Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Istri Seorang Guru Tahfidz - Sejak kapan keikhlasan guru dalam mengajar diukur dari besar kecilnya gaji yang diterima?

Kabeldakwah.com

Istri Seorang Guru Tahfidz

Jika boleh usul, apakah bisa sebutan ‘guru adalah pahlawan tanda jasa’ itu ditiadakan saja? Supaya guru menjadi profesi yang dihargai dengan materi secara layak. Jujur, aku sudah muak dengan kata-kata manis bahwa jasa guru akan dibalas kebaikannya di akhirat kelak. Kalian pikir profesi lain seperti polisi, dokter, pilot, pedagang, masinis atau buruh pabrik tidak akan mendapat balasan kebaikan di akhirat?

Bersembunyi di balik slogan ‘ikhlas dalam beramal’ agar bisa seenaknya membayar murah jasa guru tanpa memikirkan bagaimana kesejahteraan keluarganya di rumah, adalah ciri manusia bermental pecundang.

Lagipula sejak kapan keikhlasan guru dalam mengajar diukur dari besar kecilnya gaji yang diterima? Makin kecil gaji makin ikhlas gurunya, makin besar gaji artinya dia tidak ikhlas saat mengajar. Aneh!

*

Aku adalah istri guru penghafal Al-Quran. Tiga bulan setelah terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran dari kantornya empat tahun lalu, suami mendapat tawaran dari kerabat untuk mengajar tahfidz di suatu sekolah menengah pertama Islam. Berbekal ilmu yang didapatkan saat mengikuti kursus menghafal Quran sebelum menikah dahulu, suami mengiyakan ajakan tersebut.

“Supaya, hafalan ayah tetap terjaga. Lagipula tidak enak lama-lama menganggur di rumah.” Begitu ucap suami ketika aku tanya alasan ia langsung menerima tawaran itu? Sebab gaji yang diberikan sekolah jauh dari kata pantas. Tujuh ratus ribu per bulan, dengan jam kerja dari jam tujuh pagi sampai setengah empat sore.

“Tidak tertarik mencari pekerjaan dengan bayaran yang lebih pantas kah, Mas?” tanyaku.

Suami menggangguk, “Iya, nanti coba Mas cari kerjaan yang lain.”

Demi melihat binar mata suami yang penuh semangat, aku pun mendukung keputusannya.

Dan dari sinilah kisah kami dimulai …

Esoknya, setelah sarapan bersama, suami berangkat ke sekolah dengan pakaian rapi, mirip saat ia masih mengantor di perusahaan lama. Bedanya sekarang ia membawa peci hitam.

“Minta doanya ya, Dek,” suami mengulurkan tangannya. Aku menyambut dan mencium punggung tangannya.

“Hati-hati di jalan, Mas.”

Lalu, Supra X keluaran tahun 2008 tersebut meluncur menyibak padatnya jalan raya.

Aku mengembuskan nafas panjang. Sungguh, bagi siapapun yang menjadi seorang istri, ia akan berfikir keras bagaimana caranya memutar otak agar bisa mengelola uang tujuh ratus ribu dalam sebulan. Belum lagi ada buah hati yang sudah mulai memasuki usia sekolah TK. Dan itulah yang aku pikirkan saat ini. Tapi baiklah, aku akan pikir nanti-nanti saja. Setidaknya meski tidak banyak, tapi kami masih memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Hari pertama menjadi guru, suami pulang dengan wajah berbinar.

“Bagaimana kerja hari ini, Mas? Lancar?”

Suami meletakkan tas di atas lantai. “Alhamdulillah lancar, Dek. Ternyata seru jadi guru itu, ya? Seperti ada kebanggaan gitu bisa melihat siswa bisa menghafal Quran setelah Mas ajarin.”

Aku mengucap hamdalah. Bersyukur suami bisa menikmati pekerjaannya.

Hari bergulir menjadi pekan, pekan melesat menjadi bulan. Pada hari pertama bulan selanjutnya, suami pulang dengan menyerahkan amplop gaji kepadaku. Saat kurobek ujung amplop, tampak tujuh lembar uang seratus ribuan.

“Terimakasih ya, Mas,” ucapku yang disambut senyum oleh suami.

Namun uang tersebut tidak lama utuhnya, sebab setelah itu aku belikan kebutuhan harian keluarga. Beras, elpiji, listrik, air, bayar kosan, susu untuk si kecil dan lainnya. Persis di hari yang sama, uang itu sisa dua ratus ribu di tangan. Sayangnya, uang itu berkurang lagi di keesokan hari ketika suami meminta beli bensin. Ini masih awal bulan tapi kondisi keuangan rasanya seperti akhir bulan. Maka, mau tidak mau aku harus ‘membobol’ lagi uang simpanan.

Hal seperti ini terjadi terus menerus pada bulan-bulan berikutnya. Sebelumnya aku berusaha untuk menyimpan perasaan bingung mengatur keuangan di hadapan suami agar ia tidak tertekan. Namun pertahanan itu pun akhirnya luruh juga.

“Mas, tidak berminat cari pekerjaan lain, kah?”

Suami yang sedang menggendong si kecil, menjawab, “Mas suka mengajar Al-Quran buat anak-anak, Dek. Kasihan mereka sudah bagus perkembangannya. Sekarang sudah ada yang mau satu juz loh hafalannya. Masa’ harus ditinggal begitu saja.”

“Tapi jujur, aku bingung ngelola uang gaji Mas. Gak cukup, Mas.”

Suami meletakkan si kecil di kursi, lalu ia mendekat dan memegang tanganku. “Sabar ya, Dek. Nanti Mas coba cari penghasilan tambahan lain.”

Penghasilan tambahan lain itu akhirnya diwujudkan dengan membuka kelas menghafal Quran di kampung. Karena luas kosan kami tidak memadai untuk menampung siswa, jadi suami coba izin ketua RT untuk menggunakan mushola yang ada di ujung gang untuk tempat belajar. Syukur, izin didapatkan. Bahkan ketua RT membantu mempromosikan kelas Tahfidz ini ke warga sekitar.

Sebagai perkenalan, suami membuat Kelas Trial Gratis selama dua pekan. Kegiatan belajar menghafal Al-Quran ini dilaksanakan setiap sore pukul setengah 5, break saat sholat maghrib, kelas dilanjut lagi sesudah sholat maghrib dan berakhir lima menit sebelum adzan Isya’. Ada sekitar 25 anak yang mendaftar dan mereka cukup antusias mengikuti kelas tahfidz. Pada pekan kedua rata-rata siswa sudah bisa menghafal surat Al-Fajr, suami mengundang wali murid untuk rapat di musholla.

Pada pertemuan itu, suami menyampaikan, “Ibu, Bapak. Anak-anak sudah dua pekan belajar menghafal Quran. Dan Alhamdulillah mereka kini sudah bisa menghafal surat Al-Fajr, 30 ayat. Seneng tidak Ibu Bapak lihat anaknya seperti itu?”

“Seneng,” jawab wali murid.

Suami tersenyum, “Jadi, selama dua pekan lalu itu belajarnya masih trial, mencoba dan gratis. Nah, seumpama Ibu Bapak ingin anak-anaknya bisa menghafal sampai satu juz atau lebih, bisa didaftarkan di kelas reguler. Biayanya 60 ribu per bulan. Ya, kalau dihitung hanya dua ribu sehari. Bila berminat, besok bisa daftar ulang ke saya.”

Malam itu, aku ada di sana, melihat wali murid mengangguk-anggukkan kepala. Aku menganggapnya itu tanda setuju. Tapi aku salah. Salah besar. Sebab, keesokan harinya yang mendaftar ulang hanya empat anak. Sisanya tidak kembali.

Kecewa? Iya. Tapi ada yang jauh lebih membuat hati sakit. Yakni omongan warga di belakang punggung kami.

“Guru ngaji kok minta bayaran. Gak Ikhlas itu namanya.”

“Ternyata Al-Quran dijadiin ladang bisnis.”

“Guru ngaji itu harusnya ngarepin pahala, bukan duit.”

Aku mencoba bersabar meski telinga memerah karena ucapan-ucapan tersebut.

Walaupun hanya empat anak yang ikut kelas tahfidz reguler, tapi suami tetap mau mengajari mereka. Hari demi hari, banyak perkembangan yang mereka dapat. Suami sering cerita tentang perkembangan anak didiknya.

“Dek, salah satu muridku di musholla ada yang pinter banget. Cepet gitu ngafalin Qurannya,” tutur suami dengan antusias. Aku berusaha memperhatikan, meski tak dapat dipungkiri pikiranku masih terganggu oleh ucapan miring dari warga.

*

Bila ditotal, pendapatan suami dari mengajar, tidak lebih dari satu juta per bulan. Tentu bukan jumlah yang cukup untuk menambal segala kebutuhan. Apalagi ketika ada pengeluaran tak terduga, seperti periksa gigi si kecil atau tiba-tiba motor suami harus diservis, mengganti spare part ini dan itu.

Keputusan lain akhirnya diambil, aku meminta izin suami untuk berjualan nugget pisang. Awalnya suami tidak setuju, khawatir aku kelelahan. Tapi setelah berdiskusi dan demi mengangkat perekonomian keluarga, dia pun mengiyakan rencanaku.

Maka, mulai hari itu, tiap malam membuat adonan nugget, mengukus dan memotong-motong adonan sesuai ukuran. Lalu pada subuh harinya aku masak dan setelah jadi aku titip-titipkan di kantin beberapa sekolah. Terkadang laku habis, tapi di hari lain masih sisa banyak. Kegiatan berjualan ini benar-benar menguras tenaga, aku menjadi kurang istirahat dan sering kelelahan.

Suatu malam, setelah membuat nugget pisang untuk digoreng dan dijual esok hari, seperti biasa aku menidurkan si kecil. Niat hati, aku juga ingin segera istirahat, namun saat itu kulihat suami sedang memandang foto kedua orang tuanya yang tertempel di tembok dengan tatapan kosong.

“Ada apa, Mas?” ucapku.

Suami sedikit tersentak, “Eh, tidak ada apa-apa, Dek.”

“Kok ngelamun?”

Suami tersenyum, lantas menggeleng lemah. “Gimana jualannya, Dek? Laris?”

“Alhamdulillah ada untung. Meskipun masih ada beberapa sisa tadi,” ucapku.

“Alhamdulillah,” timpal suami. “Oh, iya Dek. Kemarin Mas ketemu Ridho. Dia teman sekantor Mas waktu di perusahaan dulu. Kita ngobrol lama, ternyata dia sekarang jadi pelatih anjing.”

“Pelatih anjing?” keningku terlipat. Bingung.

“Iya.”  Suami memastikan. “Dia kerja di rumah orang kaya. Orang itu punya beberapa anjing piaraan, jadi butuh dirawat dan dilatih. Biar nurut gitulah intinya. Nah, Ridho diajak temannya ikut jagain dan ngelatih anjing itu. Kata Ridho gajinya lumayan. Tiga setengah juta sebulan.”

“Wah, gede juga ya, Yah. Lebih gede daripada gaji guru tahfidz, hehe,” aku benar-benar bercanda saat itu. Suami juga tersenyum.

Tapi nantinya aku tahu, bahwa di balik senyumnya, ternyata suami sedang menyimpan pikiran yang kusut di kepala.

Tengah malam itu aku terbangun karena ingin buang air kecil. Tapi aku tidak melihat suami di tempat biasa ia tidur. Saat kulihat keluar rumah, ternyata ia sedang duduk sendirian di kursi panjang kosan di seberang pintu. Di sampingnya, teronggok secangkir kopi yang isinya tinggal ampas. Tak biasanya dia ngopi.

“Mas,” ucapku dengan volume pelan, takut mengganggu tetangga kos. Suamiku menoleh, sedikit kaget.

“Eh, kok belum bobo, Dek?” tanyanya.

“Mas yang kenapa belum bobo? Ayo masuk.”

Suami menurut. Ia berjalan masuk kamar kos sambil menenteng gelas kopi. Duduk selonjor di kasur tipis tempat ia biasa tidur. Aku melihat jam di dinding, pukul setengah 12 malam. 

“Mas kenapa?” tanyaku sambil memijat kakinya. “Kalau bilang tidak apa-apa lagi, tak jewer kupingnya. Tadi ngelamun sambil ngeliatin foto ibu bapak. Sekarang malah gak bobo sampai larut malam gini. Gak biasanya. Ada apa?”

Dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Makin berusaha bersikap baik-baik saja, semakin terlihat bahwa ia tidak sedang baik-baik saja.

“Ada apa?” tanyaku lagi.

Akhirnya suami mengaku…

“Tadi pagi, waktu Mas lagi nyimak setoran hafalan anak-anak sekolah, Bapak di desa telepon,” tutur suami dengan nada sendu. “Bapak ngasih kabar kalau Ibu sering sakit-sakitan. Badannya makin kurus. Beliau tanya apakah lebaran tahun ini kita bisa pulang kampung?”

Terjawab sudah alasan mengapa hari ini suami tampak sedih. Memang benar, sudah dua lebaran ini kami tidak pulang kampung. Jarak kami dengan orang tua terpisah oleh pulau yang berbeda. Tiga jam perjalanan laut ditambah dua hari perjalanan darat. Tiket bus tidak murah, apalagi saat lebaran harga tiket naik. Seperti yang kusampaikan pada kalian tadi, selama suami bekerja jadi guru tahfidz, ia hanya berpenghasilan kurang dari satu juta sebulan. Maka, jangankan untuk pulang kampung, kadang untuk kebutuhan makan sehari-hari pun kami harus meminjam uang tetangga. Jadi bukan kami tak mau pulang, tapi sungguh tidak ada biayanya. Dua kali lebaran ini kami hanya bisa bertatap muka dengan orang tua lewat video call. Bulan Ramadhan tinggal satu setengah bulan lagi. Dan bila kami tidak pulang lebaran tahun ini, artinya kami telah melewati tiga kali lebaran tanpa pulang kampung.

“Ternyata seperti ini rasanya menjadi dewasa,” tampak ada genangan di pelupuk suami.

Kusejajari suami, lalu mengusap-usap bahunya. Mencoba untuk membesarkan hatinya.

“Mas khawatir tidak sempat lihat ibu lagi…”

Dan kini genangan itu telah meluncur jatuh membasahi pipi.

Aku tak bisa berkata-kata. Ternyata seperti ini laki-laki yang jiwanya sedang rapuh itu.

*

Beberapa hari lagi bulan Ramadhan akan tiba. Di saat para pemuda masjid sedang bergotong-royong membersihkan karpet dan sajadah, orang-orang mengecet tembok rumah, pedagang mulai merencanakan menu ta’jil yang akan dijual menjelang buka puasa nanti, serta mall-mall bersolek dengan berbagai aksesoris bernuansa Islami, sore itu juga suami pulang dengan ekspresi yang sulit kutebak, lalu ia berkata,

“Dek, hari ini Mas berhenti jadi pengajar tahfidz di sekolah dan di musholla. Karena mulai besok, Mas ikut kerja bareng Ridho jadi pelatih anjing.”

**

Indramayu, 17 Maret 2024

01.41 wib

Penulis: Fitrah Ilhami


Renungan!!!

-Lagi-Lagi Bahas Gaji Guru-

Demi Allah, persoalan ini tidak akan selesai bila setiap pihak semangatnya saling menuntut bukan saling memberi.

Pemicu masalah ini biasanya bermula bukan dari besaran gaji. Tapi, terjadi karena ketimpangan gaya hidup antara pengurus lembaga dengan para guru. Pengurus serba punya sedangkan guru apa adanya. Apalagi kalau para guru tahu gaya hidupnya itu berasal dari profit lembaga itu.

Tidak sedikit guru yang selalu ikhlas dengan gaji minim ketika kehidupan pengurus lembaga tidak jauh dengan kehidupan mereka bahkan cenderung sama. Karena budaya yang dibangun adalah kerja kolektif tentang kebesaran generasi. Mungkin karena itu alm KH Hasyim Muzadi dulu menyatakan, "siapa yang pantas menjadi kiai? Bukan yang ilmunya banyak, tapi yang ikhlasnya paling tinggi." Karena barisan jama'ah tergantung bagaimana imam.

Maka menurut kami sebaiknya yang kita bangun adalah budaya yang berdaya dengan saling memberikan yang terbaik. Guru totalitas mendidik murid dan lembaga totalitas memuliakan guru. Kemudian narasi soal besaran gaji sebaiknya tidak sebatas pada kata "kesejahteraan". Tapi, ini menyangkut optimasi ibadah guru kepada Allah. Bila guru gajinya tinggi maka guru bisa menjadi muzzaki, bisa umroh, bisa haji dan seterusnya. Inilah kebahagiaan kita secara kolektif ketika semua dibangun atas nama Allah. Barakallahu fiikum...!

Posting Komentar untuk "Istri Seorang Guru Tahfidz - Sejak kapan keikhlasan guru dalam mengajar diukur dari besar kecilnya gaji yang diterima?"