Hukum Membunuh Orang Kafir Mu’ahid (Orang Kafir yang Terikat Perjanjian dengan Kaum Muslimin)
Larangan Keras Membunuh
Orang Kafir Mu’ahid (Orang Kafir yang Terikat Perjanjian dengan Kaum
Muslimin)
Didalam sebuah hadist
disebutkan:
عن عبد الله بن
عمرو رضي الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من قتل معاهدا لم يرح
رائحة الجنة، وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang
membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga
itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”.(1)
عن أبي بكرة
قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من قتل نفسا معاهدة بغير حلها حرم الله
تبارك وتعالى عليه الجنة لم يشم ريحها.
Dari Abu Bakrah, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang membunuh jiwa
seorang mu’ahid secara tidak halal, niscaya Allah tabaaraka wa ta’ala haramkan
baginya mencium bau surga”.(2)
عن رجل من أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من قتل رجلا من
أهل الذمة لم يجد ريح الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة سبعين عاما.
Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang membunuh seorang laki-laki dari kalangan ahludz-dzimmah, niscaya ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun”.(3)
عن أبي هريرة عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: ألا من قتل نفسا معاهدا له ذمة الله وذمة رسوله فقد
أخفر بذمة الله فلا يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة سبعين خريفا
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Ketahuilah, barangsiapa yang membunuh jiwa
seorang mu’ahid yang mendapat perlindungan Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia
telah melanggar perlindungan Allah dan niscya ia tidak akan mencium bau surga.
Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh
tahun”.(4)
Kandungan Bab:
a. Kerasnya pengharaman
membunuh mu’ahid dari kalangan musyrikin dan ahli dzimmah yang telah mendapat
jaminan keamanan dan perlindungan.
b. Wajib menunaikan dan
menetapi janji sampai pada batas akhir perjanjian dan haram hukumnya
berkhianat.
عن سليم بن عامر
رجل من حمير قال: كان بين معاوية وبين الروم عهد وكان يسير نحو بلادهم حتى إذا
انقضى العهد غزاهم فجاء رجل على فرس أو برذون وهو يقول الله أكبر الله أكبر وفاء
لا غدر فنظروا فإذا عمرو بن عبسة فأرسل إليه معاوية فسأله فقال سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول من كان بينه وبين قوم عهد فلا يشد عقدة ولا يحلها حتى ينقضي
أمدها أو ينبذ إليهم على سواء فرجع معاوية
Dari Saliim bin ‘Aamir,
seorang laki-laki dari suku Humair, ia berkata: “Mu’awiyyah pernah menandatangi
perjanjian dengan pasukan Romawi. Ia bergerak menuju negeri mereka hingga
apabila batas waktu perjanjian telah berakhir, ia menyerang mereka. Tiba-tiba
seorang anggota pasukan yang menunggang kendaraannya atau kudanya berseru:
‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, tepati perjanjian jangan lakukan pengkhianatan’.
Orang-orang pun memalingkan pandangannya kepada orang tersebut dan ternyata ia
adalah ‘Amr bin ‘Abasah. Mu’awiyyah mengutus seseorang kepadanya untuk
menanyakan perihal yang ia katakan. ‘Amr berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa mengikat perjanjian
dengan satu kaum, maka janganlah ia mengeratkan atau melonggarkan perjanjian
itu hingga berakhir masanya atau kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka
dengan cara yang jujur’.(5) Maka Mu’awiyyah pun kembali”.(6)
c. Al-Baghawiy berkata
dalam Syarhus-Sunnah 11/167:
وإن نقض أهل
الهدنة عهدهم، له أن يسير إليهم على غفلة منهم، كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم
بأهل مكة، وإن ظهرت منهم خيانة بأهل الإسلام، نبذ إليهم العهد، قال الله سبحانه
وتعالى: وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى
سَوَآءٍ (الأنفال: ٥٨).
“Sesungguhnya apabila
orang-orang yang terikat perjanjian itu melanggar perjanjian mereka, maka kaum
muslimin boleh menyerang mereka secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap
penduduk Makkah. Apabila mulai kelihatan pengkhianatan mereka terhadap kaum
muslimin, maka perjanjian itu dikembalikan kepada mereka. Allah subhaanahu wa
ta’ala berfirman: ‘Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian mereka dengan cara yang jujur’
(QS. Al-Anfaal: 58)”.
d. Termasuk hukum mu’ahid
adalah utusan atau delegasi kafir harbi. Ia berhak mendapatkan jaminan keamanan
hingga ia menyerahkan surat dan kembali pada kaumnya.
Al-Baghawiy berkata dalam
Syarhus-Sunnah 11/167:
ومن دخل إلينا
رسولا، فله الأمان حتى يؤدي الرسالة، ويرجع إلى مأمنه، قال النبي صلى الله عليه
وسلم لابن النواحة: ((لولا أنك رسول، لضربتُ عُنُقَك)).
“Dan siapa saja yang
masuk ke negeri kita (negeri kaum muslimin) sebagai seorang utusan, maka ia
berhak mendapat jaminan keamanan hingga ia menyampaikan surat dan kembali ke
tempatnya. Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Jika saja
engkau bukan seorang utusan, sungguh akan aku tebas lehermu”.(7)
e. Maksud penafian masuk
surga meskipun mutlak seperti yang disebutkan dalam beberapa hadits bab di atas
namun dibatasi, yaitu bukan untuk selama-lamanya. Karena dalil-dalil mutawatir
yang menyebutkan bahwa apabila seorang muslim mati meskipun ia melakukan
dosa-dosa besar, ia tidak akan kekal dalam neraka. Meskipun ia disiksa selama
beberapa masa dalam neraka, namun tempat kembalinya adalah surga. Itulah
pendapat yang shahih menurut kaidah salaf ahli hadits.
(Ensiklopedi Larangan
oleh Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, 2/524-527; Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet.
1/1426; dengan sedikit perubahan).
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
Footnote:
(1) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3166,
Ibnu Majah no. 2686, Ahmad 2/186, dan An-Nasa’iy no. 4750.
(2) Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy 8/25, Ahmad
5/36 & 38 & 46 & 50 & 52, Ibnu Hibban no. 4882, Al-Haakim 1/44,
dan Al-Baihaqiy 9/205 dari jalur Yunus bin ‘Ubaid, dari Al-Hakim bin Al-A’raj,
dari Asy’ats bin Tsurmalah, darinya.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya
shahih dan perawinya tsiqah”.
Ada jalur lain yang diriwayatkan oleh ‘Uyainah
bin ‘Abdirrahman bin Jausyan Al-Ghathafaniy, dari ayahnya, dari Abu Bakrah
secara marfu’ dengan lafadh: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid tidak pada
waktunya – yaitu tidak waktunya ia boleh dibunuh, yaitu berakhirnya masa
perjanjian atau apabila ia mengkhianati perjanjian tersebut - , maka Allah akan
haramkan baginya surga”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2760, An-Nasa’iy
8/24-25, Ahmad 5/36-38, Ad-Darimiy 2/235-236, Ath-Thayalisiy no. 879, Al-Haakim
2/142, dan Al-Baihaqiy 9/231 melalui beberapa jalur darinya.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya
shahih dan perawinya tsiqah”.
Ada jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Ahmad
5/46 & 50-51, Ibnu Hibban no. 4880, Al-Haakim 1/44, dan Al-Baihaqiy 8/133.
Secara keseluruhan hadits ini shahih.
(3) Hadits shahih. Diriwayatkan oleh
An-Nasa’iy 8/25 dan Ahmad 4/237 & 5/369 dari jalur Al-Qasim bin
Mukhaimirah, darinya.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya
shahih, kemajhulan seorang shahabat tidaklah merusak keshahihan hadits
sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Mushthalah Hadits”.
(4) Hadits shahih. Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi no. 1403, Ibnu Majah no. 2687, dan Al-Haakim 2/127 dari jalur
Ma’diy bin Sulaiman, dari Ibnu ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya
dla’if, karena di dalamnya terdapat Ma’diy bin Sulaiman. Ia adalah perawi
dla’if, meskipun ia seorang ahli ibadah, sehingga dikatakan bahwa ia termasuk
wali abdal”.
Akan tetapi ada jalur lain yang disebutkan
guru kami, yaitu Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 2356, diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ dalam Shifatul-Jannah
(3/86/2) melalui dua jalur dari ‘Isa bin Yunus, dari ‘Auf Al-A’rabiy, dari
Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah. Hanya saja beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bau surga tercium dari jarak seratus tahun”.
(5) Al-Baghawiy berkata
dalam Syarhus-Sunnah 11/166:
ومعنى قوله:
((أو ينبذ إليهم على سواء)) أي: يُعلمهم أنه يريد أن يغزوهم، وأن الصلح الذي كان
قد ارتفع، فيكون الفريقان في علم ذلك على سواء.
“Makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam: ‘atau kembalikanlah perjanjian itu pada mereka dengan cara yang jujur’,
yaitu: beritahukan kepada mereka bahwa ia hendak menyerang mereka. Bahwasannya
perjanjian yang telah disepakati dahulu telah berakhir. Jadi kedua belah pihak
sama-sama mengetahui hal tersebut”.
(6) Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 2759, At-Tirmidziy no. 1850, Ahmad 4/113 & 385-386, Ath-Thayalisiy no.
2075, dan yang lainnya melalui beberapa jalur dari Syu’bah, dari Abul-Faidl
Asy-Syaamiy, ia berkata: “Aku mendengar Saliim bin ‘Aamir berkata: kemudian ia
menyebutkan haditsnya”.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Sanadnya
shahih dan perawinya tsiqah”.
(7) Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud
no. 2762, Ahmad 1/384 & 390-391 & 396 & 404 & 406, Ad-Darimiy
2/235, Ibnu Hibbaan no. 4878-4879, Al-Baihaqiy 9/212, dan yang lainnya melalui
beberapa jalur dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu.
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy berkata: “Hadits
ini shahih”.
Posting Komentar untuk "Hukum Membunuh Orang Kafir Mu’ahid (Orang Kafir yang Terikat Perjanjian dengan Kaum Muslimin)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.