Darah yang Keluar Sehari atau Dua Hari Menjelang Kelahiran Apakah Tetap Mewajibkan Wanita Shalat?
Bahasan ini erat kaitannya dengan darah yang
keluar pada wanita hamil, apakah ia dihukumi darah haidl, darah nifas, atau
darah istihaadlah?. Jika ia merupakan darah haidl atau nifas, maka tidak wajib shalat(1). Namun
jika ia merupakan darah istihaadlah, maka tetap wajib shalat(2). Melalui
artikel ini, akan dituliskan bahasan ringkasnya semoga dapat menjadi pemahaman
bagi kita bersama.
Darah haidl, secara
bahasa Al-Maawardiy rahimahullah menjelaskan:
وَسُمِّيَ
حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ الْمَرْأَةِ ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِ: حَاضَ
السَّبِيلُ ، وَفَاضَ إِذَا سَالَ..... الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ:
الْحَيْضُ وَالطَّمْثُ وَالْعَرْكُ وَالضَّحِكُ وَالْإِكْبَارُ وَالْإِعْصَارُ
“Darah haidl dinamakan
haidl, karena darah itu mengalir dari rahim wanita. Pengertian ini diambil dari
perkataan: ‘haadlas-sailu idzaa faadla’ (banjir meluap)”…… Dan syara’ mempunyai
enam nama untuk darah haidl, yaitu: al-haidlu, ath-thamtsu, al-‘arku,
adl-dlahiku, al-ikbaaru, dan al-i’shaaru”.(3)
Adapun secara
terminologis, Al-Kasaaniy rahimahullah berkata:
اسم لدم خارج من
الرحم لا يعقب الولادة مقدر بقدر معلوم في وقت معلوم
“Nama bagi darah yang
keluar dari rahim wanita yang bukan disebabkan karena melahirkan, dengan dibatasi
ukuran/lama dan waktu tertentu”.(4)
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
سيلان دم طبيعي
يعتاد الأنثى في أوقات معلومة عند بلوغها وقابليتها للحمل
“Darah thabi’iy yang mengalir (dari rahim)
yang biasa dialami wanita pada waktu tertentu pada masa balighnya, sebagai
tanda kesanggupan untuk hamil”.(5)
Jadi, darah haidl itu adalah darah yang keluar
dari rahim pada waktu tertentu dan dengan batas waktu tertentu. Sifatnya
periodik.
Darah istihadlah, secara bahasa Al-Jauhariy
rahimahullah menjelaskan:
واستُحيضَت
المرأة، أي استمر بها الدم بعد أيامها، فهي مستحاضة
“Wanita yang mengalami istihadlah, yaitu
darahnya terus keluar setelah hari-hari haidlnya, dan ia disebut mustahaadlah”.(6)
Al-Fairuuz Abaadiy rahimahullah berkata:
والمستحاضة من
يسيل دمها لا من الحيض بل من عِرق العاذل
“Al-mustahaadlah adalah wanita yang darahnya
mengalir bukan dari (sebab) haidl, namun dari urat yang terputus”.(7)
Adapun secara
terminologis, Abu Bakr Al-Husainiy rahimahullah berkata:
الدم الخارج في
غير أيام الحيض والنفاس
“Darah yang keluar di
luar hari-hari haidl dan nifas”.(8)
Darah nifas, secara
bahasa dikatakan:
ولادة المرأة
إذا وضعت، فهي نفساء، والنفس: الدم
“Perempuan ketika ia
melahirkan disebut nufasaa’. Dan an-nafs artinya darah”.(9)
Adapun secara
terminologi, definisi nifas adalah:
إسم للدم الخارج
عقب الولادة، مشتق من تنفس الرحم به
“Kata bagi darah yang
keluar mengikuti proses kelahiran, musytaq dari tanaffasa ar-rahmu bihi (rahim
mengeluarkan darah)”.(10)
Kembali pada bahasan di judul…..
Melihat definisi yang
disebutkan di atas, darah yang keluar menjelang proses kelahiran tidak tepat
jika disebut darah haidl, karena tidak memenuhi aspek lama dan waktu tertentu
sebagai satu siklus yang bisa diperkirakan.(11) Para ulama berselisih pendapat
apakah darah tersebut termasuk katagori darah nifas ataukah bukan.
Ulama dari kalangan
madzhab Syaafi’iyyah dan Hanaabilah mengkatagorikannya sebagai darah nifas. Ini
juga merupakan pendapat Ishaaq, Ibraahiim An-Nakhaa’iy, dan penduduk Madiinah.
Hanya saja menurut pendapat Maalikiyyah, darah tersebut dikatagorikan darah
haidl (dan ini tidak tepat sebagaimana disinggung sebelumnya).(12) Alasan
mereka: apabila darah tersebut keluar karena akan terjadi proses
melahirkan/persalinan, maka termasuk katagori darah nifas, sebagaimana darah
yang keluar pasca melahirkan. Apalagi ditandai dengan gejala-gejala rasa sakit,
mulas, dan yang semisalnya.
Ulama dari kalangan madzhab Hanafiyyah
berpendapat bahwa darah yang keluar sebelum proses keluarnya anak bukanlah
darah nifas, akan tetapi termasuk katagori darah istihaadlah.(13) Darah
tersebut keluar karena pecahnya pembuluh darah. Tidak ada bedanya antara
sehari dua hari atau sebelum dua bulan sebelum melahirkan.
Yang kuat di antara dua
pendapat tersebut adalah pendapat Hanaafiyyah, karena hakekat darah nifas
adalah akibat proses kelahiran sebagai bagian dari proses pengembalian fungsi
rahim/sistem reproduksi wanita pada keadaan semula. Jika belum terjadi kelahiran,
tidak ada darah nifas. Selain itu dikuatkan juga oleh batas maksimal darah
nifas selama 40 hari, dimana waktu tersebut dihitung mulai waktu kelahiran,
bukan sebelum (terjadinya) kelahiran.
Dengan demikian,
keluarnya darah sehari atau dua hara menjelang kelahiran tidaklah menggugurkan
kewajiban shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain bagi seorang wanita.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini
ada manfaatnya.
(Bahan bacaan:
Ahkaamul-Mar’atil-Haamil oleh ‘Abdurrahmaan bin Yahyaa Al-Khathiib, Min
Ahkaamil Mar’atil-Haamil fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Dr. Muhammad Nabhaan
Al-Haitiy, dan Al-Haidl wan-Nifaas Riwaayatan wa Diraayatan oleh Dibyaan bin
Muhammad Dibyaan)
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Dalil wanita haidl
tidak mengerjakan shalat:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ الْمِصْرِيُّ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ،
عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ:.......أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ
شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي، مَا
تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Rumh bin Muhaajir Al-Mishriy: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari
Ibnul-Haad, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “…..Maksud
kekurangan akal adalah, persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian
seorang laki-laki. Inilah (maksud) kekurangan akal. Begitu juga wanita tidak mengerjakan
shalat di malam-malam yang ia lalui dan berbuka (di siang hari) bulan ramadlaan
(karena haidl). Inilah maksud kekurangan agama (bagi mereka)” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 79).
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ، قَالَ: حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِعَائِشَةَ:
" أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلَاتَهَا إِذَا طَهُرَتْ؟ فَقَالَتْ:
أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ، كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَا يَأْمُرُنَا بِهِ أَوْ قَالَتْ فَلَا نَفْعَلُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin
Ismaa’iil, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammaam, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Qataadah, ia berkata: Telah menceritakan
kepadaku Mu’aadzah: Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada ‘Aisyah:
“Apakah kita (wanita) mengganti shalat setelah suci (dari haidl)?”. ‘Aisyah
berkata: “Apakah engkau seorang haruriyyah/khawarij? Kami mengalami haidl di
masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami
mengganti shalat – atau tidak pernah mengerjakannya” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 321).
Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:
أجمع أهل العلم
لا اختلاف بينهم على إسقاط فرض الصلاة عن الحائض في أيام حيضها
“Para ulama telah sepakat
tanpa ada perselisihan di antara mereka tentang gugurnya kewajiban shalat atas
wanita yang sedang haidl pada hari-hari haidlnya” (Al-Ausath, 2/202).
Adapun dalil wanita nifas
tidak mengerjakan shalat:
حَدَّثَنَا
نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ أَبُو
بَدْرٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِي سَهْلٍ، عَنْ مُسَّةَ
الْأَزْدِيَّةِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: " كَانَتِ النُّفَسَاءُ
تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا،.... "
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy
Al-Jahdlamiy: Telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Al-Waliid Abu Badr,
dari ‘Aliy bin ‘Abdil-A’laa, dari Abu Sahl, dari Mussah Al-Azdiyyah, dari Ummu
Samalah, ia berkata: “Dulu para wanita yang mengalami nifas duduk (tidak
mengerjakan shalat) selama empat puluh hari di jaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam…..” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 139 dengan sanad
lemah dengan sebab Mussah Al-Azdiyyah, seorang yang majhuul al-haal. Akan
tetapi Asy-Syaikh Al-Albaaniy menghasankannya dalam Irwaaul-Ghaliil, 1/222-223
no. 201 dengan adanya syaahid dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu).
أَخْبَرَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ يُوسُفَ
بْنِ مَاهَكَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "
النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ نَحْوًا مِنْ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nu’aim:
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin
Maahak, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata: “Wanita yang
sedang mengalami nifas duduk (tidak shalat) selama kurang lebih 40 hari” (Diriwayatkan
oleh Ad-Daarimiy no. 997 dengan sanad shahih).
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ
أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا، إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا
تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي
“Para ulama dari kalangan shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, taabi’iin, dan generasi setelah mereka telah
bersepakat bahwa wanita yang sedang mengalami nifas meninggalkan (tidak
mengerjakan) shalat selama 40 hari, kecuali ia melihat dirinya telah suci
(nifasnya berhenti) sebelum itu. Maka ia wajib mandi lalu mengerjakan shalat” (Jaami’
At-Tirmidziy, 1/181).
(2) Dalilnya adalah:
وحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ. ح وحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ جَعْفَرٍ،
عَنْ عِرَاكٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: " إِنَّ
أَمَّ حَبِيبَةَ، سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الدَّمِ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: رَأَيْتُ مِرْكَنَهَا مَلآنَ دَمًا، فَقَالَ لَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ
تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
"
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Rumh: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits (ح).
Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid: Telah menceritakan
kepada kami Laits, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Ja’far, dari ‘Iraak, dari
‘Urwah, dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia berkata: “Sesungguhnya Ummu Habiibah
pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang darah
(yang keluar darinya)”. ‘Aaisyah berkata: “Aku melihat tempat cuciannya
dipenuhi darah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya: ‘Tetapilah seukuran waktu, lalu mandilah, dan kerjakan shalat” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 334).
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي
حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَأَدَعُ
الصَّلَاةَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَا، إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ
فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah: Telah menceritakan
kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata:
Faathimah bintu Abu Hubaisy pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita
yang sering mengalami istihadlah dan tidak pernah suci. Apakah aku mesti
meninggalkan shalat?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak. Ia hanyalah darah yang berasal dari urat, bukan haidl. Apabila haidlmu
telah datang, berhentilah shalat. Namun jik atelah selesai, maka bersihkanlah
darahmu, lalu mandilah” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 228).
(3) Al-Haawiy, 2/378-379
– dengan peringkasan.
(4) Badaai’ush-Shanaai’,
1/39.
(5) Tanbiihul-Afhaam
Syarh ‘Umdatil-Ahkaam oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin, 1/123 – dicetak
bersama Taisirul-‘Alaam.
(6) Ash-Shihaah, 3/1073,
tahqiq: Ahmad bin ‘Abdil-Ghafuur ‘Athaar.
(7) Al-Qaamus Al-Muhiith,
2/329.
(8) Kifaayatul-Akhbaar,
1/46.
(9) Lisaanul-‘Arab oleh
Ibnul-Mandhuur 6/228 dan Al-Qaamus Al-Muhiith oleh Al-Fairuuz Abaadiy 2/255.
(10) Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 2/19 dan
Hilyatul-‘Ulamaa’ oleh Al-Qaffaal 1/298.
(11) Sebenarnya, para
ulama berbeda pendapat mengenai darah yang keluar selama masa kehamilan. Ada
dua pendapat dalam hal ini:
a. Darah yang muncul saat
masa kehamilan dihukumi sebagai darah haidl yang mewajibkan untuk meninggalkan
shalat.
Ini merupakan pendapat
madzhab Malikiyyah dan Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadiid, bahkan ini yang
mu’tamad dalam madzhabnya. Telah diriwayatkan dari Az-Zuhriy, Qatadah,
Al-Laits, dan Ishaaq. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa pendapat ini sebagai
pendapat yang shahih dari ‘Aisyah. Ini juga merupakan pendapat Yahya bin
Sa’iid, Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman, dan Ibnu Abi Salamah.
b. Darah yang muncul di
masa kehamilan bukanlah darah haidl, namun ia hanyalah darah rusak, sehingga
wanita tersebut tidak boleh meninggalkan shalat.
Ini merupakan pendapat
madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas,
Tsaubaan; dan hal itu merupakan perkataan jumhur tabi’in, diantaranya: Sa’id
bin Al-Musayyib, ‘Atha’, Al-Hasan, Jaabir bin Zaid, ‘Ikrimah, Muhammad bin
Al-Munkadir, Asy-Sya’biy, Mak-huul, Hammaad, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Abu
Tsaur, Sulaiman bin Yasaar, dan ‘Ubaidillah bin Al-Hasan.
Yang rajih dari dua
pendapat di atas adalah pendapat yang kedua, dengan dalil diantaranya:
· Hadits Abu Sa’id
Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا تُوطَأُ
حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidak boleh dikumpuli/digauli
hingga ia melahirkan; dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga dia haidl
sekali” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2157, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa
9/124, Ad-Daarimiy no. 2341, dan yang lainnya; shahih lighairihi).
Adanya haidl menjadi
indikasi atas bersihnya rahim dimana semua itu menunjukkan bahwa kehamilan
tidak bisa bersatu dengan haidl.
· Hadits Salim dari
bapaknya, bahwa bapaknya (Ibnu ‘Umar) telah menceraikan istrinya dalam keadaan
haidl. Lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan
beliau bersabda:
مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
“Perintahkanlah ia untuk merujuknya, kemudian
agar ia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil” (Diriwayatkan oleh Muslim
no. 1471 dan Ahmad 2/58).
Hamil telah dijadikan
indikasi atas tidak adanya haidl, sebagaimana suci dijadikan indikasi haidl. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata:
فأقام الطهر
مقام الحمل". والله عز وجل يقول: ﴿ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ﴾ (الطلاق:
من الآية: 1). أي بالطهر في غير
جماع
“Kedudukan suci menempati
kedudukan kehamilan. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman: ‘Maka hendaklah
kalian menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang
wajar)’ (QS. Ath-Thalaq: 1). Yaitu: dalam keadaan suci sebelum dicampuri” (lihat
Tafsiir Ath-Thabari, 23/432).
(12) Mughnil-Muhtaj oleh
Asy-Syarbiiniy 1/293, Kasysyaaful-Qinaa’ oleh Al-Bahuutiy 1/202, Al-Mughniy
oleh Ibnu Qudaamah 1/362, Hasyiyyah Al-‘Adawiy Ma’a Haasyiyyah Al-Khurasyiy 1/209.
(13) Al-Hidaayah ma’a
Syarh Fathil-Qadiir oleh Al-Marghinaaniy 1/186.
Posting Komentar untuk "Darah yang Keluar Sehari atau Dua Hari Menjelang Kelahiran Apakah Tetap Mewajibkan Wanita Shalat?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.