Hukum Jual Beli Secara Kredit Dalam Islam (Al Baiut Taqshiith)
Berikut adalah sedikit ringkasan pembahasan
mengenai jual beli secara kredit atau yang dikenal dengan Al-Bai’ut-Taqsiith –(البيع
التقسيط).
Definisi jual beli kredit secara terminologis
adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan
cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu,
lebih mahal daripada harga kontan. Atau dengan definisi lain: Pembayaran secara tertunda dan
dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.
Jual beli apapun pada
asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah ta’ala telah berfirman:
يَا أَيّهَا
الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ
أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. (QS. An-Nisaa’: 29).
ذَلِكَ
بِأَنّهُمْ قَالُوَاْ إِنّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرّبَا وَأَحَلّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرّمَ الرّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
Al-Baqarah: 275).
Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua
jenis jual beli, termasuk jual beli secara kredit. Sampai ayat ini, para
ulama mu’tabar tidak berbeda pendapat mengenai jual beli kredit. Hal itu
dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah melakukan
jual beli dengan menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam hadits:
عن عائشة رضى
الله تعالى عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى
طَعَاماً مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعاً مِنْ حَدِيدٍ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa:
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai
boroh atau gadai” (HR. Bukhari no. 2068, 2096, 2200, 2251, 2252, 2386, 2509,
2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609, 4650; Ibnu Majah no.
2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467).
Kemudian, para ulama
berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan penundaan waktu pembayaran
plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua) kelompok
besar pendapat:
1. Mengharamkannya
2. Membolehkannya
Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan pendapat jumhur ulama.
Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli (بيعتان في بيعة)
عن أبي هريرة
قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي
بَيْعَةٍ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia
berkata: ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dalam
satu jual beli (baca: dua jual beli dalam satu akad/transaksi) (HR.
Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no. 4632; Ad-Daarimi no.
1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu Hibban no. 4973; Al-Baihaqi
5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).
قال ابن مسعود:
" صفقتان في صفقة ربا "
Ibnu Mas’ud berkata:
”Transaksi dalam dua penjualan adalah riba” (HR. Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no.
1053 – shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149).
1. Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal
itu sebagaimana perkataan: “Aku jual barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu
rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12 ribu rupiah”. Dan inilah kredit pada
umumnya sebagaimana yang lazim di jaman sekarang.
2. Pendapat yang
membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu:
a. “Aku jual kepadamu
baju ini secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit 55 ribu
rupiah”; namun ketika berpisah ia tidak bersepakat dalam satu harga, apakah
akan mengambil yang kontan atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli
bersepakat dalam transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil
(kontan atau kredit).
b. “Aku jual sepeda ini
padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu menjual kambingmu”. Atau sebaliknya:
“Aku jual sepeda ini padamu dengan syarat kamu menjual kambingmu seharha 200
ribu”. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis berlangsung dua akad jual beli
dalam satu jual beli. Transaksi ini sangat rentan terhadap kedhaliman pada
harta.
Maka, di sini jumhur
ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana lazimnya tidak
termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual dan
pembeli bersepakat namun tidak menentukan jenis pembayaran yang akan dilakukan
– sebagaimana telah dijelaskan).
Inti perkataan tersebut
saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam At-Tirmidzi dalam
Sunan-nya (no. 1231).[1]
Mana Yang Lebih Kuat?
InsyaAllah yang lebih
kuat adalah Pendapat Kedua (yang membolehkannya). Sebagaimana yang telah
disinggung, jual beli kredit yang berlangsung seperti sekarang bukanlah dua jual
beli dalam satu transaksi. Sebab, ketika berpisah, mereka umumnya telah
menyepakati jenis pembayaran yang akan dilakukan (yaitu bersepakat dengan akad
kredit). Maka pada akhirnya di sini hanya ada satu jual beli saja dalam satu
transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan
kredit), maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dalam
satu transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yang penuh gharar
(ketidakjelasan) dan manipulasi.
Bagaimana dengan
Pernyataan: Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada Selainnya?
Hujjah di atas adalah
hujjah yang dipakai oleh para ulama yang mengharamkan kredit dengan tambahan
harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli dalam satu
transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits – telah membawakan tafsiran tentang
larangan dua jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan: (إن كان بنقد فبكذا و كذا , و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا) “Apabila
dibayar secara kontan maka sekian, dan apabila secara kredit sekian”.
Selain dari apa yang
telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut:
1. Tafsiran seorang
perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yang membawakan hadits
itu lebih paham daripada yang disampaikan. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
نَضَّرَ اللهُ
امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا، فَرُبَّ حَامِلِ
فَقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أفقَهُ مِنْهُ
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah
orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan
menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih
paham daripadanya” (HR. Tirmidzi no. 2658; shahih).
Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan
pembawa hadits (rawi) tidak mutlak selalu lebih unggul dalam pemahaman
dibandingkan orang yang disampaikan.
2. Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah
tidak bertaqlid kepada pendapat shahabat. Kalau seorang shahabat memberi
kekhususan pada sebuah nash umum atau menafsirkan nash yang masih global
pengertiannya dengan salah satu kemungkinan penafsirannya tanpa penjelasan
sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka pendapatnya tidak bisa
dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum tersebut atau dalam penafsiran
nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian halnya yang
berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan keutamaannya, tentu bagi
seorang tabi’in atau orang sesudah mereka lebih jelas lagi. Dan sebagai catatan,
Simmak bin Harb ini adalah seorang tabi’i, bukan seorang shahabat.
Perkataan seorang perawi
dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah yang jelas bahwa perkataannya
tersebut merupakan penjelasan yang bersumber pada ujung sanad (dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam atau shahabat untuk kasus hadits mauquf). Contohnya adalah tentang masalah berdzikir
dengan tangan kanan:
حدثنا عبيد الله
بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام عن الأعمش عن عطاء بن
السائب عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد
التسبيح قال بن قدامة بيمينه
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin
‘Umar bin Maisarah dan Muhammad bin Qudamah dan yang lainnya mereka berkata:
Telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib dari
ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya”. Berkata Muhammad bin
Qudamah (perawi hadits): “Yaitu dengan tangan kanannya” (HR. Abu Dawud no. 1502).
Perkataan perawi
(Muhammad bin Qudamah): “Yaitu dengan tangan kanannya” tidaklah mungkin hanyalah
penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi di atasnya
sampai di ujung sanad yang merupakan penjelasan dari orang yang melihat fi’il
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yaitu Abdullah bin ‘Amru
radliyallaahu ‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dengan
apa yang dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang
dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya
(murid-muridnya).
Bagaimana Penjelasan
Hadits Abu Hurairah?
Dari Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
من باع بيعتين
في بيعة فله أوكسهما أو الربا
Barangsiapa yang menjual
dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya harga yang terendah
atau riba (HR. Abu Dawud no.
3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343;
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 2326).[2]
Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu
Hurairah (yang terdapat keharusan memilih harga terendah) merupakan jual-beli
‘ienah yang memang termasuk riba. Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240)
mengatakan: “Makna kalimat dalam hadits terdahulu: ‘…barangsiapa yang melakukan
dua jual beli dalam satu jual beli, hendaknya ia mengambil yang termurah, bila
tidak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah. Demikian yang dijelaskan
oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli dalam satu jual
beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila yang diambil adalah yang lebih
mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba.
Kemungkinan yang terjadi hanya salah satu dari dua: mengambil harga termurah
atau memakan riba. Itu hanya terjadi pada jual beli ‘ienah”
Jual beli ‘ienah
gambarannya adalah sebagai berikut:
Si (A) menjual mobil
kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta. Mobil diterima
si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untuk membeli kembali mobil tersebut
seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi
dan riba. Si (A) sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si
(B), melainkan ia hanya ingin “menggandakan” uangnya yang 40 juta itu menjadi
50 juta (ada tambahan 10 juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B)
tujuannya tidaklah ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya menginginkan
uang kontan 40 juta dengan konsekuensi ia harus mengembalikan sebesar 50 juta
di tahun kelima. Jadi sebenarnya ini hanya manipulasi riba yang dibungkus atas
label jual-beli.
Dalam jual beli ini
terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika penjual dan pembeli memilih
harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adalah mubah dan
terbebas dari riba. Namun jika yang disepakati seperti di atas, maka itulah
larangan dalam hadits Abu Hurairah. Wallaahu a’lam.
Kesimpulan:
1. Jual beli kredit pada
asalnya adalah boleh.
2. Walaupun boleh, namun
sudah selayaknya kita menghindarinya untuk menghindari perselisihan yang ada.
Harus diakui bahwa hujjah ulama yang mengharamkannya pun terbilang cukup
“kuat”. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah yang
terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah,
An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.
3. Selayaknya bagi kita
untuk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena pada hakekatnya
kredit itu adalah hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih ada,
maka statusnya adalah seperti hutang dimana kita tetap “tertahan” sampai kredit
kita tersebut terselesaikan.
4. Bersikap zuhud dan
wara’ adalah utama. Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau memang tidak
ada uang.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bish-shawab.
Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo
[1] Tepatnya penjelasan At-Tirmidzi tersebut adalah sebagai
berikut:
وقد فسر بعض أهل
العلم قالوا بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين
ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على
أحد منهما قال الشافعي ومن معنى نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة
أن يقول أبيعك داري هذه بكذا على أن تبيعني غلامك بكذا فإذا وجب لي غلامك وجب لك
داري وهذا يفارق عن بيع بغير ثمن معلوم ولا يدري كل واحد منهما على ما وقعت عليه
صفقته
Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka
berkata: “Aku menjual baju ini dengan kontan senilai sepuluh dan dengan
berangsur senilai dua puluh” dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat)
dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya di atas salah satunya, maka
itu tidak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari keduanya. Berkata
Imam Asy-Syafi’i: “Dan dari makna larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata: ‘Aku menjual
rumahku kepadamu dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga
sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu’
dan ini berpisah (yaitu bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan
setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya”.
Penjelasan serupa juga
disampaikan oleh Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan.
[2] Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur: Abu Bakr bin Abi
Syaibah dari Yahya bin Zakariya dari Muhammad bin ‘Amru dari Abi Salamah dari
Abi Hurairah.
Posting Komentar untuk "Hukum Jual Beli Secara Kredit Dalam Islam (Al Baiut Taqshiith)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.