Jangan Ada Dusta Di Antara Kita
An-Nawawiy rahimahullah pernah berkata:
واعلم أن مذهب
أهل السنة أن الكذب هو الإخبار عن الشيء بخلاف ما هو، سواء تعمدت ذلك أم جهلته،
لكن لا يأثم في الجهل، وإنما يأثم في العمد
“Ketahuilah, madzhab Ahlus-Sunah menyatakan
bahwa dusta itu mengkhabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Sama saja, apakah engkau
lakukan dengan sengaja atau engkau lakukan karena ketidaktahuan (tidak
sengaja). Akan tetapi, tidak berdosa jika dikarenakan ketidaktahuan, dan hanya
berdosa jika dilakukan karena kesengajaan” (Al-Adzkaar, hal. 460; Maktabah
Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
أن الكذب هو
الإخبار بالشيء على خلاف ما هو عليه سواء كان عمدا أم خطأ
“Bahwasannya dusta itu
adalah mengkhabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya, sama saja apakah
dilakukan dengan sengaja atau karena keliru (tidak sengaja)” (Fathul-Baariy,
1/201).
Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. Adapun Mu’tazilah mensyaratkan adanya kesengajaan (hingga ia disebut dusta), sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawiy dalam Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat. Pendapat Mu’tazilah ini tidak benar. Perhatikan hadits berikut:
حدثنا عبد الله
حدثني أبي حدثنا محمد بن جعفر حدثنا سعيد عن قتادة عن خلاس وعن أبي حسان عن عبد
الله بن عتبة بن مسعود عن عبد الله بن مسعود أن سبيعة بنت الحارث وضعت حملها بعد
وفاة زوجها بخمس عشرة ليلة فدخل عليها أبو السنابل فقال: كأنك تحدثين نفسك بالباءة
ما لك ذلك حتى ينقضي أبعد الأجلين فانطلقت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
فأخبرته بما قال أبو السنابل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كذب أبو السنابل
إذا أتاك أحد ترضينه فائتني به أو قال فأنبئيني فأخبرها أن عدتها قد انقضت.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah:
Telah menceritakan kepadaku ayahku: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, dari Khilaas dan
dari Abu Hassaan, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari ‘Abdullah bin
Mas’uud: Bahwasannya Subai’ah bintu Al-Haaits telah melahirkan limabelas malam
setelah kewafatan suaminya. Lalu Abu Sanaabil masuk menemuinya dan berkata:
“Sepertinya engkau ingin menyatakan bahwa engkau telah siap menikah kembali. Tidak boleh bagimu hingga
engkau menyelesaikan masa ‘iddah-mu yang terlama”. Mendengar itu, pergilah
Subai’ah menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhabarkan
kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abu Sanaabil. Kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Abu Sanaabil telah bedusta. Apabila
seseorang yang engkau ridlai melamarmu, datangkanlah ia kepadaku” – atau beliau
bersabda: “khabarilah aku”. Lalu beliau memberitahukan kepada Subai’ah
bahwasannya masa ‘iddah-nya telah selesai” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/447;
shahih lighiairhi. Diriwayatkan juga oleh Asy-Syaaf’iy dalam Al-Musnad no.
1301, Ahmad 6/432, Al-Bukhaariy no. 3991 & 5319, Muslim no. 1484, Abu
Daawud no. 2306, An-Nasaa’iy 6/194 & 196, Ibnu Maajah no. 2028, Sa’iid bin
Manshuur no. 1506, Ibnu Hibbaan no. 4297, Al-Baihaqiy 7/428-429,
Ath-Thabaraaniy 24/no. 745-746, dan yang lainnya).
Dalam riwayat lain, Abu
Sanaabil radliyallaahu ‘anhu berkata kepada Subai’ah:
إنك، والله! ما
أنت بناكح حتى تمر عليك أربعة أشهر و عشر
“Sesungguhnya engkau,
demi Allah. Tidak boleh bagimu menikah hingga lewat empat bulan sepuluh hari
dari masa ‘iddah-mu”.
Perkataan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa Abu Sanaabil telah berdusta merupakan
kedustaan yang tidak dilakukan dengan sengaja (oleh Abu Sanaabil). Abu Sanaabil
melarang Subai’ah menikah lagi kecuali jika ia telah melewati empat bulan
sepuluh hari sesuai masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya,
berdasarkan ayat:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (ber-‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat” (QS. Al-Baqarah: 234).
Namun pemahaman Abu
Sanaabil ini keliru, karena Subai’ah ini termasuk wanita hamil yang telah
melahirkan kandungannya, sehingga di sini masa ‘iddah-nya telah selesai. Allah
ta’ala berfirman:
وَأُولاتُ
الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 4).
‘Dusta’ yang dilakukan
Abu Sanaabil bukanlah jenis dusta yang mewajibkan adanya dosa, karena ia
dilakukan dengan sebab kekeliruan yang tidak sengaja.
وحدثنا محمد بن
عبيد الغبري. حدثنا أبو عوانة، عن أبي حصين، عن أبي صالح، عن أبي هريرة؛ قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم. "من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار".
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin ‘Ubaid Al-Ghubariy: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu
Hushain, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berdusta
terhadapku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 3).
Dusta yang diancam dengan
neraka dalam hadits ini dibatasi dengan unsur kesengajaan (lihat: Al-Adzkaar,
hal. 460).
Allah ta’ala berfirman:
لا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah...” (QS. Al-Baqarah: 286).
Walaupun begitu, dusta
adalah dusta yang akan tetap menjadi satu kekurangan, bahkan aib bagi siapa
yang melakukannya (dengan sengaja). Allah
ta’ala berfirman:
فَاجْتَنِبُوا
الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang
najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj: 30).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mencap orang yang bermudah-mudah membeo semua perkataan yang didengar
tanpa menimbang benar atau salahnya; sebagai seorang pendusta.
وحدثنا عبيد
الله بن معاذ العنبري. حدثنا أبي. ح وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا عبد الرحمن بن
مهدي. قالا: حدثنا شعبة، عن خبيب بن عبد الرحمن، عن حفص بن عاصم، عن أبي هريرة؛
قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع".
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidulah
bin Mu’aadz Al-‘Anbariy: Telah menceritakan kepadaku ayahku (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy; mereka berdua berkata:
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khabiib bin ‘Abdirahmaan, dari
Hafsh bin ‘Aashim, dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Cukuplah seseorang dicap sebagai pendusta
apabila ia mengatakan semua yang didengar” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 5).
Jika seseorang melazimi
dan membiasakan perbuatan dusta, maka ia benar-benar tercatat di sisi Allah
ta’ala sebagai pendusta sejati.
حدثنا محمد بن
عبدالله بن نمير. حدثنا أبو معاوية ووكيع. قالا: حدثنا الأعمش. ح وحدثنا أبو كريب.
حدثنا أبو معاوية. حدثنا الأعمش عن شقيق، عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم "عليكم بالصدق. فإن الصدق يهدي إلى البر. وإن البر يهدي إلى الجنة.
وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم والكذب. فإن
الكذب يهدي إلى الفجور. وإن الفجور يهدي إلى النار. وما يزال الرجل يكذب ويتحرى
الكذب حتى يكتب عند الله كذابا".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah bin Numair: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah dan
Wakii’, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah: Telah menceritakan
kepada kami Al-A’masy, dari Syaqiiq, dari ‘Abdullah, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Berpegangteguhlah pada kejujuran
karena kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan
sesungguhnya seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran hingga ia
dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah kamu terhadap
kedustaan karena kedustaan membawa kejahatan dan kejahatan itu membawa kepada
neraka. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan hingga
dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta” (Diriwayatkan oleh Muslim no.
2607).
حدثنا عبد الله
حدثني أبي ثنا حسن ثنا بن لهيعة حدثني حيي بن عبد الله عن أبي عبد الرحمن الحبلي
عن عبد الله بن عمرو ان رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله
ما عمل الجنة قال الصدق وإذا صدق العبد بر وإذا بر آمن وإذا آمن دخل الجنة قال يا
رسول الله ما عمل النار قال الكذب إذا كذب فجر وإذا فجر كفر وإذا كفر دخل يعني
النار
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah:
Telah menceritakan kepadaku ayahku: Telah menceritakan kepada kami Hasan: Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah: Telah menceritakan kepadaku Hayya bin
‘Abdillah, dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy, dari ‘Abdullah bin ‘Amru:
Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah amalan (penduduk) surga?”. Beliau menjawab:
“Kejujuran. Apabila seorang hamba jujur, maka ia akan berbuat baik. Apabila ia
berbuat baik, maka ia akan beriman. Dan apabila ia beriman, maka akan masuk
surga”. Laki-laki itu kembali bertanya: “Wahai Rsulullah, apakah amalan
(penduduk) neraka?”. Beliau menjawab: “Dusta. Apabila seorang hamba berdusta,
maka ia akan berbuat jahat. Apabila ia berbuat jahat, maka ia berbuat
kekufuran. Apabila ia berbuat kekufuran, maka ia masuk neraka” (Diriwayatkan
oleh Ahmad, 2/176; shahih lighairihi).
حدثنا موسى بن
إسماعيل: حدثنا جرير: حدثنا أبو رجاء، عن سمرة بن جندب رضي الله عنه قال: قال
النبي صلى الله عليه وسلم: (رأيت رجلين أتياني، قالا: الذي رأيته يشق شدقه فكذاب،
يكذب بالكذبة تحمل عنه حتى تبلغ الآفاق، فيصنع به إلى يوم القيامة).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin
Ismaa’iil: Telah menceritakan kepada kami Jariir: Telah menceritakan kepada
kami Abu Rajaa’, dari Samurah bin Jundab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Aku melihat dalam mimpiku
dua orang menghampiriku. Mereka berkata: ‘Orang yang engkau lihat merobek-robek
mulutnya, maka ia seorang pendusta yang senantiasa berdusta hingga dibawanya
sampai ke ufuk. Dan ia selalu seperti itu hingga hari kiamat” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6096).
Dusta adalah perangai
yang sangat jelek dalam Islam. Jiwa pun enggan menerima kedustaan walau mungkin
hawa nafsu kadang mendorongnya untuk melakukannya. Pernahkah Anda menerima
kedustaan dari seseorang?. Seseorang mungkin dapat mudah melupakan kekeliruan
orang lain, namun sulit untuk melupakan (di antaranya) dusta.
حدثنا يحيى بن
موسى حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن أيوب عن بن أبي مليكة عن عائشة قالت: ما كان خلق
أبغض إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من الكذب ولقد كان الرجل يحدث عند النبي
صلى الله عليه وسلم بالكذبة فما يزال في نفسه حتى يعلم أنه قد أحدث منها توبة
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Muusaa: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Ayyuub,
dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah, ia berkata: “Tidak ada akhlaq yang
paling dibenci oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam daripada dusta.
Sungguh dulu ada seorang laki-laki yang berbicara di sisi Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan kedustan. Maka hal itu senantiasa membekas dalam diri
beliau hingga beliau mengetahui dirinya telah bertaubat darinya” (Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 1973; shahih).
Hingga,…. banyak di
antara shahabat yang mengecualikan dusta di antara tabiat jelek yang bisa ada
pada diri seorang mukmin.
حدثنا يحيى بن
سعيد عن سفيان عن منصور عن مالك بن الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال:
المؤمن يطبع على الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sa’iid, dari Sufyaan, dari Manshuur, dari Maalik bin Al-Haarits, dari ‘Abdullah
(bin Mas’uud), ia berkata: “Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua aib,
kecuali khianat dan dusta” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman
no. 80; shahih).
حدثنا يحيى بن
سعيد عن سفيان عن سلمة بن كهيل عن مصعب بن سعد عن سعد قال: " المؤمن يطبع على
الخلال كلها إلا الخيانة والكذب"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sa’iid, dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mush’ab bin Sa’d, dari Sa’d
(bin Abi Waqqaash), ia berkata: “Seorang mukmin dapat bertabiat dengan semua
aib, kecuali khianat dan dusta” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Iman no. 81; shahih).
Para imam kita dari kalangan muhadditsiin
masih menerima riwayat dari kalangan orang-orang yang menyimpang atau
ahlul-bid’ah dengan syarat: ia bukan pendusta, namun seorang yang jujur lagi
terpercaya. Saya contohkan sedikit diantaranya:
1. Ibraahiim bin Thahmaan Al-Khurasaaniy, Abu
Sa’iid; seorang yang tsiqah lagi mutqin, termasuk perawi Shahiihain, namun
berpemahaman irjaa’ (Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa
Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 35 no. 1, tahqiq: Muhammad bin
Ibraahiim Al-Maushiliy; Daarul-Basyaair, Cet. 1/1412 H).
2. Huraiz bin ‘Utsmaan Ar-Rahabiy; seorang
yang tsiqah lagi tsabat, termasuk perawi Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya, namun
seorang berpemahaman naashibiy (idem, hal. 82 no. 27).
3. Sa’id bin Abi ‘Aruubah; seorang imaam yang
tsiqah, termasuk perawi Shahiihain, namun berpemahaman qadariy (idem, hal. 97
no. 37).
4. Sa’iid bin Muhammad Al-Jarmiy; seorang yang
tsqah, termasuk perawi Shahihain, namun berpemahaman tasyayyu’ (Syi’ah) (idem,
hal. 100 no. 38).
5. Yahyaa bin Shaalih Al-Himshiy; seorang
tsiqah lagi hujjah, termasuk perawi Shahiihain, namun berpemahaman tajahhum
(Jahmiyyah) (idem, hal. 194 no. 87).
Dusta,…… merupakan
tanda-tanda kemunafikan.
حدثنا قبيصة بن
عقبة قال: حدثنا سفيان، عن الأعمش، عن عبد الله بن مرة، عن مسروق، عن عبد الله بن
عمرو: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (أربع من كن فيه كان منافقا خالصا، ومن
كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا اؤتمن خان، وإذا حدث
كذب، وإذا عاهد غدر، وإذا خاصم فجر).
Telah menceritakan kepada kami Qabiishah bin
‘Uqbah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy,
dari ‘Abdullah bin Murrah, dari Masruuq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru: Bahwasannya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada empat tabiat barangsiapa
yang ada padanya semua hal itu, maka itu termasuk munafik sejati. Dan
barangsiapa yang ada padanya salah satu di antara empat tabiat itu, maka
padanya terdapat salah satu tabiat kemunafikan, hingga ia meninggalkannya;
yaitu: Apabila dipercaya berkhianat, apabila berkata-kata berdusta, apabila
berjanji mengingkari, dan apabila bertengkar berbuat jahat” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 34).
Oleh karena itu, Islam
telah melarang keras perbuatan dusta di hampir seluruh lini kehidupan, di
antaranya:
1. Dusta dalam menceritakan mimpi.
حدثنا علي بن
عبد الله: حدثنا سفيان، عن أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس، عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: (من تحلَّم بحلم لم يره كلِّف أن يعقد بين شعيرتين، ولن يفعل، ومن استمع
إلى حديث قوم، وهم له كارهون، أو يفرُّون منه، صُبَّ في أذنه الآنك يوم القيامة،
ومن صوَّر صورة عُذِّب، وكُلِّف أن ينفخ فيها، وليس بنافخ).
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
‘Abdillah: Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu
‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mengaku bermimpi sesuatu padahal ia tidak memimpikannya, maka
kelak ia akan dibebankan untuk menyambung antara dua ujung rambut yang ia tidak
bisa melakukannya. Dan barangsiapa yang mendengarkan pembicaraan suatu kaum
yang mereka tidak senang (pembicaraan tersebut didengarnya) atau mereka telah
menyingkir darinya (agar tidak terdengar), niscaya akan ditimpakan timah panas
pada telinganya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menggambar sesuatu (yang
bernyawa), kelak akan dibebankan untuk menghidupkan gambar tersebut, namun ia
tidak bisa menghidupkannya” (Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7042).
2. Dusta dalam
berinteraksi dengan manusia, meskipun anak kecil.
حدثنا قتيبة،
ثنا الليث، عن ابن عجلان، أن رجلاً من موالي عبد اللّه بن عامر بن ربيعة العدويِّ
حدثه، عن عبد اللّه بن عامر أنه قال: دعتني أمِّي يوماً ورسول اللّه صلى اللّه
عليه وسلم قاعدٌ في بيتنا فقالت: ها تعال أعطيك، فقال لها رسول اللّه صلى اللّه
عليه وسلم: "وما أردت أن تعطيه؟" قالت: أعطيه تمراً، فقال لها رسول
اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "أما إنك لو لم تعطيه شيئاً كتبت عليك كذبةٌ".
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah: Telah
menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Ibnu ‘Ajlaan: Bahwasannya ada seorang
laki-laki dari maulaa (bekas budak) ‘Abdullah bin ‘Aamir bin Rabii’ah
Al-‘Adawiy telah menceritakannya, dari ‘Abdullah bin ‘Aamir, bahwasannya ia
berkata: “Ibuku pernah memanggilku pada suatu hari ibuku, sementara itu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di rumah kami”. Ibuku berkata:
“Kemarilah kamu, aku akan memberimu sesuatu’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bertanya kepadanya: “Apa yang hendak kamu berikan?”. Ia berkata: “Aku
akan memberinya kurma”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kamu tidak memberikan sesuatu kepadanya, akan dicatat bagimu suatu
kedustaan” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4991; hasan).
3. Dusta dalam bercanda
dan senda-gurau.
حدثنا مسدد بن
مسرهد ثنا يحيى عن بهز بن حكيم قال حدثني أبي عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول: ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم ويل له ويل
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad:
Telah menceritakan kepada kami Bahz bin Hakiim, ia berkata: Telah menceritakan
kepadaku ayahku, dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Neraka Wail bagi orang yang berbicara lalu
berdusta untuk melucu (membuat orang tertawa); neraka Wail baginya, neraka Wail
baginya” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4990; hasan).
أخبرنا عثمان بن
محمد ثنا جرير عن إدريس الأودي عن أبي إسحاق عن أبي الأحوص ان عبد الله يرفع
الحديث إلى النبي صلى الله عليه وسلم قال إن شرار الروايا روايا الكذب ولا يصلح من
الكذب جدا ولا هزلا ....
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin
Muhammad: Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Idriis Al-Audiy, dari Abu
Ishaaq, dari Abul-Ahwash: Bahwasannya ‘Abdullah telah memarfu’-kan hadits
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya
sejelek-jelek cerita adalah cerita dusta. Tidak boleh dusta, baik
dilakukan dengan sungguh-sungguh ataupun bercanda....” (Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 2757;
shahih).
4. Dusta dalam jual-beli.
حدثنا عبد الله
حدثني أبي ثنا عفان ثنا أبان ثنا يحيي بن أبي كثير عن زيد عن أبي سلام عن أبي راشد
الحبراني عن عبد الرحمن بن شبل الأنصاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن
التجار هم الفجار قال رجل يا نبي الله ألم يحل الله البيع قال أنهم يقولون فيكذبون
ويحلفون ويأثمون
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah:
Telah menceritakan kepadaku ayahku: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan:
Telah menceritakan kepada kami Abaan: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Katsiir, dari Zaid bin Abi Salaam, dari Abu Raasyid Al-Hubraaniy, dari
‘Abdurrahmaan bin Syibl Al-Anshaariy: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya (kebanyakan) pedagang itu adalah
orang-orang yang berbuat dosa”. Seorang laki-laki berkata: “Wahai Nabi Allah, bukankah
Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Beliau menjawab: “Mereka itu sering
berkata-kata lalu berdusta, bersumpah lalu berbuat dosa” (Diriwayatkan oleh
Ahmad, 3/444; shahih).
حدثنا سليمان بن
حرب: حدثنا شعبة، عن قتادة، عن صالح أبي الخليل، عن عبد الله بن الحارث: رفعه إلى
حكيم بن حزام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (البيعان
بالخيار ما لم يتفرقا، أو قال: حتى يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما،
وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما).
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin
Harb: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Shaalih bin
Abi Khaliil, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits dimana ia memarfu’kannya kepada
Hakiim bin Hizaam radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar
(memilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli) selagi keduanya belum
berpisah. Bila keduanya jujur dalam menjelaskan (aib barang dagangannya), akan
diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan aibnya dan berdusta, maka
akan dihapus keberkahan jual belinya (meskipun memperoleh laba)” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2079).
5. Dusta dalam
berpenampilan di hadapan manusia.
حدثنا محمد بن
عبدالله بن نمير. حدثنا وكيع وعبدة عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة؛ أن امرأة
قالت: يا رسول الله! أقول: إن زوجي أعطاني ما لم يعطني؟ فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم (المتشبع بما لم يعط، كلابس ثوبي زور).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah bin Numair: Telah menceritakan kepada kami Wakii dan ‘Abdah bin
Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah: Bahwasannya ada seorang wanita
yang berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku berkata: ‘Sesungguhnya suamiku
telah memberiku (sesuatu)’ – padahal ia tidak memberiku?”. Maka Rsulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-mutasyabbi’ (orang yang pura-pura
kenyang dengan sesuatu) yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang
memakai dua pakaian kedustaan” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2129).
Tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam: ‘seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan’ ; An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
أي: ذِي زُورٍ،
وهو الذي يزَوِّرُ على النَّاس، بأن يَتَزَيَّى بِزيِّ أهل الزُّهدِ أو العِلم أو
الثرْوةِ، ليغْترَّ بِهِ النَّاسُ وليْس هو بِتِلك الصِّفةِ، وقيل
غَيْرُ ذلك واللَّه أعلم
“Yaitu: orang yang menipu. Ia adalah orang
yang berdusta kepada manusia, dengan pura-pura memakai pakaian orang yang zuhud
atau orang berilmu atau orang kaya; agar orang-orang tertipu, padahal ia sama
sekali tidak mempunyai sifat tersebut. Ada juga yang mengatakan selain itu.
Wallaahu a’lam” (Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 440, tahqiq: Syu’aib Al-Arna’uth;
Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/1419 H).
6. Dusta dalam berpakaian
dan berdandan.
أخبرنا محمد بن
عبد الله بن عبد الرحيم قال حدثنا أسد بن موسى قال حدثنا حماد بن سلمة عن هشام بن
أبي عبد الله عن قتادة عن سعيد بن المسيب عن معاوية: أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم نهى عن الزور والزور المرأة تلف على رأسها
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
‘Abdillah bin ‘Abdirrahiim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Asad bin
Muusaa, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari
Hisyaam bin Abi ‘Abdillah, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari
Mu’aawiyyah: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang
dusta, dan kedustaan wanita adalah memasang gulungan rambut pada kepalanya” (Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 5248; shahih).
7. Dusta dalam persaksian.
حدثنا عبد الله
بن منير: سمع وهب بن جرير وعبد الملك بن إبراهيم قالا: حدثنا شعبة، عن عبيد الله
بن أبي بكر بن أنس، عن أنس رضي الله عنه قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن
الكبائر قال: (الإشراك بالله، وعقوق الوالدين، وقتل النفس، وشهادة الزور).
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Muniir: Ia mendengar Wahb bin Jariir dan ‘Abdul-Malik bin Ibraahiim, mereka
berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Ubaidullah bin
Abi Bakr bin Anas, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab:
“Mensyirikkan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak),
dan persaksian dusta/palsu” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2653).
8. Dusta dalam sumpah.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا
بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنْقُضُوا الأيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلا إِنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila
kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (QS. An-Nahl: 91).
حدثنا عبد الله
بن محمد: حدثنا سفيان، عن عمرو، عن أبي صالح، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: (ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة، ولا ينظر إليهم: رجل حلف على
سلعة: لقد أعطى بها أكثر مما أعطى وهو كاذب، ورجل حلف على يمين كاذبة بعد العصر
ليقتطع بها مال امرئ مسلم، ورجل منع فضل ماء، فيقول الله يوم القيامة: اليوم أمنعك
فضلي كما منعت فضل ما لم تعمل يداك).
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Muhammad: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Abu Shaalih,
dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Ada tiga orang yang Allah tidak akan mengajaknya bicara pada hari kiamat: (1)
Laki-laki yang bersumpah atas barang dagangannya sehingga ia bisa diberi harga
lebih banyak dari biasanya, dimana ia berdusta (dalam sumpahnya). (2) Laki-laki yang
bersumpah secara dusta setelah ‘Ashar dengan tujuan dengannya memperoleh harta
seorang muslim......” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 7446).
9. Dusta dalam klaim nasab.
حدثنا عبد الله
حدثني أبي ثنا هارون بن معروف ثنا عبد الله بن وهب قال قال حيوة أخبرني أبو عثمان
أن عبد الله بن دينار أخبره عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: أفرى الفرى من ادعى إلى غير أبيه وأفرى الفري من أرى عينيه في النوم ما لم
تريا ومن غير تخوم الأرض
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah:
Telah menceritakan kepadaku ayahku: Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin
Ma’ruuf: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb, ia berkata: Telah
berkata Haiwah: Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Utsmaan: Bahwasannya
‘Abdullahh bin Diinaar mengkhabarkan kepadanya, dari ‘Abdullah bin ‘Umar:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Kedustaan yang paling dusta adalah orang yang menisbatkan diri kepada selain
ayahnya. Dan kedustaan yang paling dusta adalah, siapa saja yang mengaku
bermimpi sesuatu padahal ia tidak memimpikannya, dan orang yang mengubah batas
tanah” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/118; shahih).
10. Dusta dalam
perselisihan dan berperkara.
حدثنا عبد الله
بن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه، عن زينب بنت أبي سلمة، عن أم سلمة رضي الله
عنها: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (إنما أنا بشر، وإنكم تختصمون إلي،
ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض، فأقضي له على نحو ما أسمع، فمن قضيت له بحق
أخيه شيئاً فلا يأخذه، فإنما أقطع له قطعة من النار).
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin
Maslamah, dari Maalik, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari Zainab binti Abi
Salamah, dari Ummu Salamah radliyalaahu ‘anhaa: Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia.
Dan sesungguhnya kalian senantiasa mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi
sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu
aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku
berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, janganlah mengambilnya.
(Jika ia mengambilnya), maka sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api
neraka untuknya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169).
11. Makelar dalam perkataan dusta.
حدثنا أحمد بن
جميل، أنبأنا عبد الله بن المبارك، أنبأنا ابن لهيعة، عن عبد الله بن هبيرة، عن
عبد الله بن زرير الغافقي، عن علي رضي الله عنه قال: القائل الكلمة الزور، والذي
يمد بحبلها، في الإثم سواء
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Jamiil: Telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak: Telah
memberitaan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari ‘Abdullah bin Hubairah, dari
‘Abdullah bin Zurair Al-Ghaafiqiy, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
“Orang yang berkata perkataan dusta dengan orang yang memanjangkan talinya,
dalam hal dosa adalah sama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa dalam
Ash-Shamt no. 261; shahih).
Yaitu, jika ia tahu bahwa perkataan itu dusta
lalu ia menyebarkannya dengan tujuan kejelekan. Ini sesuai dengan makna hadits:
أخبرنا عمران بن
موسى السختياني قال حدثنا عثمان بن أبي شيبة قال حدثنا وكيع قال حدثنا شعبة عن
الحكم عن عبد الرحمن بن أبي ليلى عن سمرة بن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم من حدث حديثا وهو يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Imraan bin
Muusa As-Sukhtiyaaniy, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin
Abi Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin
Abi Lailaa, dari Samurah bin Jundab, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa salam: “Barangsiapa yang menceritakan sebuah hadits
dimana ia tahu bahwa hadits itu dusta, maka ia termasuk salah seorang di antara
pendusta” (Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 38; shahih).
12. Dan yang lainnya.
Akan tetapi, ada beberapa
keadaan yang dikecualikan dari larangan dusta ini.
حدثنا عبد
العزيز بن عبد الله: حدثنا إبراهيم بن سعد، عن صالح، عن ابن شهاب: أن حميد بن عبد
الرحمن أخبره: أن أمه أم كلثوم بنت عقبة أخبرته: أنها سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول: (ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس، فينمي خيرا أو يقول خيرا).
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziz
bin ‘Abdillah: Telah menceritakan keada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih,
dari Ibnu Syihaab: Bahwasannya Humaid bin ‘Abdirrahmaan telah mengkhabarkanya:
Bahwasannya ibunya, Ummu Kultsuum bintu ‘Uqbah telah mengkhabarkannya:
Bahwasannya ia telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Tidaklah disebut pendusta orang yang memperbaiki hubungan di antara
manusia, dimana ia menyampaikan yang baik atau berkata yang baik” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2692).
Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafadh:
ولم أسمع يرخص
في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث: الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل
امرأته وحديث المرأة زوجها.
“Dan aku (Ummu Kultsuum) tidak mendengar
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikitpun dalam
berdusta dari apa yang manusia biasa mengatakannya, kecuali tiga hal:
peperangan, memperbaiki hubungan di antara manusia, serta ucapan seorang suami
kepada istrinya dan ucapan istri kepada suaminya” (Diriwayatkan oleh Muslim no.
2605).
An-Nawawiy rahimahulah menjelaskan:
أنَّ الكلامَ
وسيلةٌ إلى المقاصدِ، فَكُلُّ مَقْصُودٍ محْمُودٍ يُمْكِن تحْصيلُهُ بغَيْر
الْكَذِبِ يَحْرُمُ الْكذِبُ فيه، وإنْ لَمْ يُمكِنْ تحصيله إلاَّ بالكذبِ جاز
الْكذِبُ. ثُمَّ إن كانَ تَحْصِيلُ ذلك المقْصُودِ مُباحاً كَانَ الْكَذِبُ
مُباحاً، وإنْ كانَ واجِباً، كان الكَذِبُ واجِباً، فإذا اخْتَفى مُسْلمٌ مِن
ظالمٍ يريد قَتلَه، أوْ أخْذَ مالِه، وأخَفي مالَه، وسُئِل إنسانٌ عنه، وجب
الكَذبُ بإخفائِه، وكذا
لو كانَ عِندهُ وديعة، وأراد ظالِمٌ أخذَها، وجب
الْكَذِبُ بإخفائها، والأحْوطُ في هذا كُلِّه أنْ يُوَرِّي، ومعْنَى التَّوْرِيةِ:
أن يقْصِد بِعبارَتِه مَقْصُوداً صَحيحاً ليْسَ هو كاذِباً بالنِّسّبةِ إلَيْهِ،
وإنْ كانَ كاذِباً في ظاهِرِ اللًّفظِ، وبِالنِّسْبةِ إلى ما يفهَمهُ المُخَاطَبُ
ولَوْ تَركَ التَّوْرِيةَ وَأطْلَق عِبارةَ الكذِبِ، فليْس بِحرَامٍ في هذا
الحَالِ
“Bahwasannya perkataan
merupakan sarana untuk menyampaikan maksud/tujuan. Dan setiap maksud/tujuan
yang terpuji (menurut syari’at) bisa diperoleh tanpa perlu berdusta, maka
berdusta padanya adalah diharamkan. Namun apabila maksud/tujuan tersebut tidak
bisa diperoleh kecuali dengan berdusta, maka dalam keadaan itu diperbolehkan
untuk berdusta. Kemudian jika tujuan tersebut adalah mubah, maka berdusta pada
saat itu hukumnya juga mubah. Apabila tujuan tersebut adalah wajib, maka
berdusta pada saat itu hukumnya juga wajib. (Misalnya), apabila ada seorang
muslim bersembunyi dari seorang yang dhaalim yang hendak membunuhnya atau
merampas hartanya - dan orang tersebut menyembunyikan hartanya -, kemudian ada
seseorang yang ditanya tentang keberadaannya, maka pada saat itu ia (orang yang
ditanya) wajib berdusta dalam rangka menyembunyikannya. Begitu pula seandainya
padanya terdapat barang titipan, dan ada seorang yang dhaalim hendak
merampasnya, maka wajib baginya berdusta untuk menyembunyikannya. Namun yang
lebih berhati-hati dalam hal ini adalah melakukan tauriyyah. Tauriyyah adalah
mengucapkan satu perkataan dengan maksud yang benar dan bukan termasuk orang
yang berdusta dari sisi si pengucap, meskipun secara dhahir lafadhnya ia
termasuk orang yang berdusta dari sisi orang yang diajak bicara. Dan seandainya
ia meninggalkan tauriyyah dan memutlakkan perkataan dusta, maka tidaklah
diharamkan dalam keadaan itu” (Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 439).
Ikhwah,.... Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepada kita bahwa di antara
tanda-tanda kecil hari kiamat adalah bertebarannya para pendusta yang
menghembuskan kedustaannya di tengah umat. Mereka (pendusta) dipercaya,
sedangkan orang-orang yang jujur ditinggalkan. Inilah tahun-tahun yang penuh
kebodohan.
حدثنا مسدد:
حدثنا حدثنا عبيد الله بن موسى، عن الأعمش، عن شقيق قال: كنت مع عبد الله وأبي
موسى فقالا:
قال النبي صلى
الله عليه وسلم: (إن بين يدي الساعة لأياماً ينزل فيها الجهل، ويرفع فيها العلم،
ويكثر فيها الهرج). والهرج القتل.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad: Telah
menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Muusaa, dari Al-A’masy, dari Syaqiiq,
ia berkata: Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Muusaa, mereka berdua berkata:
Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya antara aku dan
hari kiamat akan ada hari-hari yang diturunkan padanya kebodohan, diangkat
padanya ilmu, dan banyak terjadi al-harj”. Perawi berkata: “Al-Harj adalah
pembunuhan” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7062-7063).
حدثنا يحيى بن
يحيى وأبو بكر بن أبي شيبة (قال يحيى: أخبرنا. وقال أبو بكر: حدثنا) أبو الأحوص. ح
وحدثنا أبو كامل الجحدري. حدثنا أبو عوانة. كلاهما عن سماك، عن جابر بن سمرة قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن بين يدي الساعة كذابين".
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa dan Abu Bakr bin Abi Syaibah - Yahyaa berkata: ‘Telah mengkhabarkan
kepada kami’, dan Abu Bakr berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami’ –
Abul-Ahwash (ح). Dan telah
menceritakan kepada kami Abu Kaamil Al-Jahdariy: Telah menceritakan kepada kami
Abu ‘Awaanah, keduanya (Abul-Ahwash dan Abu ‘Awaanah) dari Simaak, dari Jaabir
bin Samurah, ia berkata: Aku mendengar Raulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya antara aku dan hari kiamat ada banyak pendusta” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2923).
حدثنا أبو بكر
بن أبي شيبة. حدثنا يزيد بن هارون. حدثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن
أبي الفرات، عن المقبري، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((سيأتي على الناس سنوات خداعات. يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق. ويؤتمن فيها
الخائن ويخون فيها الأمين. وينطق فيها الرويبضة. قيل: وما الرويبضة. قال: الرجل
التافه في أمر العامة)).
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada Yaziid bin Haaruun: Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-Malik bin Qudaamah Al-Jumahiy, dari Ishaaq bin Abi Furaat,
dari Al-Maqburiy, dari Abu Hurairh, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa
penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur, dan (sebaliknya) orang jujur dianggap
sebagai pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah, dan (sebaliknya) orang
yang amanah dianggap khianat. Dan para ruwaibidlah mulai angkat bicara”. Ada
yang bertanya: “Apa itu ruwaibidlah??”. Beliau menjawab: ”Orang bodoh yang
berbicara tentang urusan umat!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 4036; shahih).
Lantas apa yang mesti
kita lakukan?. Mari kita renungkan bersama riwayat yang sering kita dengar:
حدثني حرملة بن
يحيى. أنبأنا ابن وهب. قال: أخبرني يونس عن ابن شهاب، عن أبي سلمة بن عبدالرحمن،
عن أبي هريرة، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin
Yahyaa: Telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Salamah bin
‘Abdirrahmaan, dari Abu Hurairah, dari Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia
mengatakan yang baik atau ia diam….” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 47).
Mudah diucapkan, susah untuk dilakukan,
kecuali mereka yang mendapatkan rahmat Allah ta’ala.
Ini saja yang dapat saya
tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Jangan Ada Dusta Di Antara Kita"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.