Hukum Kurban Sapi Dengan Cara Urunan
Ketika blog walking dengan bantuan mbah Gugel,
tiba-tiba browser saya tertancap pada satu blog yang membuat pandangan saya
membaca larik demi larik kalimat di satu artikel dalam blog tersebut. Sebenarnya, sebelumnya,
saya tidak berniat menulis artikel ini mengingat tugas-tugas di meja masih
menanti. Dikarenakan bacaan tersebut, akhirnya saya pun buka-buka sedikit matan
buku yang kebetulan saya punya. Ya, hati ini dibuat penasaran dengan statement
sebagaimana yang tertera dalam judul artikel di atas. Apalagi bumbu-bumbu
kalimat kurang enak dibaca lagi ‘tendensius’ ikut serta.
Kurang lebih, begini
sebagian perkataan yang saya baca dalam blog tersebut:
Untuk sapi untuk tujuh
orang tidak punya dalil yang sahih . Ada hadis tapi lemah sbb:
Ibnu Abbas ra berkata:
كُنَّا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى
فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيرِ عَشَرَةً
Kami bersama Rasulullah SAW dlm suatu
perjalanan , lalu tibalah Idul adha, kami bergabung untuk tujuh orang dengan
satu lembu dan sepuluh orang dengan satu onta
Tirmidzi menyatakan , hasan ghorib. Riwayatnya
terdapat Al Fadhel bin Musa yang suka menyampaikan hadis nyeleneh dan Husain
bin Waqid yang suka ngelantur . Korban urunan tidak ada tuntunannya.
(garis bawah adalah dari
saya).
Nampaknya, al-ustadz yang
terhormat mendla’ifkan hadits ini karena dua faktor perawi tersebut.
Dengan mengharap taufiq
dari Allah ta’ala, saya menuliskan:
Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
حدثنا الحسين بن
حريث وغير واحد قالوا حدثنا الفضل بن موسى عن حسين بن واقد عن علباء بن احمر عن
عكرمة عن بن عباس قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر الأضحى
فاشتركنا في البقرة سبعة وفي الجزور عشرة قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب وهو حديث
حسين بن واقد
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits dan yang lainnya, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa, dari Husain bin Waaqid, dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: "Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Tibalah hari ‘Iedul-Adhlaa. Lalu kami berserikat sebanyak tujuh orang untuk seekor sapi dan sepuluh orang untuk seekor onta".
Abu ‘Isaa berkata: "Hadits
ini hasan ghariib, dan ia adalah hadits Husain bin Waaqid" (As-Sunan, no.
905 dan 1501).
Berikut keterangan para
perawi yang membawakan hadits tersebut:
1. Al-Husain bin Huraits
bin Al-Hasan bin Tsaabit bin Quthubah Al-Khuzaa’iy, Abu ‘Ammaar Al-Marwaziy;
seorang yang tsiqah (w. 244 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib, hal. 246 no. 1323).
2. Al-Fadhl bin Muusaa
As-Siinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun
kadang meriwayatkan hadits gharib (115-191/192 H). Al-Bukhaariy dan Muslim mengambil riwayatnya
dalam kitab Shahih-nya. Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib
(hal. 784 no. 5454).
Ibnu Ma’iin dan Ibnu Sa’d
berkata: "Tsiqah". Abu Haatim berkata: "Shaduuq, shaalih".
Wakii’ berkata: "Aku mengenalnya, tsiqah, shaahibus-sunnah". Di lain
tempat ia berkata: "Tsabat". Abu Nu’aim berkata: "Ia orang yang
paling tsabt periwayatannya dari Ibnul-Mubaarak". Ibnu Hibbaan
menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Haakim berkata: "Ia seorang yang
sanadnya tinggi, seorang imam di antara imam-imam di jamannya dalam bidang
hadits". Ibnu Syaahin memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata: "Ibnul-Mubaarak
berkata: ‘Telah menceritakan kepadaku seorang yang tsiqah’, yaitu ia (Al-Fadhl
bin Muusaa)". Al-Bukhaariy berkata: "Tsiqah" (selengkapnya baca:
Tahdziibul-Kamaal, 23/254-258 no. 4750 dan Tahdziibut-Tahdziib, 8/286-287 no.
527). Adz-Dzahabiy berkata: "Tsabat" (Al-Kaasyif, 2/123 no. 4477).
Al-Albaaniy berkata: "Tsiqah, termasuk rijaal Al-Bukhaariy dan Muslim"
(Adl-Dla’iifah, 4/428). Abu Ishaaq Al-Huwainiy: "Tsiqah" (Natsnun-Nabaal,
hal. 1093 no. 2688).
Lantas, apa gerangan yang
membuat Al-Fadhl ini dikatakan: suka menyampaikan hadis nyeleneh.
Subhaanallaah, Al-Fadhl bin Muusaa mempunyai maqam ta’dil yang tinggi (tsiqah
tsabat).
Mungkin perkataan
tersebut disimpulkan dari perkataan Ibnul-Maadiniy, sebagaimana diriwayatkan
oleh anaknya, ‘Abdullah: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits
Al-Fadhl bin Muusaa, dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari
Ibnuz-Zubair, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
من شهر سيفه
فدمه هدر
"Barangsiapa yang
memperlihatkan pedangnya, maka darahnya sia-sia".
Lalu ayahku (‘Aliy bin
Al-Madiniy) berkata: "Munkar, dla’iif".
‘Abdullah juga berkata: "Aku
bertanya kepada ayahku tentang Al-Fadhl dan Abu Tamiilah, lalu ia mengkedepankan
Abu Tamiilah dan berkata: "Al-Fadhl meriwayatkan hadits-hadits munkar
(manaakir)" (Tahdziibut-Tahdziib, 8/287).
Di sini, ‘Aliy bin
Al-Madiiniy menyendiri dalam jarh kepada Al-Fadhl, padahal imam-imam yang lain
seperti Ibnu Ma’iin, Ibnu Sa’d, Abu Haatim, Wakii’, Abu Nu’aim, Ibnul-Mubaarak,
Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahin, dan Al-Haakim memberitakan ta’dil yang pasti
kepadanya. Penyendirian jarh Ibnul-Maadiniy tidaklah merusak kredibilitas
Al-Fadhl. Selain itu, ia (Ibnul-Madiiniy) hanya menjelaskan satu hadits saja
yang menurutnya merupakan riwayat munkar (hadits penghunusan pedang). Sungguh
sangat tidak fair jika kemudian Al-Fadhl dengan ketsiqahan dan ketsabatannya
dihukumi: suka menyampaikan hadis nyeleneh. Jangan-jangan orang yang
mengucapkan itulah yang lebih pantas disebut nyleneh.
3. Al-Husain bin Waaqid
Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, namun mempunyai
beberapa keraguan (lahu auhaam) (w. 157/159 H). Muslim memakai riwayatnya
sebagai mutaba’ah dalam kitab Shahih-nya. Setidaknya, begitulah perkataan Ibnu
Hajar dalam At-Taqriib (hal. 251 no. 1367).
Ibnul-Mubaarak sangat
memuji dan meninggikan Al-Husain bin Waaqid. Ahmad berkata: "Tidak mengapa
dengannya (laisa bihi ba’s). Di lain tempat ia berkata: "Ia mempunyai beberapa
riwayat yang diingkari". Di lain tempat ia berkata: "Aku tidak
mengingkari hadits Husain bin Waaqid dan Abul-Muniib dari Ibnu Buraidah".
Al-‘Uqailiy berkata: "Ahmad bin Hanbal mengingkari haditsnya". Yahyaa
bin Ma’iin berkata: "Tsiqah". An-Nasaa’iy dan Abu Zur’ah berkata: "Tidak
mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)". Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam
Ats-Tsiqaat, dan berkata: "…..kadang melakukan kekeliruan dalam
riwayat-riwayat. Ia menulis hadits dari Ayyuub As-Sikhtiyaaniy dan Ayyuub bin
Khuuth. Semua riwayat munkar pada dirinya berasal dari jalur periwayatan
Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Ayyuub yang dimaksud di sini adalah
Ayyuub bin Khuuth, bukan Ayyuub As-Sikhtiyaaniy". Ibnu Sa’d berkata: "Ia
seorang yang hasanul-hadiits". Abu Daawud berkata: "Tidak mengapa
dengannya (laisa bihi ba’s)". As-Saajiy berkata: "Fiihi nadhar, ia
seorang yang shaduuq namun banyak ragu" (selengkapnya lihat:
Tahdziibul-Kamaal, 6/491-495 no. 1346 dan Tahdziibut-Tahdziib, 2/373-374 no.
642). Adz-Dzahabiy berkata: "Seorang ‘aalim, shaahibul-hadiits"(1) (Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/211). Al-Albaaniy berkata: "Ia seorang yang
hasanul-hadiits, insya Allah" (Irwaaul-Ghaliil, 6/272). Basyar ‘Awwaad dan
Al-Arna’uth berkata: "Shaduuq, hasanul-hadiits" (Tahriiru At-Taqriib,
1/294 no. 1358).
Adapun saya cenderung
pada status seperti yang dikatakan oleh Al-Albaaniy, Basyar ‘Awwaad, dan
Al-Arna’uth; dengan mempertimbangkan ta’dil yang nampak dari An-Nasaa’iy, Abu
Zur’ah, Ibnu Sa’d, dan Abu Daawud. Hanya Ibnu Ma’iin yang memutlakkan tsiqah
kepadanya. Adapun jarh yang dialamatkan kepadanya, maka perlu tafshil:
Dapat kita lihat, Ahmad
tidak lah mengingkari seluruh riwayatnya, namun hanya sebagian saja. Jika
tidak, tidak mungkin ia men-ta’dil Al-Husain: laisa bihi ba’s. Oleh karenanya
Adz-Dzahabiy pun mengatakan dalam Al-Miizaan: "Ahmad mengingkari sebagian
haditsnya, dan ia menggelengkan kepalanya seakan-akan ia tidak meridlainya
ketika dikatakan kepadanya: ‘Sesungguhnya ia meriwayatkan hadits ini, yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Mu’aadz bin Asad: Telah menceritakan kepada kami
Al-Fadhl bin Muusaa: Telah menceritakan kepada kami: Telah menceritakan kepada
kami Al-Husain bin Waaqid, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar secara
marfuu’: Aku ingin sekali, sekiranya kita memiliki roti putih dari gandum
Samraa` yang dipolesi dengan minyak samin dan susu" (Al-Miizaan, 1/549).
Abu Daawud setelah
membawakan hadits di atas berkata: "Ini hadits munkar. Ayyuub di situ,
bukanlah Ayyub As-Sikhtiyaaniy (tapi Ibnu Khuuth)" (As-Sunan, no. 3818).
Ini sama seperti yang
dikatakan Ibnu Hibbaan sebelumnya.
Al-Husain bin Waaqid
dalam hadits ini (yaitu hadits kurban) membawakan riwayat dari ‘Ilbaa’ bin
Ahmar. Tidak ada keterangan dari para imam pengingkaran mereka atas riwayat
Al-Husain bin Waaqid dari ‘Ilbaa’. Oleh karena itu hadits yang dibawakannya di
sini adalah maqbuul (diterima). Bukan termasuk riwayat munkar darinya.
Barangsiapa yang
mempunyai bukti bahwa hadits ini termasuk riwayat munkar dari Al-Husain,
janganlah berpelit-pelit memberitahukannya kepada saya.
Maka, saya tidak tahu,
darimana kesimpulan perkataan: Husain bin Waqid yang suka ngelantur.
‘Ngelantur’ adalah satu kata yang berkonotasi negatif dan ‘kasar’. Akankah
Al-Husain bin Waaqid yang dikatakan Adz-Dzahabiy seorang ‘aalim,
shaahibul-hadiits ini dianggap sebagai ‘tukang ngelantur’? Justru orang yang
menyimpulkan Al-Husain suka nglantur inilah yang pantas dikatakan sedang
‘nglantur’.
4. ‘Ilbaa’ bin Ahmar
Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 688 no. 4708).
5. ‘Ikrimah Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w.
107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 687-688 no. 4707).
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ahmad 1/275, Ibnu Maajah no. 3131, An-Nasaa’iy 7/222, Ibnu
Khuzaimah no. 2908, Ibnu Hibbaan no. 4007, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no.
11929 dan dalam Al-Ausath no. 8128, Al-Baihaqiy 5/235-236, dan Al-Baghawiy no.
1132; dari beberapa jalan, semuanya dari Al-Fadhl bin Muusaa, dan selanjutnya
seperti sanad At-Tirmidziy di atas.
Al-Fadhl bin Muusaa dalam
periwayatannya dari Al-Husain bin Waaqid mempunyai mutaba’ah dari ‘Aliy bin
Hasan bin Syaqiiq, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/230.
Hadits Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa ini hasan.
(Dishahihkan oleh
Ibnul-Qaththaan dalam Al-Wahm wal-Iihaam 5/410, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Ahmad 3/129, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/466-467, dan dihasankan oleh
Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 4/558-559. Ibnul-Mulaqqin
berkata: "Seluruh rijaal-nya tsiqaat" – sebagaimana dalam
Al-Badrul-Muniir 9/304. Al-Arna’uth berkata: "Sanadnya kuat (qawiy) sesuai
persyaratan Muslim" – sebagaimana dalam Takhriij Shahih Ibni Hibbaan,
9/318).
Ibnu ‘Abbaas mempunyai
syaahid dari hadits Jaabir radliyallaahu ‘anhum; sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim dan yang lainnya.
حدثنا قتيبة بن
سعيد. حدثنا مالك. ح وحدثنا يحيى بن يحيى (واللفظ له) قال: قرأت على مالك عن أبي
الزبير، عن جابر بن عبدالله. قال: نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عام
الحديبية. البدنة عن سبعة. والبقرة عن سبعة.
Telah menceritakan kepada
kami Qutaibah bin Sa’iid: Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa (dan lafadh hadits ini miliknya), ia
berkata: Aku membacakan kepada Maalik, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin
‘Abdillah, ia berkata: "Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah, (yaitu) seekor onta dari
tujuh orang, dan seekor sapi dari tujuh orang".
Dalam riwayat lain:
وحدثنا يحيى بن
يحيى. أخبرنا أبو خيثمة عن أبي الزبير، عن جابر. ح وحدثنا أحمد بن يونس. حدثنا
زهير. حدثنا أبو الزبير عن جابر. قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم
مهلين بالحج. فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل والبقر. كل
سبعة منا في بدنة.
Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Khaitsamah, dari Abuz-Zubair, dari
Jabir. Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus: Telah menceritakan
kepada kami Zuhair: Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia
berkata: "Kami pernah pergi berhaji bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kami untuk berserikat tujuh orang pada seekor onta dan sapi" (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1318).
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata: "Hadits
‘Ikrimah, Al-Husain bin Waaqid telah bersendirian dengannya dalam periwayatan
dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar. Dan hadits Jaabir lebih shahih darinya" (As-Sunan
Al-Kubraa, 5/235).
Terdapat perbedaan jumlah orang yang
berserikat onta antara riwayat Ibnu ‘Abbaas dan Jaabir radliyallaahu ‘anhum.
Al-Baihaqiy lebih mengedepankan riwayat Jaabir sebagaimana telah dituliskan di
atas. Itulah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa berserikat dalam onta itu untuk tujuh orang.
Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan boleh sepuluh orang (untuk hewan
udlhiyyah/sembelihan).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
يجوز أن يشترك
سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية , سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين , أو
بعضهم يريد اللحم ، فيجزئ عن المتقرب , وسواء أكان أضحية منذورة أم تطوعا , هذا
مذهبنا وبه قال أحمد وجماهير العلماء
"Diperbolehkan
berserikat tujuh orang untuk seekor onta atau seekor sapi dalam udlhiyyah
(sembelihan kurban). Sama saja apakah mereka semuanya itu satu keluarga atau
lain keluarga, atau sebagian di antara mereka menginginkan dagingnya. Dan hal
itu telah mencukupi bagi anggota keluarga pengkurban. Sama saja, apakah
sembelihan kurban nadzar atau sembelihan kurban sunnah/tathawwu’. Ini adalah
madzhab kami. Dan dengannya Ahmad dan jumhur ulama berpendapat" (Al-Majmuu’,
8/372).
Lajnah Daaimah pernah
berfatwa:
تجزئ البدنة
والبقرة عن سبعة ، سواء كانوا من أهل بيت واحد أو من بيوت متفرقين ، وسواء كان
بينهم قرابة أو لا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أذن للصحابة في الاشتراك في
البدنة والبقرة كل سبعة في واحدة ، ولم يفصل ذلك
"Diperbolehkan
berkurban onta dan sapi dari tujuh orang. Sama saja apakah mereka itu berasal
dari satu keluarga atau berasal dari lain keluarga. Sama saja, apakah di antara
mereka terdapat ikatan kekerabatan ataupun tidak. Hal itu dikarenakan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa slalam mengjinkan para shahabatnya untuk berserikat
atas onta dan sapi, masing-masing tujuh orang untuk seekornya. Dan beliau tidak
memerinci lebih lanjut akan hal itu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah,
11/401).
Perkataan ‘al-ustadz’
tersebut di atas (yang saya nukil berwarna merah) sangat layak ditinjau ulang.
Seandainya ‘al-ustadz’ mengkritik hadits dengan baik, ilmiah, dan mempergunakan
bahasa-bahasa yang elegan, saya rasa, itu akan jauh lebih baik.
Semoga yang dituliskan
ini dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi dan rekan-rekan Pembaca sekalian…..
Jika ada kritikan dan masukan, mohon disampaikan.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Persisnya,
Adz-Dzahabiy berkata saat menyebutkan biografi ‘Aliy bin Al-Husain bin Waaqid: "Ia
seorang yang ‘aalim, shaahibul-hadiits, seperti ayahnya".
Posting Komentar untuk "Hukum Kurban Sapi Dengan Cara Urunan"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.