Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Waktu Pelaksanaan Aqiqah atau Nasikah

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

1. Sebagian ulama membolehkan pelaksanaan sebelum hari ketujuh. Inilah pendapat jumhur ’ulamaa. Ibnul-Qayyim berkata:

والظاهر أن التقييد بذلك استحباب وإلا فلو ذبح عنه في الرابع أو الثامن أو العاشر أو ما بعده أجزأت والاعتبار بالذبح لا بيوم الطبخ والأكل

“Dhahirnya bahwa pengkaitan waktu penyembelihan hewan ’aqiqah pada hari ketujuh hukumnya adalah istihbaaab (disukai). Jika tidak dilakukan pada waktu itu, yaitu disembelih pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh, dan seterusnya; maka hal itu mencukupi (sah). Perhitungan (hari ’aqiqah) itu adalah hari penyembelihan, bukan hari dimana daging dimasak atau dimakan”.[1]

2. Sebagian ulama berpendapat bahwa ’aqiqah itu dilaksanakan pada hari ketujuh, namun jika tidak dilakukan (pada hari itu) maka boleh dilakukan pada hari ke-14 (empatbelas) atau ke-21 (duapuluh satu). Mereka berdalil dengan hadits:

العقيقة تذبح لسبع أو أربع عشرة أو أحد وعشرين

“(Hewan) ’aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh atau empatbelas atau duapuluh satu”.

Namun hadits ini adalah dla’if.[2]

3. Sebagian ulama berpendapat bahwa ’aqiqah itu boleh dilakukan setelah dewasa (yaitu ia mengaqiqahi dirinya sendiri) setelah ia mempunyai kemampuan (tidak dibatasi oleh hari-hari tertentu, walau mereka tetap berpendapat tentang sunnahnya hari ketujuh).

Ibnu Hazm berkata: “Hewan disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran dan sama sekali tidak boleh dilakukan sebelum hari ketujuh. Jika pada hari ketujuh ia belum menyembelih, maka ia menyembelih setelah itu kapan ia mampu (melaksanakannya) secara wajib”.[3]

Mereka berdalil dengan hadits:

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat menjadi nabi)”.

Hadits ini pun dla’if.[4]

4. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pelaksanaan ’aqiqah hanyalah pada hari ketujuh kelahiran.[5]

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

“Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama”.[6]

Di antara pendapat-pendapat yang tersebut di atas, maka yang rajih adalah pendapat terakhir yang menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ‘aqiqah itu hanyalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Inilah pendapat yang berkesesuaian dengan dalil shahih. Al-Haafidh berkata:

وقوله يذبح عنه يوم السابع تمسك به من قال أن العقيق مؤقته باليوم السابع وأن من ذبح قبله لم يقع الموقع وإنها تفوت بعده وهو قول مالك وقال أيضا أن مات قبل السابع سقطت العقيقة

“Dan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam: “disembelih darinya pada hari ketujuh kelahirannya”; adalah sebagai dalil bagi orang yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu pelaksanaannya adalah hari ketujuh. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum waktu itu, berarti ia tidak melaksanakan sebagaimana seharusnya. Dan bahwasannya ‘aqiqah itu gugur setelah lewat hari ketujuh. Ini adalah perkataan Malik. Ia (Malik) juga berkata: “Apabila seorang anak meninggal sebelum hari ketujuh, maka gugurlah syari’at ‘aqiqah tersebut”.[7]

‘Aqiqah adalah ibadah, dan ibadah itu telah ditentukan kaifiyat-kaifiyatnya (termasuk waktu pelaksanaannya). Tidak boleh seseorang menentukannya kecuali harus berdasarkan dalil.

Jenis Hewan untuk ‘Aqiqah

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pendapat tentang masyru’-nya kambing atau domba untuk ‘aqiqah. Boleh dari jenis jantan ataupun betina. Hal ini didasarkan oleh hadits:

عن أم كرز قالت سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم أذكرانا كن أم إناثا

Dari Ummu Kurz ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: “Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina”.[8]

Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau domba (misalnya: onta atau sapi).

1. Jumhur ulama membolehkannya.

Mereka berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya:

أن أنس بن مالك كان يعق عن بنيه الجزور

“Bahwasannya Anas bin Malik mengaqiqahi dua anaknya dengan onta”.[9]

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ولد له غلام فليعق عنه من الإبل أو البقر أو الغنم

Dari Anas bin Malik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa dikaruniai seorang anak laki-laki, hendaklah ia beraqiqah dengan onta, sapi, atau kambing”.

Namun atsar ini tidak shahih.[10]

Mereka (jumhur) juga beralasan bahwa makna syaatun (شاة) dalam bahasa Arab bisa bermakna domba, kambing, sapi, unta, kijang, dan keledai liar.

2. Sebagian ulama tidak membolehkannya, bahkan mereka menyatakan tidak sah ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba.

Dalil mereka adalah dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan di atas yang semuanya menyebut dengan istilah domba atau kambing. Selain itu, mereka juga berdalil dengan atsar berikut:

عن يوسف بن ماهك قال دخلت أنا وبن مليكة على حفصة بنت عبد الرحمن بن أبي بكر وولدت للمنذر بن الزبير غلاما فقلت هلا عققت جزورا على ابنك فقالت معاذ الله كانت عمتي عائشة تقول على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة

Dari Yusuf bin Maahik ia berkata: “Aku dan Ibnu Mulaikah masuk menemui Hafshah binti ’Abdirrahman bin Abi Bakr yang saat itu sedang melahirkan anak dari Mundzir bin Az-Zubair. Aku pun berkata: ’Mengapa engkau tidak menyembelih seekor onta untuk anakmu?’. Ia pun menjawab: ’Ma’aadzallah (aku berlindung kepada Allah)! Bibiku, yaitu ’Aisyah, pernah berkata: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.[11]

عن عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَرْدٍ الْمَكِّيُّ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ { نُفِسَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ فَقِيلَ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ عُقِّي عَنْهُ جَزُورًا فَقَالَتْ مَعَاذَ اللَّهِ وَلَكِنْ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ }

Dari ’Abdil-Jabbar bin Ward Al-Makkiy ia berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Ketika anak laki-laki ’Abdurrahman bin Abi Bakr lahir, ditanyakan kepada ’Aisyah: ’Wahai Ummul-Mukminin, apakah boleh seorang anak laki-laki di-’aqiqahi dengan seekor onta?’. ’Aisyah menjawab: ’Ma’aadzallah, akan tetapi sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam: ’Dua ekor kambing yang setara/sama’”.[12]

عن أم كرز وأبي كرز قالا نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا فقالت عائشة رضى الله تعالى عنها لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة

Dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata: “Telah bernadzar seorang wanita dari keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika istrinya melahirkan anak, mereka akan menyembelih seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata: “Jangan, bahkan yang disunnahkan itu lebih utama. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.[13]

Dari dua pendapat di atas, yang rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang menyatakan ketidakbolehan ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba. Walaupun telah shahih riwayat dari Anas radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia menyembelih onta, namun itu tidak dapat dipertentangkan dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu ’’alaihi wasallam yang semuanya menyebutkan atau membatasi pada jenis kambing atau domba saja. Apalagi telah shahih pengingkaran ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa tentang hal itu. ’Aqiqah merupakan satu bentuk ibadah yang dalam pelaksanaannya bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash). Termasuk di dalamnya adalah dalam penentuan jenisnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak beraqiqah dengan selain kambing/domba, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula memberikan taqrir (persetujuan) kepada para shahabat. Oleh karena itu, sunnah beliau shallallaau ’alaihi wasallam tidaklah bisa dibatalkan oleh ijtihad Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu. Wallaahu a’lam.

Adapun alasan bahwa secara bahasa syaatun itu bisa bermakna pada selain kambing, maka jawabannya: “Pada asalnya kata syaatun itu jika diucapkan secara mutlak, maka tidak ada makna lain kecuali kambing. Adapun makna selain kambing, maka ia adalah makna secara majazy yang hanya bisa dipakai jika ada qarinah (keterangan) yang menunjukkan pada makna tersebut. Oleh karena itu, Ibnul-Mandzur dalam Lisaanul-’Arab berkata: “Syaat adalah bentuk tunggal dari kambing, baik jantan maupun betina. Dikatakan: Syaat adalah domba, kambing, kijang, sapi, onta, dan keledai liar”.

Al-Hafidh berkata:

ويذكر الشاة والكبش على أنه يتعين الغنم للعقيقة.... وعندي أنه لا يجزئ غيرها

“Dan disebut asy-syaatun dan al-kabsyun adalah untuk menentukan jenis kambing untuk ‘aqiqah..... Dan menurutku, tidak boleh (untuk ’aqiqah) selain dari jenis kambing”.[14]

Jumlah Hewan ’Aqiqah untuk Anak Laki-Laki dan Perempuan

Sesuai dengan hadits-hadits yang telah disebutkan, ’aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.

Shiddiq Hasan Khan menukil kesepakatan bahwasannya ’aqiqah untuk anak perempuan adalah satu kambing.[15] Namun klaim ijma’ dari beliau ini perlu ditinjau kembali karena Ibnu ’Abdil-Barr mengatakan bahwa Al-Hasan dan Qatadah berpendapat bahwa anak perempuan tidak perlu di-’aqiqahi.[16] Pendapat yang ternukil dari Al-Hasan dan Qatadah ini tidak perlu untuk diperhatikan karena telah sah dalam banyak hadits bahwasannya anak perempuan pun disyari’atkan untuk di-’aqiqahi dengan satu ekor kambing.

Adapun untuk anak laki-laki, maka para ulama berbeda pendapat. Shiddiq Hasan Khan menjelaskan sebagai berikut: “Jumhur ulama mengatakan bahwa ’aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan dua ekor kambing. Imam Malik berkata: Satu ekor kambing.[17] Al-Mahalliy: ’Kesimpulannya, asal dari sunnah ’aqiqah untuk anak laki-laki adalah satu ekor kambing. Namun kesempurnaan dari sunnah tersebut, yaitu dua ekor kambing’”.[18]

Kami katakan, yang lebih tepat adalah dhahir pendapat jumhur ’ulamaa, yaitu yang disyari’atkan ’aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing. Ini adalah asal dari perintah sekaligus menunjukkan kesempurnaannya.

Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo

 



[1] Lihat Tuhfatul-Maudud hal. 44.

[2] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 723 dan Al-Baihaqi 9/303 no. 19293 dari jalan Isma’il bin Muslim (seorang perawi dla’if karena faktor hafalannya), dari Qatadah (mudallis, dimana dalam hadits ini ia meriwayatkan dengan ’an’anah), dari ’Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya secara marfu’.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan ’Atha’, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz. Dhahir sanad hadits ini adalah shahih, namun padanya terdapat dua ’illat, yaitu:

a. Terputusnya sanad antara ’Atha’ dan Ummu Kurz.

Ibnu Hajar berkata: “Berkata ’Ali bin Al-Madini: Abu ’Abdillah (’Atha’) melihat Ibnu ’Umar namun ia tidak mendengar haditsnya; dan ia melihat Abu Sa’id Al-Khudriy sedang thawaf di Ka’bah namun ia tidak mendengar haditsnya; dan ia tidak dari Zaid bin Khaalid, tidak pula dari Ummu Salamah, Ummu Hani’, dan Ummu Kurz” (Tahdzibut-Tahdzib 7/182).

b. Syadz

Abu Dawud, An-Nasa’i, dan yang lainnya meriwayatkan hadits yang menyebutkan adanya rawi antara ’Atha’ dan Ummu Kurz, yaitu ’Atha’, dari Habibah binti Maisarah, dari Ummu Kurz. Riwayat-riwayat ini tidak menyebutkan lafadh: “(Hewan) ’aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh atau empatbelas atau duapuluh satu”.

[3] Al-Muhalla 7/523.

[4] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 9/300 no. 19273 dari jalur ‘Abdurrazzaq, dan hadits ini diriwayatkan dalam Mushannaf-nya no. 7960; dari ’Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas radliyallaahu ’anhu. Al-Baihaqi menegaskan bahwa hadits ini munkar, kemudian beliau menyebutkan sanadnya dan berkata: “’Abdurrazzaq berkata: Para ulama tidak memakai riwayat dari ’Abdullah bin Muharrar dikarenakan kondisi hadits ini” (As-Sunan Al-Kubraa 9/300).

Al-Bazzar berkata: “Hadits ini hanya diriwayatkan melalui jalur ’Abdullah bin Muharrar dan ia adalah perawi yang sangat lemah” (Zawaaid no. 1237). ’Abdullah bin Muharrar adalah matrukul-hadiits sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daruquthni dan selainnya. Adapun Abusy-Syaikh meriwayatkan dari Isma’il bin Muslim. Dia adalah perawi lemah. Ibnu Hajar berkata mengenai hadits yang dibawakan Abusy-Syaikh: “Barangkali Isma’il mencuri hadits ini dari ’Abdullah bin Muharrar” (lihat Fathul-Baariy oleh Ibnu Hajar 9/595).

Selain itu, kelemahan hadits ini juga terletak pada ’an’anah dari Qatadah.

Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 994, Ath-Thahawi dalam Al-Musykil 1/461, dan yang lainnya dari jalan Al-Haitsam bin Jamil, dari ’Abdullah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu. Al-Hafidh mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat (hasan) karena ’Abdullah bin Al-Mutsanna merupakan rawi yang dicantumkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya.

Akan tetapi tahsin atas ’Abdullah bin Al-Mutsanna ini harus ditinjau kembali. Benar bahwasannya ia merupakan perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Akan tetapi hafalannya tidak kuat sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib (hal. 540 no. 3596 – Daarul-’Ashimah): “Shaduq, namun banyak keliru”. Yang menguatkan kekeliruannya dalam hadits ini adalah bahwa Ath-Thahawi dalam Al-Musykil meriwayatkan dari Al-Husain bin Nashr, diriwayatkan pula oleh Al-Khallal (dalam Al-Jaami’) dari Muhammad bin ’Auf; keduanya – yaitu Al-Husain dan Muhammad – dari Al-Haitsam, dari ’Abdullah bin Al-Mutsanna, dari seorang laki-laki dari keluarga Anas. Ia (’Abdullah bin Al-Mutsanna) tidak menyebutkan nama laki-laki dari keluarga Anas tersebut, kemudian ia menyebutkan hadits dengan sanad yang mursal. Ini merupakan ’illah qaadlihah (cacat yang merusak keshahihan hadits). An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmuu’ (8/431) bahwa hadits ini bathil.

Catatan: Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2726. Akan tetapi penghukuman beliau atas hadits ini perlu ditinjau kembali.

[5] Para ulama berbeda pendapat mengenai penentuan hari pertama, apakah hari kelahiran dihitung hari pertama? Sebagian ulama berpendapat bahwa hari kelahiran tidak dihitung sebagai hari pertama, kecuali jika anak tersebut lahir pada malam hari sebelum terbit fajar. Ternukil pendapat ini melalui lisan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (Lihat Tuhfatul-Maudud hal. 44.).

Adapun ulama lain berpendapat bahwa hari kelahiran terhitung sebagai hari pertama kelahiran, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla. Adapun yang rajih menurut kami adalah pendapat terakhir ini.

[6] Telah lewat takhrij-nya.

[7] Fathul-Baariy 9/594. Lihat pula At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 4/312.

Adapun perkataan Al-Imam Malik bin Anas, maka sebenarnya dalam hal ini ternukil dari beliau perkataan yang lain. Di tempat yang sama (Al-Fath 9/594), Ibnu Hajar menukil perkataan beliau tersebut: “Barangsiapa yang tidak sempat/bisa mengaqiqahi (anak) pada hari ketujuh yang pertama, maka hendaknya ia mengaqiqahi pada hari ketujuh yang kedua (yaitu hari keempatbelas)”.

[8] Diriwayatkan oleh Abi Dawud no. 2834-2835, At-Tirmidzi no. 1516, ‘Abdurrazzaq no. 7954, Ahmad 6/422, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/195.

[9] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 685 dan Ibnu Abi Syaibah 8/244 no. 24636 (Maktabah Ar-Rusyd; Cet. 1/1425, Riyadl). Asy-Syaikh Hamdiy bin ‘Abdil-Majid As-Salafy dalam takhrijnya atas riwayat Ath-Thabarani tersebut mengatakan: “Berkata (Al-Haitsami) dalam Al-Majma’ (4/59): ‘Rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih”.

[10] Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 229. Atsar ini palsu (maudlu’). Hadits ini mempunyai banyak cacat. Diantaranya, perawi yang bernama ’Abdul-Malik bin Ma’ruuf adalah majhul (tidak dikenal). Adapun Mas’adah bin Al-Yasa’, ia dikatakan oleh Adz-Dzahabi sebagai seorang yang haalik (celaka). Ia pun seorang rawi yang didustakan oleh Abu Dawud. Untuk keterangan selengkapnya, silakan lihat Irwaaul-Ghaliil 4/393-394 no. 1168.

[11] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 7956, At-Tirmidzi no. 1513, Ibnu Majah no. 3163 ; dan ini adalah lafadh ‘Abdurrazzaq. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: "Shahih sesuai dengan syarat Muslim. " (Irwaaul-Ghaliil 4/390).

[12] Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Al-Musykil 1/457 dan Al-Baihaqi 9/301 no. 19280. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya hasan, rijalnya adalah rijal Syaikhain, kecuali ‘Abdil-Jabbar. Tentang dia, Adz-Dzahabi dalam Adl-Dlu’afaa berkata: ‘Tsiqah’. Al-Bukhari berkata: ‘Diselisihi dalam sebagian haditsnya’. Al-Hafidh berkata dalam At-Taqrib: ‘Shaduq, kadang salah/tidak kuat" (Irwaaul-Ghaliil 4/390).

[13] Diriwayatkan oleh Al-Hakim no. 7595 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/528. Hadits ini sebenarnya dla’if (lihat kembali catatan kaki no. 22) karena adanya inqitha’ antara ‘Atha’ dengan Ummu Kurz. Akan tetapi hadits ini (yaitu khusus pada lafadh yang disebutkan di atas) menjadi terangkat dengan adanya syahid hadits sebelumnya.

[14] Fathul-Bariy 9/593.

[15] Sebagaimana dikatakan Shiddiq Hasan Khan:

وقد وقع الإجماع على أن العقيقة عن الأنثى شاة

“Telah terjadi ijma’ bahwasannya ‘aqiqah untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing”. (At-Ta’liqatur-Radliyyah fii Raudlatin-Nadiyyah lil-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, 3/145; Daar Ibni ‘Affan, Cet. 1/1423, Cairo).

[16] Ibnu ‘Abdil-Barr berkata:

انفرد الحسن وقتادة بقولهما إنه لا يعق عن الجارية بشيء وإنما يعق عن الغلام فقط بشاة وأظنهما ذهبا الى ظاهر حديث سلمان مع الغلام عقيقته والى ظاهر حديث سمرة الغلام مرتهن بعقيقته

“Al-Hasan dan Qatadah menyendiri dalam hal ini dengan perkataannya bahwa anak perempuan tidak perlu di-‘aqiqahi. Yang perlu di-‘aqiqahi adalah anak laki-laki dengan seekor kambing. Aku (yaitu Ibnu ‘Abdil-Barr – Abul-Jauzaa’) menyangka mereka berdua berpendapat demikian dengan dhahir hadits Salman: “Tiap anak laki-laki ada ‘aqiqahnya” dan juga dhahir hadits: “anak laki-laki tergadai dengan ‘aqiqahnya”. (At-Tamhiid, 4/317).

[17] Juga merupakan pendapat dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ’Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, dan Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Al-Hasan. Lihat juga beberapa tentang pendapat ini dalam Al-Mushannaf li-Ibni Abi Syaibah 8/238-240 no. 24612-24617 dan Al-Muwaththa’ no. 1842, 1845, 1846 (tahqiq: Dr. Muhammad Mushthafa Al-A’dhamiy; Muassasah Zayid, Cet. 1/1425).

[18] Lihat At-Ta’liqatur-Radliyyah fii Raudlatin-Nadiyyah lil-‘Allamah Shiddiq Hasan, 3/145.

Posting Komentar untuk "Waktu Pelaksanaan Aqiqah atau Nasikah"