Pendapat Yang Membolehkan Pajak dengan Syarat - Syarat Tertentu
Di blog ini telah dituliskan artikel singkat
tentang pajak (orang yang bekerja sebagai pemungut pajak) dan bagaimana
syari’at memandangnya.(1) Pada kesempatan ini, saya akan coba tuliskan bahasan
lain tentang pendapat sebagian ulama yang ‘membolehkan’ pajak dengan
syarat-syarat tertentu.
Menurut sebagian ulama, pajak diperbolehkan
dalam keadaan darurat apabila pendapatan negara yang sah(2) yang telah
ditetapkan tidak mencukupi anggaran belanja (= kas di baitul-maal kosong). Pajak tersebut dipungut
dari orang-orang kaya dari sisa kebutuhan pokoknya. Pemungutan pajak bertujuan
untuk memelihara keamanan kaum muslimin, mendatangkan maslahat dan
menghindarkan mafsadat dari mereka.
Mereka berdalil dengan
beberapa nash sebagai berikut:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ
"Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu" (QS. An-Nisaa’: 36).
وَآتِ ذَا
الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
"Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros" (QS. Al-Israa’: 26).
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
"Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan" (QS. Al-Insaan: 8).
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ
وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"Mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan."
Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya" (QS. Al-Baqarah: 215).
وَفِي
أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
"Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bahagian" (QS. Adz-Dzariyaat: 19).
Ayat-ayat di atas menjelaskan kewajiban orang-orang yang berharta untuk mencukupi kebutuhan mereka-mereka yang kekurangan dan memerlukan uluran bantuan dengan menginfakkan sebagian harta mereka.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ فِي
الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
"Sesungguhnya dalam harta itu terdapat kewajiban
selain zakat" (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 659-660, Ad-Daarimiy no.
1677, Ad-Daaruquthniy no. 2016-2017, Al-Baihaqiy 4/84, Ath-Thabaraaniy
24/403-404 no. 979, Al-Baghawiy 6/68-69 no. 1592, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 2/27 no. 3043 dan dalam Ahkaamul-Qur’aan no. 639,
Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/80, Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir
no. 1548, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/19 no. 888, dan Abu Nu’aim dalam
Ma’rifatush-Shahaabah hal. 3418 no. 7800; semuanya dari jalan Syariik, dari Abu
Hamzah, dari Asy-Sya’biy, dari Faathimah binti Qais, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Syariik mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah
sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/404 no. 980).
Hadits ini tidak shahih karena kelemahan
Syariik bin ‘Abdillah An-Nakha’iy dan Abu Hamzah Maimuun Al-A’war. Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan hadits ini dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy
hal. 70-71 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H).
Akan tetapi matan hadits
tersebut berkesesuaian dengan ayat:
لَيْسَ الْبِرَّ
أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ
الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
salat, dan menunaikan zakat" (QS. Al-Baqarah: 177).
Allah ta’ala telah menyebutkan ketetapan bagi
kaum muslimin untuk memberikan (sebagian) harta mereka kepada para kerabat,
anak yatim, orang-orang miskin, musaafir, dan orang-orang yang meminta-minta;
sebelum ketetapan zakat.
Para ulama telah sepakat bahwa jika zakat
tidak dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin, maka orang-orang kaya wajib
mengeluarkan hartanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي سَفَرٍ مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ عَلَى رَاحِلَةٍ
لَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ يَصْرِفُ بَصَرَهُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ
فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ
فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ "، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ
أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ
مِنَّا فِي فَضْلٍ
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin
Farruukh: Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Abu nadlrah, dari
Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata: "Ketika kami berada di tengah safar
bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki di
atas kendaraannya. Ia menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang
padanya ada kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah ia memberikan kepada
orang yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, hendaklah
ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai bekal". Abu Sa’iid
berkata: "Lalu beliau menyebutkan macam-macam harta hingga kami memandang
bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang mempunyai hak atas kelebihan
harta tadi" (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1728).
حَدَّثَنَا
أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي
بَكْرٍ، أَنَّ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوا أُنَاسًا فُقَرَاءَ، وَأَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ كَانَ عِنْدَهُ
طَعَامُ اثْنَيْنِ فَلْيَذْهَبْ بِثَالِثٍ، وَإِنْ أَرْبَعٌ فَخَامِسٌ أَوْ
سَادِسٌ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan,
ia berkata: telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami ayahku: Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Utsmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr: Bahwasannya ashhaabush-shuffah itu
termasuk orang-orang fakir. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: "Barangsiapa
mempunyai makanan yang cukup untuk dua orang, hendaklah ia pergi mengundang
orang yang ketiga; dan barangsiapa mempunyai makanan yang cukup untuk empat
orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang kelima atau keenam…." (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 602).
Dan di antara alasan lain yang membolehkan
pajak saat darurat untuk kemaslahatan kaum muslimin adalah bahwa harta itu
hakekatnya milik Allah ta’ala. Dan bagi manusia, ia hanyalah titipan dan amanah yang
mesti dikelola sebagaimana mestinya (sebagaimana yang diperintahkan).
أَلا إِنَّ
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَلا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
"Ingatlah,
sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah,
sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui(nya)." (QS. Yunus: 55).
آمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
"Berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar" (QS.
Al-Hadid: 7).
Dalam hal ini, pemerintah
Islam bertanggung jawab atas segala permasalahan rakyatnya, menghindarkan
segala kemudlaratan, mendatangkan segala kemaslahatan, dan mewujudkan keadilan.
Ini terkait dengan prinsip maslahat mursalah.
Asy-Syaathibiy
rahimahullah berkata:
إذا قررنا إماما
مطاعا مفتقرا إلى تكثير الجنود لسد الثغور، وحماية الملك المتسع الأقطار، وخلا بيت
المال وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم ، فللإمام إذا كان عدلاً أن يوظف على
الأغنياء ما يراه كافياً لهم في الحال ، إلى أن يظهر مال بيت المال
"Apabila kita menetapkan seorang imam
yang ditaati dan saat itu ia sedang membutuhkan penambahan jumlah pasukan untuk
menjaga pos-pos perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas; sedangkan
baitul-maal kosong dan kebutuhan pasukan (perang) membengkak sehingga kas
baitul-maal tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka imam – seandainya ia
seorang yang ‘adil – hendaknya meminta orang-orang kaya untuk mencukupi
kebutuhan tersebut hingga kas baitul-maal terisi kembali…" (Mukhtashar
Kitaab Al-I’tishaam oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 103;
Daarul-Hijrah, Cet. 1/1418).
Ibnu Hazm rahimahullah
juga mengungkapkan hal senada:
وَفُرِضَ عَلَى
الأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ,
وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ, إنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ,
"Dan diwajibkan bagi orang-orang kaya
dari penduduk setiap negeri untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakirnya, dan
sulthaan/penguasa dapat memaksa mereka untuk hal tersebut seandainya zakat
tidak mampu menanggulanginya…" (Al-Muhallaa, 6/156 no. 725; Daarul-Fikr).
Jika kita cermati penjelasan dan pendalilan
yang dipakai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: "Apakah konteks
pajak yang diberlakukan secara umum di era sekarang sesuai dengan hal tersebut
di atas? Apakah pajak yang dipungut sekarang tepat dikatakan ‘darurat’ sehingga
mencocoki perkataan sebagian fuqahaa’?(3) Apakah pajak dipungut dari
orang-orang berharta dan kemudian dialokasikan benar-benar untuk kemaslahatan
umum yang diakui syari’at?". Dan seterusnya dan seterusnya…..
Ini saja yang dapat saya
tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
(Banyak mengambil faedah
dari penjelasan Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shaalih dalam bukunya
At-Takaaful Al-Ijtimaa'iy fisy-Syarii'atil-Islaamiyyah dengan beberapa tambahan).
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Sebagai tambahan
referensi, silakan baca:
1. http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?Option=FatwaId&lang=A&Id=592
2. http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=224079
3. http://www.fiqhforum.com/articles.aspx?cid=2&acid=146&aid=9122
(1) Baca: https://www.kabeldakwah.com/2022/12/surat-cinta-untuk-yang-bekerja-di.html
(2) Seperti pemasukan/pendapatan dari zakat,
infaq, shadaqah, ghanimah, fai’, pengelolaan asset, dan lainnya yang dibenarkan
oleh syari’at.
(3) Dikatakan ‘darurat’
tentu saja jika kondisi ‘tidak darurat’ memang benar-benar telah diusahakan.
Contoh mudahnya: Kita diperbolehkan makan daging babi apabila makanan halal
lain benar-benar tidak ada, dan kita sudah berusaha mencarinya. Jika kita ‘ujug-ujug’
memilih daging babi tanpa didahului usaha mencari makanan halal secara optimal
(bahkan maksimal), apakah layak itu disebut ‘darurat’?
Posting Komentar untuk "Pendapat Yang Membolehkan Pajak dengan Syarat - Syarat Tertentu"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.