW? Tentu saja jawabannya adalah tidak ada.

Bukankah sebagian kita membaca buku dengan menggunakan kaca mata untuk memperbesar huruf sehingga jelas terlihat. Kaca mata adalah sarana untuk membaca buku dan mendapatkan ilmu. Apakah kaca mata sudah ada di masa Sang Rasul SAW? Jawabannya tentu belum ada….

ما دمنا أقررنا بأنها وسيلة، فإننا ننظر إلى الغاية، فإذا كانت الوسيلة محرمةً حَرُمَت في ذاتها.

Selama kita terima bahwa suatu hal itu hanya berperan sebagai sarana maka kita lihat tujuannya. Akan tetapi jika sarana itu sendiri sesuatu yang haram maka sarana tersebut hukumnya haram.

فلو جاء أناس وقيل لكم عنهم: هؤلاء الجماعة لا يقربون منكم حتى تضربوا لهم بالمعازف، ويرقصوا عليها! قلنا: هذه لا نستعملها؛ لأنها وسيلة محرمة.

Jika ada sejumlah orang lantas ada informasi yang disampaikan kepada kita bahwa orang-orang tersebut tidak akan menghadiri pengajian sampai ada musik dan joget-joget dalam pengajian. Kami tegaskan bahwa kami tidak boleh melakukannya karena ini adalah sarana yang haram.

أو قيل: لا يقبل هؤلاء ‌الدعوة إلى الله إلا أن تكون الداعية امرأة شابة جميلة! فهل نأتي بامرأة شابة جميلة؟ لا.

Jika ada info bahwa banyak laki-laki tidak akan menerima dakwah kecuali jika pematerinya adalah perempuan cantik yang masih muda. Apakah kita hadirkan ustadzah cantik dan masih muda untuk memberikan materi pengajian kepada sejumlah laki-laki? Tentu saja jawabannya adalah tidak akan kita lakukan.

إذاً فالوسائل جائزة، وعلى حسب ما هي وسيلة إليه، ما لم تكن ممنوعة شرعاً بعينها فإنها تُمْنَع.

Alhasil, hukum dasar sarana adalah boleh. Tepatnya hukum sarana itu tergantung tujuan apa yang hendak diwujudkan dengan menggunakan sarana tersebut. Akan tetapi jika sarana itu sendiri adalah hal yang haram menurut syariat, ketika itulah penggunaannya terlarang….

وأكرر -ولا سيما مع طلبة العلم- لابد أن يكون طالب العلم ذهنُه واسعاً وتفكيرُه عميقاً، وألا يأخذ الأمور بظاهرها وسطحيتها، وأن ينظر مقاصد الشريعة وما ترمي إليه من إصلاح الخلق، وألا يمنع ما يكون صلاحاً أو ما يكون درءاً لمفسدة أكبر، إلا إذا ورد الشرع بمنعه

Penuntut ilmu sejati itu pikirannya harus luas dan pemahamannya harus mendalam. Suatu hal tidak boleh dinilai secara sekilas dan hanya melihat permukaannya saja.

Penuntut ilmu sesungguhnya harus melihat berbagai tujuan syariat dan perbaikan masyarakat yang menjadi tujuan syariat.

Seorang penuntut ilmu yang tulen tidak akan melarang kegiatan yang baik atau hal yang bisa mencegah keburukan yang lebih besar kecuali jika kegiatan tersebut memang dilarang oleh syariat”.

Liqa’ al-Bab al-Maftuh karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin kaset no 21.

Penulis: Ust. Dr. Aris Munandar

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Ryzen Store dan Jasa Pembuatan Barcode BBM Se-Nusantara Indonesia

Posting Komentar untuk "Hukum Pengajian di Gedung - Ustadz Aris Munandar"