Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meninjau Secara Adil Istilah Bid’ah Hasanah

Baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Hati-hatilah kalian terhadap perkara baru, sebab setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat."

I. Definisi Bid’ah

a. Secara Bahasa

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Al-Mu’jâm al-Wasîth, vol. 1, h. 43)

b. Secara syari’at

Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid’ah secara syariat:

1. Ulama yang berpendapat bahwa setiap kata bid’ah berkonotasi negatif dan tidak ada yang hasanah.

Sekalipun dalam segi bahasa suatu perbuatan bidah, namun tidak menyelisi syariat maka mereka mengatakan perbuatan ini tidak boleh disebut bid’ah.

Di antara yang memotori pendapat ini adalah Imam Ibnu Rajab Al Hambali (wafat th. 795 H) dan Imam Asy syatibi (w. th 790 H).

Imam Ibnu Rajab menjelaskan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu bid’ah menurut bahasa. (lih. Jami’ Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)

Sedang Imam al-Syâtibî dalam al-I’tishâm mendifinisikan bahwa bid’ah adalah ungkapan untuk suatu metode dalam agama yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at, yang ketika melakukannya diniatkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al- Syatibi, al-I’tishâm, vol. 1, h. 26).

Ulama-ulama yang mengikuti kelompok (baca: pendapat) pertama ini menyebut perkara baru yang tidak ada contoh dari Baginda Nabi tapi tidak menyelisihi syariat dan memiliki kebaikan seperti pembuatan disiplin ilmu nahwu, sharaf, balaghah, tajwid, pendirian madrasah dll sebagai MASLAHAH MURSALAH. Dan kaidah ini sebenarnya diambil dari salah satu kaidah ushul fiqh "Wasaailul Umuuri kal Maqoshidi".

2. Ulama yang berpendapat ada bid’ah hasanah. Dan yang paling masyhur berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi'i rahimahullah salah seorang Ulama yang sudah mencapai derajat mujtahid mutlak dan disepakati keimamannya (Beliau wafat th. 204 H)

Imam Asy syafi’I mendefinisikan bidah:

اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ، أَحَدُهُمَا مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ

وَالثَّانِي مَا أُحْدِثَ مِنَ اْلخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ،

"Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al- Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorang pun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela…." (dinukil al-Baihaqi dalam Manaqib As-Syafi’i 1/469 dan Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)

Pendapat Beliau ini diikuti beberapa ulama yang mereka diakui kelimuan dan keimamannya.

Di antaranya Imam Al Baihaqi, Imam Al Izz bin Abdussalam (bahkan Beliau membagi bidah menjadi lima: 1. Bid’ah wajib.2. Bid’ah haram 3. Bidah sunah 4. Bid’ah makruh 5. Bid’ah mubah), Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar al asqalani, Imam Asy Suyuthi, Imam As Sakhawi, Imam Al Alusi, Imam Shan’ani dan lainnya.

II. Dalil Masing-Masing Kelompok

1. Kelompok pertama berdalil bahwa hadits tersebut jelas dan lugas. Dan kata كل (setiap) mengindikasikan bahwa SEMUA bid'ah dalam agama adalah sesat, berbeda dengan bid'ah dalam perkara wasaail / wasilah maka kembali  kepada kaidah "wasaailul umuuri kal maqoshidi".

2. Dalil kelompok kedua:

- Ketika memahami suatu dalil maka dikumpulkan semua dalil yang berhubungan sebelum beristinbtah (menyimpulkan) penentuan suatu hukum.

Dan ternyata ada beberapa hadits yang sama tema dengan hadits kullu bid’ah ini. Yakni hadits:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam, maka ia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikit pun" (HR. Muslim)

Dan juga atsar dari Umar bin Khattab ketika mengumpulkan shalat tarawih berjamaah di bawah satu imam. Beliau berkata:

نِعْمَت الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baiknya bidah adalah ini" (HR. Bukhari)

Ketika melihat dalil-dalil yang terlihat kontradiksi ini, maka para ulama pada pendapat kedua ini  menempuh metode al jam’u wat taufik (mengambil semua dalil yang terlihat zahirnya kontradiksi) karena secara pemahaman masih bisa difahami dan dikompromi.

*Imam Nawawi (Wafat, 676 H) berkata:

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ

“Hadits كل بدعة ضلالة, lafadz kullu dalam hadits ini adalah lafadz umum yang dikhususkan(dibatasi jangkauannya). yaitu maksudnya sebagian besar bid’ah (bukan SEMUA)" (Al-Minhaj syarh shohih Muslim bin al-Hajaj (6/154)

Begitu juga hadits:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam, maka ia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikit pun" (HR. Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan mengenai hadits ini:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَخْصِيصُ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "، وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَع الْمَذْمُومَةُ

“Hadits ini mengkhususan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, “Setiap hal baru adalah Bid'ah dan setiap Bid'ah adalah sesat." Bahwasanya yang dimaksud (bidah sesat) adalah hal baru yang batil dan bidah yang tercela."

*Syaikh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih mengatakan:

) وَكُلُّ بِدْعَةٍ ( بِالرَّفْعِ وَقِيْلَ بِالنَّصْبِ ( ضَلَالَةٌ ): قَالَ فِيْ " الْأَزْهَارِ " ، أَيْ: كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِّئَةٍ ضَلَالَةٌ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ: " مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا

“(Dan setiap bidah) dibaca Rofa ada yang mengatakan Nashob (adalah sesat) berkata di dalam kitab Al Azhar bahwa maksudnya, Setiap bidah yang buruk (bukan yang hasanah). Ini berdasarkan hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, “Barangsiapa yang menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakanya."

*Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H) berkata:

“yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam; “setiap bid’ah adalah sesat" adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus" (Fathu al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/254)

- Makna Kullu (setiap): apakah maksudnya semua atau hanya Sebagian?

kelompok pertama mengatakan kullu artinya semua.

kelompok kedua mengatakan makna kullu dalam hadits tersebut adalah sebagian.

Kullu dengan makna sebagian bukanlah mengada-ada. Di dalam bahasa Arab kata kullu tidak selalu bermakna “semua". Terkadang kullu juga bermakna sebagian.

Imam Fairuz Abadi dalam kitabnya Qomus al Mukhith mengatakan:

الكُلُّ، بِالضَّمِّ اسْمٌ لِجَمِيْعِ الْأَجْزاءِ، لِلذَّكَرِ والْأُنْثَى، أَوْ يُقَالُ كُلُّ رَجُلٍ، وَكُلَّةُ امْرَأَةٍ، وَكُلُّهُنَّ مُنْطَلِقٌ وَمُنْطَلِقَةٌ، وَقَدْ جَاءَ بِمَعْنَى بَعْضٍ

“Kullu dengan dhomah, adalah nama untuk semua bagian. Baik bagi kata mudzakkar atau muannats. Ada pula yang mengatakan kullu rojul (setiap laki2) كُلُّ di sini untuk mudzakkar dan bagi muannats pakai كُلَّةُ kullatu imroatin. (dikatakan) Kulluhunna muntholiq atau muntholiqoh. Dan terkadang kata kullu maknanya sebagian."

Al Murtadho Az Zabidi dalam Kamusnya Tajul `Arus mengatakan:

قَالَ ابْنُ الْأَثِيْرِ: مَوْضِعُ كُلٍّ اَلْإِحَاطَةُ بِالْجَمِيْعِ وَقَدْ جَاءَ اسْتِعْمَالُهُ بِمَعْنَى بَعْضٍ وَعَلَيْهِ حُمِلَ قَوْلُ عُثْمَانَ رضي الله عنه حِيْنَ دُخِلَ عَلَيْهِ فَقِيْلَ لَهُ: أَبِأَمْرِكَ هَذَا ؟ فَقَالَ: كُلُّ ذَلِكَ – أَيْ بَعْضُهُ – عَنْ أَمْرِيْ وَبَعْضُهُ بِغَيْرِ أَمْرِيْ

“Berkata Ibnu Atsir, (tema) kata kullu adalah makna yang mencakup keseluruhan. Namun penggunaannya juga bisa bermakna sebagian. Atas makna ini dibawa pemahan ucapan Utsman radhiallahu 'anhu Ketika beliau didatangi seseorang kemudian ditanya, “Apakah ini perintahmu?" Beliau menjawab, “Kullu (sebagian) itu adalah perintahku dan sebagiannya bukan perintahku."

Para ulama yang berpendapat lafadz kullu artinya SEBAGIAN ini memiliki BANYAK SEKALI DALIL baik dari Al Quran maupun Sunnah.

Contoh lafadz Kullu (كل) yang memiliki makna sebagian dalam Al Quran:

a. Surat al-Ahqof ayat 25 tentang hancurnya segala sesuatu lantaran tiupan angin, yaitu:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

“Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa." (QS. al-Ahqof: 25)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa segala sesuatu ( ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ )" segala sesuatu dihancurkan oleh tiupan angin, namun ternyata bekas rumah-rumah mereka yang tidak berdosa tidak ikut hancur. Ini menunjukkan tidak semua kata kullu (ﻛُﻞَّ ) itu selalu berarti “semua“.

b. Surat al-Anbiya ayat 30 tentang tidak semua benda yang ada di bumi ini, terbuat dari Air, yaitu:

ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ ﺣَﻲ

 “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air." (QS. al-Anbiya: 30) .

Kata “segala sesuatu" ( ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ ) pada ayat ini tidak bisa diartikan “segala sesuatu tercipta dari air," tetapi harus diartikan “sebagian dari sesuatu ( ﺑَﻌْﺾُ ﺷَﻴْﺊٍ ) tercipta dari air."

Karena terbukti ada benda-benda lain yang diciptakan Allah bukan dari air, misalnya pada ayat:

ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟْﺠَﺂﻥَّ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺭِﺝٍ ﻣِﻦْ ﻧَﺎﺭٍ

“Dan Dia Menciptakan Jin dari api tanpa asap." (QS. ar-Rohman: 15)

Dan juga terdapat hadits shahih malaikat diciptakan dari cahaya.

c. Surat an-Naml ayat 23 tentang Ratu Bilqis yang diberikan ( مِنْ كُلِّ شَيْء)

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

 “sungguh aku dapati ada seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan dia diberikan segala sesuatu dan mempunyai singgasana yang besar." (QS. an-Naml: 23)

Lafadz ( ﻛُﻞَّ ﺷَﻴْﺊٍ ) pada ayat ini tidak bisa diartikan segala sesuatu karena realitanya Ratu Bilqis tidak diberikan segala sesuatu.

Ratu Bilqis tidak mempunyai apa yang dimiliki Nabi Sulaiman, ini menunjukkan bahwa ia hanya diberikan sebagian saja bukan segala sesuatu.

d. QS. Al Kahfi 79

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا

 “Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa". (Al-Kahfi: 79).

Yang dimaksud dengan kapal dalam ayat di atas adalah kapal yang baik, kapal yang buruk tidak akan dirampas oleh raja.

Itulah faidah kenapa Khidir merusak kapal tersebut, kalau memang lafadz kullu dalam ayat ini artinya semua tentu Beliau menyarankan jangan lewat sana bukan malah merusak kapal.

Contoh Kata Kullu (كل) bermakna sebagian di dalam al-Hadits:

a. Hadits tentang semua mayit akan hancur dimakan bumi kecuali tulang ekor.

كُلُّ ابْنِ آدَمَ يَأْكُلُهُ التُّرَابُ إِلَّا عَجْبَ الذَّنَبِ مِنْهُ خُلِقَ وَفِيهِ يُرَكَّبُ

“Setiap (kebanyakan) keturunan Adam akan dimakan oleh tanah kecuali tulang ekornya darinya ia diciptakan dan dengannya dia akan disusun (kembali dalam kehidupan selanjutnya) kendaraan." (HR. Muslim, an-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Malik dalam Muwattho’nya)

Dalam hadits di atas lafadz (كل) bermakna kebanyakan bukan setiap atau semua karena ada di antara keturunan Nabi Adam as yang tidak dimakan oleh tanah diantaranya adalah para nabi dan rasul sesuai dengan hadits:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺃَﺟْﺴَﺎﺩَ ﺍﻟْﺄَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada bumi memakan jasad para nabi." (HR. Abu Dawud)

b. Hadits tentang setiap mata berzina. Nabi Shalallahu alaihi wassalam bersabda:

ﻛُﻞُّ ﻋَﻴْﻦٍ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔ

“Setiap Mata berzina." (HR Turmudzi, Ahmad, Ibnu Khuzaiman, Ibnu Hibban, Baihaqi, al Bazzar)

Lafadz ﻛُﻞُّ ﻋَﻴْﻦٍ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔ tidak bisa di artikan setiap mata berzina karena makna dari hadits ini, seperti yang dijelaskan Syeikh al Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, adalah: Setiap mata yang melihat wanita yang bukan mahrom ( ajnabiyah) dengan syahwat baru dihukumi berzina.

Maknanya adalah hanya mata yang melihat wanita bukan mahrom dengan syahwat yang dihukumi berzina ada pun mata yang melihat bukan atas dasar hal tersebut tidak dihukumi zina.

Hadits lain yang menguatkan pendapat ini adalah hadits mengenai Sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali yang berkata:

ﺳَﺄَﻟْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻋَﻦْ ﻧَﻈْﺮَﺓِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺄَﺓِ، ﻓَﺄَﻣَﺮَﻧِﻲْ ﺃَﻥْ ﺃَﺻْﺮِﻑَ ﺑَﺼَﺮِﻱْ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dari pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku." (HR. Muslim)

Al-Imam Nawawi berkata: "Makna pandangan tiba-tiba (tidak sengaja) adalah pandangan kepada wanita asing/bukan mahram (ajnabiyyah) tanpa sengaja, tidak ada dosa baginya pada awal pandangan, dan wajib untuk memalingkannya pada saat itu juga."

Bantahan dari kelompok 1 Dan Sanggahan dari kelompok ke 2

Masalah:

Sebagian orang bertanya, dalam riwayat lain disebutkan:

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Setiap hal baru adalah bidah, setiap bidah adalah sesat dan setiap kesesatan ada di neraka." (HR. Nasa’i)

Jika anda konsisten mengartikan kullu bidah dengan sebagian bidah, maka bagaimana dengan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam selanjutnya yang mengatakan kullu dholalah fin nar apakah anda artikan kullu di sini juga dengan sebagian sehingga artinya ada kesesatan yang baik?

Jawab:

telah dijelaskan bahwa kullu itu ada yang bermakna seluruh dan ada yang bermakna sebagian.

Tidak ada halangan untuk menjadikan kullu dalam lafadz kullu bidah bermakna sebagian karena adanya qorinah (indikasi) yang menunjukkan ke arah itu, dan kullu dalam lafadz kullu dholalah bermakna keseluruhan.

Mengumpulkan dua lafadz yang sama dengan makna berbeda bukan bentuk ketidak-konsistenan jika memang ada qorinahnya.

Bahkan itu adalah salah satu bentuk keindahan lafadz. Dalam ilmu Badi` (salah satu cabang ilmu Balaghoh) yang demikian itu disebut dengan istilah “Jinasut Tam".

Sebagai contoh, Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda:

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ

“Sesungguhnya (wajibnya) air adalah karena air." (HR. Muslim)

Di dalam hadits tersebut dikumpulkan dua kata ma-un (air) tapi makna keduanya berbeda. Yang pertama maknanya air untuk mandi sedangkan yang kedua maknanya air mani.

Makna hadits tersebut wajibnya mandi dengan air adalah karena keluar air mani.

Di dalam ayat al Quran juga disebutkan:

وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ

“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)." (QS. ar-Rum: 55)

Dalam ayat tersebut disebutkan kata Sa’ah dua kali. Yang pertama bermakna kiamat dan yang kedua bermakna sesaat.

Apakah anda akan katakan Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan Al-Quran tidak konsisten karena menyebutkan dua kata sama dengan makna yang berbeda dalam satu alur?

Orang yang memahami Balaghoh justru akan menganggap ini adalah keindahan dari bahasa Al Quran dan hadits yang dinamakan dengan Jinasut Tam.

Begitulah pula tidak ada halangan untuk mengartikan dua kata kullu dalam hadits bidah dengan dua makna berbeda. Sebab memang ada qorinah yang menunjukkan demikian yakni ucapan Sayidina Umar bin Khattab dan hadits man sanna sunnatan.

"Terlepas dari perbedaan pandangan terkait makna kullu, kami lebih condong pada bahwa yang dimaksud kullu bid'ah dalam hadist tersebut adalah bid'ah fiddiin (bid'ah dalam Agama atau syariat), adapun bid'ah yang berkaitan dengan wasaail (wasilah/sarana) seperti penulisan tajwid, kaidah nahwu, penandaan Al Qur'an, Pembangunan madrasah-madrasah, maka kembali pada kaidah asal "Wasaailul umuuri kal Maqoshidi" sebagaimana disebutkan Syaikh As Sa’di rahimahullah:

وَسَائِلُ الأُمُوْرِ كَالمَقَاصِدِ

وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ

Hukum perantara sama dengan hukum tujuan

Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya. (Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, tahun 1420 H)" (Admin)

Sisi Balaghah

Meskipun dalam hadits hanya dikatakan bidah namun yang dimaksud adalah bidah yang buruk dalam agama atau yang tidak sesuai dengan tuntunan al Quran dan sunah. Dalam Ilmu Balaghah yang demikian ini dinamakan:

حَذْفُ الصِّفَةِ عَنِ الْمَوْصُوْفِ

“Membuang sifat dari kata yang disifati".

Contoh penerapan hal ini ada di dalam al Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا

“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa". (Al-Kahfi: 79).

Yang dimaksud dengan kapal dalam ayat di atas adalah kapal yang baik, kapal yang buruk tidak akan dirampas oleh raja.

Namun di dalam ayat di atas hanya disebutkan kapal saja. Ini adalah bukti penerapan pembuangan sifat.

Jika kita bandingkan dalam ayat di atas disebutkan كل سفينة padahal yang dimaksud adalah setiap kapal yang bagus. Begitulah pula dalam hadits dikatakan كل بدعة padahal yang dimaksud adalah setiap bidah yang buruk. Dalam dua tempat itu ada sifat yang dibuang yang dapat diketahui melalui qorinah yang ada.

Wallahu’alam bish shawab.

Hamba Allah

Admin belum mengetahui siapa penulis artikel ini yang sebenarnya.

III. KESIMPULAN DARI ADMIN

- Berdasarkan pemaparan hujjah dari masing-masing kelompok yang disebutkan di atas, dan setelah mempelajari alur tulisan ini maka admin meyakini bahwa Penulis artikel ini lebih condong kepada pendapat kelompok kedua yang berpendapat adanya istilah bid’ah hasanah. "Dikarenakan taufik Allah Azza Wa Jalla dengan Izin-Nya Menjadikan kuatnya dalil mereka", ungkap penulis artikel diatas.

- "Tentunya bid’ah hasanah yang kami sampaikan ke ikhwah di KSB adalah perbuatan baru yang memang tidak ada contohnya dari zaman Baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam namun tidak menyelisihi syariat Beliau dan memiliki kebaikan dalam tinjauan syariat. Semisal membuat disiplin ilmu nahwu, sharaf, tajwid, penandaan Al Quran, Membuat sekolah, Membuat Pondok Pesantren, Membuat perangkat mengajar, menyusun Kurikulum dan lain-lain yang sejenisnya yang disebut oleh sebagian Asatidzah dengan istilah Maslahah Mursalah. Dan perbedaan istilah ini termasuk dalam khilafiyah mu’tabarah (diterima).", ungkap penulis artikel diatas.

- Admin menilai bahwa penulis artikel diatas belum menilai istilah bid'ah hasanah secara adil, namun justru penulis seolah-olah menjadikan tulisan diatas sebagai pembenaran dengan mengajak pola fikir pembaca agar supaya membenarkan apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin dari berbagai macam amalan bid'ah yang dianggap oleh mereka sebagai bid'ah hasanah. Allahu a'lam bisshowaab.

- Melihat fenomena yang terjadi maka kami (admin) memberi catatan disebabkan munculnya pendapat dari kelompok ke 2 (Lihat Catatan: *).

Catatan:

* "Adapun seperti Acara Tahlilan seperti yang biasa dilakukan masyarakat awam pada umumnya, Peringatan Maulid Nabi, Peringatan 1 hari 2 hari 3 hari dan seterusnya setelah kematian seseorang, Haul, Peringatan Isra' Mi'raj dll, maka ini merupakan bentuk kesalah pahaman dan kesalah penerapan makna bid'ah hasanah itu sendiri. Sehingga akibatnya dalam ritual-ritual yang kami sebutkan tersebut sering kita jumpai dibalut dengan sesuatu yang menyalahi syariat (contoh 1 , Contoh 2 , Contoh 3), bahkan tidak jarang pula kita jumpai disebabkan karena kesalah pahaman dan kesalah penerapan makna bid'ah hasanah yang telah dijelaskan oleh ulama terdahulu (Menurut kelompok ke 2) sehingga banyak orang bermudah-mudahan dalam membuat perkara-perkara baru dalam agama. Inilah sebenarnya permasalahan yang terjadi, bukan pada perbedaan pendapat tentang lafadz kullu atau perbedaan adanya bidah hasanah dan bidah sayyiah, akan tetapi terletak pada penerapan (bermudah-mudahan) yang sudah keluar dari koridor yang telah dimaksudkan dan dijelaskan oleh para ulama terdahulu." (Admin)

Posting Komentar untuk "Meninjau Secara Adil Istilah Bid’ah Hasanah"