Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 40 – Berbuat dan Bertindaklah Secara Adil

Allah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil” (QS. An Nahl: 900

Ini merupakan kaidah Qur`āniy dan kalimat singkat yang memiliki arti luas. Ini adalah salah satu kaidah yang paling agung dari kaidah-kaidah syariat samawi semuanya. Tidak ada satu pun yang lepas dari kaidah ini. Jumlah cabang-cabang masalah yang masuk dalam kaidah ini tidak bisa dihitung kecuali oleh Allah Ta’ālā. Kaidah ini juga disepakati oleh semua syariat-syariat samawi.

Sebagian ulama mengatakan, “Keadilan merupakan sesuatu yang disepakati kebaikannya oleh syariat-syariat ilahi, akal yang bijaksana, dan umat-umat besar bangga mengklaim telah mewujudkannya. Mereka menuliskan kebanggaan mereka itu dalam bentuk tulisan prasasti seperti Kaldani, Mesir, dan India.”

Makna syariat yang agung ini, yaitu keadilan yang sedang kita bicarakan intisarinya terkait kaidah Qur`āniy yang baku ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil” merupakan makna yang disukai oleh jiwa-jiwa mulia dan fitrah yang lurus. Merealisasikannya menjadi sebab adanya kebaikankebaikan agung dan keuntungan yang banyak. Sebaliknya juga begitu. Betapa banyak perwujudan keadilan ini menjadi sebab orang masuk Islam, padahal tidak ada yang memotivasi mereka untuk masuk Islam selain perwujudan dari pondasi dasar yang agung ini, yaitu keadilan.

Berikut ini beberapa kejadian yang menjelaskan secuil dari dampak keadilan di jiwa orang-orang yang menjadi lawan sebelum menjadi teman.

Ibnu ‘Asākir dalam buku Tārīkh Ad-Dimasyq meriwayatkan dari AsySya’biy bahwa ia mengatakan, “Ali bin Abi Ṭālib menemukan baju besinya ada di tangan seorang Nasrani. Maka Ali pun menggugatnya kepada Syuraiḥ (Hakim Syuraiḥ, salah seorang hakim yang terkenal di masa Amirul Mukminin Ali). Perawi mengatakan, “Ali membawa orang tersebut hingga duduk di samping Syuraiḥ.” Ali berkata kepadanya, “Wahai Syuraiḥ! Jika tergugat merupakan seorang muslim maka aku tidak akan duduk (menyelesaikan masalah in) kecuali berdua dengannya, akan tetapi dia seorang Nasrani. Dan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian dan mereka berada di jalan yang sama maka desaklah dia sehingga dia terpaksa menyingkir’ (Kalimat ini merupakan penggalan dari hadis Abu Hurairah. Tirmizi mengatakan, “Hadis ini hasan sahih.” Hadis ini terdapat di kitab Ṣaḥiḥ Ibnu Ḥibbān: 501) dan buatlah mereka kerdil sebagaimana Allah Ta’ālā telah mengerdilkan mereka, tanpa melampaui batas.” Kemudian Ali berkata, “Baju besi ini adalah baju besiku. Aku belum pernah menjualnya ataupun menghibahkannya.” Lantas Syuraiḥ berkata kepada orang Nasrani tersebut, “Apa yang akan Anda katakan terkait apa yang disampaikan oleh Amirul Mukminin?” Orang Nasrani tersebut berkata, “Baju besi ini tidak lain adalah kepunyaanku. Dan Amirul Mukminin bukan seorang pendusta dalam pandanganku.” Syuraiḥ berpaling mengahadap kepada Ali dan berkata, Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda punya bukti?” Perawi berkata, “Maka Ali pun tertawa, dan berkata, “Syuraiḥ telah berbuat benar! Aku tidak memiliki bukti.” Maka Syuraiḥ pun memutuskan bahwa baju tersebut milik orang Nasrani itu.

Perawi melanjutkan, “Dia pun berjalan beberapa langkah kemudian balik lagi.” Orang Nasrani tersebut berkata, “Adapun saya, maka saya bersaksi bahwa ini merupakan hukum para Nabi. Amirul Mukminin memperkarakanku ke hakimnya, dan hakimnya memutuskan untuk keuntunganku? Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Baju besi ini, demi Allah, merupakan baju besimu wahai Amirul Mukminin. Aku mengikuti pasukan, sementara engkau berangkat menuju Ṣiffīn. Lalu baju besi ini terjatuh dari unta hitammu.” (Ali berkata,) “Karena Anda sudah masuk Islam, maka baju itu untukmu. Maka dia pun menaikkan laki-laki itu ke atas kuda. Asy-Sya’biy mengatakan, “Aku diberitahu oleh orang yang melihatnya bahwa dia ikut memerangi sekte Khawarij bersama Ali dalam sebuah peperangannya.”

Perhatikanlah bagaimana kejadian itu memberi dampak mengagumkan dari tindakan orang nomor satu di negara pada waktu itu terhadap keislaman lakilaki tersebut. Bahkan dia ikut bergabung dengan pasukannya memerangi sekte Khawarij yang menyimpang. Keutamaan menegakkan keadilan bukan hanya sebatas di kejadian-kejadian itu saja, bahkan pemimpin yang adil merupakan satu dari tujuh orang yang akan dilindungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (hari kiamat).

Di kejadian tersebut terdapat hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu: bahwa hakim tersebut tidak akan berani mengambil tindakan seperti itu kalau dia tidak mendapatkan apa yang bisa mendukung dan menguatkan posisinya dalam menerbitkan keputusan tersebut terhadap Khalifah kaum muslimin ketika itu, yaitu dukungan Khalifah itu sendiri. Ketika hakim merasa bahwa dia tidak bisa untuk memutuskan dengan adil sesuai pandangannya, maka ucapankan selamat tinggal untuk pengadilan.

Naungan kaidah yang agung ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil” terus menyebar ke seluruh ruang kehidupan. Contohnya:

Adil kepada para istri. Ini merupakan urusan yang sudah baku dalam bab interaksi suami istri. Ini sudah sangat jelas sehingga tidak perlu dirincikan lagi. Namun yang perlu ditegaskan adalah mengingatkan para saudara yang berpoligami untuk selalu bertakwa kepada Allah dengan berlaku adil kepada para istrinya, dan hendaknya mereka waspada terhadap dampak perilaku tidak adil dalam kehidupan sebelum kematian datang menjemput. Yaitu, pertengkaran dan perselisihan di antara anak-anak yang bukan saudara kandung, sehingga mereka menjadi ejekan orang lain. Adapun di akhirat nanti maka azabnya lebih dahysat dan lebih keras. Hendaknya mereka merenungkan biografi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersama sembilan orang istrinya. Di dalam biografi tersebut terdapat keteladanan yang cukup dan banyak pelajaran.

Adil kepada anak-anak. Kedua orang tua harus berlaku adil kepada mereka, serta menjauhi sikap yang mengutamakan sebagian anak di atas sebagian yang lain, baik terkait urusan yang bersifat maknawi (abstrak) seperti rasa cinta, kasih sayang, kepedulian, dan sebagainya; atau dalam urusan yang bersifat materi seperti hadiah, hibah, dan sebagainya.

Adil dan objektif dalam memberikan tanggapan dan penilaian terhadap orang lain. Allah Ta’ālā berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisā`: 135) Allah Juga berfirman:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَٱعْدِلُوا۟

“Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil.” (QS. Al-An’ām:  152)

Adil dalam memberi nafkah. Allah Ta’ālā berfirman:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isrā`: 29)

Dan Allah berfirman memuji ‘Ibādurraḥman (hamba-hamba terpilih Tuhan Yang Maha Pengasih)

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqān: 67)

Dan di antara doa agung Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah, “Dan aku meminta kepada-Mu kesederhanaan ketika fakir dan kaya.”

Secara umum, siapa pun yang merenungkan perintah-perintah Allah Ta’ālā maka dia akan mendapatkan sikap moderat di antara dua sikap tercela: berlebih-lebihan dan acuh tak acuh. Inilah makna kaidah Qur`āniy yang baku ini, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil”.

(Qawaid Qur’aniyyah 50 Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah Al Muqbil)

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 40 – Berbuat dan Bertindaklah Secara Adil"