Tutuplah Aib/Kesalahan Dirimu dan Diri Saudaramu
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujuraat: 12).
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata:
قال المفسرون:
التجسس: البحث عن عيب المسلمين وعوراتهم؛ فالمعنى: لا يبحث أحدكم عن عيب أخيه
ليطلع عليه إذ ستره الله.
“Para ahli tafsir berkata:
Kata ‘tajassus’ maknanya mencari-cari aib dan kekurangan/kelemahan dari kaum
muslimin. Sehingga maknanya ayat itu adalah: Janganlah salah seorang di antara
kalian mencari-cari aib saudaranya dan berupaya menampakkannya, padahal Allah
menutupinya” (Zaadul-Maasir, 7/471; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 3/1404 H).
Larangan yang ada dalam
ayat di atas juga dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ
هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا
وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا "
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Muhammad(1): Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah(2): Telah mengkhabarkan
kepada kami Ma’mar(3), dari Hammaam bin Munabbih(4), dari Abu Hurairah, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka
(buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling
mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling
hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai
hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 6064).
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa persaudaraan Islam yang hakiki tidaklah akan terwujud dengan keberadaan prasangka (buruk), tahassus, tajassus, hasad, saling menjauhi, dan saling membenci. Persaudaraan akan terwujud dengan meninggalkan semua bentuk akhlak tercela tersebut.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَكْثَمَ، وَالْجَارُودُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ
بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ أَوْفَى بْنِ دَلْهَمٍ، عَنْ
نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: صَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيعٍ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ
مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا
تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ،
فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ
عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ
رَحْلِهِ "، قَالَ: وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْبَيْتِ أَوْ
إِلَى الْكَعْبَةِ، فَقَالَ: مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ
أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ،
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Aktsam(5) dan Al-Jaaruud bin Mu’aadz(6), mereka berdua berkata: Telah menceritakan
kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa(7): Telah menceritakan kepada kami Al-Husain
bin Waaqid(8), dari Aufaa bin Dalham(9), dari Naafi’(10), dari Ibnu ‘Umar, ia
berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik di atas mimbar lalu
menyeru dengan suara yang kencang dan bersabda: “Wahai sekalian orang yang
telah berislam dengan lisannya namun belum masuk keimanan dalam hatinya. Janganlah kalian
mengganggu kaum muslimin, jangan mencelanya, dan jangan mencari-cari aib
mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama
muslim, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah
cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap aibnya itu meskipun di rumahnya
sendiri”. Naafi’ berkata: Pada suatu hari Ibnu ‘Umar memandang Ka’bah, lalu
berkata: “Alangkah agung engkau dan alangkah agung kehormatanmu (wahai Ka’bah).
Namun, kehormatan seorang muslim lebih agung di sisi Allah daripada engkau” (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 2032; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan
At-Tirmidziy, 2/391, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H).
Lafadh yang bergaris
bawah juga dibawakan secara marfu’ sebagaimana riwayat:
أَخْبَرَنَا
أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ، نا أَبُو عَمْرٍو إِسْمَاعِيلُ بْنُ نُجَيْدٍ
السُّلَمِيُّ، نا جَعْفَرٌ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَوَادَةَ، نا الْحُسَيْنُ بْنُ
مَنْصُورٍ، نا حَفْصُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، نا شِبْلُ بْنُ عَبَّادٍ، عَنِ
ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَال: لَمَّا نَظَرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْكَعْبَةَ، فَقَالَ:
" مَرْحَبًا بِكِ مِنْ بَيْتٍ مَا أَعْظَمَكِ، وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ،
وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin
Qataadah(11): Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amru Ismaa’iil bin Nujaid
As-Sulamiy(12): Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin
Sawaadah(13): Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Manshuur(14): Telah
mengkhabarkan kepada kami Hafsh bin ‘Abdirrahmaan(15): Telah mengkhabarkan
kepada kami Syibl bin ‘Abbaad(16), dari Ibnu Abi Najiih(17), dari Mujaahid(18),
dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memandang Ka’bah, beliau bersabda: “Selamat datang wahai Ka’bah, betapa
agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi orang mukmin lebih
agung di sisi Allah daripadamu” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iimaan, no. 4014; shahih).
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ
وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا
تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ
اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ"
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin
Abi Syaibah(19): Telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin ‘Aamir(20): Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy(21), dari Al-A’masy(22), dari
Sa’iid bin ‘Abdillah bin Juraij(23), dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata:
Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai sekalian manusia
yang telah beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya.
Janganlah kalian
mengghibah kaum muslimin, dan jangan kalian mencari-cari aib mereka.
Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan mencari-cari
aibnya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap
kejelekannya meskipun di rumahnya sendiri” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
4880; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 3/197;
Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H).(24)
Perkataan beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: (مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ
الْإِيمَانُ قَلْبَهُ) ‘siapa saja yang telah beriman dengan lisannya namun belum
masuk iman itu ke dalam hatinya’ menunjukkan siapa saja yang mengghibah dan
mencari-cari aib saudaranya yang muslim, maka imannya itu kurang dan terjangkit
sebagian virus nifak. Oleh karenanya
Allah ta’ala berfirman:
قَالَتِ
الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا
يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
“Orang-orang Arab Badui
itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka):
"Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” (QS. Al-Hujuraat: 14).
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbaad hafidhahullah berkata:
فمنهم من قال:
إن المقصود بها أناس منافقون، وهذا هو الذي مشى عليه البخاري رحمه الله، ومنهم من
قال: إن المقصود بهم ليسوا منافقين، وإنما هم مؤمنون ناقصو الإيمان، فعندهم ضعف في
الإيمان وليسوا من المنافقين، أي: أنهم لم يتمكن الإيمان في قلوبهم.
“Di antara mereka (ulama)
ada yang berkata: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengannya adalah orang-orang
munaafik. Inilah pendapat yang dipegang oleh Al-Bukhaariy rahimahullah. Dan di
antara mereka ada yang berkata: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengannya
bukanlah orang-orang munaafik, namun mereka itu adalah orang-orang mukmin yang
kurang imannya. Pada mereka ada kelemahan dalam imannya, namun mereka itu
bukanlah orang-orang munafik. Yaitu, mereka belum tetap dalam hati mereka….” (Muhaadlarah
Syarh Sunan Abi Daawud, bisa dilihat di:
http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=173538).
Salah satu ciri-ciri
orang munaafik adalah melampaui batas ketika berselisih, sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا
أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ
النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Khaalid(25): Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far(26), dari
Syu’bah(27), dari Sulaimaan(28), dari ‘Abdullah bin Murrah(29), dari Masruuq(30),
dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam: “Ada empat hal yang bila ada pada diri seseorang maka dia adalah
seorang munafiq - atau - barangsiapa yang memiliki empat tabiat tersebut, maka
ia mempunyai tabiat munafik, hingga ia meninggalkannya. Yaitu: jika berbicara
dusta, jika berjanji ingkar, jika membuat kesepakatan mengkhianati, dan jika
berselisih (bertengkar) maka dia berbuat fajir” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2459).
Makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam: ‘jika berselisih (bertengkar) maka dia berbuat fajir’ ; yaitu bila ia
berselisih dengan orang lain, maka ia akan melakukan segala jalan yang tidak
disyari’atkan, termasuk melakukan tipu daya dan berbagai perkataan bathil
lainnya kepada/tentang lawannya.
Termasuk di antara perkara-perkara bathil
dalam perselisihan itu adalah mencari-cari dan menyingkap aib-aib lawannya yang
tersembunyi hanya dengan tujuan agar ia menang dalam perselisihan.
Ini dalam perselisihan….
Lantas bagaimana halnya jika mencari-cari aib itu menjadi kebiasaan kita dalam
setiap pembicaraan?. Tidakkah kita takut Allah ta’ala akan menyingkap aib-aib
kita di mata dan telinga manusia? Bahkan lebih besar dari itu, tidakkah kita
takut Allah ta’ala kelak akan menyingkap aib-aib kita di hari kiamat?
يَوْمَ
يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ وَمَنْ يُؤْمِنْ
بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُدْخِلْهُ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“(Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah
mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab), itulah hari (waktu
itu) ditampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan mengerjakan amal saleh niscaya Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
keberuntungan yang besar” (At-Taghaabuun: 9).
Duhai, malangnya diri kita jika kita termasuk
orang-orang yang disingkap Allah aib-aibnya di hari yang besar itu….
Oleh karena itu ya
ikhwan,…. Allah ta’ala telah memberikan janji akan menutupi aib-aib kita kelak
di hari kiamat jika kita menutupi aib-aib saudara kita di dunia.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ،
حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي
الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah(31): Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan(32): Telah menceritakan
kepada kami Wuhaib(33): Telah menceritakan kepada kami Suhail(34), dari ayahnya(35),
dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lain di dunia, melainkan Allah
akan menutupi aibnya pada hari kiamat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2590).(36)
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ،
أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ،
وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ
عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Bukair(37): Telah menceritakan kepada kami Al-Laits(38), dari ‘Uqail(39), dari
Ibnu Syihaab(40): Bahwasannya Saalim(41) telah mengkhabarkan kepadanya: Bahwa
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa telah mengkhabarkan kepadanya:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim
itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh mendhaliminya dan tidak boleh pula
menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang
memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya.
Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan
melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya
kelak di hari kiamat” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2442).
حَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامٍ
الدَّسْتَوَائِيِّ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، قَالَ: قَالَ
رَجُلٌ لِابْنِ عُمَرَ: كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي النَّجْوَى؟، قَالَ: سَمِعْتُهُ، يَقُولُ: " يُدْنَى
الْمُؤْمِنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَضَعَ
عَلَيْهِ كَنَفَهُ، فَيُقَرِّرُهُ بِذُنُوبِهِ، فَيَقُولُ: هَلْ تَعْرِفُ؟،
فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ أَعْرِفُ، قَالَ: فَإِنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي
الدُّنْيَا، وَإِنِّي أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ، فَيُعْطَى صَحِيفَةَ
حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الْكُفَّارُ وَالْمُنَافِقُونَ، فَيُنَادَى بِهِمْ عَلَى
رُءُوسِ الْخَلَائِقِ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb(42):
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim(43), dari Hisyaam
Ad-Dastawaa’iy(44), dari Qataadah(45), dari Shafwaan bin Muhriz(46), ia berkata:
Ada seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar: “Bagaimana engkau mendengar keterangan
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang bisikan?”. Ibnu ‘Umar
berkata: Aku mendengar beliau bersabda: “Pada hari kiamat seorang mukmin akan
didekatkan di sisi Rabbnya ‘azza wa jalla sampai diletakkan tutup atas dirinya
kemudian Allah pun meminta pengakuannya atas dosa yang telah dilakukannya.
Allah berfirman: ‘Apakah kamu mengetahuinya?’. Maka dia menjawab: ‘Benar wahai
Rabbku, aku telah mengetahuinya.’ Maka Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi
dosamu ketika di dunia dan pada hari ini Aku berikan ampunan atasnya kepadamu’.
Maka diberikan kepadanya lembaran catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang
kafir dan munafik, maka mereka akan dipanggil di hadapan orang banyak dengan
seruan: ‘Mereka itulah orang-orang berdusta atas nama Allah’.” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2768).
Tidakkah kita ingin masuk
dalam golongan orang yang beruntung tersebut ya ikhwan?.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa mencari-cari aib orang lain itu sama
dengan usaha untuk merusaknya/membinasakannya.
حَدَّثَنَا
عِيسَى بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّمْلِيُّ، وَابْنُ عَوْفٍ، وَهَذَا لَفْظُهُ، قَالَا:
حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ
سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ
أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ
"،
Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin
Muhammad Ar-Ramliy(47) dan Ibnu ‘Auf(48) – ini lafadhnya (Ibnu ‘Auf) - , mereka
berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Firyaabiy(49), dari Sufyaan(50),
dari Tsaur(51), dari Raasyid bin Sa’d(52), dari Mu’aawiyyah, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh jika
kalian berusaha mencari-cari kesalahan manusia, maka sesungguhnya kalian telah
merusak/membinasakan mereka atau hampir-hampir saja kalian merusak/membinasakan
mereka” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4888; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 3/199).
Dalam Fathul-Waduud
disebutkan (penjelasan hadits di atas):
أَيْ إِذَا
بَحَثْت عَنْ مَعَائِبِهِمْ وَجَاهَرْتهمْ بِذَلِكَ ، فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى
قِلَّة حَيَائِهِمْ عَنْك فَيَجْتَرِئُونَ عَلَى اِرْتِكَاب أَمْثَالهَا
مُجَاهَرَة
“Yaitu: Bila engkau mencari-cari aib-aib
mereka dan engkau menyebarkannya, niscaya hal itu akan mengurangi rasa malu
mereka kepadamu yang menyebabkan mereka akan semakin berani melakukan kejahatan
serupa secara terang-terangan” (‘Aunul-Ma’buud, 13/233, tahqiq: ‘Abdurrahmaan
bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1389 H).
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ عَيَّاشٍ،
حَدَّثَنَا ضَمْضَمُ بْنُ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ جُبَيْرِ
بْنِ نُفَيْرٍ، وَكَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، وَعَمْرِو بْنِ الْأَسْوَدِ،
وَالْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ، وأبي أمامة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي
النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ "
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin
‘Amru Al-Hadlramiy(53): Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy(54):
Telah menceritakan kepada kami Dlamdlam bin Zur’ah(55), dari Syuraih bin ‘Ubaid(56),
dari Jubair bin Jufair(57), Katsiir bin Murrah(58), ‘Amru bin Al-Aswad(59),
Al-Miqdaam bin Ma’dikarib, dan Abu Umaamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang amir jika ia mencari-cari
hal-hal yang mencurigakan (kekeliruan) rakyatnya, maka ia telah merusak mereka”
(Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4889; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Shahih Sunan Abi Daawud, 3/199).(60)
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
معنى ذلك عندنا
أن الله قد أمر عباده بالستر وأن لا يكشفوا عنهم ستره الذي سترهم به فيما يصيبونه
مما قد نهاهم عنه لم سواهم من الناس............ وكان الأمير إذا تتبع ما قد أمر
الله بترك تتبعه، امتثل الناس ذلك منه، وكان في ذلك فسادهم.
“Makna hadits tersebut menurut kami adalah
bahwa Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk menutupi dan tidak menyingkap
apa-apa yang telah Allah tutupi yang menimpa mereka dari apa yang telah
dilarang bagi mereka, kepada orang lain…. Seorang pemimpin apabila mencari-cari
sesuatu yang Allah larang untuk mencari-carinya, maka orang-orang akan meniru
perbuatannya itu sehingga dengan hal itu akan merusak (keadaan) mereka” (Syarh
Musykiilil-Aatsaar, 1/86 & 88, tahqiq & takhrij: Syu’aib Al-Arna’uth;
Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1415 H).
Bahkan, perintah menutupi kesalahan ini bukan
hanya untuk menutupi kesalahan orang lain, tapi juga menutupi kesalahan diri
sendiri. Perhatikan beberapa riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرَانِ:
حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ
وَالْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَالَجْتُ
امْرَأَةً فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ، وَإِنِّي أَصَبْتُ مِنْهَا مَا دُونَ أَنْ
أَمَسَّهَا، فَأَنَا هَذَا فَاقْضِ فِيَّ مَا شِئْتَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: لَقَدْ
سَتَرَكَ اللَّهُ لَوْ سَتَرْتَ نَفْسَكَ، قَالَ: فَلَمْ يَرُدَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا، فَقَامَ الرَّجُلُ، فَانْطَلَقَ
فَأَتْبَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا دَعَاهُ،
وَتَلَا عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَف وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا
مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى
لِلذَّاكِرِينَق، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، هَذَا لَهُ
خَاصَّةً؟، قَالَ: بَلْ لِلنَّاسِ كَافَّةً
"
Telah menceritakan kepada Yahyaa bin Yahyaa(61),
Qutaibah bin Sa’iid(62), dan Abu Bakr bin Abi Syaibah - lafadhnya adalah milik
Yahyaa – , Yahyaa berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami; sedangkan yang lain
berkata: Telah menceritakan kepada kami: Abul-Ahwash(63), dari Simaak(64), dari
Ibraahiim(65), dari ‘Alqamah(66) dan Al-Aswad(67), dari ‘Abdullah (bin
Mas’uud), ia berkata: Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
menggauli seorang wanita di pelosok Madiinah dan aku telah melakukan segala
sesuatu kecuali jima’. Maka, aku datang menyerahkan diriku untuk dihukum
sesukamu”. Ketika mendengar hal itu, ‘Umar berkata: “Sungguh Allah telah
menutupinya seandainya engkau menutupi kesalahanmu itu”. (Ibnu Mas’uud berkata:)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab sedikitpun. Lalu laki-laki
itu pun berdiri hendak pergi. Setelah ia pergi, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam membacakan kepadanya ayat: ‘Dan dirikanlah shalat pada pagi dan petang
dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus
dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang
ingat’ (QS. Huud: 114). Kemudian ada seorang laki-laki yang bangkit dan berkata:
“Wahai Nabiyullah, apakah ayat ini hanya diperuntukkan padanya?”. Beliau
menjawab: “Tidak, bahkan untuk seluruh manusia” (Diriwayatkan oleh Muslim no.
2763).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang dikatakan ‘Umar bin Al-Khaththaab
agar orang tersebut menutupi kesalahannya sehingga tidak meneruskan perkaranya.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ،
عَنِ ابْنِ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا
الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ
بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ:
يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ
رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz
bin ‘Abdillah(68): Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d(69), dari
anak saudara laki-laki Ibnu Syihaab(70), dari Ibnu Syihaab, dari Saalim bin
‘Abdillah, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seluruh umatku akan
diampuni kecuali Al-Mujaahiruun (orang-orang yang terang-terangan melakukan
kemaksiatan). Dan termasuk di antara Al-Mujaahiruun itu adalah orang yang telah
melakukan perbuatan jahat di malam hari, lalu Allah menutupi aibnya itu
keesokan harinya. Namun ia kemudian berkata: ‘Wahai Fulaan, semalam aku telah melakukan ini
dan itu’. Allah telah menutupi aibnya, namun ia sendiri yang telah
menyingkapnya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6069).
Mari kita perhatikan
riwayat-riwayat yang ternukil dari sebagian shahabat tentang sikap mereka yang
tidak mau mencari-cari dan menyelidiki aib-aib orang lain dan berupaya untuk
menutupinya (jika menemukannya):
حَدَّثَنَا
الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ:
حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُتْبَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
يَقُولُ: " إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ،
وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ
أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ
سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا
سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ، وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ
حَسَنَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin
Naafi’(71): Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib(72), dari Az-Zuhriy, ia
berkata: Telah menceritakan kepadaku Humaid bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf(73):
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Utbah(74) berkata: Aku mendengar ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata: “Dahulu orang-orang melakukan dosa,
akan disingkap kesalahannya itu dengan perantaraan wahyu. Akan tetapi saat ini,
wahyu telah terputus. Maka, kami hanya menghukum kalian terhadap apa-apa yang
nampak dari amal-amal kalian. Barangsiapa yang menampakkan kebaikan, kami akan
mempercayainya, dan kami tidak akan mengusik segala yang tersembunyi darinya.
Allah lah yang akan menghisab apa-apa yang tersembunyi darinya. Namun
barangsiapa yang menampakkan kejahatan, maka kami tidak akan mempercayainya
meskipun ia berkata: ‘Sesungguhnya apa yang ia inginkan dalam hatinya adalah
kebaikan” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2641).
عَنْ مَعْمَرٍ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ زُرَارَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ
حَرَسَ لَيْلَةً مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَبَيْنَا هُمْ يَمْشُونَ شَبَّ
لَهُمْ سِرَاجٌ فِي بَيْتٍ، فَانْطَلَقُوا يَؤُمُّونَهُ، حَتَّى إِذَا دَنَوْا
مِنْهُ، إِذَا بَابٌ مُجَافٍ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ فِيهِ أَصْوَاتٌ مُرْتَفِعَةٌ
وَلَغَطٌ، فَقَالَ عُمَرُ وَأَخَذَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: " أَتَدْرِي
بَيْتُ مَنْ هَذَا؟، قَالَ: قُلْتُ: لا، قَالَ: هُوَ رَبِيعَةَ بْنِ أُمَيَّةَ
بْنِ خَلَفٍ، وَهُمُ الآنَ شُرَّبٌ، فَمَا تَرَى؟ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَرَى
قَدْ أَتَيْنَا مَا نَهَانَا اللَّهُ عَنْهُ، نَهَانَا اللَّهُ فَقَالَ: وَلا
تَجَسَّسُوا فَقَدْ تَجَسَّسْنَا " فَانْصَرَفَ عَنْهُمْ عُمَرُ وَتَرَكَهُمْ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Mush’ab bin
Zuraarah bin ‘Abdirrahmaan(75), dari Al-Miswar bin Makhramah(76), dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Auf: Bahwasannya ia pernah berjaga malam bersama ‘Umar bin
Al-Khaththaab. Ketika mereka berdua keliling, mereka melihat sebuah lampu sedang menyala
dari dalam rumah. Lalu mereka mendekati rumah tersebut. Ketika mereka mendekat,
mereka pun mendapati pintu rumah tersebut terbuka tanpa ada seorang pun di
sana, sedangkan dari dalam rumah terdengar suara yang sangat gaduh. Berkata
‘Umar – sambil memegang tangan ‘Abdurrahmaan -: “Tahukah engkau rumah siapakah
ini?”. ‘Abdurrahmaan menjawab: “Tidak”. ‘Umar berkata: “Ini adalah rumah
Rabii’ah bin Umayyah bin Khalaf. Mereka sekarang sedang minum khamr. Apa
pendapatmu?”. ‘Abdurrahmaan berkata: “Aku pikir kita sedang mengerjakan sesuatu
yang dilarang Allah. Allah telah melarang kita dengan firman-Nya: ‘Dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain” (QS. Al-Hujuraat:
12). Dan sekarang ini kita telah mencari-cari kesalahan (tajassus) orang lain”.
Setelah mendengar perkataan itu, ‘Umar pergi dan meninggalkan mereka (Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq 10/231-232 no. 18943; shahih).
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ
الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أُتِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ، فَقِيلَ:
هَذَا فُلَانٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: "
إِنَّا قَدْ نُهِينَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَلَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَنَا شَيْءٌ
نَأْخُذْ بِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah(77), dari
Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb(78), ia berkata: (Pada suatu hari) didatangkan
seseorang kepada Ibnu Mas’uud. Dikatakan kepadanya: “Fulan ini jenggotnya telah
dibasahi oleh khamr. ‘Abdullah (bin Mas’uud) berkata: “Sesungguhnya kita
dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus). Akan tetapi jika
telah nampak/jelas buktinya, maka kami akan menghukumnya” (Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 4890; Al-Albaaniy berkata: “Sanadnya shahih” – sebagaimana dalam
Shahih Sunan Abi Daawud, 3/199).
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ حَرْبِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ
أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ
زُيَيْدِ بْنِ الصَّلْتِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، يَقُولُ:
" لَوْ أَخَذْتُ شَارِبًا لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ، وَلَوْ
أَخَذْتُ سَارِقًا، لَأَحْبَبْتُ أَنْ يَسْتُرَهُ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan
bin Mahdiy(79), dari Harb bin Syaddaad(80), dari Yahyaa bin Abi Katsiir(81),
dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan(82), dari Zubaid bin Ash-Shalt(83),
ia berkata: Aku mendengar Abu bakr Ash-Shiddiiq berkata: “Seandainya aku dapati
seorang peminum khamr, sungguh aku ingin agar Allah menutupinya. Dan seandainya
aku dapati seorang pencuri, sungguh aku pun ingin agar Allah menutupinya” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, 9/467; hasan).
عَنْ أَيُّوبَ،
عَنْ عِكْرِمَةَ، أَنَّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ أَخَذَ سَارِقًا، ثُمَّ قَالَ:
أَسْتُرُهُ لَعَلَّ اللَّهَ يَسْتُرُنِي
"
Dari Ayyuub(84), dari ‘Ikrimah(85):
Bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir pernah menangkap seorang pencuri, kemudian
berkata: “Aku menutupi kesalahannya, semoga Allah menutupi kesalahanku” (Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq, 10/226 no. 18929; hasan).(86)
Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kepada
kita bahwa para shahabat adalah orang yang sangat sayang kepada manusia
sehingga berupaya menutupi segala aib dan kesalahan; padahal diketahui mereka
adalah pribadi-pribadi yang sangat tegas dalam membasmi kemunkaran.
Dan inilah yang dilakukan
oleh Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
أَخْبَرَنِي
عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ الْعَاقُولِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ
اللَّهِ، سُئِلَ عَنِ " الرَّجُلِ يَسْمَعُ حِسَّ الطَّبْلِ وَالْمِزْمَارِ،
وَلا يَعْرِفُ مَكَانَهُ؟ فَقَالَ: وَمَا عَلَيْكَ؟ وَقَالَ: مَا غَابَ فَلا
تُفَتِّشْ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Kariim
bin Al-Haitsam Al-‘Aaquuliy(87), ia berkata: Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Ahmad
bin Hanbal) ditanya tentang seseorang yang mendengar tabuhan kendang dan tiupan
seruling, namun tidak diketahui dari mana asal suaranya. Abu ‘Abdillah berkata:
“Lantas, ada urusan apa denganmu?”. Lalu beliau melanjutkan: “Sesuatu yang
tidak kamu lihat, maka jangan kamu cari-cari/selidiki sebabnya” (Diriwayatkan
oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 49;
shahih).
Adakah kita melakukan
seperti yang di atas?
Seringkali di antara kita
masih ada yang sok pingin tahu urusan orang dengan membuka-buka arsip orang.
Ada pula orang yang bersusah payah pingin menemukan kesalahan orang lain
melalui berbagai media. Kita senang aib kita tersimpan, sementara mulut kita
lancar mengumbar aib orang….. Tidak terasa nikmat pembicaraan jika belum
memakan bangkai saudara….
Terakhir, saya akan tutup
dengan penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah tentang sebagian hikmah menutup aib
dan kesalahan:
قال ابن بطال:
في الجهر بالمعصية استخفاف بحق الله ورسوله وصالحي المؤمنين، وفيه ضرب من العناد
لهم، وفي الستر بها السلامة من الاستخفاف، لأن المعاصي تذل أهلها، ومن إقامة الحد
عليه إن كان فيه حد ومن التعزير إن لم يوجب حدا، وإذا تمحض حق الله فهو أكرم
الأكرمين ورحمته سبقت غضبه، فلذلك إذا ستره في الدنيا لم يفضحه في الآخرة، والذي
يجاهر يفوته جميع ذلك،
“Ibnu Baththaal berkata: ‘Salah satu dampak
negatif akibat tersiarnya kemaksiatan adalah diremehkannya hak-hak Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang beriman. Penyebarluasan hal ini
juga merupakan satu bentuk pembangkangan terhadap mereka. Adapun jika seseorang
menutupi satu kemaksiatan, maka hal itu akan lebih menjaga dari dilecehkannya
hak-hak Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang shaalih, karena pada hakekatnya
segala bentuk kejahatan akan menyebabkan kehinaan bagi pelakunya. Kemaksiatan
itu mungkin menyebabkannya terkena hukuman had atau ta’zir jika kejahatannya
tidak sampai mewajibkan hukum had, dimana pelanggaran yang dilakukan
semata-mata pelanggaran terhadap hak Allah, sedangkan Allah adalah Dzat Yang
Maha Pemurah dan kasih sayang-Nya melebihi amarah-Nya. Untuk itu, barangsiapa
yang menutupi kesalahan/aib di dunia, niscaya Allah tidak akan menampakkan
kesalahannya/aibnya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menampakkannya,
niscaya ia akan kehilangan janji Allah itu (dan Allah akan menampakkan semua
kesalahannya/aibnya di akhirat)…..” (Fathul-Baariy, 10/487).
Yang sepatutnya dilakukan
oleh seorang mukmin/mukminah yang berakal adalah berbicara yang mengandung
kemanfaatan. Seandainya itu tidak sanggup ia
lakukan, hendaklah ia diam.
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ "
“Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau
diam”.
Itu saja yang dapat saya
tuliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Bisyr bin Muhammad
As-Sakhtiyaaniy, Abu Muhammad Al-Marwaziy; seorang yang shaduuq (w. 224) (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 171 no. 708).
(2) ‘Abdullah bin
Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Taimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy;
seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (118-181 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595).
(3) Ma’mar bin Raasyid
Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 154 dalam
usia 58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 961 no. 6857).
(4) Hammaam bin Munabbih
bin Kaamil bin Saij Al-Yamaaniy, Abu ‘Uqbah Ash-Shan’aaniy Al-Abnaawiy; seorang
yang tsiqah (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1024 no. 7367).
(5) Yahyaa bin Aktsam bin
Muhammad bin Qathn bin Sam’aan At-Tamiimiy Al-Usaidiy, Abu Muhammad Al-Marwaziy
Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq, namun ia dituduh mencuri hadits karena
meriwayatkan hadits dengan ijaazah dan wijaadah (w. 242/243 H) (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1049 no. 7557).
(6) Al-Jaaruud bin
Mu’aadz As-Sulamiy, Abu Daawud atau Abu Mu’aadz At-Tirmidziy; seorang yang
tsiqah (w. 244) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 193 no. 890).
(7) Al-Fadhl bin Muusaa
As-Siinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun
kadang meriwayatkan hadits gharib (115-191/192 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 784 no. 5454).
(8) Al-Husain bin Waaqid
Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, namun mempunyai
beberapa keraguan (lahu auhaam) (w. 157/159 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
sebagai mutaba’ah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 251 no. 1367).
(9) Aufaa bin Dalham
Al-‘Adawiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq (Taqriibut-Tahdziib, hal. 156 no.
584).
(10) Naafi’ Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy maula ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy; seorang
yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136).
(11) Namanya adalah:
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Qataadah, Abu Nashr Al-Anshaariy Al-Busyairiy
An-Nu’maaniy; telah ditsiqahkan oleh Al-Baihaqiy dimana ia (Al-Baihaqiy)
menshahihkan haditsnya (Syuyuukh Al-Baihaqiy, no. 109).
(12) Ismaa’iil bin Nujaid
bin Ahmad As-Sulamiy, Abu ‘Umar Al-Khurasaaniy An-Naisaabuuriy; seorang
muhaddits tsiqah (Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/146).
(13) Kemungkinan terjadi
tashhif. Yang benar adalah: Ja’far bin Muhammad bin Siwaar, Abu Muhammad
An-Naisaabuuriy (w. 228 H). Seorang yang tsiqah (Mishbaahul-Ariib, 1/289 no.
5888).
(14) Al-Husain bin
Manshuur bin Ja’far bin ‘Abdillah bin Raziin bin Muhammad bin Bard As-Sulamiy,
Abu ‘Aliy An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah lagi faqiih (w. 238 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 251 no. 1361).
(15) Hafsh bin
‘Abdirrahmaan bin ‘Umar bin Faruukh bin Fudlaalah Al-Balkhiy, Abu ‘Umar
Al-Faqiih; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid (w. 199 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal.
258 no. 1419).
(16) Syibl bin ‘Abbaad
Al-Makkiy Al-Qaari’; seorang yang tsiqah (w. 148 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal.
430 no. 2752).
(17) ‘Abdullah bin Abi
Najiih Yasaar Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, kadang melakukan tadlis (w. 131
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
552 no. 3686).
(18) Mujaahid bin Jabr,
Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang
tafsir (w. 101/102/103/104 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
(Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523).
(19) ‘Utsmaan bin
Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy, Abul-Hasan bin Abi Syaibah
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh yang masyhuur, namun mempunyai
beberapa kekeliruan (156-239 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
(Taqriibut-Tahdziib, hal. 668 no. 4545).
Ada yang menarik tentang
beliau ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar. Yaitu, dikatakan bahwa
beliau ini – dengan segala keutamaan yang dimiliki – tidak hapal Al-Qur’an.
Semoga Allah ta’ala
memberikan rahmat kepada para ulama kita.
(20) Al-Aswad bin ‘Aamir,
Abu ‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy, (laqabnya) Syaadzaan; seorang yang tsiqah (w.
208). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 146 no. 508).
(21) Abu Bakr bin
‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang
tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika berusia senja, hapalannya buruk, dan riwayat
kitabnya adalah shahih (95/96/100-194 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042).
(22) Sulaimaan bin
Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim
terhadap qira’aat (w. 147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630). Ibnu Hajar memasukkannya
dalam jajaran perawi mudallis pada tingkatan kedua (Thabaqaatul-Mudallisiin,
no. 55).
(23) Sa’iid bin ‘Abdillah
bin Juraij Al-Aslamiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, kadang ragu (wahm) (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 381 no. 2353). Tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibbaan, namun
sejumlah perawi tsiqah meriwayatkan darinya (Hausyab bin ‘Uqail, Al-A’masy,
‘Uzrah bin Tsaabit, dan Muhammad bin Mihzam Abu ‘Amru Al-Bashriy). Oleh karena
itu, kedudukannya adalah shaduuq, hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam.
(24) Hadits ini hasan,
namun menjadi shahih karena mempunyai syawaahid, antara lain dari: Ibnu
‘Abbaas, Al-Barra’ bin ‘Aazib, dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum.
(25) Bisyr bin Khaalid
Al-‘Askariy, Abu Muhammad Al-Faraaidliy; seorang yang tsiqah (w. 253/255 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 169
no. 689).
(26) Muhammad bin Ja’far
Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy, dikenal dengan nama Ghundar; seorang
yang tsiqah shahiihul-kitaab, namun padanya ada (sedikit) kelalaian (ghaflah)
(w. 293/294 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 833 no. 5824).
(27) Syu’bah bin
Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy
Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805).
(28) Ia adalah Al-A’masy,
telah lewat penyebutannya.
(29) ‘Abdullah bin Murrah
Al-Hamdaaniy Al-Khaarifiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 100 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 544-545 no.
3632).
(30) Masruuq bin Al-Ajda’
bin Maalik bin Umayyah bin ‘Abdillah Al-Hamdaaniy Al-Waadi’iy, Abu ‘Aaisyah
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 62/63 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 935 no. 6645).
(31) Namanya: ‘Abdullah
bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan bin Khawaasitiy Al-‘Absiy, Abu Bakr bin
Abi Syaibah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 235 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-tahdziib, hal. 540 no. 3600).
(32) ‘Affaan bin Muslim
bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah, tsabt, lagi haafidh (w. 219 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-tahdziib, hal. 681-682 no. 4659 dan Al-Kaasyif, 2/27-28
no. 3827).
(33) Wuhaib bin Khaalid
bin ‘Ajlaan Al-Baahiliy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat,
namun sedikit berubah hapalannya di akhir hayatnya (w. 165). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1045 no.
7537).
(34) Suhail bin Abi
Shaalih Dzakwaan As-Sammaan, Abu Yaziid Al-Madaniy; seorang yang shaduuq namun
berubah hapalannya di akhir hayatnya. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 421 no. 2690).
(35) Namanya: Dzakwaan
Abu Shaalih As-Sammaan Az-Zayyaat Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat
(w. 101 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 313 no. 1850).
(36) Wuhaib mempunyai
mutaba’ah dari Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy (seorang yang shaduuq, jika ia
meriwayatkan dari penduduk negerinya), Sulaimaan bin Bilaal Al-Qurasyiy
(tsiqah), dan ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtar Al-Anshaariy (tsiqah). Masing-masing
jalan ini ada sedikit kelemahan, namun bisa menguatkan riwayat Wuhaib dari
Suhail.
(37) Yahyaa bin ‘Abdillah
bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Zakariyyaa Al-Mishriy; seorang yang
tsiqah dalam periwayatan dari Al-Laits (w. 231 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1059 no. 7630).
(38) Al-Laits bin Sa’d
bin ‘Abdirrahmaan Al-Fahmiy, Abul-Haarits Al-Mishriy; seorang yang tsiqah,
tsabat, faqiih, lagi imam (93/94-175 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 817 no. 5720).
(39) ‘Uqail bin Khaalid
bin ‘Uqail Al-Ailiy, Abu Khaalid Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w.
144 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 687 no. 4699).
(40) Muhammad bin Muslim
bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah bin Al-Haarits bin
Zahrah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang faqiih, haafidh,
lagi mutqin (w. 125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 896 no. 6336).
(41) Saalim bin ‘Abdillah
bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Umar; seorang yang
tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan, termasuk di antara tujuh fuqahaa yang
masyhur (w. 106 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 360 no. 2189).
(42) Zuhair bin Harb bin
Syaddaad, Abu Khaitsamah An-Nasaa’iy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 234
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
341 no. 2053).
(43) Ismaa’iil bin
Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy, Abu Bisyr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi
haafidh (110-193 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 136 no. 420).
(44) Hisyaam bin Abi
‘Abdillah Sanbur Ad-Dastawaa’iy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi
tsabat (76-154 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1022 no. 7349).
(45) Qataadah bin
Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (60/61-100
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
798 no. 5553).
(46) Shafwaan bin Muhriz
bin Ziyaad Al-Maaziniy atau Al-Baahiliy Al-bashriy; seorang yang tsiqah lagi
‘aabid (w. 174 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 454 no. 2957).
(47) ‘Iisaa bin Muhammad
bin Ishaaq atau ‘Iisaa, Abu ‘Umair bin An-Nuhaas Ar-Ramliy; seorang yang tsiqah
lagi mempunyai keutamaan (w. 256 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 770 no. 5356).
(48) Muhammad bin ‘Auf
bin Sufyaan Ath-Thaa’iy, Abu Ja’far atau Abu ‘Abdillah Al-Himshiy Al-Haafidh;
seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 272/273 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 885
no. 6242).
(49) Namanya: Muhammad
bin Yuusuf bin Waaqid bin ‘Utsmaan Adl-Dlabbiy, Abu ‘Abdillah Al-Firyaabiy;
seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan, dikatakan ia mempunyai sedikit
kekeliruan dalam periwayatan hadits dari Sufyaan (120-212 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 911 no. 6455).
(50) Sufyaan bin Sa’iid
bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 394
no. 2458).
(51) Tsaur bin Yaziid bin
Ziyaad Al-Kalaa’iy atau Ar-Rahabiy, Abu Khaalid Asy-Syaamiy; seorang yang
tsiqah lagi tsabat (150/153/155 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 190 no. 869).
(52) Raasyid bin Sa’d
Al-Maqraa’iy atau Al-Habraaniy, Al-Himshiy; seorang yang tsiqah, namun banyak
irsaal (w. 108/113 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 315 no. 1864).
Ia menyaksikan peperangan
Shiffiin bersama Mu’aawiyyah, sehingga riwayatnya yang berasal darinya
(Mu’aawiyyah) berstatus muttashil. Wallaahu a’lam.
(53) Sa’iid bin ‘Amru
Al-Hadlramiy, Abu ‘Utsmaan Al-Himshiy, dikenal dengan Al-Baabuusiy. Ibnu Hajar
menghukuminya maqbuul (Taqriibut-Tahdziib, hal. 385 no. 2387).
Ibnu Hibbaan
memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan sejumlah perawi tsiqaat/shaduuq
meriwayatkan darinya (Abu Daawud, Muhammad bin Ibraahiim bin Muslim, Muhammad
bin ‘Auf Ath-Thaa’iy, ‘Abdul-Kariim bin Al-Haitsam, dan Al-Qaasim bin Haasyim).
Oleh karena itu, ia berstatus shaduuq, hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam.
(54) Ismaa’iil bin
‘Ayyaasy bin Sulaim Al-‘Ansiy, Abu ‘Utbah Al-Himshiy; seorang yang shaduuq
dalam periwayatan dari penduduk negerinya (w. 181 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal.
142-143 no. 477).
Di sini, ia meriwayatkan
dari Dlamdlam bin Zur’ah yang satu negeri dengannya.
(55) Dlamdlam bin Zur’ah
bin Tsuub Al-Hadlramiy Al-Himshiy; seorang yang shaduuq, namun sering ragu
(yahimu) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 460 no. 3009).
(56) Syuraih bin ‘Ubaid
bin Syuraih bin ‘Abd bin ‘Ariib Al-Hadlramiy Al-Maqraa’iy, Abush-Shawaab
Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah, akan tetapi banyak memursalkan
hadits (w. setelah 100 H) (Taqriibut-Tahdziib, hal. 434 no. 2790).
(57) Jubair bin Nufair
bin Maalik bin ‘Aamir Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan atau Abu ‘Abdillah
Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil (w. 80 H atau
setelahnya). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 195 no.
912).
(58) Katsiir bin Murrah
Al-Hadlramiy Ar-Rahaawiy, Abu Syajarah atau Abul-Qaasim Asy-Syaamiy Al-Himshiy;
seorang yang tsiqah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 810 no. 5666).
(59) ‘Amru bin Al-Aswad
Al-‘Ansiy, Abu ‘Iyaadl atau Abu ‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang
yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 730 no. 5024).
(60) Sa’iid bin ‘Amru
Al-Hadlramiy mempunyai mutaba’aat dari Baqiyyah bin Al-Waliid (shaduuq),
Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Ar-Ramliy (shaduuq), Muhammad bin Ismaa’iil bin
‘Ayyaasy (dla’iif), Hisyaam bin ‘Ammaar (shaduuq), Muhammad bin Al-Khaliil
Al-Khasyaniy (shaduuq), Sa’iid bin Sulaimaan Al-Waasithiy (tsiqah lagi
haafidh), Muhammad bin Al-Mubaarak (tsiqah), Hisyaam bin Martsad (tsiqah), dan
‘Abdul-Wahhaab bin Najdah Al-Huuthiy (tsiqah).
Hadits ini mempunyai
syaahid dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan dengan sanad lemah.
Wallaahu a’lam.
(61) Yahyaa bin Yahyaa
bin Bakr bin ‘Abdirrahmaan At-Tamiimiy Al-Handhaliy, Abu Zakariyyaa
An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi imam (142-226 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1069 no.
7718).
(62) Qutaibah bin Sa’iid
bin Jamiil bin Thariif Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al-Baghlaaniy;
seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 240 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 2718).
(63) Namanya: Salaam bin
Sulaim Al-Hanafiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, mutqin,
shaahibul-hadiits (w. 179). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 425 no. 5557).
(64) Simaak bin Harb bin
Aus bin Khaalid bin Nizaar bin Mu’aawiyyah Adz-Dzuhliy Al-Bakriy,
Abul-Mughiirah Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di
akhirusianya (w. 123 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 415 no. 2639).
(65) Ibraahiim bin Yaziid
bin Qais bin Al-Aswad bin ‘Amru An-Nakha’iy, Abu ‘Imraan Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah namun banyak memursalkan hadits (146-196 H). Dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 272).
(66) ‘Alqamah bin Qais
bin ‘Abdillah bin Maalik An-Nakha’iy, Abu Syibl Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat (w. setelah 60 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
(Taqriibut-Tahdziib, hal. 689 no. 4715).
(67) Al-Aswad bin Yaziid
bin Qais An-Nakha’iy, Abu ‘Amru atau Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah, banyak haditsnya, lagi faqiih (w. 74/75 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 146 no. 514).
(68) ‘Abdul-‘Aziiz bin
‘Abdillah bin Yahyaa bin ‘Amru bin Uwais bin Sa’d bin Abi Sarh Al-Qurasyiy
Al-‘Aamiriy Al-Ausiy, Abul-Qaasim Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 613 no. 4134).
(69) Ibraahiim bin Sa’d
bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Ishaaq Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah lagi hujjah (108-185 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179).
(70) Namanya: Muhammad
bin ‘Abdillah bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Az-Zuhriy;
seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam) (w. 152
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
866 no. 6089).
(71) Al-Hakam bin Naafi’
Al-Bahraaniy, Abul-Yamaan Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 222
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal.
264 no. 1472).
(72) Syu’aib bin Abi
Hamzah Diinaar Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Bisyr Al-Himshiy; seorang yang tsiqah
lagi ‘aabid (w. 162 H atau setelahnya). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 437 no. 2813).
(73) Humaid bin ‘Abdirrahmaan
bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Ibraahiim atau Abu ‘Abdirrahmaan atau Abu
‘Utsmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 105 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 275 no. 1561).
(74) ‘Abdullah bin ‘Utbah
bin Mas’uud Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah atau Abu ‘Ubaidillah atau Abu
‘Abdirrahmaan Al-Madaniy atau Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. setelah 70 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 525
no. 3484).
(75) Ini adalah tashhiif.
Yang benar adalah: Zuraarah bin Mush’ab bin ‘Abdirrahmaan (bin ‘Auf Al-Qurasyiy
Az-Zuhriy Al-Madaniy) sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/377 dan
Al-Baihaqiy 8/333; seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’iy pertengahan (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 337 no. 2022).
(76) Al-Miswar bin
Makhramah bin Naufal bin Uhaib bin ‘Abdil-Manaaf bin Zahrah bin Kilaab
Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdirrahmaan Az-Zuhriy; salah seorang shahabat (w. 64 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 944
no. 6717).
(77) Muhammad bin Khaazim
At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariiri Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah dan paling hapal terhadap hadits Al-A’masy (213-295 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878).
(78) Zaid bin Wahb
Al-Juhhaniy, Abu Sulaimaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil (w.
antara tahun 80-96 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 356 no. 2172).
(79) ‘Abdurrahmaan bin
Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh (135-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4044).
(80) Harb bin Syaddaad
Al-Yasykuriy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy Al-‘Aththaar atau Al-Qaththaan atau
Al-Qashshaab; seorang yang tsiqah (w. 161). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 228 no. 1175).
(81) Yahyaa bin Abi
Katsiir Ath-Thaa’iy, Abu Nashr Al-Yamaamiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat,
namun melakukan tadlis dan irsaal (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1065 no. 7682). Ibnu Hajar
memasukkannya dalam tingkatan kedua dalam Thabaqaat Al-Mudallisiin (no. 63).
(82) Muhammad bin
‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 869 no. 6108).
(83) Zubaid bin Ash-Shalt bin Mu’aawiyyah
Al-Kindiy, Abu Katsiir. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, 4/270.
Sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya, di antaranya: Qataadah, ‘Urwah
bin Az-Zubair, dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaa. Oleh karena itu,
kedudukannya adalah shaduuq, hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam.
(84) Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy
Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 158
no. 610).
(85) ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu
‘Abdillah Al-Madaniy, maula ‘Abdullah bin ‘Abbaas; seorang yang tsiqah lagi
tsabat (w. 104 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 687-688 no. 4707).
(86) Sebenarnya sanad riwayat ini dla’iif,
karena ada keterputusan antara ‘Abdurrazzaaq dengan Ayyuub. Namun ia menjadi
kuat karena adanya syaahid dari jalan ‘Ikrimah yang lain sebagaimana
diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 18930 dan Ibnu Abi Syaibah 9/468).
(87) Namanya adalah: ‘Abdul-Kariim bin
Al-Haitsam bin Ziyaad bin ‘Imraan Abu Yahyaa Al-Baghdaadiy Al-Qaththaan;
seorang yang tsiqah (lihat: Mishbaahul-Ariib, 2/279 no. 16341).
Posting Komentar untuk "Tutuplah Aib/Kesalahan Dirimu dan Diri Saudaramu"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.