Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalil Disyari’atkannya ’Aqiqah dalam Islam

Banyak sekali dalil yang menjadi landasan disyari’atkannya ’aqiqah, diantaranya adalah:

1. Hadits Salmaan bin ’Aamir Adl-Dlabbiy radliyallaahu ’anhu, ia pernah berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:

مع الغلام عقيقة، فأهريقوا عنه دماً، وأميطوا عنه الأذَى

“Untuk satu orang anak adalah satu ’aqiqah. Tumpahkanlah darah untuknya dan bersihkanlah dia dari kotoran”.[1]

2. Hadits Samurah bin Jundub radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda:

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

“Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya[2] yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur (rambutnya), dan diberi nama”.[3]

3. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة

“Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang setara/sama, dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing”.[4]

4. Dan yang lainnya.

Disyari’atkannya ‘aqiqah merupakan madzhab jumhur ‘ulamaa, kecuali ashhaabur-ra’yi (Hanafiyyah). Mereka mengingkari pensyari’atan ‘aqiqah dan bahkan memakruhkannya dimana mereka berpegang pada dalil-dalil yang tidak layak digunakan sebagai hujjah. Diantara dalil yang mereka pakai adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:

لا أحب العقوق

“Aku tidak menyukai al-‘uquuq”.

Dalam riwayat lain:

 

لا يحب الله عز وجل العقوق

“Allah ‘azza wa jalla tidak menyukai al-‘uquuq”

Tentu saja pendalilan mereka tidak dapat kita terima, karena yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dibencinya istilah ‘aqiqah yang bersamaan dengan itu di-masyru’-kan menggantinya dengan istilah an-nasikah. Hal itu telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya sehingga tidak perlu untuk diulang.

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits ’Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari ’Ali bin Al-Husain dari Abi Raafi’ maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:

أن الحسن بن علي عليهما السلام حين ولدته أمه أرادت أن تعق عنه بكبش عظيم فأتت النبي صلى الله عليه وسلم فقال لها لا تعقي عنه بشيء ولكن احلقي شعر رأسه ثم تصدقي بوزنه من الورق في سبيل الله عز وجل أو على بن السبيل ولدت الحسين من العام المقبل فصنعت مثل ذلك

“Bahwasannya Al-Hasan bin ‘Ali ‘alaihimas-salaam ketika ia dilahirkan, ibunya (yaitu Fathimah) ingin meng-aqiqahinya dengan seekor kambing yang besar. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam datang dan berkata kepadanya: “Jangan kamu ‘aqiqahkan dia dengan sesuatu apapun. Akan tetapi, cukurlah rambut kepalanya kemudian bershadaqahlah di jalan Allah ‘azza wa jalla atau kepada ibnu sabiil dengan uang (perak) seberat rambutnya”. Dan ketika Al-Husain lahir di tahun berikutnya, Fathimah pun melakukan hal yang sama”.[5]

Tapi hadits ini dla’if karena rawi yang bernama ’Abdullah bin Muhammad bin ’Aqiil sehingga tidak bisa dipakai untuk hujjah. Kalaupun dianggap shahih, maka hadits itu juga tidak menunjukkan dimakruhkannya ‘aqiqah; karena dalam riwayat yang shahih[6] dijelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyembelih ‘aqiqah untuk Al-Hasan dan Al-Husain.[7]

Oleh: Abul Jauzaa’ Dony Arif Wibowo



[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5472, Abu Dawud no. 2839, At-Tirmidzi no. 1515, Ibnu Majah no. 3164, dan yang lainnya.

[2] Tentang makna kalimat “Setiap anak tergadai dengan ’aqiqahnya”; Al-Khaththabi berkata:

تكلَّم الناسُ في هذا، وأجْودُ ما قيل فيه ما ذَهب إليه أحمدُ بن حنْبَل. قال: هذا في الشفاعَةِ، يريدُ أنه إذا لم يُعَقَّ عنه فمات طِفلا لم يَشْفَع في والدَيه. وقيل معناه أنه مَرهون بأذَى شَعَره، واستدَلُّوا بقوله: فأمِيطُوا عنه الأذَى

“Orang-orang banyak berbicara tentang hadits ini dan komentar yang paling baik adalah komentar Ahmad bin Hanbal. Ia berkata: ’Ini berkaitan dengan syafa’at. Apabila si anak meninggal dunia pada saat masih kecil sementara ia belum di-aqiqah-kan (oleh walinya), maka anak tersebut tidak dapat memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya” (An-Nihayah fii Ghariibil-Hadiits oleh Ibnul-Atsiir – materi kata رهن ; Maktabah Al-Misykah. Lihat pula Sunan Abi Dawud wa Ma’aalimus-Sunan lil-Khaththabi 3/175; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418, Beirut ).

Ibnul-Qayyim berkata dalam kitabnya At-Tuhfah sebagai komentar dan bantahan terhadap pendapat ’Atha’ yang diikuti oleh Ahmad yang mana mereka menafsirkan makna “tergadai” dengan terhalangnya syafa’at si anak untuk kedua orang tuanya. Beliau berkata:

“Pendapat ini masih perlu ditinjau ulang, karena tidak diragukan lagi bahwa syafa’at seorang anak terhadap orang tuanya tidaklah lebih utama daripada syafa’at orang tua terhadap anaknya, dan tidak seorangpun yang dapat memberi syafa’at pada hari kiamat nanti kecuali setelah mendapat ijin yang diberikan Allah ta’ala kepada orang-orang yang Dia kehendaki dan Dia ridlai. Ijin yang diberikan Allah ta’ala berdasarkan amalan orang yang diberi syafa’at, baik yang berkaitan dengan tauhidnya maupun keikhlasannya.

Seseorang dapat memberi syafa’at karena kedekatannya kepada Allah, bukan disebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan orang yang diberi syafa’at. Bukan dikarenakan ia sebagai seorang anak, dan bukan pula sebagai ayah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah memberi pengarahan kepada paman, bibi, dan anak perempuannya (Fathimah):

لا أغني عنكم من الله شيئا

“Aku tidak dapat membantu kalian sedikitpun di hadapan Allah”; dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh:

لا أملك لكم من الله شيئا

“Sedikitpun aku tidak kuasa menolong kalian dari (siksaan) Allah sedikitpun”.

Lantas, dari mana datangnya pernyataan bahwa anak akan memberi syafa’at kepada orang tuanya, namun apabila mereka tidak menyembelih ’aqiqah untuk anaknya maka si anak tidak dapat memberi syafa’at kepada orang tuanya? Juga, tidak dapat dikatakan bahwasanya seorang yang tidak dapat memberikan syafa’at kepada orang lain adalah orang yang tergadai. Tidak ada satu lafadh hadits pun yang menunjukkan makna seperti ini. Bahkan Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwa seorang hamba akan tergadai dengan amalannya semasa di dunia. Allah ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatstsir: 38).

أُولَئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا

“Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri” (QS. Al-An’am: 70).

Jadi seorang yang tergadai adalah orang yang bertanggung jawab atas apa yang pernah ia lakukan atau dikarenakan perbuatan orang lain. Adapun orang yang tidak mempu memberikan syafa’at, tidak dapat disebut murtahin (orang yang tergadai), akan tetapi murtahin adalah seorang yang terhalang untuk mendapatkan sesuatu. Bisa jadi karena perbuatannya sendiri dan bisa jadi karena perbuatan orang lain.

Allah ta’ala menetapkan agar menyembelih hewan sebagai pembebas seorang anak dari gadaian syaithan yang terus mengaitkannya sejak ia lahir ke dunia dan menusuk bagian pinggangnya. ’Aqiqah merupakan penebus dan pembebas seorang anak dari kungkungan syaithan yang senantiasa menghalanginya untuk meraih kemaslahatan akhirat yang merupakan tempat kembalinya si anak. Jadi seolah-olah ia dipenjara untuk disembelih syaithan dengan pisau yang telah ia persiapkan untuk para wali dan pengikutnya serta telah bersumpah di hadapan Allah bahwa ia akan menyesatkan anak cucu Adam. Sedikit sekali orang-orang yang selamat dari sumpah syaithan ini, sementara syaithan masih terus siagamenunggu dan mengganggu setiap anak yang lahir ke dunia. Ketika seorang anak lahir, syaithan langsung merekrut anak ini dan berusaha agar anak ini menjadi tawanannya dan di bawah kendalinya serta menjadikannya sebagai salah seorang pengikut dan anggota kelompoknya. Syaithan sangat sungguh-sungguh dalam melaksanakan hal ini, sehingga mayoritas anak menjadi pengikut dan bala tentara syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلادِ

“Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak” (QS. Al-Israa’: 64).

Dia juga berfirman:

وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ

“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka” (QS. Sabaa’: 20).

Karena setiap anak yang lahir akan tertawan, maka Allah ta’ala menganjurkan agar orang tua si anak membebaskan anaknya dari tawanan dengan menyembelih hewan sebagai tebusan. Jika orang tua si anak tidak melakukannya, maka si anak tetap berstatus sebagai tawanan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda: “Seorang anak itu tergadai dengan ’aqiqahnya. Maka tumpahkanlah darah untuknya dan bersihkanlah dia dari kotoran”.

Pada hadits ini Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan agar menumpahkan darah (dengan menyembelih hewan ’aqiqah) untuk membebaskan anak dari tawanan itu. Apabila tawanan tersebut berkaitan dengan kedua orang tua, tentu beliau shallallaau ’alaihi wasallam mengatakan: “Tumpahkanlah darah untuk kalian agar kalian memperoleh syafa’at (dari anak kalian)”. Dengan adanya perintah agar orang tua membuangkotoran yang ada pada fisik si anak dan menyembelih hewan untuk membersihkan kotoran mental si anak, maka jelaslah bahwa tujuan syari’at adalah untuk membersihkan lahir bathin si anak dari berbagai kotoran. Dan Allah lah yang lebih mengetahui maksud firman-Nya dan maksud sabda Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam.”

(selesai penjelasan Ibnul-Qayyim dengan peringkasan – Tuhfatul-Maudud bi-Ahkaamil-Maulud hal. 50-52).

[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837-2838; At-Tirmidzi no. 1522; An-Nasa’i no. 4220; Ibnu Majah no. 3165; Ahmad 5/7,12,17,22; dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/196, Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1419, Riyadl.

[4] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1513, Ibnu Majah no. 3163, dan Ahmad 6/31. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/164; Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 1/1420, Riyadl.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 9/304 no. 19300 (tahqiq: Muhammad ‘Abdil-Qadir ‘Atha’ – Daarul-Kutub, Cet. 3/1424, Beirut).

[6] Lihat penjabarannya dalam Irwaaul-Ghaliil oleh Asy-Syaikh Al-Albani 4/379-385 no. 1164; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1399, Beirut.

[7] Al-Baihaqi berkata: { إن صح فكأنه أراد أن يتولى العقيقة عنهما بنفسه } “Apabila shahih, maka yang dimaksud adalah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri yang menyembelih ‘aqiqah untuk mereka berdua (Al-Hasan dan Al-Husain)” (As-Sunan Al-Kubraa 9/304).

Posting Komentar untuk "Dalil Disyari’atkannya ’Aqiqah dalam Islam"