Hukum Dokter Wanita Mengobati Pasien Laki - Laki
Bahasan ini dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Dokter wanita
mengobati pasien laki-laki yang belum baligh (anak kecil).
2. Dokter wanita
mengobati pasien laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Tentang tanda-tanda
baligh, Pembaca budiman dapat membaca artikel kami yang berjudul: Tanda-Tanda
Baligh.
1. Dokter wanita mengobati
pasien laki-laki yang belum baligh (anak-anak).
Tidak ada dalil tentang
pelarangannya. Bahkan, para wanita dianjurkan bekerja sebagai dokter untuk
pasien anak-anak, karena ia lebih utama daripada dokter laki-laki menurut
sebagian ahlul-‘ilmi – karena sifat fithrah-nya.
2. Dokter wanita
mengobati pasien laki-laki yang telah baligh (dewasa).
Dalam hal ini dibagi
menjadi dua kasus, yaitu:
a. Dokter mengobati secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien.
Hukumnya adalah boleh
jika dalam keadaan darurat. Mafhum-nya, jika tidak dalam keadaan darurat, maka
tidak boleh.(1)
Dalilnya antara lain adalah:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " نَسْقِي وَنُدَاوِي
الْجَرْحَى، وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِينَةِ
"
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
‘Abdillah: telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal: telah
menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwaan, dari Ar-Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (dalam satu peperangan), memberi minum, mengobati orang-orang yang
terluka, serta memulangkan jenazah ke Madinah” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2882).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِيهِ جَوَازُ
مُعَالَجَة الْمَرْأَة الْأَجْنَبِيَّة الرَّجُل الْأَجْنَبِيّ لِلضَّرُورَةِ
قَالَ اِبْن بَطَّال: وَيَخْتَصُّ ذَلِكَ بِذَوَات الْمَحَارِمِ ثُمَّ
بِالْمُتَجَالَّاتِ مِنْهُنَّ لِأَنَّ مَوْضِعَ الْجُرْحِ لَا يُلْتَذُّ
بِلَمْسِهِ بَلْ يَقْشَعِرُّ مِنْهُ الْجِلْدُ فَإِنْ دَعَتْ الضَّرُورَة لِغَيْرِ
الْمُتَجَالَّاتِ فَلْيَكُنْ بِغَيْرِ مُبَاشَرَةٍ وَلَا مَسٍّ وَيَدُلُّ عَلَى
ذَلِكَ اِتِّفَاقُهُمْ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا مَاتَتْ وَلَمْ تُوجَدْ
اِمْرَأَة تُغَسِّلُهَا أَنَّ الرَّجُلَ لَا يُبَاشِرُ غُسْلَهَا بِالْمَسِّ بَلْ
يُغَسِّلُهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ فِي قَوْلِ بَعْضِهِمْ كَالزُّهْرِيِّ وَفِي
قَوْلِ الْأَكْثَرِ تُيَمَّمُ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ تُدْفَنُ كَمَا هِيَ قَالَ
اِبْن الْمُنِير: الْفَرْقُ بَيْنَ حَال الْمُدَاوَاة وَتَغْسِيل الْمَيِّتِ أَنَّ
الْغُسْلَ عِبَادَةٌ وَالْمُدَاَوةُ ضَرُورَة وَالضَّرُورَاتُ تُبِيحُ
الْمَحْظُورَاتِ
“Dalam hadits ini terdapat pembolehan seorang
wanita mengobati laki-laki ajnabiyyah (bukan mahram) dalam keadaan darurat.
Ibnu Baththaal berkata: ‘Hal itu dikhususkan bagi yang memiliki hubungan
kemahraman, kemudian wanita yang telah tua di antara mereka, karena
tempat/tubuh yang terluka tidak akan merasakan kenikmatan saat ia (wanita)
menyentuhnya (laki-laki). Bahkan kulit yang disentuh itu terasa sakit.
Pengobatan karena alasan darurat yang dilakukan oleh selain wanita yang telah
tua, hendaknya dilakukan secara tidak langsung dan tidak melakukan sentuhan.
Yang menunjukkan tentang hal itu adalah kesepakatan para ulama bahwasannya
seorang wanita apabila meninggal tidak ditemukan wanita lain yang dapat
memandikannya, maka laki-laki boleh memandikannya secara tidak langsung tanpa
melakukan sentuhan. Ia melakukannya di balik tirai menurut pendapat sebagian ulama, seperti
Az-Zuhriy. Sementara menurut pendapat jumhur ulama adalah dengan ditayamumkan.
Al-Auza’iy berkata: ‘Wanita dikuburkan sebagaimana adanya’. Ibnul-Muniir
berkata: ‘Perbedaan antara kondisi pengobatan dengan memandikan jenazah adalah
bahwa memandikan jenazah merupakan ibadah, sedangkan pengobatan merupakan
kondisi darurat, dan kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (semula)
dilarang” (Fathul-Baariy, 6/80).
حَدَّثَنَا
يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ مَعَهُ إِذَا
غَزَا فَيَسْقِينَ الْمَاءَ وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى
"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa: Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, dari Tsaabit,
dari Anas bin Maalik, ia berkata: “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berperang dengan membawa serta Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshaar
lain bersama beliau. Apabila beliau berperang, mereka (para wanita) memberi air untuk minum dan
mengobati pasukan yang terluka” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1810).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِيهِ خُرُوج
النِّسَاء فِي الْغَزْوَة وَالِانْتِفَاع بِهِنَّ فِي السَّقْي وَالْمُدَاوَاة
وَنَحْوهمَا ، وَهَذِهِ الْمُدَاوَاة لِمَحَارِمِهِنَّ وَأَزْوَاجهنَّ ، وَمَا
كَانَ مِنْهَا لِغَيْرِهِمْ لَا يَكُون فِيهِ مَسّ بَشَرَة إِلَّا فِي مَوْضِع
الْحَاجَة
“Dalam hadits tersebut
terdapat keterangan keluarnya wanita dalam peperangan dan kebolehan meminta
bantuan mereka dalam pemberian air minum, pengobatan, dan yang lainnya.
Pengobatan ini adalah untuk mahram-mahram dan suami-suami mereka. Adapun kepada
selain mahram dan suami, maka tidak dilakukan dengan menyentuh kulit, kecuali
pada tempat yang dibutuhkan saja” (Syarh Shahih Muslim, 6/437-438).
Dari hadits dan
penjelasan ulama di atas nampak bahwa hukum darurat ini berlaku ketika tidak
ada, atau ada tapi kekurangan, tenaga medis/dokter laki-laki, sementara orang
yang sakit (laki-laki) perlu segera mendapatkan pertolongan.
b. Dokter mengobati tidak
secara langsung dengan menyentuh bagian tubuh pasien.
Hukumnya adalah boleh dan
disyari’atkan sepanjang tidak ada fitnah. Pengobatan ini misalnya dengan ruqyah
syar’iyyah atau konsultasi verbal antara dokter wanita dengan pasien laki-laki.
Bisa juga dengan diagnosa dari dokter wanita kepada pasien laki-laki dengan
melihat ciri-ciri atau gejala penyakitnya (hasil lab., foto rontgen, dan yang
lainnya).
Dalilnya adalah:
Firman Allah ta’ala:
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir” (QS. Al-Ahzaab: 53).
حَدَّثَنَا
أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الدُّورِيُّ، ثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، ثَنَا أَبِي، عَنْ
صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ، أَنَّ
أَبَا بَكْرِ بْنَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ الْقُرَشِيَّ، حَدَّثَهُ أَنَّ
رَجُلا مِنَ الأَنْصَارِ نَمْلَةٌ خَرَجَتْ بِهِ، فَدُلَّ أَنَّ الشِّفَاءَ بِنْتَ
عَبْدِ اللَّهِ تَرْقِي مِنَ النَّمْلَةِ، فَجَاءَهَا، فَسَأَلَهَا أَنْ
تَرْقِيَهُ، فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا رَقِيتُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، فَذَهَبَ
الأَنْصَارِيُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ
وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ بِالَّذِي قَالَتْ الشِّفَاءُ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ الشِّفَاءَ، فَقَالَ: " اعْرِضِي
عَلَيَّ "، فَأَعْرَضَتْهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: " أَرْقِيهِ وَعَلَّمِيهَا
حَفْصَةَ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الْكِتَابَ
".
Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Muhammad bin Ya’quub: telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad
Ad-Duuriy: telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d: Telah
menceritakan ayahku, dari Shaalih bin Kaisaan: Telah menceritakan kepada kami
Ismaa’iil bin Muhammad bin sa’d: Bahwasannya Abu Bakr bin Sulaimaan bin Abi
Khaitsamah Al-Qurasyiy telah menceritakannya: Bahwasannya ada seorang laki-laki
dari Anshaar terkena penyakit namlah (bisul yang tumbuh di lambung).
Ditunjukkan kepadanya bahwasannya Asy-Syifaa’ bintu ‘Abdillah biasa meruqyah
orang yang terkena penyakit namlah. Maka, ia pun mendatanginya meminta untuk
meruqyahnya. Asy-Syifaa’ berkata: “Demi Allah, aku tidak pernah meruqyah lagi semenjak
masuk Islam”. Orang Anshar itu pergi menemui
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam dan mengkhabarkan
kepada beliau apa yang dikatakan oleh Asy-Syifaa’. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam memanggil Asy-Syifaa’, lalu bersabda:
“Perlihatkan ruqyah-mu padaku”. Maka ia pun memperlihatkan ruqyahnya kepada
beliau. Setelah itu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ruqyah-lah
ia (laki-laki itu), dan ajarkanlah kepada Hafshah sebagaimana engkau mengajarkan
kepadanya menulis” (Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 4/56-57.
Al-Haakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai persyaratan Syaikhain. Abu Bakr
bin Sulaimaan telah mendengar hadits ini dari neneknya (Asy-Syifaa’)”).(2)
Sisi pendalilannya adalah: Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Asy-Syifaa’ mengobati laki-laki
tersebut dengan ruqyah. Ruqyah biasanya dilakukan tanpa melakukan kontak dengan
tubuh pasien.
Meskipun diperbolehkan, jauh lebih baik jika
laki-laki berobat ke dokter laki-laki dengan alasan menghindari fitnah. Selain
itu, saat ini bukan hal yang sulit untuk mendapatkan dokter laki-laki, karena
jumlahnya memang lebih banyak daripada dokter wanita.
Seandainya dilakukan,
hendaknya tetap menjaga pandangan terhadap hal-hal yang diharamkan, menjaga
aurat, dan tidak berkhalwat.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
Baca juga artikel: Saat
Wanita Ingin Berobat
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Haram hukumnya
seorang wanita menyentuh tubuh/kulit laki-laki yang bukan mahramnya (begitu
juga sebaliknya). Adapun dalil-dalil yang menunjukkan pengharamannya antara
lain:
a. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ.....
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya…” (QS. An-Nuur: 30-31).
Sisi pendalilannya: Jika
memandang laki-laki atau wanita yang bukan mahramnya (tanpa keperluan) adalah
terlarang berdasarkan ayat ini, maka menyentuh kulit/tubuh secara langsung
lebih utama untuk dilarang. Efek syahwat yang ditimbulkan dari menyentuh lebih
besar daripada sekedar melihat.
b. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ، حَدَّثَنَا
وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا
مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ،
وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ
ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin
Manshuur: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy: Telah
menceritakan kepada kami Wuhaib: telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abi
Shaalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari
zina yang pasti menimpanya. Kedua mata, zinanya adalah memandang; zina kedua
telinga adalah mendengar; zina lisan adalah ucapan; zina tangan adalah
memegang; zina kaki adalah langkah; dan zina hati adalah menghendaki sesuatu
(berangan-angan); dan farajnya (kemaluannya) membenarkan atau mendustakannya” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2657).
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
معنى الحديث أن
ابن آدم قدر عليه نصيب من الزنا فمنهم من يكون زناه حقيقياً بإدخال الفرج في الفرج
الحرام، ومنهم من يكون زناه مجازاً بالنظر الحرام أو الاستماع إلى الزنا وما يتعلق
بتحصيله، أو بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده أو يقبلها، أو بالمشي بالرجل إلى
الزنا أو النظر أو اللمس أو الحديث الحرام مع أجنبية ونحو ذلك، أو بالفكر بالقلب،
“Makna hadits ini adalah
bahwa sudah ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti
menimpanya. Di antaranya ada yang ditimpa zina secara hakiki, yaitu dengan
masuknya farji ke dalam farji yang diharamkan. Di antaranya pula ada yang
ditimpa zina secara majaziy, yaitu dengan memandang atau mendengar sesuatu yang
haram atau dengan menyentuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) dengan
tangannya atau menciumnya, atau berjalan kaki dengan tujuan zina, atau
bercakap-cakap untuk membicarakan sesuatu yang haram dengan wanita ajnabiyyah.
Zina juga bisa lewat berpikir dengan hati akan sesuatu yang haram…” (Syarh
Shahih Muslim, 16/206).
c. Hadits Umaimah bintu
Ruqaiqah radliyallaahu ‘anhaa.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، أَنَّهُ
سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ أُمَيْمَةَ بِنْتَ
رُقَيْقَةَ، تَقُولُ: جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
نِسْوَةٍ نُبَايِعُهُ، فَقَالَ لَنَا: " فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ
وَأَطَقْتُنَّ، إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
"
Telah menceritakan kepada kami Abu bakr bin
Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, bahwasannya
ia mendengar Muhammad bin Al-Munkadir, ia berkata: Aku mendengar Umayyah bintu
Ruqaiqah berkata: Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama
wanita-wanita lain untuk berbaiat kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada kami: “Terhadap apa saja yang kalian mampu dan sanggup
melakukannya. Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan para wanita” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Maajah no. 2874; shahih).
Diriwayatkan juga oleh
Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 1984, ‘Abdurrazzaaq no. 9826, Al-Humaidiy no.
344, Ahmad 6/357, At-Tirmidziy no. 1597 An-Nasaa’iy 7/149 & 152, Ibnu
Hibbaan no. 4553, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/no. 470-473 & 475-476,
dan yang lainnya.
Ibnu ‘Abdil-Barr
rahimahullah berkata:
وأما مَدّ اليد
والمصافحة في البيعة ، فذلك مِن السنة المسنونة ، فَعَلَها رسول الله صلى الله
عليه وسلم والخلفاء الراشدون بعده ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا
يُصَافِح النساء
“Adapun mengulurkan tangan dan berjabat tangan
dalam baiat, maka hal itu merupakan sunnah yang dianjurkan, karena Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan al-khulafaaur-raasyiduun setelah beliau
melakukannya. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak berjabat
tangan dengan wanita” (Al-Istidzkaar, 8/545).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَفِي الْحَدِيث
أَنَّ كَلَام الْأَجْنَبِيَّة مُبَاح سَمَاعه وَأَنَّ صَوْتهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ
، وَمَنَعَ لَمْس بَشَرَة الْأَجْنَبِيَّة مِنْ غَيْر ضَرُورَة لِذَلِكَ
“Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa
perkataan wanita ajnabiyyah boleh didengarkan dan suara mereka bukanlah aurat;
serta dilarang untuk menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat” (Fathul-Baariy,
13/204).
d. Atsar Ma’qil bin
Yasaar radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ بَشِيرِ بْنِ عُقْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ، عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: "
لَأَنْ يَعْمِدَ أَحَدُكُمْ إلَى مِخْيَطٍ فَيَغْرِزُ بِهِ فِي رَأْسِي أَحَبُّ
إلَيَّ مِنْ أَنْ تَغْسِلَ رَأْسِي امْرَأَةٌ لَيْسَتْ مِنِّي ذَاتَ مَحْرَمٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah,
dari Basyiir bin ‘Uqbah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin ‘Abdillah
bin Asy-Syikhkhiir, dari Ma’qil bin Yasaar, ia berkata: “Salah seorang di
antara kalian menusukkan jarum hingga menancap di kepalaku, itu lebih aku
senangi daripada seorang wanita yang bukan mahramku mencuci/membasuh kepalaku” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/2:341 no. 17604; shahih).
Atsar mauquf ini lebih shahih daripada yang
marfuu’:
نَا نَصْرُ بْنُ
عَلِيٍّ، نَا أَبِي، نَا شَدَّادُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي الْعَلاءِ، قَالَ:
حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ
حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَمَسَّهُ امْرَأَة لا تَحِلُّ لَهُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Nashr bin
‘Aliy: Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku: Telah mengkhabarkan kepada kami
Syaddaad bin Sa’iid, dari Abul-‘Alaa’, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku
Ma’qil bin Yasaar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam: “Ditusuknya kepala seseorang dengan jarum dari besi lebih baik
darinya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (Diriwayatkan
oleh Ar-Ruuyaaniy no. 1283).
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy
20/211-212 no. 486-487; dari dua jalan, dari Syaddaad bin Sa’iid, dari
Abul-‘Alaa’ (Yaziid Asy-Syikhkhiir), dari Ma’qil bin Yasaar secara marfuu’.
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iimaan no. 5182: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin
‘Abdaan: Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid: Telah menceritakan
kepada kami Al-Asfaathiy: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan
An-Nasyathiy: Telah menceritakan kepada kami Syaddaad bin Sa’iid Abu Thalhah
Ar-Raasibiy, dari Al-Jurairiy, dari Abul-‘Alaa’, dari Ma’qil bin Yasaar, ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…..(al-hadits)….”.
Dalam sanad Al-Baihaqiy terdapat sisipan
perawi Al-Jurairiy antara Syaddaad dan Abul-‘Alaa’. Ini kekeliruan yang berasal
dari Sa’iid bin Sulaimaan, seorang perawi dla’iif.
Terdapat perselisihan
periwayatan yang berporos pada Abul-‘Alaa’. Syaddaad meriwayatkan secara
marfuu’, sedangkan Basyiir bin ‘Uqbah meriwayatkan secara mauquf. Basyiir lebih
kuat daripada Syaddaad. Ia (Basyiir) adalah perawi yang tsiqah, dipakai oleh
Al-Bukhaariy dan Muslim. Adapun Syaddaad, bersamaan dengan tautsiq para imam,
ia pun mendapatkan kritikan dari sebagian yang lain. Abu Ahmad Al-Haakim dan
Al-Baihaqiy berkata: “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu Hibbaan memasukkannya
dalam Ats-Tsiqaat dan berkata: “Kadang keliru”. Ad-Daaruquthniy berkata:
“Dijadikan i’tibar”.
e. Atsar Al-Hasan
Al-Bashriy rahimahullah.
حَدَّثَنَا
غُنْدَرٌ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ غِيَاثٍ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ، يَقُولُ:
" لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَغْسِلُ رَأْسَ رَجُلٍ لَيْسَ بَيْنَهَا
وَبَيْنَهُ مَحْرَمٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari
‘Utsmaan bin Ghiyaats, ia berkata: Aku mendengar Al-Hasan berkata: “Tidak halal
bagi seorang wanita mencuci/membasuh kepala seorang laki-laki yang tidak ada
hubungan kemahraman antara keduanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah,
4/2:341 no. 17603; shahih).
(2) Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Silsilah Ash-Shahiihah no. 178.
Posting Komentar untuk "Hukum Dokter Wanita Mengobati Pasien Laki - Laki"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.