Benarkah Wahabi Salafi Haramkan Ziarah Kubur Bagi Wanita?
Tanya:
Benarkah Wahabi telah mengeluarkan fatwa aneh yang mengharamkan ziarah kubur
bagi wanita?
Jawab: Pertanyaan yang Anda
sampaikan mengandung beberapa kekeliruan, di antaranya (dan sekaligus menjawab
pertanyaan):
1. Pengharaman ziarah
kubur bagi wanita bukan merupakan fatwa aneh. Fatwa tersebut merupakan bagian
dari ijtihad para ulama madzhab yang masuk dalam perselisihan mu’tabar di
kalangan mereka. Berikut penjelasan singkat perselisihan pendapat tentang hukum
ziarah kubur bagi wanita di kalangan ulama madzhab beserta dalil-dalilnya:
a. Diperbolehkan.
Pendapat ini merupakan
pendapat jumhur yang dipegang oleh madzhab Hanafiyyah, sebagian ulama madzhab
Maalikiyyah, pendapat paling shahih dari madzhab Syaafi’iyyah dengan
persyaratan aman dari fitnah, dan satu riwayat dari madzhab Hanaabilah.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm rahimahumullah (Raddul-Mukhtar
2/242, Mawaahibul-Jaliil 2/237, Al-Majmuu’ 5/310-311, Al-Mubdi’ 2/284, dan
Al-Muhallaa 3/388).
Mereka membawakan
beberapa dalil, di antaranya:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ،
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ،
قَالُوا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ
بْنُ مُرَّةَ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا.....
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair, dan Muhammad bin Al-Mutsannaa – lafadh hadits ini adalah milik Abu Bakr dan Ibnu Numair - , mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Abu Sinaan Dliraar bin Murrah, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang) berziarahlah kalian.....” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 977).
Hadits ini menunjukkan larangan ziarah kubur
telah dihapus. Penghapusan larangan tersebut berlaku pada laki-laki dan wanita, tanpa
perkecualian.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أَنْبَأَ أَبُو الْمُثَنَّى
مُعَاذُ بْنُ الْمُثَنَّى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْمِنْهَالِ الضَّرِيرُ، ثنا
يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، ثنا بِسْطَامُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ
يَزِيدَ بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، أَنَّ
عَائِشَةَ أَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّ
الْمُؤْمِنِينَ، مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ؟، قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ؟، قَالَتْ:
نَعَمْ، كَانَ قَدْ نَهَى، ثُمَّ أُمرَ بِزِيَارَتِهَا
"
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr
Muhammad bin Ishaaq Al-Faqiih: Telah memberitakan Abul-Mutsannaa Mu’aadz bin
Al-Mutsannaa: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Minhaal
Adl-Dlariir: Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’: Telah
menceritakan kepada kami Bisthaam bin Muslim, dari Abut-Tayyaah Yaziid bin Humaid,
dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah: Bahwasannya pada suatu hari ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa pernah mendatangi kuburan. Aku (Ibnu Abi Mulaikah)
bertanya kepadanya: “Wahai Ummul-Mukminiin, darimanakah engkau datang?”. ia
menjawab: “dari kubur saudaraku, ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr”. Aku berkata
padanya: “Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah
kubur?”. Ia menjawab: “Benar, dulu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
menziarahinya” (Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 1/376; shahih).
Hadits ini menjadi
penguat dalil sebelumnya tentang mansuukh-nya larang ziarah kubur bagi
laki-laki dan wanita. Hal itu sangat jelas dalam perkataan ‘Aaisyah: ‘Benar,
dulu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kemudian beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menziarahinya’.
b. Diharamkan.
Pendapat ini adalah
merupakan satu pendapat dalam madzhab Maalikiyyah, satu pendapat syaadz dalam
madzhab Syaafi’iyyah(1), dan satu riwayat dalam madzhab Hanaabilah. Pendapat
inilah yang dipilih oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah (Raddul-Mukhtaar
2/242, Mawaahibul-Jaliil 2/237, Al-Majmuu’ 5/310, dan Al-Inshaaf 2/561).
Dalil paling kuat yang
mereka jadikan sandaran adalah:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَتِ الْقُبُورِ
".
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah: Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari ‘Umar bin Abi Salamah, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melaknat para wanita yang sering berziarah kubur (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 1056; dan ia berkata: “Hadits hasan shahih”).(2)
Dalam beberapa jalan riwayat lafadh zawwaaraat
(زَوَّارَت) dituliskan dengan zuwwaaraat (زُوَّارَت). Zuwwaaraat menurut sebagaian ulama
maknanya wanita yang berziarah kubur. Mereka berkata:
الدائر على
الألسنة ضم الزاي من زوارات, جمعه زُوار جمع زَائرة سماعاً, وزائر قياساً. وقيل
زُوارات للمبالغة فلا يقتضي وقوع اللعن على وقوع الزيارة إلا نادراً. ونوزع بأنه
إنما قابل المقابلة بجميع القبور, ومن ثم جاء في رواية أبي داود زائرات بلا مبالغة
“Yang beredar di lisan-lisan adalah dengan
mendlammahkan huruf zaay (ز) dari kata zuwwaaraat
(زوارات). Bentuk jamaknya zaairah (زَائرة) secara simaa’iy, dan zaair (زائر) secara qiyaasiy. Dan dikatakan bahwa
zuwwaarat adalah untuk makna mubaalaghah sehingga laknat tersebut tidak
mengenai wanita yang berziarah kubur namun tidak sering (jarang). Dan kita dapat
membantahnya bahwasannya laknat tersebut menimpa semua wanita yang berziarah
kubur. Oleh karena itu, dalam riwayat Abu Daawud dibawakan dengan lafadh
zaairaat (زائرات) tanpa
mubaalaghah” (Juz’un fii Ziyaaratin-Nisaa’ lil-Qubuur oleh Bakr Abu Zaid).
c. Dimakruhkan tanpa
pengharaman.
Pendapat ini dipegang
oleh madzhab Syaafi’iyyah dan yang masyhur dalam madzhab Hanaabilah (Mughnil-Muhtaaj
2/57 dan Al-Inshaaf 2/561).
Mereka berusaha
mengkompromikan antara dalil yang membolehkan dan melarang dengan menilai
pelarangan yang ada dalam hadits tidak bermakna haram, namun makruh saja. Selain itu mereka juga membawakan dalil:
حَدَّثَنَا
قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ
أُمِّ الْهُذَيْلِ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ:
نُهِينَا عَنْ إتباع الجنائز وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
Telah menceritakan kepada kami Qabiishah:
Telah menceritakan kepada Sufyaan, dari Khaalid bin Hadzdzaa’, dari
Ummul-Hudzail, dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata: “Kami
dilarang untuk mengikuti jenazah (hingga kuburan), namun hal itu tidak
ditekankan kepada kami” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1277).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قوله ولم يعزم
علينا أي ولم يؤكد علينا في المنع كما أكد علينا في غيره من المنهيات فكأنها قالت
كره لنا أتباع الجنائز من غير تحريم وقال القرطبي ظاهر سياق أم عطية أن النهي نهي
تنزيه وبه قال جمهور أهل العلم
“Perkataannya: ‘namun hal
itu tidak ditekankan kepada kami’; yaitu tidak dikuatkan larangan itu kepada
kami sebagai dikuatkannya kepada kami dalam hal larangan-larangan yang lainnya.
Dan seakan-akan ia (Ummu ‘Athiyyah) berkata: Dimakruhkan kepada kami untuk
mengikuti jenazah, tanpa keharaman. Al-Qurthubiy berkata: ‘Dhahir redaksi
perkataan Ummu ‘Athiyyah bahwa larangan tersebut merupakan larangan yang
bermakna tanziih. Pendapat itulah yang dikatakan jumhur ulama” (Fathul-Baariy,
3/145).
Setelah mengetahui
perselisihan di atas, tepatkah salah satu di antara tiga pendapat tersebut kita
anggap sebagai pendapat/fatwa yang aneh karena – barangkali – bertentangan
dengan perajihan yang kita ambil?
Bahkan An-Nawawiy
rahimahullah – salah satu pembesar ulama madzhab Syaafi’iyyah – menerangkan
perselisihan pendapat yang ada dalam madzhabnya:
وَفِيهِ: دَلِيل
لِمَنْ جَوَّزَ لِلنِّسَاءِ زِيَارَة الْقُبُور , وَفِيهَا خِلَاف لِلْعُلَمَاءِ
وَهِيَ ثَلَاثَة أَوْجُه لِأَصْحَابِنَا: أَحَدهَا: تَحْرِيمهَا عَلَيْهِنَّ
لِحَدِيثِ: " لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور " وَالثَّانِي:
يُكْرَه . وَالثَّالِث: يُبَاح , وَيُسْتَدَلّ لَهُ بِهَذَا الْحَدِيث وَبِحَدِيثِ
" كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَة الْقُبُور فَزُورُوهَا "......
“Dalam hadits ini
terdapat dalil bagi orang yang membolehkan wanita berziarah kubur. Dan dalam
permasalahan ziarah kubur ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama,
dimana ada tiga sisi pendapat yang beredar di kalangan shahabat-shahabat kami
(ulama madzhab Asy-Syaafi’iyyah). Pertama, mengharamkannya berdasarkan hadits:
‘Allah melarang para wanita yang sering berziarah kubur’. Kedua,
memakruhkannya. Ketiga, membolehkannya denga berdalil dengan hadits (dalam bab)
ini dan hadits: ‘Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. (Sekarang)
berziarahlah......” (Syarh Shahiih Muslim, 2/683).
2. Terkait dengan nomor 1
di atas, fatwa pengharaman ziarah kubur bagi wanita bukanlah baru dikatakan
oleh ‘Wahabi’, akan tetapi ratusan tahun sebelum ‘Wahabi’ lahir.(3)
3. Tidak semua ulama
‘Wahabi’ mengikuti pendapat yang mengharamkan wanita berziarah kubur. Mereka
berbeda pendapat sebagaimana para ulama sebelum mereka telah berbeda pendapat,
karena mereka tidak terbelenggu dengan kejumudan, ketaqlidan, dan kefanatikan.
Di antara ulama ‘Wahabi’ yang mengikuti pendapat pengharaman adalah mayoritas
ulama Saudi. Adapun ulama yang berlainan pendapat dengan mereka adalah
Asy-Syaikh Al-Albaaniy(4) dan mayoritas murid-muridnya.
Jika demikian, bagaimana
bisa dimutlakkan perkataan bahwa ‘Wahabi’ mengharamkan ziarah kubur bagi wanita?
Di sini, kami lebih
mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan wanita berziarah kubur - selama
aman dari fitnah – karena dalil-dalil yang ada sangat jelas menunjukkan
kebolehannya. Bahkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah dengan tegas
memerintahkan secara umum – baik laki-laki maupun wanita – untuk berziarah kubur
(lihat hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa).
Adapun larangan yang
terdapat dalam hadits laknat, maka para ulama memahaminya:
a. Berlaku sebelum
penghapusan hukum.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ رَأَى
بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يُرَخِّصَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَلَمَّا رَخَّصَ
دَخَلَ فِي رُخْصَتِهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا
كُرِهَ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلنِّسَاءِ لِقِلَّةِ صَبْرِهِنَّ وَكَثْرَةِ
جَزَعِهِنّ
“Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan
dalam hadits ini sebelum diberikannya rukhshah (keringanan) oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ziarah kubur. Namun ketika beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah, maka masuk dalam rukhshah
tersebut laki-laki dan wanita. Sebagian ulama lain berkata: Dimakruhkannya
ziarah kubur bagi wanita hanyalah karena sedikitnya kesabaran mereka dan
banyaknya keluh-kesah mereka” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1056).
b. Berlaku untuk wanita
yang sering berziarah kubur.
Ini sesuai dengan lafadh
yang dibawakan pada sebagian riwayat dengan zawwaaraat yang bermakna
mubalaghah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قال القرطبي هذا
اللعن إنما هو للمكثرات من الزيارة لما تقتضيه الصفة من المبالغة ولعل السبب ما
يفضي إليه ذلك من تضييع حق الزوج والتبرج وما ينشأ منهن من الصياح ونحو ذلك فقد
يقال إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لأن تذكر الموت يحتاج إليه الرجال
والنساء
“Al-Qurthubiy berkata: Laknat ini hanyalah
berlaku untuk wanita yang sering berziarah kubur, sesuai dengan konsekuensi
shighah mubalaghah dalam hadits. Dan barangkali yang menyebabkan hal tersebut
adalah adanya penyia-nyiaan hak suami, tabarruj, ratapan, dan yang lainnya. Dan
dikatakan juga: Apabila telah aman dari semua hal tersebut, maka tidak ada
halangan diijinkannya ziarah kubur, karena mengingat kematian itu dibutuhkan
oleh laki-laki dan wanita” (Fathul-Baariy, 3/149).
Catatan: Lafadh zaairah (زَائِرَات) (= wanita yang berziarah kubur) dalam
sebagian jalan riwayat, maka dla’iif (lihat: Irwaaul-Ghaliil, no. 761).
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Diantara ulama madzhab Syaafi’iyyah yang
berpendapat haramnya ziarah kubur bagi wanita adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy
rahimahullah. Beliau berkata:
الكبيرة الحادية
والثانية والثالثة والعشرون بعد المائة اتخاذ المساجد أو السرج على القبور وزيارة
النساء لها، وتشييعهن الجنائز
“Dosa besar ke-121, 122, dan 123 adalah
menjadikan kubur sebagai masjid, menyalakan lampu/pelita di atas kubur dan
ziarahnya wanita ke kuburan, dan para wanita yang mengiringi jenazah....” (Az-Zawaajir
oleh Ibnu Hajar Al-Haitsamiy, bisa dibaca di sini).
(2) Diriwayatkan pula oleh Ahmad 2/337, Ibnu
Maajah no. 1576, Abu Ya’laa no. 5908, Ath-Thayaalisiy no. 2478, Al-‘Uqailiy
dalam Al-Kaamil 6/81, Al-Baihaqiy 4/77, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
3/234, dan Ibnu Syaahim dalam Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu no. 304;
semuanya berasal dari jalan Abu ‘Awaanah, dari ‘Umar bin Abi Salamah, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’.
Sanad riwayat ini lemah
dikarenakan ‘Umar bin Abi Salamah.
‘Umar bin Abi Salamah bin
‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy Al-Qaadliy; seorang
yang shaduuq, namun banyak salahnya (yukhthi’). Termasuk thabaqah ke-6, dan
wafat tahun 132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 720 no.
4944).
Abu Hurairah mempunyai
syawaahid dari:
a. Hassaan bin Tsaabit
Al-Khazrajiy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ahmad
no. 3/442, Ibnu Maajah no. 1574, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Musnad no. 617,
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa no. 3591-3592, Ibnu Abi ‘Aashim dalam
Al-Ahaadul-Matsaaniy no. 2071, Ibnul-‘Arabiy dalam Mu’jam-nya no. 1633,
Al-Haakim 1/374, Al-Baihaqiy 4/78, As-Sariy bin Yahyaa dalam Hadiits-nya no.
13, Ibnu Syaahin dalam Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu no. 306, Ibnu Qaani’
dalam Mu’jamush-Shahaabah no. 410, Ibnul-Atsiir dalam Usdul-Ghaabah 2/9, dan
Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 17/65; semuanya dari jalan Sufyaan
(Ats-Tsauriy), dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari ‘Abdurrahmaan
bin Bahmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Hassaan bin Tsaabit, dari ayahnya secara
marfuu’.
Sanad riwayat ini lemah
dengan sebab ‘Abdurrahmaan bin Bahmaan.
‘Abdurrahmaan bin Bahmaan
Al-Hijaaziy Al-Madaniy; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai
oleh Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 572 no. 3841).
b. Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Maajah no. 1575, Ath-Thayaalisiy no. 2856, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
3/232, dan Ibnu Syaahin dalam Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhuhu no. 305;
semuanya dari jalan Muhammad bin Juhaadah, dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa secara marfuu’.
Sanad riwayat ini lemah
dengan sebab Abu Shaalih, namanya adalah: Baadzaam.
سَأَلْتُ أَبِي
عَنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو صَالِحٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ
زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ. قُلْتُ لِأَبِي: مَنْ أَبُو صَالِحٍ هَذَا؟ قَالَ أَبِي:
أَبُو صَالِحٍ بَاذَامٌ
“Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang
hadits Muhammad bin Juhaadah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu
Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melaknat wanita yang sering berziarah ke kubur’. Aku bertanya kepada
ayahku: ‘Siapakah Abu Shaalih ini?’. Ia menjawab: ‘Abu Shaalih adalah Baadzaam”
(Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-‘Ilal, no. 1946).
Baadzaam atau Baadzaan, Abu Shaalih maulaa
Ummu Haani’ binti Abi Thaalib; seorang yang dla’iif lagi mudallis. Termasuk
thabaqah ke-3. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 163 no. 639).
Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata bahwa ia
tidak pernah mendengar riwayat dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
c. Mursal ‘Ikrimah maulaa Ibnu ‘Abbaas
rahimahullah.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 6704 dari
jalan Ma’mar, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah.
Selain mursal, sanad riwayat ini lemah karena
periwayatan Ma’mar dari penduduk Bashrah diperbincangkan sebagian muhadditsiin,
dan Ayyuub termasuk ulama penduduk Bashrah.
Secara keseluruhan, riwayat ini shahih
sebagaimana dishahihkan oleh At-Tirmidziy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albaaniy
rahimahullah menshahihkannya dalam Irwaaul-Ghaliil 3/232-233 no. 774.
(3) Ini adalah satu tanda membabi-butanya
kebencian mereka terhadap dakwah Ahlus-Sunnah, Salafiyyah. Mereka telah kehilangan
cita rasa kritikan, sehingga kritikan mereka terasa hambar, tak berkualitas.
Akibatnya, pendapat-pendapat yang bertentangan dengan madzhab mereka dan
kebetulan dipegang oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, Ibnu Baaz,
Al-Albaaniy, atau yang semisalnya; diklaim sebagai pendapat Wahabiy – meskipun
pendapat itu masyhur di kalangan fuqahaa dan ahli hadits sebelum mereka.
(4) Beliau rahimahullah
memegang pendapat bahwa keharaman tersebut adalah bagi wanita yang sering
berziarah kubur dengan memegang redaksi hadits zuwwaaratil-qubuur.
Posting Komentar untuk "Benarkah Wahabi Salafi Haramkan Ziarah Kubur Bagi Wanita?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.